Mark bukan orang yang jujur-jujur amat, bukan orang yang polos-polos amat, dan jelas bukan orang suci. Dia, sama halnya dengan kebanyakan orang seusianya, adalah pendosa kelas teri. Mark boleh jadi anak pendeta yang mau tak mau harus rajin ke gereja demi menghindari omelan orang tua atau cibiran jamaah ayahnya. Tapi, di waktu-waktu lain, dia tetap Mark si pendosa kelas teri yang terlalu gengsi mengemis tobat atas daftar panjang dosa-dosa kecilnya di bilik pengakuan.
Mark sering mengumpat. Saat bersua dengan kawan, sumpah serapah lebih sering terdengar dari mulutnya ketimbang lantunan doa dan ayat. Kawan-kawannya tidak pernah mempermasalahkan karena mulut mereka pun tak kurang sampah. Pergaulan orang usia belasan akhir tidak pandang moralitas berdasarkan tutur kata. Para dewasa pemula ini tidak mau dipusingkan dengan norma-norma dari tetua, inginnya bebas dan hanya bebas saja. Menikmati masa muda yang sebentar lagi kedaluwarsa, katanya.
Mark sering merancap, terlalu sering sampai-sampai dia jadi ketagihan. Di kamar, di toilet, atau di ruang privat lain. Sendiri atau bersama kawan-kawan sesama pendosa kelas teri. Dengan atau tanpa bahan fantasi. Murni desakan kebutuhan biologis atau sebatas hawa nafsu yang diada-adakan. Cepat-cepat atau pelan-pelan. Mark tidak pernah pilih-pilih, semua-semua dicobanya tanpa pikir dua kali. Yang penting nggak bikin hamil anak orang, katanya.
Mark kadang menyerobot antrean. Tidak peduli yang antre di depannya ibu hamil, ibu menyusui, penyandang disabilitas, atau lansia. Memiliki badan bugar setinggi 174 senti memudahkannya mendesak orang yang antre di depan supaya memberinya jalan. Alhasil, dia berada di urutan paling depan, padahal datangnya paling akhir. Kan pas itu aku buru-buru, katanya.
Mark pernah beli makanan, tapi lupa bayar. Lebih tepatnya, lupa mengecek isi dompet sebelum pesan banyak-banyak. Ketika sampai di kasir untuk melapor apa-apa saja yang sudah masuk perut, Mark baru sadar kalau uangnya kurang. Maka, dengan tampang meyakinkan, Mark sengaja menghilangkan dua bungkus kacang plus satu kaleng kola saat melapor kepada kasir yang sibuk memenceti kalkulator untuk menotal. Mark berhasil keluar dari kedai dengan perut kenyang dan uang kembalian yang cukup buat bayar parkir. Sekali ini saja, besok-besok nggak aku ulang, katanya. Tapi, nggak janji, katanya lagi.
Mark pernah selingkuh. Sekali, lalu kapok sampai seterusnya. Lain waktu, ketimbang main belakang, Mark lebih pilih main asal putus. Dia tidak ingin mukanya biru-biru lagi karena bogem mentah dari kakak laki-laki si pacar yang tidak terima adiknya diduakan oleh bocah ingusan seperti Mark. Habis kata-katanya, untuk kasus ini dia mengaku brengsek.
Mark sering begini. Mark kadang begitu. Mark pernah anu. Mark banyak berbuat salah. Mark tahu perbuatannya salah, tapi kukuh menyangkal-nyangkal. Mark mengulangi kesalahannya, meski tidak semua.
Mark si anak pendeta. Mark si pendosa kelas teri. Paradoks yang semoga tidak bertambah senjang lagi.
Mark si peretas, mengendap-endap lewat celah menuju kontrol utama atas dirinya sendiri. Kontrol penuh atas diri sendiri memungkinkannya membangun persona unik hasil akulturasi didikan orang tua dan bujuk rayu faktor X yang sulit dielak. Menjadi lain dari yang diekspektasikan sekitar dengan membuat dosa kecil-kecilan. Namun, masih cukup mawas diri untuk tidak kebablasan.
Dan, bukankah kita semua juga seperti Mark?
Tentu, dengan latar belakang serta modus operandi masing-masing.
