Yo minna! Gak mau basa-basi dulu, langsung baca aja!
Enjoy it...
.
.
Disclaimer : Togashi Yoshihiro
Title : Lovely Doctor
Story by : Natsu Hiru Chan
Genre : Romance... itu aja kali yeee?
Rated : K+ -T
Pairing : Kuroro nii-kun just for Kurapika nee-chan
WARNING(S) : AU, OOC, Kurapika adult version, Abal, GaJe, norak, jelek, lebay, ancur, L4y, dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, hipotensi dan gangguan kehamilan dan janin!
Summary : Ia hanyalah dokter biasa, yang mementingkan nyawa pasien lebih dari apapun. Hidupnya tenang-tenang saja, meski sedikit berantakan. Namun kehadiran seorang Kuroro Lucifer, merubah segalanya...
.
.
.
Don't like, don't read! XP
.
Chapter 1 : Dokter Kurapika
.
"Ingat! Jangan lupa minum obatmu setelah makan Gon! Kalau tidak kau akan semakin lama keluar dari rumah sakit ini!" ucap seorang wanita pirang, dengan jas rumah sakit sambil tersenyum ramah.
"Tidak apa-apa kok! Yang penting aku bisa bertemu dengan Onee-san setiap harinya!"
Wanita, yang lebih terlihat seperti seorang gadis itu hanya tersenyum manis. Ia lalu mengusap lembut puncak kepala bocah yang sedang terduduk di atas ranjang rumah sakit itu.
"Kau menyukaiku, Gon?" tanya sang dokter wanita.
"Iyah! Aku ingin sekali memiliki kakak seperti Kurapika nee-san! Cantik, baik, dokter yang hebat pula!" ucap Gon tersipu malu.
Sekali lagi si dokter hanya tersenyum manis. "Kalau begitu aku pergi dulu yah! Jangan lupa untuk tidur tepat waktu malam ini!" ucapnya seraya meninggalkan tempat itu, meninggalkan kamar VIP, yang dihuni oleh seorang bocah jabrik hitam.
Blam...
Dokter cantik itu menutup pintu kamar Gon dengan perlahan, lalu menghela nafas panjang. Terlihat raut kelelahan di wajah cantiknya. Matanya terasa berat. Rasanya ia ingin sekali beristirahat, walau hanya lima menit saja. Ia tahu kesehatannya sebagai seorang dokter memang sangat penting, tapi pasien-pasien lain sudah menunggu untuk dikunjungi, agar bisa diperiksa olehnya. Seperti slogan-slogan yang dipegang teguh oleh dokter pada umumnya, 'Kesehatan Pasien Jauh Lebih penting Dari Apapun.'
Maka gadis itu pun memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. 'Baiklah Kurapika! Kembali bekerja!' batinnya seraya kembali menyusuri koridor-koridor rumah sakit, hendak memeriksa pasien-pasien yang sedang di rawat inap.
Gadis yang bernama Kurapika Kuruta itu adalah salah seorang dokter yang ada di Rumah Sakit Umum Hunter, yang didirikan oleh Netero, kakeknya sendiri. Kurapika berbeda dari dokter wanita lainnya. Ia lebih senang memakai celana, dibandingkan dengan rok-rok mini yang dipakai para dokter wanita pada umumnya. Rambut pirangnya pun ia biarkan pendek begitu saja, dengan satu alasan. Ia malas untuk menjepit, menyisir, dan mengurusnya. Menurutnya rambut pendek jauh lebih efesien dan tidak merepotkan.
Harusnya Shift malam kali ini dilakukan oleh tiga orang, yaitu Dokter Shizuku, dan Dokter Machi. Namun Machi ada urusan mendadak, hingga ia harus meninggalkan Kurapika dan Shizuku. Sedangkan Shizuku sudah terlelap ke alam mimpinya. Kurapika menolak untuk tidur, sebelum ia memeriksa seluruh keadaan pasien di ruangan A kali ini. Yah, setiap harinya ia harus menjadi sukarelawan, untuk mengunjungi para pasien. Tak heran, semua orang kagum padanya.
Bekerja dari pagi, hingga sore, nonstop, dan pada malam harinya ia harus mengurusi pasien lain. Bisa kita bayangkan bagaimana lelahnya Kurapika saat ini.
Kurapika melirik jam dinding yang tertempel pada dinding putih rumah sakit. Jarum panjangnya menunjuk pada angka 4, sedangkan jarum pendeknya sudah menunjuk pada angka 12. Singkatnya saja saat ini jam itu menunjukkan pukul 00.20 tengah malam.
Kurapika mengucek-ucek matanya, merasakan kantuk menyelimuti kepalanya. Setelah melakukan pemeriksaan, Kurapika pun menuju kamar khusus untuk dokter penjaga, agar ia bisa tidur dengan tenang.
.
~LOVELY DOCTOR~
.
"Kudengar dari suster-suster, akhir-akhir ini kau semakin sibuk saja, Kurapika?" tanya sorang pria berseragam dokter, dengan kacamata bundar, di sebuah ruangan yang bertuliskan Ruang Kepala.
"Hmmm... yah, pasien akhir-akhir ini semakin bertambah saja! Jadi... tentu saja kita para dokter dibuat sibuk!" komentar Kurapika, saat ini duduk di depan meja Sang Kepala Rumah Sakit, yang kita ketahui bernama Leorio, kakak kandung Kurapika sendiri.
"Kau adalah dokter utama di ruangan satu. Dan menurutku, kau terlalu memanjakan anak buahmu! Bisa-bisa kau sendiri yang terkena penyakit Kurapika!"
Kurapika memutar bola matanya malas. "Aku baik-baik saja, Leorio! Dan menurutku... para suster dan dokter di ruanganku sudah bekerja dengan baik!" elaknya. "Kau tak perlu khawatir!"
"Hhhh..." Leorio menghela nafasnya. Ia tak tahu mengapa adiknya yang satu ini begitu keras kepala? "Kalau begitu... kita bisa mencari solusi lain!"
Untuk yang kedua kalinya, Kurapika memutar bola matanya. "Solusi bagaimana lagi? Aku sudah puas dengan pekerjaanku sekarang!"
"Kuharap untuk kali ini kau mau mendengarkan perkataan kakakmu ini! atau lebih tepatnya... kau harus mendengarkan perintah atasanmu, Nona Kuruta..."
Kurapika mendengus kesal. Setiap ada perdebatan begini, Leorio pasti mempertanyakan tentang jabatan mereka masing-masing. Kurapika dulu sebenarnya pernah bersaing dengan Leorio, untuk mengambil gelar Kepala Rumah Sakit, yang diberikan oleh kakek mereka. Dan diketahui, bahwa sebenarnya, Kurapika lebih cerdas dibanding Leorio. Namun sikap tak mau ambil pusing dari Kurapika, membuat gadis itu lebih memilih untuk menjadi Dokter utama di ruangan A. Itu sudah lebih dari cukup baginya.
"Baiklah TUAN KEPALA RUMAH SAKIT!" kesal Kurapika.
Leorio tersenyum puas. Ia lalu menyandarkan dagunya, pada tangannya yang bagian sikunya ia tumpukan di atas meja. Kurapika hanya menyandarkan punggungnya di kursi, siap mendengar ide Leorio, yang ia yakini akan menjadi ide buruk itu.
"Kurapika..." ucap Leorio serius.
"Hn?"
"Aku punya kenalan... ia adalah temanku saat kuliah di Universitas Kedokteran! Kemampuan dan kecerdasannya luar biasa! Dulu dia selalu mendapat peringkat teratas. Dan saat ini... ia bagaiakan barang lelangan! Banyak rumah sakit yang menginginkan dia untuk bekerja di sana!"
Kurapika mulai merasa ada keganjalan dari bicara Leorio. Firasat buruk menghantuinya. "Tunggu dulu! Apa maksudmu?" tanya Kurapika langsung berdiri dari kursinya, hendak protes.
"Dengarkan dulu perkataanku, Kurapikaaa!" Leorio mulai kesal juga dengan sikap adiknya ini.
Kurapika pun kembali duduk, siap mendengarkan usulan Leorio. Sebenarnya ia sudah bisa menebak, apa yang dipikirkan oleh kakaknya ini.
"Baru-baru ini aku bertemu dengannya di sebuah restaurant. Aku mengajaknya... untuk mencoba bekerja di Rumah Sakit ini..."
BRAK!
Meja kerja Leorio hampir saja hancur, akibat gebrakan Kurapika. Leorio tentu saja kaget setengah mati. "JADI KAU PIKIR TEMAN LAMAMU ITU AKAN MENGGANTIKAN POSISIKU? YANG BENAR SAJA! TIDAK TERIMA KASIH! POSISI SEBAGAI DOKTER UTAMA DI RUANGAN A ADALAH HASIL JERIH PAYAHKU! TAK MUNGKIN KUSERAHKAN BEGITU SAJA HANYA KARENA AKU SEMAKIN SIBUK SAJA!" bentak Kurapika emosi. Suster-suster yang ada di luar sampai menyempatkan diri itu menguping, pembicaraan kakak beradik yang ada di ruangan itu.
"D—dengarkan aku dulu!" ucap Leorio mulai gemetaran. "Aku tidak bilang untuk menggantikan posisimu kok!
Kurapika mulai megatur emosinya. Ia lalu kembali duduk, sambil melipat kedua tangannya di dadanya. "Kalau begitu apa?"
"Aku harap... kalian berdua bisa menjadi partner yang baik..."
BRAAAKKKKKK!
Gebrakan Kurapika jauh lebih keras dari sebelumnya, membuat dokumen-dokumen Leorio harus bertebarangan, kopinya harus tumpah, sarta terlihat sedikit retakan dari mejanya.
"TIDAK MUNGKIN! Aku tidak mau!" tolak Kurapika mentah-mentah.
"Jadi mau bagaimana? Kau jangan egois Kurapika! Ini juga demi kebaikanmu!"
"Kubilang aku tidak mau! Selamat tinggal!"
"Kau itu benar-benar mirip ayah yang egois begitu!"
Kurapika bungkam. Ia teringat, akan ayahnya yang meninggalakannya sewaktu ia masih kelas 1 SD, saat itu pula ibunya sudah sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal saat Kurapika naik kelas 4.
Sewaktu itu, penyakit ibu Kurapika dan Leorio sangatlah parah, dan tak ada obatnya. Hanya tinggal menunggu, kapan ajal menjemputnya. Kenyataan yang pahit itulah, yang mendorong Leorio dan Kurapika menjadi seorang dokter. Meski hubungan mereka berdua sangatlah buruk, namun mereka sebenarnya saling menyayangi.
Kurapika menunduk, teringat akan masa lalunya. Ia lalu berjalan dengan gontai, menuju pintu rumah sakit.
Ceklek...
Baru saja ia memegang knop pintu, Kurapika lalu berbalik, menatap Leorio dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Beri aku waktu untuk memikirkannya!" ucapnya datar.
"Dia akan datang besok!" sahut Leorio, tak kalah datarnya, disusul oleh suara pintu yang tertutup oleh Kurapika.
Blamm!
Kurapika menutup pintu itu dari luar, dan mendapati para Suster berkumpul di sana, dengan raut wajah khawatir.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Kurapika.
"T—tidak! Kami tak sengaja lewat, dan mendengar pembicaraan Dokter dan Tuan Leorio..." ucap seorang suster gugup.
"Hhhhh..." Kurapika menghela nafas. "Kalian tidak usah memikirkan itu! Lebih baik kalian bekerja sebaik-baiknya. Jangan biarkan para pasien terganggu dengan kejadian ini. Mengerti?" ujar Kurapika seraya meninggalkan para suster itu.
"Ternyata benar yah, gosip yang beredar itu..." bisik salah seorang suster.
"Gosip apa?" sahut suster yang lain.
"Dokter Kurapika Kuruta... Dokter utama dari ruangan A itu katanya berkepribadian ganda! Jika ia bertemu dengan kepala rumah sakit, dia langsung saja jadi galak! Jika berurusan dengan Sesama rekan dokternya, ia pasti akan bersikap santai, namun jika bertemu dengan para suster, ia akan bersikap tegas dan didiplin! Tapi... yang paling mencolok adalah, ketika dia... bertemu dengan orang sakit!"
"Ah benar juga!"
"Ketika bertemu dengan orang sakit... Dokter Kurapika akan memiliki sifat layaknya seorang malaikat tanpa sayap..." gumam seorang suster, menatap kagum Kurapika yang saat ini sedang menghibur salah satu paisen bayi yang ada di rumah sakit itu.
.
.
Kurapika berjalan mengelilingi perpustakaan yang cukup besar, yang ada di pedalaman kota. Yah, sekarang adalah jam makan siangnya. Setelah makan siang, Kurapika masih memiliki sisa waktu lima belas menit. Jadi ia memutuskan untuk pergi mengunjungi perpustakaan. Kebetulan, restaurant tempatnya makan siang, berdampingan dengan perpustakaan itu.
Memang limabelas menit tak cukup untuknya. Jadi ia memutuskan untuk mencari buku lain, untuk dipinjam dan dibaca di rumah saja.
Perpustakaan itu cukup sepi, karena semua orang sedang makan siang hari ini. hanya ada beberapa orang yang sedang berkeliling, maupun sedang membaca.
Gadis itu tak menggunakan jas dokternya. Ia hanya mengunakan kemeja biru, dan celana putih. Poni pirangnya di jepit ke belakang, membuatnya terlihat manis. Baunya yang tercium seperti aroma teh, tersamarkan oleh bau bahan kimia, maupun obat-obatan. Siapa pun yang lewat, maupun berpapasan dengan gadis itu pasti akan langsung berpikir bahwa Kurapika adalah seorang dokter, meski tanpa jas dan stetoskopnya.
Mata sapphirenya langsung tertuju pada sebuah buku tebal bersampul hijau, yang ada di salah satu rak. Ia pun tertarik, dan berjalan hendak mengambil buku itu.
Kurapika berusaha berjinjit meninggikan tubuhnya, hendak meraih buku tersebut. Sayangnya tubuhnya kurang tinggi, untuk meraih buku yang berada di rak paling atas itu.
Kekesalan mulai menghantui gadis yang pada dasarnya memiliki emosional yang tinggi itu. Kurapika semakin berusaha untuk meraihnya, sayang hasilnya nihil.
Senyuman mengembang di wajahnya, ketika jemarinya yang lentik berhasil menyentuh buku itu.
Tiba-tiba langsung saja ada tangan yang kekar, memegang buku itu, dan mengambilnya, sebelum Kurapika mendapatkannya. Gadis itu langsung mendelik ke belakang.
"Hei! Aku mau meminjam buku itu!" protesnya seraya berbalik.
Dilihatnya seorang pemuda berambut hitam, dengan mata hitam bagaikan kegelapan malam, memegang buku itu dan menatapnya datar. Penampilan orang itu biasa saja, hanya mengenakan t-shirt biru, dan jeans hitam. Rambutnya yang berkilauan itu agak berantakan, dan dahinya ditutupi oleh perban putih. Mungkinkah pemuda itu sedang terluka pada bagian dahinya? Pikir Kurapika.
"Tapi aku yang mendapatkannya duluan," ujar pemuda itu tersenyum renyah.
"Tapi aku yang menemukannya duluan, dan kau langsung mengambilnya!"
"Nyatanya, sekarang buku ini ada di tanganku!"
Kurapika mulai panas, dengan sikap pemuda itu. "Kau itu laki-laki! Harusnya kau malu, tuan!"
"Kenapa aku harus malu, jika aku laki-laki?" balas pemuda itu santai.
"Kau semestinya mengalah! Selain itu aku jarang sekali bisa ke sini!"
"Kenapa aku harus mengalah pada gadis kecil sepertimu?"
Wajah Kurapika memanas. Gadis kecil? Gadis kecil? "GADIS KECIIIIILLL!" pekiknya tak sanggup menahan emosinya. Kuarpika langsung tersadar dari teriakannya. Untungnya di sana tak ada orang-orang, sehingga harga dirinya masih bisa diselamatkan.
"Hhhh... satu... dua, tiga, empat..." gadis itu mencoba untuk menenangkan diri. "Dengar yah Tuan! Aku ini sudah menginjak usia 21 tahun!" tegas Kurapika.
Pemuda itu tertawa kecil, membuat Kurapika makin naik pitam saja. "Kalau begitu, bagaimana jika aku memanggilmu Nona manis?"
'KYAAAAAAA!' teriak Kurapika dalam hati. Rasanya ia ingin sekali mencabik-cabik pemuda itu, mencabuti rambutnya satu persatu hingga habis, dan membuangnya ke danau buaya, saking kesalnya.
"Tuan, cepat serahkan buku itu! Aku sedang buru-buru!"
Pemuda itu tersenyum meremehkan. "Aku menginginkan buku ini! kau juga menginginkannya! Bagaimana kalau kita membacanya bersama?" sarannya.
'Seratus dua, seratus tiga, seratus empat...' hitungan Kurapika telah mencapai ratusan, menahan amarahnya. "Tidak, terima kasih! Saat ini aku tak punya waktu! Dan meskipun aku mempunyai waktu seabad, aku tak akan sudi untuk membaca buku bersamamu, Tuan!"
Pemuda itu terdiam. Kurapika berharap, pemuda itu akan berbaik hati untuk memberikan buku itu padanya. Pasalnya buku bersampul yang memiliki tulisan 'The End Of History' itu benar-benar jarang! Di toko buku, maupun di perpustakaan manapun. Jadi Kurapika tak ingin melewatkan kesempatan emas, untuk membaca buku itu.
"Kau seorang dokter ya?" tanya pemuda itu, dengan wajah tanpa dosa.
"YA! AKU SEORANG DOKTER! SEKARANG BERIKAN BUKU ITU JIKA TIDAK AKU AKAN MENGAMBILNYA DENGAN PAKSA!" bentak Kurapika emosi. Kenapa pemuda yang satu ini begitu senang mengganggunya?
Kurapika tak main-main dengan ucapannya. Sebenarnya ketika SMP ia pernah menjadi ketua klub karate di sekolahnya, dan di SMU ia menjadi ketua klub Kempo. Dan ia, sudah mendapatkan sabuk hitam, ketika ia kelas dua SMP.
Pemuda itu malah menyeringai. "Baiklah..." ucapnya, sukses menyapu SEDIKIT emosi di hati Kurapika. "Tapi kau harus memohon!"
Mata Kurapika meruncing. "Apa katamu? Memohon? Yang benar saja!"
"Hhhhh..." pemuda itu menghela nafas. "Aku yang mendapatkan buku ini duluan, kau memintanya dengan paksa dan hampir menggunakan kekerasan, dan kau tidak mau memintanya baik-baik! Serakah sekali!"
"JANGAN MAIN-MAIN DENGAN—"
Tit, tit, tit...
Kurapika membatalkan kalimatnya, ketika mendengar jam arlojinya berbunyi. Jam makan siangnya sudah habis, dan ia harus kembali bekerja.
Gadis itu lalu mundur beberapa langkah dari pemuda yang masih saja menatapnya santai itu. Ia mencoba menenangkan diri. Hitungannya sudah mencapai angka dua ratus.
"Baiklah! Ambil saja buku itu! Tuan!" ucapnya menahan emosi. Ia pun hendak pergi, jika pemuda itu tak menarik sikunya.
Kurapika langsung mendelik tajam. Sang pemuda hanya tersenyum ramah.
"Siapa namamu?"
Mata gadis itu membelalak. Pemuda ini mengacaukan jam makan siangnya, mengambil buku incarannya, dan membuatnya mencapai titik didih! Sekarang dia malah menyanyakan namanya seolah tak pernah terjadi apapun? Yang benar saja.
Kurapika langsung menepis tangan pemuda itu, memandangnya tajam, lalu pergi meninggalkannya tanpasepatah katapun. Ia bersumpah! Ia berjungkir balik sekaing kesalnya, jika ia bertemu dengan orang seperti dia lagi.
.
.
Setelah memarkir mobilnya di tempat parkir, Kurapika lalu berjalan menysuri koridor rumah sakit, tempat ia bekerja. Hunter Hospital...
Ia berjalan dengan santai, dengan celana kain putih, kemeja putih, ditambah dengan jas dokter yang berwarna putih pula. Di leher jejangnya setia mengalung stetoskop, yang tentu saja itu menambah kesannya sebagai seorang 'dokter.' Kedua tangannya ia masukkan ke saku jasnya. Tak jarang ada suster, maupun dokter yang menyapanya di pagi yang cerah itu. Kurapika hanya membalasnya dengan senyuman penuh arti.
"Onee-san! Onee-san!" Gon, yang mengenakan kursi rodanya semakin mempercepat lajunya, mendekati Kurapika.
"Gon! Kenapa kau keluar pagi-pagi begini? Harusnya kau tetap di kamar 'kan?" tanya Kurapika seraya berjongkok, hendak menyamai tinggi Gon. Namun setelah ia melakukan itu, malah ia yang lebih pendek.
Gon menyemberutkan wajahnya. "Bibi Mito sedang mengurus obatku! Aku sendirian di kamar! Membosankan! Jadi aku keluar untuk jalan-jalan!"
"Kalau begitu jangan jauh-jauh yah!" ucapnya, seraya mengusap puncak kepala Gon, dan pergi meninggalkan bocah itu.
Hari ini Kurapika berusaha mempersiapkan mentalnya untuk hari ini.
Oprasi pertamanya...
Sebenarnya Kurapika ahli dalam hal itu. Pada saat masih di unversitas, Kurapika selalu saja mendapat nilai tertinggi dalam ujian percobaan pembedahan. Namun sayangnya, usia Kurapika yang relatif masih terlalu muda untuk melakukan sebuah oprasi, tidak mengijinkannya untuk melakukannya.
Dan tibalah, saat ini. ia sudah diperbolehkan, baik oleh peraturan, maupun kakaknya, Leorio.
Oprasi pertamanya! Ia harus berjuang!
Kurapika menegukan hatinya, dengan semangat membara. Ia pun berlari kecil, menuju ruang Adrimistrasi, untuk mengetahui kapan jadwal oprasi itu berlangsung.
"Baiklah Kurapika! Ini oprasi pertamamu! Nyawa pasien dipertaruhkan!" gumamnya bersemangat
.
.
Kurapika keluar dari ruang oprasi, dengan mengenakan seragam oprasinya. Maskernya pun masih setia menggantung di lehernya. Terlihat jelas peluh menetes di dahinya. Rambut pirangnya pun kini lepek, saking kelelahannya ia. Ia keluar, bersama beberapa orang suster yang membantu dalam proses pengoprasian.
Melihat sang dokter keluar, ibu dari pasien pun langsung berdiri, menggenggam tangan Kurapika erat. Terlihat mimik penuh kekhawatiran di wajah keibuannya.
"Bagaimana keadaan Sakura-chan?" tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.
Kurapika tersenyum. "Putri Nyonya selamat..." ucapan Kurapika barusan sukses menimbulkan isakan kebahagiaan dari sang ibu.
Nyonya itu langsung menjabat tangan Kurapika sambil menangis. Di lain pihak, keluarga lain dari pasiennya yang baru ia oprasi itu saling berpelukan, bahagia...
Kurapika memandang mereka semua sendu. Ia teringat dengan ibunya... andai saja... ia, kakaknya, dan kakeknya bisa merasakan hal ini, merasa senang atas kesembuhan orang yang paling mereka sayangi. Tapi itu semua takkan terjadi. Ibunya telah meninggal... meninggalkannya untuk selamanya...
Ia teringat, sebelas tahun yang lalu. Saat itu hari sedang hujan deras. Pagi yang harusnya cerah malah menjadi gelap. Kurapika kecil terbangun dari tidurnya, di samping ibunya yang tertidur. Ia mencoba membangunkan ibunya, namun itu tak berhasil. Wajah ayu sang ibu kini pucat pasi, layaknya mayat. Sekujur tubuhnya dingin. Tak ada pergerakan pada dadanya yang menandakan adanya pernafasan. Saat itu Kurapika yang masih polos, berpikir bahwa ibunya masih tidur. Namun ia salah... hal yang paling ia takutkan pun terjadi. Ibunya tidak 'masih tidur'... namun ia 'sudah tidur..."
"Selamat yah, Nyonya..." ucap Kurapika tersenyum manis, namun sebenarnya ia memaksakan senyuman itu.
"Yah! Ini semua berkat anda, dokter! Terima kasiiihh! Terima kasih banyaaakk!"
"Ah tidak! Putri nyonya sudah berjuang sangat keras!" ucap Kurapika ramah. "Kalau begitu saya permisi..."
Kurapika pun pergi, meninggalkan tempat itu, setelah ia memberikan jas oprasi serta maskernya pada suster.
Gadis itu menyusuri koridor, hendak menuju ke ruangannya. Rumah sakit itu masih begitu ramai dan padat, dikarenakan atas kunjungan pasien untuk berobat.
Gadis itu melewati tempat yang begitu ramai.
Set...
Hanya perasaan, atau Kurapika langsung merasakan 'sesuatu' lewat di sampingnya. Bukan pasien, suster, dan lain sebagainya. Namun rasanya Kurapika mengenal orang yang lewat itu. Untuk memastikannya, gadis itu lalu berbalik.
Matanya menangkap sosok pemuda jakung berjas dokter, berjalan semakin menjauh.
Kurapika menatap dokter itu. 'Siapa yah? Dia dokter dari ruang mana? Sepertinya pernah lihat...' pikir gadis itu.
Namun Kurapika memutuskan untuk tidak memperdulikannya. Ia kembali berjalan. Saat ini ia ingin beristirahat.
Memang, ia bisa melalui oprasi itu dengan lancar. Namun ketika ia melihat organ dalam asli, dari manusia yang masih hidup untuk yang pertama kalinya, saat itu Kurapika benar-benar shock. Namun ia bisa mengantisipasinya dengan baik.
.
.
Kurapika menyeruput teh hijau buatan temannya, di dalam ruangannya yang cukup besar itu.
"Machi, teh buatanmu enak sekali!" puji Kurapika.
Machi, salah seorang dokter spesialis bedah, hanya tersenyum tipis. "Tentu saja! Itu untuk merayakan keberhasilanmu dalam oprasi!"
"Hehehe! Kau selalu melakukan oprasi! Aku masih sangat jauh dibanding dirimu, Machi! Selain itu... terima kasih karena kau sudah membimbingku agar tidak tegang, saat melakukan pembedahan!"
Machi menghela nafas. Ia lalu mengambil duduk, di depan Kurapika. "Jangan merendah! Kau dokter utama di ruangan ini! Selain itu kau adik dari kepala rumah sakit ini! Hebat sekali! Jadi iri nih!"
"Itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan! Aku ini adik dari kepala rumah sakit, itu karena takdir! Bukan usahaku sendiri!"
"Hmm... baiklah! Kalau begitu kau mau kupuji seperti apa?"
"Tidak perlu! Tehmu saja sudah cukup!"
"Dasar! Tapi kau benar-benar hebat lho! Oprasi pertamaku sih, saat aku berumur 26 tahun. Tapi kau, masih 21 tahun, sudah melakukan oprasi bedah! Hebat sekali!" Kurapika hanya membalasnya dengan seulas senyum tipis, lalu kembali menyeruput tehnya.
Ketenangan menyelimuti gadis pirang itu, sampai deringan dari ponselnya, yang menandakan pesan masuk pun harus membuyarkan segalanya.
Dengan malas, Kurapika mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan membuka pesan yang masuk.
From : Old Man Onii-kun
No title
Cepat sekarang kau ke ruanganku! Dokter yang jadi partnermu sudah datang!
Mata Kurapika membulat dengan sempurna membaca pesan dari kakaknya, Leorio. 'Apa? Kenapa cepat sekali! Aku 'kan belum bilang kalau aku belum setuju!' pikir Kurapika langsung berdiri, mengambil jas yang ia gantung, dan memakainya.
"Kau mau kemana?" tanya Machi.
"Ah tidak! Aku ada urusan sebentar! Terima kasih atas tehmu Machi!" ucap Kurapika lalu bergegas keluar, meninggalkan Machi yang masih menatapnya bingung.
.
Brakkkk!
Kurapika membuka pintu Ruang kepala dengan keras.
"Leorio! Aku 'kan belum bilang kalau aku setuj—" perkataan Kurapika terpotong, ketika memasuki ruangan kakaknya.
Matanya tertuju pada pria yang saat ini duduk berhadapan dengan Leorio, dan membelakanginya.
'Laki-laki? Jadi partnerku nanti laki-laki?' batin Kurapika tak percaya.
"Kurapika. Pemuda ini yang kuceritakan kemarin, yang akan menjadi partnermu! Perkenalkan, dia Kuroro Lucifer... Kuroro, dia adikku..."
Maka pemuda yang bernama Kuroro itu pun berbalik, hendak melihat siapa yang akan bekerja sama dengannya, dalam hal menyelamatkan nyawa manusia. Sedangkan Kurapika semakin menajamkan matanya dengan rasa penasaran yang cukup besar.
Akhirnya pandangan mereka bertemu. Langit biru cerah di siang hari bertemu dengan langit gelap malam.
Mata keduanya membulat sempurna.
"Kau 'kan..."
.
~TO BE CONTINUED~
Ahhhh... akhirnya selesai jugaaaa! *ngeregangin otot*
Natsu langsung aja kepikiran buat ngetik fic ini, setelah Natsu dari rumah sakit, abis sakit karena ujan-ujanan! *curcol*
Gomen, kalo ada yang salah! Soalnya Natsu gak terlalu mengerti tentang kedokteran! Jadi... Natsu sok tau aja deh!^^
Ohya, buat di fic ini, usia para character tuh pada lain!
Kurapika nee-chan : 21 tahun
Kuroro nii : 25 tahun
Leorio : 25 tahun
Machi : 28 tahun
Gon : 7 tahun
Dan kalo masih ada pertanyaan lain, silahkan tanya lewat review, maupun PM aja yah!^^
Ohya! Gomen, kalo mereka OOC banget! Maklumlah! Tuntutan peran... =_=" *dikeroyok*
Yosh! Sejelek-jeleknya fic ini, authornya lebih jelek lagi! *dwagghh!*
Sejelek-jeleknya, review sangat dibutuhkan!
Lanjut tidaknya fic ini, ditentukan dari review kalian!^^
HAVE TO REVIEW!~!
NATSU HIRU CHAN
