SUMMARY : Kekuasaan, Ambisi dan Cinta hampir selalu ada dalam kehidupan para Ratu Dinasti Hi. Menjadi seorang Ratu adalah impian semua wanita di kerajaan itu, tanpa mereka tahu bahwa di balik keanggunan, kehormatan dan keistimewaan posisi Ratu, akan selalu ada yang mereka korbankan. Memiliki segalanya padahal sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Sampai pada saat dimana sang Ratu merasa lelah dan meninggalkan takhtanya.
Sebuah ruangan yang disebut sebagai kediaman Raja sedikit ramai pada pagi itu. Pasalnya, Raja dikabarkan jatuh sakit sehingga para tabib istana sibuk memeriksa kesehatan Raja mereka. Sudah satu minggu setelah kematian Sang Ratu, kesehatan Yang Mulia Raja semakin memburuk. Semua orang di istana cemas karena kalau Raja mereka meninggal, maka mereka tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kerajaan ini. Itu semua karena Raja tidak memiliki calon pewaris.
Neji memandang mereka dengan tatapan malas. Tabib-tabib payah itu tampaknya terlalu cemas. Hei, Raja tidak akan mati secepat itu! yeah, dia akui kalau meninggalnya Ratu memengaruhi kesehatannya. Neji sendiri tidak suka menjadi se-melankolis seperti sekarang, tapi bagaimanapun dia sangat kehilangan Ratu-nya. Dia merindukan wanita itu. Wanita yang mendampinginya sejak ia naik takhta. Meskipun ia selalu berpikir bahwa dia tidak pantas mendapatkan posisi tertinggi di kerajaan ini. Dia sendiri bukan pewaris sah takhta Raja –Kalau saja Ibu Suri tidak mengangkatnya sebagai anak. Bukan hanya itu yang membuatnya tidak nyaman menduduki posisi pemimpin, tapi ada hal lain yang sangat ia benci. Dia adalah Raja boneka; Raja yang tidak bisa apa-apa, tidak bisa membuat keputusan sendiri.
"Yang Mulia, Anda harus banyak istirahat beberapa hari ini, kalau tidak kesehatan anda akan semakin memburuk." Tabib istana selesai dengan pekerjaannya
"Itu benar, Yang Mulia. Untuk sementara tenangkanlah pikiran Anda"
Yang baru saja bicara itu Perdana Menteri? Yang benar saja!
"Bagaimana bisa aku tenang sementara kalian selalu meributkan soal pengangkatan Ratu yang baru," sindir Raja. "Sudah cukup, kalian boleh pergi."
Semua orang membungkuk hormat, lalu meninggalkan kediaman Raja. Perdana Menteri tampak kesal atas sindiran tadi. Fugaku, Perdana Menteri kerajaan ini berasal dari klan Uchiha yang tergabung dalam Fraksi Barat. Fraksi Barat sendiri merupakan partai politik yang hampir menguasai seluruh jabatan penting Dinasti Hi. Itu semua karena mereka lah yang mendukung kepemimpinan Raja yang sekarang. Selir istana kerajaan ini juga berasal dari salah satu klan di Fraksi Barat yaitu klan Aburame. Sebentar lagi Shion pasti akan naik takhta dan itu artinya posisi mereka di pemerintahan akan semakin kuat. Meskipun mereka tahu bahwa Fraksi Timur akan menolak mentah-mentah keputusan itu.
oOo
Tiga buah anak panah melesat dan menancap pada pohon yang telah ditandai lingkaran kecil.
"Bagus, Hinata. Tapi akan lebih baik kalau kau tidak terlalu kuat menariknya." Seorang pemuda berambut nanas menghampiri gadis pemegang busur itu.
"Yah, aku terlalu bersemangat. Hei, bukankah kau seharusnya memanggilku nee-chan kalau aku berhasil dengan tiga anak panah sekaligus?"
"Kau ingin sekali dipanggil nee-chan ya? Padahal aku lebih suka memanggilmu Hinata-chan. Lagipula kita hanya selisih empat tahun," kata pemuda itu –mengeluh.
Gadis cantik berambut indigo itu menghampiri seekor kuda, lalu menaikinya.
"Kau boleh memanggilku sesukamu kalau kau bisa mengalahkanku." Dengan cepat Hinata pergi dengan kudanya.
Shikamaru menyeringai lalu berteriak, "Kau curang! Aku akan mengalahkanmu dan kupastikan kau akan mendengarku memanggilmu Hinata-hime setiap hari."
Hinata tampaknya tidak mendengar apa yang Shikamaru katakan. Ia sangat suka mengerjai pemuda berusia 16 tahun itu. Meski masih terbilang sangat muda, tetapi sebenarnya Shikamaru tidak berpikiran seperti remaja pada umumnya. Dia dewasa dan jenius tentunya. Mungkin terkadang ia masih bersikap manja, tetapi saat ia bicara serius Shikamaru tampak sangat keren. Pertama kali bertemu, Hinata baru berusia 14 tahun –itu dua tahun setelah dia tinggal sendirian di sini. Shikamaru masih berusia 10 tahun, dia juga tinggal sendirian tanpa orang tua di kota bernama Amegakure ini. Setelah itu mereka berteman dan bertahan hidup bersama.
Pohon-pohon rindang tampak masih basah akibat hujan tadi pagi, untungnya semalam tidak turun hujan karena tadi malam adalah waktu festival tahunan kota Ame. Festival itu sangat meriah. selain dihadiri oleh warga Ame, para bangsawan atau pedagang dari kota lain biasanya menyempatkan diri untuk hadir pada acara tersebut.
Hinata melajukan kudanya dengan sangat cepat sampai dekat sungai, ia yakin saat ini Shikamaru tertinggal jauh di belakang dan sudah pasti dia kehilangan jejak Hinata. Tiba-tiba kuda yang sedang ia naiki menjadi tidak terkendali dan melempar Hinata ke sungai.
Gelap. Semuanya mendadak gelap. Hinata tidak bisa bernapas, Dia tenggelam.
"Oh tidak! Aku tidak boleh mati secepat ini. Kami-sama tolong aku ..."
Tidak lama kemudian, seseorang menepuk-nepuk pipinya. Hinata membuka kedua kelopak matanya perlahan. Pertama kali yang ia lihat adalah seorang pemuda yang memandangnya dengan cemas. Hinata segera bangkit.
"Kau baik-baik saja nona? Apa kau merasa pusing atau–"
"Aku tidak apa-apa." Potong Hinata cepat. Dia kemudian menatap pemuda yang baru saja menolongnya, pemuda itu terlihat tampan dengan rambut anehnya yang basah.
Hinata menghampiri kudanya lalu melihat ada seekor ular yang berjarak sekitar 2 meter dari kudanya. Pasti ular itu yang sudah membuat kudanya ketakutan. Ia pun segera menangkap binatang tanpa kaki itu dengan memegang di bagian kepalanya lalu melemparnya ke dalam sungai. Sasuke terkejut atas tindakan Hinata itu.
"Kau tidak takut?" tanya Sasuke.
"Tidak, ular tidak akan menggigit kita kalau kita tidak mengusik mereka"
Hinata menaiki kudanya. Dia sebenarnya suka pada semua hewan karena dia tinggal di sekitar hutan. Yah, inilah kehidupannya yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Awalnya Hinata tinggal di sini saat usianya baru menginjak 7 tahun bersama seorang kakak sepupu yang berusia 13 tahun. Lalu 5 tahun kemudian sang kakak meninggalkan dia sendirian. Seorang gadis kecil berusia 12 tahun tinggal sebatang kara? Itu terdengar menyedihkan. Tapi toh sekarang dia bukan gadis kecil lagi, karena umurnya sudah menginjak 20 tahun.
"Aku permisi, semoga kita bisa bertemu kembali." Hinata tersenyum lalu pergi.
Sasuke menatap punggungnya yang semakin menjauh, tanpa sadar ujung bibirnya naik membentuk sebuah senyuman yang sangat tipis. "Tentu saja, nona ular," gumamnya membuat seseorang yang baru saja akan memanggilnya mengernyitkan dahi.
"Kau kenapa, Sasuke?" suara nyaringnya membuat Sasuke menoleh. Gadis itu, Karin. Bisa dibilang Karin adalah teman seperjuangannya karena mereka sudah berpetualang mengelilingi negeri ini selama hampir 3 tahun. Saat itu umurnya menginjak usia 18 tahun, sedangkan Karin dan Suigetsu satu tahun lebih muda dari usianya. Juugo lah yang paling tua, umurnya sudah 21 tahun saat ikut dengan Sasuke dulu. Dia sendiri masih tidak mengerti mengapa gadis ini mau mengikutinya dibandingkan tinggal di mansion mewah milik klan Uzumaki dan menjadi gadis bangsawan yang cantik dan terhormat sebagaimana mestinya.
Karin menyenderkan kepalanya di bahu Sasuke lalu mulai mengoceh seperti biasanya. Yah, mungkin ini salahnya juga. Sekarang Karin sama sekali tidak seperti seorang gadis bangsawan.
"Aha! Sedang apa kalian?" seru Suigetsu dari belakang mereka. Seketika Karin menjauh dari Sasuke
"Kau ini mengganggu saja,"
"Hei, Karin, kau sudah ketahuan! Kau menyukai Sasuke kan?"
"Apa? Tidak! Sok tahu,"
Ini lah yang terjadi kalau mereka bertemu, dan sepertinya Sasuke harus segera memisahkan mereka berdua. Kalau tidak, perdebatan ini mungkin tidak akan pernah berakhir. Suigetsu sendiri, dulunya adalah ketua perampok yang biasa merampok rumah-rumah bangsawan. Lalu, berhasil ditaklukan oleh Sasuke dan sekarang menjadi pengikutnya. Sedangkan Juugo adalah pengikut setianya dan sudah menjadi pengawal pribadinya sejak ia masih kecil.
"Sudahlah, kalian berdua jangan ribut," kata Sasuke. "Kita harus segera pergi dan mencari penginapan sebelum menuju Konoha." Sasuke berjalan duluan diikuti oleh Karin, Suigetsu dan Juugo. Karin berjalan cepat dan menyeimbangi langkah kaki Sasuke.
"Kita benar-benar akan pulang? Ayahku pasti akan langsung memukulku begitu aku tiba di rumah"
"Itu salahmu sendiri, Karin."
"Aku tidak sedang bicara denganmu, Suigetsu!"
"Kau tidak perlu cemas, Karin. Ayahmu pasti merindukanmu. Dia tidak akan memukulmu tapi memelukmu."
"Kau juga ikut-ikutan sok tahu, ya, Sasuke." Karin menatapnya sinis, lalu saat Sasuke balas menatapnya, Karin buru-buru mengalihkan pandangan. Dia akui, kalau dia memang munafik.
"Ayo Sasuke, hari mulai gelap." Juugo mengingatkan.
oOo
"Aku akan berjalan di depan, jadi pastikan kalian mengikutiku dengan benar." Pemuda berambut jabrik itu sangat bersemangat memimpin beberapa pengawal dan sebuah tandu yang di dalamnya ada seorang gadis.
"Sudahlah, Naruto, hari semakin senja. Kau mau kita terjebak di tempat ini?"
"Yosh! Ayo kita jalan!"
Rombongan mereka berjalan menyusuri hutan dan pedesaan, mereka baru saja melihat festival yang diadakan di kota Ame dan sekarang mereka akan kembali ke Ibukota, Konohagakure. Sebenarnya ada kabar bahwa festival itu akan dibatalkan karena negeri ini sedang berduka atas meninggalnya Ratu mereka. Tetapi setelah mendapat izin dari Raja –karena persiapan sudah selesai dan semua orang telah menantikan festival itu– pesta itu pun tidak jadi dibatalkan.
"Sakura-chan, menurutmu Yang Mulia Ratu bagaimana?" tanya Naruto dengan suara agak keras supaya Sakura yang berada di belakang bisa mendengarnya.
"Semua orang tahu kalau Ratu adalah orang yang sangat baik. Meskipun dia bukanlah dari keluarga bangsawan melainkan rakyat jelata. Mungkin itu yang membuatnya sangat memperhatikan keadaan rakyat negeri ini. Semua orang mencintainya, Naruto. Tapi sayang, umurnya tidak panjang"
"Kau benar, Sakura, Ratu memang wanita yang luar biasa. Tidak kah kau merasa kalau kematiannya begitu mendadak?"
"Ya, tapi kita tidak boleh bicara sembarangan." Kata Sakura. "Naruto, seseorang pernah berkata padaku kalau aku akan mencapai posisi tertinggi di istana" Sakura mengatakannya sambil menerawang jauh.
