a/n: Halo /sapa fandom untuk pertama kali/
jujur, baca sering tapi ini fic pertama fandom heta ketikan sendiri, jadi ya…. Kalo freak, maafkan :v
Disclaimer: I own nothing but the story
Rasa penasaran lazim dimiliki semua orang dari berbagai golongan. Mau dia menjabat sebagai Mangaka individu dikejar deadline sampai programmer yang kata orang tidak punya waktu sosialisasi, 'kepo' sudah jadi sifat alami. Tidak akan ada ketertarikan tanpa diawali fase ini. Meski ada orang yang tetap segan buang-buang energi demi memenuhi hasrat pribadi.
Pemuda Spanyol yang setiap berjalan kerap menebar aura friendly kali ini didera penyakit hati. Kurang pantas disebut begitu sebenarnya, tapi dia sendiri tidak tahu harus menyebutnya apa. Singkatnya, laki-laki yang disapa Antonio kini dilanda rasa penasaran luar biasa pada seorang pemuda.
Awalnya cuma sering lihat Lovino dilorong perguruan tinggi, sumpah serapah dalam bahasa Italy sambil berjalan cepat tanpa permisi. Reaksi orang awam pasti memilih untuk tidak ikut campur, dilihat dari sikap dan ekspresi dingin pemuda Italy, mana ada yang mau berurusan sama doi. Tapi, entah karena Antonio yang terlalu peduli atau nekat tanpa pikir dua kali, dia justru tertarik mendekati.
Sejujurnya, alasan jelas yang membuatnya penasaran karena Lovino sering jalan-jalan di lorong dengan keadaan yang…. sedikit memprihatinkan. Pernah tampil dengan pipi masih berdarah akibat sebuah goresan, lain hari lebam didekat dagu, lain hari kassa dan plester menempel dihidung, dan luka-luka lainnya. Karena rasa penasaran, peran stalker pun diembat—Antonio masih mengelak setiap kali dua temannya bertanya.
"Itu jelas banget, Toni, masih tidak mau mengaku juga?" Gilbert menatap frustasi.
"Jadi, kau memilih metode pendekatan diam-diam sebagai start? Tipe yang freak ya, Espagna." Francis tidak membantu.
Antonio juga tidak akan minta saran pada mereka—sudah diyakini pasti abnormal. Hanya dalam seminggu setelah menjadi stalker—CORET! AKU BUKAN STALKER—ia mengetahui hal-hal yang luput dari pandangannya. Lovino cukup jarang terlihat bersama saudaranya. Lovino tidak pernah bicara sesuai standar tata krama pada orang lain. Lovino selalu berjalan cepat tidak peduli apa kondisinya. Lovino sering mampir ke atap gedung universitas. Kemudian Lovino ini Lovino itu.
Tentu saja tidak ada data pribadi, karena Antonio menyimpan pertanyaan langsung untuk nanti.
.
Current Interest
WARN: Sho-ai, BL, College!AU, OOC
Sorry for typo(s)
.
Pintu besi dibuka oleh seseorang, berderit akibat engsel yang sudah sedikit karat. Pemuda Italia menyumpah asal sambil memegangi lengan kanan yang terantuk daun pintu karena melangkah terburu-buru. Meyakini pintu sudah tertutup rapat, ia berjalan ke dekat pagar besi kemudian langsung duduk dilantai yang menjadi tempat istirahatnya sehari-hari.
Kehidupan universitas itu tidak gampang.
Selain proyek menumpuk dan beberapa dosen yang keras, ada hal lain yang lebih menyiksa. Contohnya, kau tidak suka dengan orang lain. Dalam beberapa kasus, orang-orang nekat melabrak secara terang-terangan. Ibaratnya ada kedudukan dikalangan karnivora, hanya ada satu yang menjadi bosnya. Herbivora menghadapi dilema dengan mengorbankan salah satu dari mereka untuk bertahan hidup ketika diserang kaum atasnya.
Bahasa manusianya, sekelompok dari mereka berperan sebagai orang yang memiliki kekuasaan dan menindas—karnivora. Sekelompok lainnya tidak bisa menolak, terlebih lagi jika mereka tidak memiliki keinginan untuk bebas maka akan selalu menjadi korban—herbivora. Memang ada golongan netral atau mungkin figuran sampingan. Itulah hukum yang tidak sengaja terbentuk tapi tetap dibudidayakan.
Lovino tidak mau terjebak disiklus seperti itu, jadi sebisa mungkin ia menghindari sosialisasi. Yang menjadi masalah utama adalah saudaranya, Feliciano. Dia mudah menempatkan diri dalam berbagai situasi, ramah dan akrab dengan—hampir—semua orang. Bukan berarti tidak ada yang membencinya, pasti ada saja kaum karnivora yang terganggu dengan keberadaannya. Meskipun Lovino benci untuk mengakui bahwa semua orang memilih saudaranya, dia tidak bisa mengabaikan begitu saja jika Feliciano dalam masalah. Sebagai saudara yang lebih tua, memiliki insting alami untuk melindungi sudah wajar. Tidak ada pilihan selain melawan bagi Lovino. Itulah alasannya mendapatkan luka-luka kecil hampir setiap hari.
Derit pintu besi mengejutkannya yang tanpa sadar sempat melamun. Menolehkan kepala, ia melihat orang asing terdiam di pintu masuk atap.
"Oh maaf? Ada orang ternyata,"
Ini pertama kali ada orang lain yang masuk teritorinya jadi dia tidak tahu harus bereaksi apa.
"Aku boleh ikut beristirahat disini?" orang itu berjalan mendekat setelah menutup pintu.
"Tidak." Jawaban refleks dari Lovino. Tidak mengindahkan jawaban, orang asing itu—tanpa segan—duduk disebelahnya. Lovino beringsut menjauh, menatap dengan intimidasi. "Bukankah aku bilang tidak, idiot?"
Lovino menebak kalau dia akan marah, tapi orang itu hanya tertawa kecil. Meredam tawa dengan senyuman, ia menjawab, "Tapi ini kan tempat umum."
Lovino membuang muka, mendengus kesal—untuk apa bertanya padaku dari awal. Ia bisa saja pergi dari tempat itu, menghindar seperti biasanya. Tapi dia pun merasa punya hak karena tempat ini sudah lama jadi markasnya. Lelaki disebelahnya membuka bungkus roti, bersandar pada pagar besi dan menikmati makan siang.
Awkward.
Tentu saja kan. Lovino sedikit memunggungi, mengabaikan eksistensi makhluk hidup disebelahnya sambil mengusap-usap lengan kanan yang nyeri akibat perlawanan hari ini.
"Kau sering kesini?"
Lovino menoleh sedikit, menatapnya dengan intens. Lawan bicaranya menatap bingung, "Ada yang salah dengan pertanyaanku?"
"Jangan bicara denganku." Pernyataan singkat dikeluarkan.
"Kau mirip seseorang," masih mengajak bicara. Lovino tidak merespon, maka lelaki itu melanjutkan, "saudara Feli ya? Kalian punya ikal yang sama melawan hukum gravitasi."
Sebagian dari Lovino ingin tertawa, sebagiannya lagi ingin memukulnya karena mengeluarkan perbandingan yang bodoh. Ya, kalian tidak salah baca, Lovino hampir ingin tertawa. Selera humornya—meski sedikit—susah ditebak. "Aku tidak mirip dengannya," sudah pasti ia tidak suka disamakan.
"Yah, kalian memang tidak sepenuhnya mirip. Lagipula kau lebih menarik."
Kalau ia sedang minum, sudah dipastikan likuid akan menyembur dari mulutnya. Menoleh cepat dan menatap horror, ia membuka mulut, "Dasar freak! Nggak lucu, idiot."
"Memang tidak ada yang melawak disini." Lagi-lagi tertawa sambil menutup mulut.
Lovino seharusnya mengikuti insting untuk menendang laki-laki itu lalu pergi dengan cepat. Tapi belum sempat memantapkan niatnya, lawan bicara mengulurkan tangan, "Antonio Carriedo, boleh kutahu namamu, saudara Vargas?"
Lovino membuang muka lagi, "Tidak ada kewajiban untuk memberitahu namaku pada hentai-freak sepertimu, idiota."
Antonio tidak tersinggung dengan sebutan barunya itu. Cinta itu buta, bung. Lagi-lagi tertawa tanpa segan, "Sepertinya kau lebih jago melawak daripada aku."
"Aku bahkan tidak berusaha, bodoh."
Antonio mencondongkan tubuh ke depan, meraih tangan kanan Lovino tanpa izin dan menjabatnya. "Lovino, kan? Kau terkenal sering sumpah serapah disepanjang lorong."
Wajahnya agak memerah karena tersinggung berat meski itu fakta. "Sialan, jangan menyebut reputasi itu didepan wajahku." Ia mencoba menarik kembali tangannya tapi Antonio masih menahan tautan, justru sampai menariknya mendekat.
"Lenganmu kenapa?"
Tanpa izin, Antonio menggulung lengan bajunya keatas dan memperlihatkan memar yang beruntungnya tidak terlihat parah. Lovino menarik paksa dan berhasil melepas genggaman si pemuda Spanyol. "Kau tipe orang yang suka mencampuri urusan ya?" sarkas Lovino.
Antonio mengangkat bahu, "Koreksi, mudah khawatir lebih tepatnya."
"Bahkan pada orang yang baru kau ajak bicara?"
Antonio mengangguk, "Bahkan orang yang tidak kukenal namanya."
"Aku tidak menyesal menyebutmu hentai-freak. Dan kenapa kau malah kelihatan bangga…" Fix, Antonio memang aneh—pemikiran Lovino tentu saja.
Antonio berusaha tidak tertawa lagi, ia mengalihkan topik, "Tidak diobati? Bisa berubah ungu lho."
"Aku juga tahu! Apa kau menganggapku bodoh, bastard?" Lovino menurunkan gulungan baju sambil berpikir lega karena Antonio tidak sepenuhnya mencampuri urusan dengan tidak menanyakan penyebab luka tersebut.
Antonio hendak bicara lagi sampai bel menggema sepenjuru perguruan tinggi menyela tanpa permisi. Ia menahan ucapan dan bangun berdiri sambil menepuk celana hitamnya dari debu. "Aku ada kelas setelah ini—"
"Pergi saja sana."
"—senang bisa bicara denganmu, Lovi."
Lovino refleks berjengit. Ia berbalik cepat, sampai bangun berlutut sambil menunjuk Antonio yang sudah membuka pintu, "Bastard, aku tidak pernah menyetujui panggilan—"
"Jangan lupa obati lukamu, sampai nanti." Katanya diakhiri dengan senyuman.
Pintu besi tertutup rapat, meninggalkan Lovino yang kesal luar biasa sekaligus speechless. Ia menjatuhkan diri, duduk sila dengan satu tangan memukul lantai. "Dia tidak mendengarkan, sialan!" kemudian melipat tangan didepan dada sambil menghela napas tak sabaran. Tapi kemudian ekspresinya berubah bingung, ia menunduk dan berpikir keras tumben-tumbennya dia mau meladeni percakapan panjang. Padahal emosinya sependek pentol korek api.
Sekali lagi, fix, Antonio memang orang aneh!
.
.
.
.
Esok pagi, Lovino berangkat ke universitas dengan Feliciano seperti biasa. Tidak luput pula Feliciano mengomentari apa saja yang dilihatnya sepanjang jalan. Sampai 3 sosok asing menghadang jalan mereka. Oh, wow, Lovino tidak akan kaget lagi. Inisiatif, ia melangkah ke depan Feliciano, secara teknis menjadikan dirinya sendiri sebagai perisai.
Seseorang yang kelihatan 'lebih-lebih' diantara mereka maju selangkah sambil berkata, "Maaf mengganggu perjalanan kalian. Singkatnya, kami ingin membuatmu tidak lagi mencari masalah dengan teman-teman kami yang lain." Sambil meregangkan jari seolah mempersiapkan diri.
Lovino menarik dagu, tatapannya dibuat setajam mungkin, "Mereka terus berdatangan tak ada habisnya," gumamnya pelan.
Feliciano menarik lengan bajunya, "Vee, Fratello, jangan melawannya sendirian." Nada suaranya terdengar cemas, kontras dengan ekspresinya.
Lovino menoleh sedikit, "Adik bodoh, memangnya siapa lagi yg bisa diajak bersekutu denganku saat ini?" sarkasnya.
Feliciano terlihat menelan jauh keraguannya dan memberanikan diri berkata, "Dulu aku juga bisa melawan sepertimu, Fratello, jadi aku—"
"Jangan mencelakai diri sendiri," Lovino melangkah ke depan sambil melepas tas punggungnya, "aku masih disini."
And the rest was history.
Setelah berpisah dengan Feliciano yang memiliki kelas pagi, Lovino berjalan cepat menuju tempat yang sudah dihapal kakinya. Ia sedikit menunduk, menyembunyikan luka baru di wajahnya. Setelah menutup pintu besi rapat-rapat, ia hendak menghempaskan diri bersandar pada pagar besi sampai menyadari ada eksistensi hidup lain.
Tangan kirinya refleks naik menutup pipi kiri dan langkahnya terdorong ke belakang sekali. "Bastard, kenapa kau ada disini lagi?"
Antonio yang duduk santai selonjoran bersandar pada pagar besi dan memangku tas diatas kaki, menatapnya sambil tersenyum hangat seperti mentari. "Pagi, Lovi."
"Jangan seenaknya memanggil nama kecilku." Lovino hendak berbalik meninggalkan atap namun menghentikan niatnya karena ia tidak bisa memikirkan tempat lain lagi. Ditambah Antonio memberikan gesture untuk mendekati. Berdecih pelan, hati tidak mau menuruti namun kaki mengkhianati.
"Kau ada kelas pagi?"
Lovino mendudukkan diri tak jauh dari lawan bicara, "Masih 30 menit lagi." Satu tangan masih memegangi pipi.
Antonio bersiul, "Rajin amat udah dateng."
"Rutinitas bersama adik bodoh. Dan sendirinya ngapain pagi-pagi udah stand by disini?" Lovino bertanya dengan tatapan mengkritik.
Antonio beralih mengangkat wajah, pandangan lurus pada langit seolah membayangkan sesuatu, "Entah, aku hanya bersemangat dan bangun kepagian jadi yah…"
"Idiota."
Antonio menatapnya, terpaku pada tangan yang memegangi pipi sejak awal Lovi membuka pintu besi. "Etto… apa ada yang salah dengan pipimu?"
Lovino membuang muka sambil berdecih dalam hati—ini orang kelewat peka atau cenayang. Ia kembali menatap pemuda Spanyol, "Apa kau perlu bertanya soal ini setelah melihat yang kemarin?" ia melepaskan tangannya, mengekspos kulit membiru bagian tulang pipi.
Antonio meringis seolah bisa merasakan sakitnya hanya dengan melihat. Ia memindahkan tas kesamping kemudian berlutut didekat Lovino. Kedua tangan terulur untuk menangkup wajah dan kedua mata terfokus pada kulit yang merana. "Tidak lebih parah dari yang kemarin, setidaknya itu melegakan."
Lovino mendorong Antonio sampai jatuh duduk, refleks karena jarak yang menipis hampir kelewat batas. "Jangan menyentuhku, sialan." Ia memundurkan diri, sedikit menjauh untuk menenangkan diri dari aksi tiba-tiba.
Antonio hanya ber-sigh ria sambil menarik tasnya. Mengejutkan, ia mengeluarkan kotak kecil berisi alat P3K. Lovino menatapnya curiga. "Aku bahkan tidak yakin kau mengobati luka yang kemarin. Jadi aku mempersiapkan diri." Kata Antonio seolah bisa membaca ekspresi si pemuda Italia.
"Hentai-freak."
Antonio tersenyum mafhum, tangannya bergerak cekatan meski ia sendiri terkejut karena Lovino membiarkan dirinya kembali mendekat. Menuang alkohol pada kapas, mengobati dengan hati-hati—meski Lovino tetap meringis sakit—dan menutupnya dengan kain kassa. "Kalau diobati dengan benar, cepat hilang juga kan bekasnya."
Lovino tidak menjawab sarkas. Ia sedang berperang dalam kepalanya. Logika mengatakan bahwa dia seharusnya menolak kebaikan orang lain seperti biasa. Ia tidak berpikir jika ia pantas diberi perhatian—terlebih lagi jika disanding dengan Feliciano. Memikirkannya membuat tenggorokan sakit dan dada menyempit. Belum dihitung orang-orang yang pernah memberikannya perhatian, ia menyadari dirinya sendiri begitu menyayangi sampai sakit hati.
"…Lovi?"
Tersadarkan, Lovino menatapnya sengit. "Apa lihat-lihat?"
"Eeeh, padahal aku sempat mengharapkan ucapan terima kasih—"
"Iya, iya!" ia menyela dengan tidak sopan, toh ia rasa itu impas karena Antonio juga selalu melakukan apa saja tanpa izin."Jadi kau mau balasan apa?"
Antonio tersenyum lebar, "Biarkan aku datang kesini setiap hari!" suaranya spontan meninggi karena antusias. Kemudian gugup sendiri sambil menggaruk pipi, "Ah, dan juga makan siang bersama disini..?" permintaan selanjutnya lebih hati-hati seolah bertanya meminta izin. Lovino tidak pernah membayangkan akan ada orang lain yang berada disekitarnya selama berada di universitas. Mendokusai!
"Terserah kau, bastard."
"Panggil namaku dengan benar, Lovi. Antonio bukan bastard."
Ia menatap sengit, menunjuk lawan bicara dengan jari telunjuk, "Kau seenaknya memanggil namaku—"
"Tapi Lovi terdengar lebih imut, kan?" kata Antonio tanpa penyesalan.
"H-H-Ha—" Lovino sampai kehabisan kata-kata. Ia menunduk, tangannya mendorong bahu Antonio menjauh agar tidak melihat ekspresinya. Imut adalah kata yang asing baginya karena orang-orang biasa menyebutnya bencana kecil. Bahkan Feliciano sekalipun tidak pernah memanggilnya imut!
Antonio tersenyum miring, merasakan kepuasan tersendiri bisa membuat doi blushing. Pemandangan indah tepat didepan mata. Menyingkirkan tangan di bahu, beralih menggenggam pergelangan tangan, Antonio mencondongkan tubuh ke depan, "Haaa imutnya, wajahmu terlihat seperti tomat." Ia menggoda lebih lanjut.
"Sh-Shut up—" Lovino mengangkat wajah dan kata-kata tertahan dipangkal lidah ketika melihat seberapa dekat wajah Antonio dan smirk yang menyebalkan tapi menawa—CORET! AKU TIDAK AKAN MENGAKUINYA.
"Dan aku suka tomat."
Pagi itu, Antonio tidak tahu harus bersyukur karena berhasil membuat Lovino memerah sampai ke telinga atau kapok karena sedetik setelah kalimat itu, Lovino sengaja menabrak dagunya dengan kepala—bereaksi CH-CHIGI!—sampai punggungnya mencium pagar besi.
.
.
.
.
.
Hari esok berlanjut seperti biasa. Antonio yang merawat luka-luka Lovino. Percakapan dibumbui sumpah serapah seorang pemuda Italia. Menghabiskan tomat yang dibawa Antonio—setelah kejadian kemarin, topik berbelok membicarakan tomat. Meski sarkas, Lovino terlihat sedikit antusias membicarakannya. Pembicaraan meluas, Lovino akhirnya menceritakan alasan dibalik luka-lukanya. Antonio menceritakan teman-teman sengklek-nya. Lovino yang mengadu—meski ia tidak sudi—tentang betapa dekatnya Feli dan potato bastard, ia tidak suka pada pria Jerman itu. Begitu pula esoknya, esok lagi, dan seterusnya.
Suatu pagi, Vargas bersaudara itu mendapati perjalanan menuju universitas lancar jaya. Tidak ada karnivora menghadang apalagi tanda-tandanya. Lovino tidak bisa menganggapnya normal tapi Feliciano dengan lega mengatakan mungkin akhirnya mereka tobat, vee~.
Di hari yang sama, Lovino tidak bertemu Antonio. Seharusnya ia merasa lega karena tidak ada yang mengganggunya lagi. Tapi hati kecilnya yang sudah diketuk perhatian, membuatnya ingin tahu kemana perginya Antonio bastardo Carriedo. Terus-terusan meyakinkan diri bahwa ia tidak cemas sama sekali justru mengasilkan sebaliknya. Ia merogoh saku, menggenggam ponsel sebelum teringat mereka bahkan belum pernah bertukar email apalagi nomor telepon.
Jika sampai harinya berakhir dengan buruk karena diterror rasa penasaran, maka semuanya adalah salah si hentai-freak itu.
Dan kenyataannya, ia tidak bertatap muka dengan orang yang dicari sampai jam pelajaran terakhir selesai. Feliciano terus-terusan bertanya ada apa dengannya selama perjalanan pulang. Lovino harus merasa lega karena tidak ada potato bastard disamping adik bodohnya. Ia sendiri tidak menyadari seberapa keruh air mukanya sore itu.
Keesokan harinya, Lovino tidak sempat mampir ke tempat biasa karena kelas paginya dimulai sepuluh menit lagi. Salahkan Feliciano karena bangun kesiangan—meski dirinya juga—dan harus terburu-buru menyiapkan sarapan, belum pula ini itu. Beruntung tidak ada lagi karnivora berkeliaran. Disela waktu istirahatnya, Feliciano menghampirinya dengan semangat di lorong sekolah—dan sialnya ada Ludwig mengikuti dibelakang.
"Vee! Fratello, aku khawatir karena tidak pernah melihatmu bersama teman. Tapi, siapa laki-laki yang dipanggil Antonio ini?"
Lovino menutup mulutnya dan mendorongnya sampai menyentuh tembok untuk menghindari orang-orang lewat curi dengar. Ludwig sempat ingin menghentikannya namun memilih diam untuk memberi privasi. "Kau dengar nama itu darimana?" Lovino melepaskan tangannya.
"Gilbert bicara pada Ludwig kalau teman Spanyol-nya sering menghabiskan waktu bersamamu, vee. Fratello tidak menceritakan apa-apa padaku."
Menghela napas, ia menjawab kekecewaan itu, "Kenapa juga harus memberitahumu? Kau sendiri sibuk dengan—" pandangan melirik sadis kearah Ludwig "—potato bastard."
"Vee! Padahal kita punya banyak waktu di rumah." Feliciano menyanggah tidak setuju meski tetap dihiasi senyuman—jangan dibayangkan seperti apa. "Gilbert juga memberitahu Ludwig kalau Antonio bersamanya serta Francis lah yang memperingatkan mereka untuk tidak mengganggu kita lagi."
Butuh lebih dari 5 detik bagi Lovino untuk mencernanya. Ia membesarkan mata karena terkejut, "Tunggu—! Jadi karnivora itu menyerah karena diancam mereka bertiga?" palu memukul hatinya sekali.
Alis sedikit bertaut, Feliciano menjawab, "Ludwig tidak bilang soal mengancam sih tapi sepertinya iy—"
"Ya, ya, aku sudah mengerti." sela Lovino dan bersiap untuk meninggalkan mereka berdua namun ditahan saudaranya.
"Tunggu, Fratello! Vee, aku mencarimu karena Antonio berpesan padaku bahwa dia menunggumu ditempat biasa." Kata Feliciano sebelum menarik kedua tangan Lovino untuk meletakkan petikan bunga camelia merah ditangkupannya.
Alis bertaut, Lovino menatap bingung, "H-Ha? Buat apaan ini?"
"Dia juga bilang bahwa ini untukmu, vee~ bukankah romantis?" Feliciano menggodanya dengan senyum menyebalkan dimata yang lebih tua.
"Oke, grazie, Feli." Lalu Lovino hilang ditelan angin, sengaja biar Feliciano tidak melihat wajah malunya. Baik adiknya maupun Ludwig hanya jawdrop mendengar kata 'terima kasih' keluar dari mulutnya. Lovino berlari cepat, baru saja mau menaiki tangga ketika melihat Antonio disebrangnya. Dinding kaca memisahkan mereka berdua. Antonio tersenyum ketika melihatnya—semakin lebar melihat camelia merah disaku kemeja doi—sementara Lovino sudah siap meledak kapan saja. Antonio yang melihat Lovino bicara sesuatu—tidak terdengar tentu saja—hanya bisa menebak kalau dia tengah menyumpah dengan tidak elit. Beruntung tidak ada orang lain disekitar sana. Antonio ingin menunjukkan gestur kalau dia akan menemuinya di atap namun Lovino memotongnya duluan dengan memberikan gestur untuk mendekat. Memiringkan kepala bingung, Antonio mendekatkan diri pada dinding kaca sampai batas minim. Kemudian dikejutkan dengan Lovino yang—astaga demi apa dia melakukannya—mencium sekat kaca tepat didepan Antonio.
Antonio mematung ditempat dengan wajah memerah parah. Lovino lebih parah lagi. Ia langsung pergi menaiki tangga, menuju tempat yang menjadi saksi awal percakapan mereka. Antonio menutup mulutnya, masih syok tidak percaya. Ini Lovi habis dapet wejangan dari Francis atau gimana… kok..
DEMI APA BARUSAN DOI NYA NEKAT MENCIUM KACA—
Oke bukannya dia cemburu sama benda mati cling cling itu tapi maknanya. MAKNANYA GUYS. Seketika ia merasa kesal karena ditinggal tanpa penjelasan apa-apa. Masih dengan detak jantung yang meningkat, ia memutari bangunan untuk segera menyusul Lovi tercinta-nya.
Lovino harusnya tahu akibat dari aksi nekatnya dilantai bawah tadi. Antonio mengurungnya dengan kabe don dua tangan. Tidak bersandar pada dinding, pagar besi pun jadi. Kedua mata menatap intens sekaligus meminta penjelasan.
"Lovi."
Lovino masih mengalihkan pandangan sejak menit pertama Antonio mengurungnya. Ia menahan bahu si pemuda Spanyol dengan tangan kiri sementara tangan lainnya memblok wajah untuk menutup ekspresi. "Minggir dulu! Aku mana bisa bicara dengan posisi begini, idiota!"
"Aku tidak akan memberi celah secuil pun. Jelaskan dulu perihal—"
"JANGAN DISEBUT TERANG-TERANGAN, TOMATO-BASTARD!" spontan memekik, wajah Lovino memerah parah, mengingatnya saja nyaris tidak sudi. Dia sendiri tidak tahu kenapa bisa melakukan hal itu. Kemudian ia balas menatap penuh selidik, "Sendirinya ngapain ikut campur urusanku? Mengurus kaum karnivora itu?"
Tatapannya berubah agak dingin, "Tidak akan kubiarkan seorang pun melukaimu lagi, Lovi. Bahkan menyentuhmu apalagi dengan niat jahat, tidak satupun dari mereka kubiarkan berjalan tenang diatas bumi." Bump kecil terdengar ketika ia menghapus jarak sampai dahi mereka menempel, "aku tidak tahu yang barusan itu platonic atau romantic."
Lovino mendorong bahunya, mencoba membuat jarak namun ia tahu persis tidak akan mungkin berhasil. Dia sendiri tidak tahu Antonio yang posesif itu terdengar horror atau perlu disyukuri. Wajahnya semakin memerah karena ada rasa senang terselip. Antonio tersenyum, "Ah lihat, kau imut seperti to—"
"Selesaikan kalimat itu jika kau tidak menghargai hidupmu lagi, tomato-bastard." Lovino berusaha terdengar kejam disini. Dan itu berhasil.
Setidaknya selama 3 detik.
"Dan aku sudah pernah bilang suka tomat, kan?"
Antonio mengakhiri kalimat dengan meraih bibir Lovi dengan miliknya—sekaligus antisipasi pengalih perhatian jika saja Lovino mau menabrak rahangnya lagi. Ia melepaskan tautan untuk melihat reaksi Lovino. Oh, sial, sial, sial, screw you hentai-freak, ini bagus—bukan! M-Maksudku ini buruk, ini buruk! Pikiran Lovino cukup kacau untuk mengatasi situasi. Tapi kedua matanya menangkap senyuman Antonio yang berucap tanpa kata, semua akan baik-baik saja.
Ia membiarkan lengan Antonio yang berpindah untuk merengkuh pinggangnya. Dengan helaan napas pendek, ia menautkan kedua tangan dibelakang leher Antonio. Melihat lampu hijau, Antonio melanjutkan yang tertunda dan menuntut lebih. Berani menggigit lembut bibir bawah Lovino, reaksinya justru memberikan undangan; membenamkan jari pada rambut ikal Antonio dan membuka jalan. Terus berlanjut sampai napas hangat Lovino menjadi pendek dan Antonio memutuskan menarik diri.
"Te amo, Lovi." Aksen Spanyol.
Lovino bergumam tidak jelas, memilih fokus menghirup udara. Antonio memundurkan kepala namun tidak melepas lengannya. "..Your reply?"
Lovino mengalihkan wajah kesamping, menghindari kontak mata yang bikin merinding. Meskipun wajahnya tetap memanas mengetahui Antonio menatap lekat. Tidak ada satupun yang bicara lagi. Antonio masih menunggunya sementara Lovino semakin canggung dengan posisi itu lama-lama. Ia menghela napas keras, tidak pernah menyangka akan mengucapkannya sendiri, "T-Ti amo, Antonio."
Shit, you mean so much to me you fucking fuck.—Lovino menghardik dalam hati.
Antonio tersenyum menawan—jangan dibayangkan, bukan konsumsi publik. "Tau arti dari camelia merah?"
"Oh? Kukira kau hanya asal memilih bunga yang mirip tomat saja."
Antonio mundur kebelakang, tertawa keras sambil memegangi perut. Lovino cukup lega karena tidak lagi dikurung tapi ia tatapannya kesal karena makhluk hidup dihadapannya. Sampai menutup mulut dengan tangan dan menghapus air mata disudut, Antonio berusaha bicara, "Nah nah kan, benar kataku. Kau lebih jago melawak."
"Chigi!"
Apa yang sudah diantisipasi diawal, justru terjadi sekarang. Rip rahang Antonio.
Fin
Boleh minta kritik, saran, blablaba? fic pertama jadi saya mau tau dimana kurangnya...
Dan terima kasih sudah membaca~!
