Sang Angsa Emas.

Naruto © Masashi Kishimoto.

Pairing : Naruto. N. x Ino. Y.

Rated : M.

Genre : Friendship & Romance.

Warning : AU, OOC, OC, Typo, Bad Languange. Anda dipersilahkan mundur untuk menghindari tindak anarkis (?) yang mungkin akan Anda lakukan di kotak review.

-oOo-

Collaboration with Raito Kunazawa.

-oOo-

Summary : Kecantikan hakiki ada di dalam hati, bukan pada wajah ataupun bentuk tubuh yang indah. Ino yang semula gendut dan dicemooh oleh banyak pemuda berubah menjadi primadona yang diincar oleh para pemuda —sebelum dirinya berakhir dipersunting oleh seorang pria abdi negara —Gaara. Sebagai sahabat karib, Naruto merasa sangat kehilangan, namun akhirnya sang waktu menunjukkan bahwa persahabatan mereka adalah hal terbaik yang pernah mereka miliki.

-Sang Angsa Emas-

"Stop! Stop di sini." Aku menolehkan wajahku ketika mendengar seruan seorang gadis yang berada di sebelahku.

Dengan wajah berbinar cerah, gadis bermahkota pirang itu menepuk-nepuk lenganku agar segera menepikan mobil yang saat ini sedang kami naiki. Sepintas dia terlihat seperti seorang anak-anak yang baru diberi mainan kesukaannya.

Tersenyum kecil, kuputar setir mobilku —menepi dan berhenti di pinggir. Entah apa yang terjadi padaku, aku pun tak tahu. Yang kutahu hanyalah ada dorongan dalam tubuhku untuk mengikuti kemauan gadis berwajah rupawan itu.

Ino membuka pintu mobil dengan semangat —tanpa menungguku yang sedang mematikan mesin mobil, dia segera berlari keluar mobil, meninggalkan diriku yang menggeleng pelan melihat kelakuannya.

Perlahan, aku melangkahkan kakiku guna mencari eksistensi si gadis pirang —dan aku berhasil menemukan sosoknya di balik deretan pepohonan yang berdiri dengan kokoh menantang langit.

Gadis itu berputar, melompat dan berlari kecil sambil tertawa-tawa —mirip film bollywood yang biasa disiarkan TV swasta, pikirku.

Geli, kuikuti langkahnya dengan santai menuju ke tengah hutan. Saat kulihat dia berhenti dan berjongkok di depan sebuah batang pohon mati setinggi dua puluh meter, aku turut menghentikan langkahku. Pohon itu kering dan menghitam —mungkin telah lama tumbang dan membusuk.

"Naruto, kemari! Ayo kesini!" panggilnya ceria. Ia melambaikan sebelah tangannya dengan anggun.

Bergegas, kuhampiri Ino yang masih menatapku dengan mata berbinar cerah —saat jarakku sudah lumayan dekat, Ino segera meraih pergelangan tanganku —memaksaku untuk berjongkok di sebelahnya.

"Lihat," ucapnya lirih, "di tengah batang pohon itu."

Kupicingkan mataku, dan sebuah senyum berhasil meretas di bibirku saat kulihat sebuah tunas tanaman berdaun empat yang tumbuh di tengah batang pohon mati itu.

Aku sedikit terkejut saat kurasakan kepala Ino bersender di bahuku. Lengan mungilnya menyusup di sela-sela lenganku —merangkulku dengan lembut.

"Apa kau ingat? Dulu kau pernah bilang kalau di dunia ini ada sesuatu yang bisa hidup dari kematian?" Aku kembali tercekat, tak kusangka Ino masih mengingat ucapanku itu.

"Ino ..." bisikku, memanggil namanya. Sedikit rasa haru merebak dengan mudahnya —tak bisa kusembunyikan barang sedikitpun. Dan sialnya itu tersirat jelas dalam nada suaraku.

"Dasar sok melankolis." Mendadak Ino terkekeh, ia melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri dengan perlahan.

Sesaat kemudian, ia sudah berlarian lagi kesana-kemari dengan lincahnya. Tanpa aba-aba, Ino membalikkan tubuhnya menghadapku yang masih berjongkok di depan pohon mati sambil menatapnya berlarian —mata birunya mengerling dengan nakal.

"Hey, Naruto!" serunya, "Kamu masih ingat danau kecil tempat pertama kali kita berciuman? Di bibir?" Aku tertawa dan mengangguk. Tanpa menungguku berdiri, Ino sudah berlari menjauh.

Aku tak perlu buru-buru, aku sudah tahu ke mana gadis itu pergi.

'Itu bukan danau.' bisikku dalam hati. Itu hanyalah sebuah rawa payau.

Ah, romantisme dan imajinasi masa muda memang mengerikan. Kedua hal itu memang mampu membuat segalanya yang buruk tampak indah.

-Sang Angsa Emas-

10 years ago...

Tempat yang sama. Dua anak manusia yang sama. Dalam suasana yang berbeda.

Langit tampak suram hari ini, tak ada lagi sang surya yang dengan semangat membagikan kehangatan sinarnya. Hawa dingin, angin berhembus kencang, awan-awan gelap nampak berarak dengan malas, mendung.

Hari ini mendung, semendung hati pemuda belasan tahun yang baru pertama kali mengecap pahitnya pengkhianatan. Ya, itulah aku —sosok yang pathetic kala itu, menganggap semua yang ada di dunia ini sebagai satu kesialan.

Saat itu, aku tak bisa menyalahkan keperihan yang datang. Bagaimana tidak? Aku yang sekarang berada di tengah hutan sambil merentangkan kedua tanganku lebar-lebar, menengadah sambil memejamkan mata ke arah langit adalah orang yang sama dengan orang yang sehari sebelumnya percaya bahwa cinta sejati itu benar-benar ada.

Aku selalu percaya itu —setidaknya sampai aku menemukan seorang pemuda dengan kaos dalam dan celana pendek itu di dalam kamarnya. Bekas-bekas kemerahan hasil dari kecupan panas di leher —yang biasanya kutemukan di leherku sendiri, kini kulihat berada di leher pemuda itu.

Menyedihkan, sangat menyedihkan —saat di mana aku menoleh dan melihat wanitaku berada dalam pelukannya. Aku terkejut, namun wanitaku tak kalah terkejutnya denganku.

Aku masih terpaku saat dia telah berhasil menaklukkan dirinya. Dia tak berucap banyak kecuali sepatah kata berucap permintaan maaf.

Kecewa, marah, dan sakit hati membuatku segera melangkahkan kakiku dari tempat itu tanpa menjawab pertanyaan dari -mantan- kekasihku.

Ino adalah tempat yang kutuju saat itu, hanya dia yang akan mengerti bagaimana perasaanku kali ini. Aku bisa dengan bebas mencurahkan perasaanku tanpa takut akan ditertawakan.

Aku menatap langit, beribu pertanyaan yang berada di benakku kuajukan ke langit saat itu.

'Apa cinta hanya akan membawa kesengsaraan? Ataukah kesengsaraan itu sendiri adalah bagian dari penguatan sebuah cinta yang harus dihadapi, disabari, dimengerti dan dikomunikasikan untuk pencapaian kata sepakat demi kelangsungan sang cinta?'

"Bullshit! Cinta itu hanyalah kesedihan, isak tangis, dan kesengsaraan yang menimbulkan rasa sakit!"

"—dia yang bodoh tidak bisa melihat ketulusanmu, Naru. Lupakan dia, dia tak pantas mendapatkan cintamu." Kata-kata itulah nasihat terbaik dari bibir Ino saat aku telah selesai mengungkapkan kekesalanku pada penghianatan -mantan- kekasihku.

Ino adalah sahabatku, rumahnya yang dekat dengan rumahku turut merekatkan persahabatan kami. Dia adalah orang yang selalu bersedia berbagi suka duka denganku —bahkan sejak kami masih kanak-kanak.

Dulu, masih teringat jelas di otakku di mana kami berdua sama-sama berperan sebagai 'Anak Itik Buruk Rupa' di sekolah. Cemooh, sindiran, dan tatapan sinis adalah makanan sehari-hari yang kami terima. Awalnya memang tidak nyaman —tapi akhirnya kami berdua tidak lagi memusingkannya dan menghadapinya dengan canda tawa.

Ya, hanya berdua. Kalian tanya kenapa? Tentu saja karena tidak ada anak yang mau berteman denganku ataupun dengan Ino. Mereka hanya tertawa mengejek saat melihat kami berjalan berdua, bercanda di sudut kantin ataupun berboncengan dengan sepeda waktu pulang.

Mereka bilang kami adalah pasangan yang 'cocok'. Aku tahu jika itu adalah sebuah sindiran —tapi seperti yang kukatakan tadi, aku dan Ino tidak ambil pusing, toh ucapan mereka itu salah, karena kami bukanlah pasangan kekasih melainkan hanya sepasang sahabat. Sahabat sejati.

Bahkan saat aku menyadari seberapa pentingnya fisik dan kekayaan untuk dapat diterima dalam pergaulan level atas —terima kasih banyak pada seorang gadis yang menolakku —ah, mungkin bisa dibilang menghinaku, yang kemudian menjadi cambuk yang mampu mengubah segalanya tentang diriku ke arah yang lebih sempurna, Ino masih tetap berada di sisiku.

Ialah orang yang menyaksikan segala prosesi perubahan Anak Itik menjadi Angsa Emas di diriku. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana 'sosok-sosok penting' satu demi satu berjatuhan di kakiku, berlutut dan memohon diriku untuk masuk ke dalam lingkungan mereka.

Gadis-gadis yang kemudian menyebutku sambil memutar mata dan menyatukan jemari di depan dada —dan bagaimana kemudian aku mempermainkan mereka dengan mudah. Menikmati tubuh mereka dan mencampakkannya dalam isak tangis setelahnya. Ino hanya tertawa saat menyaksikan kejadian itu, saat gadis-gadis dengan wajah sendu dan penuh penderitaan mengemis sepotong cinta padaku.

"Kau memang benar-benar luar biasa." Itu yang dikatakannya padaku. Aku sadar jika sebuah perubahan yang luar biasa telah terjadi di diriku saat itu.

Dan sebuah kesadaran pula yang menamparku bahwa lingkungan baruku tak akan pernah bisa menerima sosok Ino di dalam lingkaran mereka.

"Sampah!"

"Jelek!"

"Buruk!"

"Gendut!"

Ino yang sadar jika dirinya tidak akan diterima di lingkungan baruku perlahan menyingkir dari kehidupanku, membuatku merasa kehilangan sesuatu yang penting saat itu.

Persahabatan kami.

Mengabaikan kekecewaan yang tumbuh di hati teman-teman baruku —aku kembali merengkuh Ino masuk ke dalam hidupku.

Saat itu Ino hanya tersenyum dan bertanya, "Apa kau tak malu kelihatan jalan denganku?"

"Enggak, karena aku sadar kalau persahabatan kita lebih penting daripada segalanya." Tawa Ino merupakan sebuah janji tak tertulis yang mengikat kami semakin erat dalam ikatan persahabatan yang akan kekal selamanya.

Meskipun kini aku sudah berubah menjadi seekor angsa emas dan Ino masih seekor anak itik buruk rupa, aku tak peduli.

Di tengah kemelut kehidupan yang menghidangkan rasa sakit di hidup kami, kami selalu menyediakan tempat di hati masing-masing untuk sekedar menampung keluh kesah dan penghiburan.

Semua itu makin terlihat nyata ketika kakakku pergi dari rumah bersama pasangan lesbinya, saat ayah dan ibuku memutuskan jarak dua ribu kilo untuk menemukan perasaan berkeluarga yang nyaris lenyap —Ino tetap berada di sisiku, menghibur dan mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.

Begitu pula peranku terhadap Ino, saat ayah dan adik laki-lakinya tewas dalam sebuah kecelakaan kereta api beberapa tahun silam —aku selalu ada di sampingnya, saat beberapa pemuda mencemoohnya karena kondisi fisiknya —aku akan dengan senang hati menyediakan dadaku untuk tangisnya, mengusap lembut rambutnya dan mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.

Kami tetap berperan sebagai sepasang sahabat yang saling melengkapi sampai saat itu tiba, saat di mana aku mengenal cintaku. Cinta yang untuk selanjutnya akan kupandang dengan sebelah mata, dengan cibiran di bibir dan dihiasi dengan kata-kata kotor.

Saat itu tiba, Ino lenyap begitu saja dari kehidupanku. Itu bukan salahnya, aku yang menjauh —saat aku menyadari bahwa cintaku membutuhkan lebih banyak perhatian dari sekedar menghabiskan waktu bersama Ino.

Ino memang sahabat terbaikku, saat aku menyadari cintaku menyita perhatianku dia tidak lagi menghubungiku. Tak ada lagi obrolan lewat tengah malam, tak ada lagi pembicaraan tentang gadis-gadis bodoh dan gosip-gosip selebritis sekolah yang sangat digemari Ino.

Dan bodohnya, saat itu aku benar-benar merasa bahwa menjauhnya kami adalah sebuah kewajaran. Bagaimana tidak? Aku sudah punya seorang kekasih yang bisa mendengarkan semua keluhanku —bahkan lebih dari apa yang bisa ditampung oleh Ino.

Kekasihku memelukku, mencumbuku, dan entah bagaimana semua permasalahan itu segera terselesaikan. Ino tak menyediakan semua hal itu —aku memang takkan pernah meminta bahkan berharap darinya.

Dua tahun lamanya aku hidup tanpa bayangan Ino. Mencari penyelesaian setiap permasalahanku dari pemikiranku maupun kekasihku. Hanya kami berdua —tak ada orang lain. Tak ada ayah, ibu, dan tak ada Ino.

Semua permasalahan selama itu mungkin bisa kutanggung, aku bisa memikirkannya dengan kepala dingin —tapi tidak dengan permasalahanku kali ini.

Aku tak bisa.

Aku tak bisa menanggungnya sendiri dan mencari solusinya dengan kepala dingin.

Seluruh hatiku terbakar, perasaanku remuk tak bersisa menghadapi permasalahan ini.

Aku tak mengerti. Aku tak paham kenapa kekasihku bisa tega menghinatiku.

Apa ini yang disebut karma?

Don't make me laugh! Aku tak percaya karma itu ada.

Aku sakit, dan aku bersumpah jika kesakitan ini akan kubalas dengan kesakitan yang lebih parah padanya. Aku tak peduli sekalipun dia akan memohon maaf hingga mencium kakiku —aku tak peduli. Karena rasa sakit ini pasti akan kubalaskan.

Saat itu permata biruku kembali menemukan eksistensi Ino di dalam hidupku.

Sebut aku jahat, brengsek, bajingan. Terserah. Tapi aku menginginkan sahabatku kembali. Dan ucapanku adalah perintah mutlak di hidupku.

Aku melihatnya, sahabatku kini tengah menikmati sejuknya desiran angin dengan mata tertutup dan kedua tangan membentang lebar —seolah dia adalah seekor burung yang hendak mengepakkan sayapnya mengarungi langit. Pepohonan di belakangnya seolah menjadi bingkai tersendiri yang menyejukkan mataku ketika melihat sosoknya.

Berapa lama?

Sudah berapa lama aku membuang sahabatku? Kenapa aku bodoh sekali?! Kenapa sosoknya kini terasa sangat kurindukan? Dan kenapa banyak sekali kata 'kenapa' yang keluar dari benakku saat ini?

"Aku tahu aku tak pantas dimaafkan. Tapi aku mohon maafkan lah aku, Ino. Aku rindu pelukanmu, aku rindu segalanya tentang kita." Ino tersenyum dan lekas memelukku dengan erat di pinggir sebuah rawa payau yang menghijau karena lumut dan ditumbuhi eceng gondok di sekelilingnya.

Pelukan Ino semakin mengerat —dagunya ia tumpukan di bahuku. Aku terenyuh, tersentuh dengan kebaikan hati milik sahabat pirangku ini.

Aku merengkuhnya —memeluknya seerat yang kubisa. Aku lemah, aku remuk dan butuh sandaran —dan aku senang Ino mengerti jika aku sedang berada di titik terbawah di hidupku.

Saat itulah aku menangis untuk pertama kalinya sebagai seorang pria yang patah hati —bukan tangis sesenggukan, tentu saja. Hanya ada tetes-tetes air mata yang mengalir dari pelupuk mataku dalam diam.

Aku bersyukur Ino tidak menganggap itu sebagai suatu hal yang memalukan,bahkan ia berkata, "Menangislah kalau itu perlu. Karena menangis akan membuat beban di hati terasa lebih ringan."

Kata-kata, belaian, dan embusan napasnya di bahuku membuat aku menarik tubuhku dari pelukannya. Kornea mataku menatap lurus mata biru milik Ino yang penuh dengan tatapan kasih sayang, sebuah ikatan persahabatan tumbuh dengan kokoh di dalam dirinya —terlihat jelas oleh pandangan matanya yang menatapku lembut.

Aku tercekat, tidak tahu harus bagaimana aku berterima kasih pada sahabatku ini —yang aku tahu aku hanya mengecup bibirnya singkat dan berbisik pelan sebelum membawanya kembali dalam rengkuhan lenganku,

"Hidupku akan dimulai dalam kematian hati."

-To be continue-

.

"Seperti apapun keadaanmu, baik saat kau sukses maupun terpuruk, jangan pernah tinggalkan sahabatmu hanya karena sebuah hal semu." —Raito Kunazawa.

.

Aloha readers~ jumpa lagi dengan Miyu dan Raito-nii~ ini adalah fanfic kolaborasi kami yang kedua setelah Ai to Uragiri.

Gimana fanfic-nya? Maaf ya kalau konfliknya masih kabur~ maklum, ini kan masih prolog~

So? Next or delete?

Regards,

Nakazawa Miyuki & Raito Kunazawa.