Disclaimer: All characters belong to Makoto Shinkai. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: modified canon-sett, miss-typo(s), and other stuffs.

Note: akhirnya. AKHIRNYA. kesampean juga nyumbang di sini meski cuma drebel maso ;p yah, because takaki-akari adalah ultimate beautiful angst versi saya.


and you'll be my dream

.

Mimpi musim dingin itu datang lagi.

Langkah gegas di antara peron yang mendingin, announcer kereta yang tak berhenti memberitahukan keterlambatan jadwal, embus angin, tumpukan salju, putih, dingin, dingin, dingin.

Takaki terbangun dengan napas yang mengempas. Keringat di kening dan kekosongan di sekitar. Matanya menelisik kepada sekitar kamar, dan, lagi-lagi, ia hanya mendapatkan kekosongan itu. Ditambah kaleng-kaleng bekas alkohol, dan berpuntung-puntung rokok di dalam asbak.

Mimpinya menendangnya hingga ke dasar, lagi. Ia menemukan dirinya terjatuh hingga tak bisa bangun dengan mudah. Bertahun-tahun, hingga usianya dewasa dan segala yang ia inginkan telah tercapai, ketika Takaki memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang lama dan membuat pekerjaan sendiri dengan program-program di balik layar, di balik hitam dan cahaya bintang, mesin penembus langit, serupa cosmonaut, tapi ia bukan.

Mimpinya masih sama.

Hadir di antara salju dan deringan stasiun kereta. Ada hangat-hangat yang sedikit tersisa, untuk kemudian mengingatkannya kepada satu-satunya pertemuan paling membahagiakan, di larut malam setelah penantian panjang, bekal-bekal yang mendingin, dan ciuman. Ciuman polos khas anak kecil yang bahkan tak pernah ia ingat bagaimana rasanya selain kehangatan yang menelusup melalui rongga dada. Selain itu, Takaki tak merasakan apa-apa lagi.

Bayang-bayang itu selalu datang. Bagi Takaki, semuanya seperti asap infiniti yang tak akan hilang bahkan setelah ia tiup. Dia yang tersenyum, memberi genggaman hangat, suara yang mendamba. Dia yang mengajarkan Takaki sebuah pertalian, di mana relasi antarmanusia dapat begitu menyenangkan. Dia yang berkata lima sentimeter perdetik, kecepatan jatuhnya bunga sakura dari tangkainya.

Dia yang mengingatkannya akan lima sentimeter perdetik yang lain.

Bahwa jarak mereka akan semakin jauh, sepanjang lima sentimeter perdetiknya.

Dan ia sudah terlampau lama hidup dalam jutaan detik yang meretas jarak itu. Hingga rasanya, jarak itu tak lagi terlihat, tak lagi tergapai. Tak ada lagi.

Bagaimana cara menggapainya lagi?

Takaki menghabiskan waktunya untuk berstagnasi, merajut mimpi lagi, mimpi yang tak akan pernah tergapai. Hanya kepada mimpi ia dapat melihatnya, bertemu dengannya, dengan sambangan satu senyum dan satu kecup yang familier. Jika memang harus begitu, maka Takaki tak akan pernah lelah bermimpi. Ia akan mengganti apa pun di seluruh hidupnya hanya untuk bertemu mimpinya, di malam hari, di larut-larut pagi.

Bahwa, sejauh apa pun ia melangkah, dengan kaki-kaki jenjang yang menjanjikan, Takaki tak akan pernah sampai pada tujuannya. Jarak tak akan berdamai padanya. Mimpi tak akan pernah menjadi kenyataan. Meski kepastian tak akan pernah ia raih, jauh jauh jauh di sana seseorang tak lagi menunggunya, tak apa. Sudah cukup, dengan satu mimpi. Takaki tak akan meminta lebih.

Ia tak akan pernah meminta mimpi yang lain.

Hanya.

Satu nama.

Akari.

Selalu Akari.


Malam itu, Takaki bermimpi lagi.

"Takaki-kun, apa kabar? Aku merindukanmu."

Takaki bangun di antara deru napas yang menderu, sambaran resonansi khas rintikan hujan yang turun. Dan aroma petrikor.

Ia menatap sekitar dan menemukan kekosongan seperti biasa.

Tapi,

Aku merindukanmu.

Takaki memejamkan mata. Merasakan hangat yang tersisa.

Ia mendapat balasan rindunya.

.

.

(end.)