Kantai Collection

Copyright : KADOKAWA GAMES

"Almost Foe"

Sebuah Fanfiksi hilang yang kembali lagi dengan lebaynya kembali diposting dengan tujuan menambah dosa untuk beban akhirat dan ditulis oleh :

Megu Saki/Watermolen

.

Terimakasih kepada :

Google Drive

Ternyata sampah ini masih ada disana.

Selamat membaca

Hari ini pertengahan musim dingin. Malam itu, salju tetap turun dengan lembutnya. Entah mengapa, Kaga merasa musim dinginnya kali ini akan menjadi musim pancaroba atau mungkin musim kemarau panjang. Ia menatap dengan bosan tidak seperti biasanya. Memang, biasanya tatapannya selalu terlihat dingin dan bosan. Tapi, kali ini bahkan terlihat lebih daripada biasanya.

"KAGA-chan! Aku gak percaya! Kita akan tinggal sama-sama sampai tahun baru!" teriak seorang bocah berambut coklat panjang yang terlihat seumuran dengannya. Tidak lama setelahnya, bocah itu langsung menangkap Kaga dalam pelukannya dan menciumi pipi Kaga. Sedang Kaga, hanya mendorongnya dengan -tetap- menatapnya bosan. Kesal? Tentu saja.

"Bu, aku ingin pindah keluar negeri."

"Hahahaha! Kaga-chan, tidak baik bersikap begitu. Maafkan Kaga-chan ya, Akagi-chan." Seru ibu kaga sambil mengelus lembut kepala kedua anak itu. Yang dipanggil Akagi hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum lebarnya yang kaga pikir itu seperti sebuah senyuman idiot.

Kaga menepis tangan ibunya pelan, lalu beranjak pergi meninggalkan mereka, lalu berkata dengan nada yang amat datar.

"Aku tidak bisa keluar negeri? Kalau begitu, buatkan aku kamar baru, Bu."

.

Hening

.

"Bibi, apa Kaga-chan, membenciku?" Akagi menatap polos sosok didepannya. Sosok yang selembut dan sebaik Ibunya.

"Nggak kok, Kaga-chan kan memang seperti itu. Sebenarnya, dia baik lho. Akagi-chan gak usah khawatir. Ya?"

"Un!" Akagi hanya mengangguk mantap dengan senyum yang kembali ceria. Ia percaya dan meyakini itu juga sejak dulu. Sejurus kemudian, Ibu kaga langsung mencubit pipi gembilnya dengan gemas.

.

.

.

Kaga menghempaskan tubuhnya kasar keatas ranjang itu. Ranjangnya besar, untuk ukuran seorang anak berusia 8 tahun sepertinya. Ia tidak keberatan berbagi tempat tidurnya dengan siapa saja. Asal, jangan Akagi. Kaga hanya menghela napas frustasi yang bahkan terdengar tidak seperti sedang menghela napas. Cukup saja pikirnya, di ganggu anak menyebalkan bernama Akagi itu di dalam kelas. Bertemu di jalan sekolah, terlalu sering kebetulan pulang bersama, berjumpa di Supermarket, sampai anak itu bahkan pindah rumah kesamping rumahnya. Kaga bukannya membencinya, ia hanya agak risih dan ia bahkan tidak tau kenapa. Akagi berisik? Yah, sejak TK dia memang berisik. Akagi banyak makan? Kaga tau kok, dia rakus. Atau, Akagi yang selalu mengutak atik barang barangnya? Itu.. Kaga juga memang tidak menyukainya sih.. Mungkin, karena kebiasaan Akagi yang selalu memeluk dan menciumi pipinya saat bertemu? Mungkin saja.. Mood kaga benar benar telah jatuh saat ini. Pengacau yang memiliki senyuman aneh seperti si Akagi itu akan tinggal dirumahnya sampai tahun baru. Yang benar saja? Kenapa harus dirumahnya? Mentang-mentang kita bertetangga? Ayolah! HANYA tetangga. Salahkan jiwa muda orangtua Akagi yang nyentrik itu. Seenak jidat mengatakan ingin berbulan madu karena seumur pernikahan mereka tidak pernah berbulan madu.

"Itu kan bukan urusanku" kaga hanya menggerutu sambil menatap sarkatis dinding samping ranjangnya. Dan perlahan, matanya terpejam. Membawanya kedunia yang berbeda.

Kaga meleguh panjang, ia yakin, hari sudah pagi. Pagi yang dingin. Seharusnya begitu...

"Ngh?"

Kaga berusaha membuka matanya yang masih terasa berat. Ini musim dingin kan? Kenapa hangat? Seingatnya, penghangat ruangan di kamarnya tidak ia atur sampai sehangat ini. Dan lagipula.. Kenapa badannya terasa berat? Karena seribu satu pertanyaan yang terus menerus ada diotaknya, ia dengan sangat terpaksa membuka perlahan matanya. Sedetik kemudian, mata itu membelalak lebar.

"Apa yang kau lakukan diatas tubuhku, AKAGI-san?" suara tanya itu penuh penekanan disetiap kata-katanya. Kaga menatap tajam wajah Akagi yang kini ada diatas tubuhnya. Hening... Lalu, tidak sampai semenit, terdengar suara raungan dan isakan dari mulut Akagi. Ia menangis.

"Huwaaaaa! Hiks.. Kaga-chan! Syukurlah kau masih hidup! Aku pikir.. Aku –hiks- pikir.. Tadi, Kaga-chan mati kedinginan. Ha-habisnya.. Habisnya –hiks- Kaga-chan aku bangunkan berkali-kali gak bangun bangun! Terus, aku –hiks- atur penghangat ruangannya, tapi Kaga-chan masih nggak bangun. Aku pikir, Kaga-chan jadi beku dan mati –hiks- makannya aku peluk.." Akagi masih menangis dan terus memeluk kaga. Kaga sedikit terkejut dengan tingkah tetangganya ini. Akagi itu sebenarnya bodoh atau bagaimana? Kenapa keidiotannya kadang membingungkan, kadang mengesalkan dan terkadang.. sedikit.. lucu?

"Tapi aku tidak mati, kan? Jadi, menyingkirlah. Kau berat, bodoh."

.

.

"Kaga-chan! Bibi sedang pergi ke supermarket" seru akagi yang sedang duduk manis dimeja makan sembari membaca tulisan diatas kertas dari Ibu kaga.

"aku tau"

"Kaga-chan, aku mau sarapan!"

"aku tau"

"Kaga-chan, punyaku porsinya yang banyak ya!"

"aku tau"

"Kaga-chan, rumahmu sudah rapi!"

"aku tau"

"Kaga-chan, bibi sangat baik."

"aku tau"

"Kaga-chan..."

"hn?"

"Tidak jadi." lanjut Akagi dengan jeda yang cukup lama.

KAGA memberikan sepiring besar nasi omlet kehadapan Akagi. Tidak sulit bagi Kaga yang meski baru berusia 8 tahun untuk membuat yang seperti ini. Hampir setiap hari ia melakukannya. Tinggal berdua saja dengan ibunya tanpa seorang ayah membuat Kaga bisa berpikir dewasa sebelum waktunya. Mungkin, itulah mengapa pikiran dan kata-katanya bahkan hampir tidak sejalan dengan anak-anak seusianya. Setiap pagi hari ibunya akan membereskan rumah dan langsung pergi ke supermarket. Belanja? Tentu saja bukan. Ibunya memang bekerja disana. Ayahnya? Ah, sepertinya Kaga tidak mengingatnya, atau mungkin tidak ingin mengingatnya.

Sudah seminggu lebih tepatnya Akagi berada dirumah Kaga. Beberapa hari lagi tahun baru. Kaga sedikit lega, beberapa hari lagi ia tidak akan melihat Akagi yang tiba-tiba beraada diatas ranjangnya dengan senyum idiot dan perkataan yang sama setiap harinya seperti 'aku kira Kaga-chan mati membeku karena kedinginan'. Atau Akagi yang selalu mengelilingi rumah Kaga dan terus mengoceh 'dirumah ku TV posisinya disebelah sana' 'dirumahku ada DVD' 'dirumahku ada garasinya' 'dirumahku ada ini, ada itu' dan Kaga merasa akan mati karena kanker gendang telinga mendengar Akagi yang terus menerus bertanya 'Kaga-chan, itu apa?' 'Kaga-chan, ini apa?' 'Kaga-chan, kenapa begitu?' dan 'Kaga-chan, kenapa begini?'.

Meskipun seorang bocah SD, Kaga juga hanya manusia biasa. Kebiasaan Akagi yang seperti itu membuat sifat dingin dan tenang Kaga menjadi sedikit lebih emosian. Terlebih, sifat Akagi yang suka mengacak-acak rumah dan selalu ingin tahu. Mereka berdua terlihat seperti seorang pengasuh berusia 16 tahun yang sedang mengurus balita yang bahkan belum berumur lima tahun.

"Kaga-chan! Temani aku main salju!" tangan mungil Akagi menarik-narik manja kedua kaki Kaga yang sedang bersantai dan menonton Tv diatas sofa.

"Aku tidak suka dingin." Kaga menjawab dengan nada datarnya yang monoton.

"Aku mohon.." Akagi memelas.

"Tidak."

"Sekaliiiiii saja."

"Tidak mau." jari-jari mungil itu pun terlepas dari kaki sang pemilik rumah. Ia menundukkan kepalanya. Kaga melihatnya, dan menatapnya datar.

"Kaga-chan... Benci.. Padaku, ya?" bingung. Ekspresi Kaga kini berubah. Alis matanya bertautan. Nyatanya, dia juga tidak mengerti.


Tahun demi tahun telah berganti. Sebentar lagi musim semi setelah ujian akhir yang memuakkan otak akhirnya terlewati juga. Tinggal ujian masuk SMP. Itu bukanlah hal sulit bagi seorang Kaga ataupun Akagi. Mereka dua murid yang cukup berprestasi dan sering disebut sebut sebagai rival kelas berat disekolahnya. Semenjak hari dimana Akagi dititipkan dirumah Kaga, mereka menjadi lebih dekat. Pun, Kaga tidak mau memungkirinya meski ia selalu berpikir bahwa ia dan Akagi seperti sebuah hal yang tidak diinginkan tapi tidak bisa dipisahkan. Meski hari menginap dan menitipkan sudah berakhir, kala itu, dihari-hari selanjutnya, Kaga tetap menemukan Akagi diatas ranjangnya, di toilet rumahnya, di ruang keluarganya, bahkan di dapurnya. Akagi ada dimana-mana. Anak itu idiot, batin kaga. Dan kebiasaan itu tidak pernah hilang, kebiasaan memeluk dan mencium kaga. Ayolah! Kaga pikir, mereka sudah remaja? Kenapa Akagi masih sama seperti bahkan saat ia TK.

Tapi, semua itu benar-benar akan hilang. Semuanya. Terlebih, saat ia tidak sengaja mendengar bahwa Akagi akan melanjutkan sekolah ke Kyoto. Ah, Okinawa dan Kyoto.. Kota yang cukup jauh, ya. Kenapa Jepang begitu luas? Harus apa ia sekarang? Senangkah? Atau.. Sedih? Mengapa sedih? Bukankah Kaga menginginkannya? Menginginkan kehidupan normal tanpa makhluk yang sering bertindak abnormal dimatanya itu?

Musim dingin telah berlalu, tak lama musim semi akan menghiasi sepanjang jalan dengan kelopak sakura yang begitu memanjakan indra penglihatan. Hari itu, hari kelulusan bagi siswa dan siswi SD tempat Kaga menjalani kehidupan keilmuannya. Tidak ada salahnya jika ia ingin mengelilingi sekolah ini, kan? Sekolah yang akan ia kenang. Padahal, ia tidak punya kenangan apa-apa. Toh, teman saja ia hanya sekedar kenal-kenal pasar. Yang ia kenal hanya Akagi. Ya, hanya Akagi.

Apa hanya bayangannya saja jika saat ini, ia melihat gadis idiot itu berlari-lari kearahnya?

"KAGA-chan!" Oh, ternyata bukan bayangan. Kini Akagi sudah berdiri dihadapan Kaga yang sejengkal lebih tinggi darinya. Menatap Kaga begitu dalam. Seperti banyak pertanyaan dibenaknya yang tidak bisa terus menerus ia simpan dengan rapi.

"Apa maumu?" bahkan suara kaga terdengar seperti angin lurus yang tidak bernada sama sekali.

"Aku.. Kenapa akhir-akhir ini kau menghindariku? Kenapa kau selalu berpura-pura tidak melihatku jika kita bertemu? Kenapa kau tidak membuka pintu kamarmu saat aku berkunjung? Kenapa kau selalu menjauh dariku? Kenapa kau-"

"Aku membencimu, Akagi-san."

DEG!

Satu kalimat yang membuat Akagi terdiam lama. Cukup lama untuk menantikan kalimat selanjutnya dari mulut seseorang yang selama ini selalu bersamanya. Selalu Akagi ingin berada di sisinya.

"A-Aku tidak suka kau selalu menggangguku, Akagi-san! Kau pikir kau siapa? Aku tidak suka kau banyak tanya.." Kaga menggeretakkan gigi-gigi di dalam mulutnya.

"Aku.. Tidak suka kau memelukku dan mencium pipiku. Aku, membencimu, Akagi-san" Berat. Kaga merasa suaranya sedikit bergetar. Perasaannya tercekat. Apakah ini yang ingin Kaga katakan? Benarkah? Sejuta pertanyaan tengah menari-nari dalam pikirannya. Beranikah ia menatap Akagi sekarang? Beranikah ia melihat Akagi yang akan menangis saat ini juga? Akagi hanya berdiri mematung dengan kepala yang tertunduk. Merasa Kaga sudah tidak akan mengatakan apa-apa lagi, Akagi menaikkan wajahnya, menatap Kaga lembut dengan senyuman yang terlihat begitu tulus.

"Akhirya.. Kaga-chan, menjawab pertanyaanku yang dulu, ya? Hihihi.. Aku senang loh." Kaga terdiam. Jantungnya serasa telah berdetak melewati batas kenormalan. Dan..

CUP!

Satu kecupan lembut mendarat di pipinya. Apa ini? Pipinya terasa hangat. Tak ada yang bisa Kaga lakukan selain menundukkan wajahnya, membiarkan poni itu menutupi matanya, hingga rambut sebahunya yang ia gerai dengan manis menutupi bagian samping wajahnya -pipinya- yang dicium oleh Akagi.

"Akagi-san, jangan mencium pipiku." katanya lirih. Berkata demikian tetapi sebenarnya tidak demikian. Kaga tak paham. Tak bisa memahaminya. Seolah tak menggubris perkataan Kaga, Akagi malah meraih rambut dikepala Kaga, mengikatnya kesamping.

"Tenang saja, Kaga-chan. Ini yang terakhir, kok." Kaga terlihat manis dengan model rambutnya yang baru menurut Akagi. Ia hanya bisa tersenyum pada seseorang yang baginya sangat berarti itu. Sejurus kemudian, Akagi meninggalkan Kaga tanpa mendengar satu katapun yang keluar dari mulut Kaga. Kaga diam. Mematung. Tak merespon apapun. Tidak bisa. Setidaknya, ini sukses. Dia bilang, dia membenci Akagi. Dan sekarang, Akagi membencinya. Ha! Hal yang seharusnya bagus, kan? Kaga menaikkan tangannya menyentuh tempat dimana 'yang terakhir' itu ditempatkan oleh Akagi. Pipinya. "Terakhir, ya?"


Suasana sore hari yang membosankan. Seminggu setelah kejadian itu, kini, Akagi dan kedua orangtuanya berada di depan rumah mereka dengan berbagai barang pindahan. Kaga tidak mengucapkan sepatah kata pun saat ibunya dan orangtua Akagi berpamitan dan berbasa-basi ala orang dewasa mengenai Ayah Akagi yang harus dipindah tugaskan, dan meminta maaf karena Akagi yang selalu merepotkan. Memang seharusnya begitu. Anak kalian sangat mereptkan kami. Terutama aku. Batin Kaga. Pun, Akagi hanya bergeming dengan ekspresi seperti biasa. Penuh hormat dan sopan santun. Tidak ada dari keduanya yang mengucapkan salam perpisahan atau menangis-nangis dengan berdrama ria. Kaga berlakon seolah dia memang telah menantikan hal ini. Menunggu manis kepergian Akagi. Tanpa "sayonara" atau "mata ashita" atau bahkan lambaian tangan pun tidak. Ia hanya melihat Akagi yang menaiki mobil dikursi belakang, dan menutup kaca mobilnya. Tanpa lambaian tangan, tanpa pelukan, tanpa ciuman di pipi. Hanya orangtua Akagi yang berpamitan sekali lagi dengan berdadah-dadah ria. Selanjutnya, mobil itu pun pergi. Tidak ada lagi Akagi. Tidak ada lagi pertanyaan. Tidak ada lagi pelukan dan ciuman di pipi.

"Akagi-chan sepertinya sedih ya, Kaga-chan?" Ibu kaga berlalu meninggalkan Kaga masuk kedalam rumahnya. Kaga hanya diam dan mengekori ibunya. Tidak tahu, ia tidak tahu apapun.

"Ibu akan sangat merindukan anak itu. Kaga-chan, juga sedih Akagi-chan pergi?" tidak ada jawaban dari orang yang ditanya.

"Hm?" Ibu muda itu menoleh kebelakang, melihat anaknya dengan model rambut yang sudah seminggu ini menjadi ciri khas barunya.

"Buatkan aku nasi omlet porsi besar, Bu" Kaga melengos. Melewati Ibunya yang terlihat bingung dengan kedua alis yang bertautan. Ia tidak mau memikirkan apapun. Baginya, memikirkan kehidupannya kelak di SMP dan masa-masa SMA nya nanti, lebih penting dari apapun. Apapun.. Termasuk, Akagi.


Musim berganti musim, tahun berganti tahun. Perasaan Kaga dan kesehariannya masih sama. Membosankan. Ibunya belum berangkat bekerja. Mungkin tidak akan. Ibu muda itu hanya terlihat bersenandung sambil membuatkan sarapan untuk anaknya dengan ceria. Kaga hanya menghela napas panjang. Pagi yang cerah. Siswa dan siswi SMP berkumpul di depan mading. Ada yang merutuki diri sendiri, ada yang mengucap syukur, ada yang menertawakan temannya dan tidak sedikit yang berdecak kagum melihat nilai kelulusan dan ranking sekolah. Memang sudah tidak asing lagi melihat nama kanji KAGA berada di deretan paling atas. Ucapan selamat dan decak kagum terus menerus kaga terima dari mulut-mulut munafik itu.

Membosankan.

Kaga bukanlah salah satu dari cewek-cewek populer nyentrik disekolahnya. Sungguh, bukan. Teman pun hanya sebatas kenal absen. Tapi, dengan segudang prestasinya yang bahkan dikategorikan seorang jenius dengan sifatnya yang tenang dan dingin membuatnya banyak memiliki pengagum yah bisa dibilang fans?. Atau haruskah kuceritakan banyaknya laki-laki yang patah hati diluaran sana karena cinta mereka pada Kaga harus ditelan mentah mentah dengan jawaban dinginnya yang bahkan cukup untuk mereka bisa dengan mudah melupakan sosok Kaga.

Seperti pada waktu itu, seorang junior, menyatakan cintanya pada Kaga saat ujian telah berakhir. Ia terpaksa mengubur kembali perasaannya bahkan sebelum ia selesai menyatakan semua perasaannya. Dengan nada dan ritme yang monoton, Kaga berdiri dihadapannya, menatap anak itu dengan datar dan penuh keseriusan.

"Aku lebih tertarik pada metode orbital molekul dan dinamika molekul, radikal bebas, dan perbandingan berganda Dalton. Aku tidak punya waktu bermain-main. Terlebih aku tidak menyukai bocah dan aku tidak ingin terlihat seperti seorang tante-tante pengidap pedofilia. Aku bahkan lebih tidak suka seorang pengganggu."

Lalu Kaga pergi meninggalkan anak itu begitu saja. Masabodoh jika mereka akan membenci Kaga. Benci saja. Toh, ia juga tidak butuh ucapan selamat dan omong kosong yang jelas terlihat palsu dimata kaga. Tidak ada yang tau hati seseorang. Bisa saja ia manis di bibir tapi lain di hati. Atau mungkin sebaliknya. Terlebih, saat ia mendapat kabar bahwa ia mendapat beasiswa yang cukup membanggakan. Diterima di salah satu SMA terbaik di Tokyo. Ia sendiri bahkan tidak tau jika sekolahnya -dengan kurang ajar- diam diam mendaftarkannya dan menjebaknya dalam sebuah tes tulis yang ia yakini tes masuk SMA itu dengan harapan meningkatkan pamor SMP nya.

Oh Tuhan, bahkan Ibunya sudah tau dan tanpa meminta persetujuannya beliau langsung menyiapkan segala hal yang Kaga butuhkan disana. Bagaimana bisa wanita itu begitu bahagia padahal ia akan tinggal sendiri dan anaknya akan berada di kota lain?! Saat ini ibunya malah sedang semangat menyiapkan berbagai hal dan wejangan-wejangan untuk anaknya kelak jika sudah sampai di asrama nanti. Bagaimana anaknya harus mulai membuka diri dan berteman dengan manusia? Bukan dengan zat-zat kimia ataupun berbagai rumus fisika dan segala hukum-hukum bedebahnya itu. Semoga orang-orang Tokyo bisa menyadarkan dan membuka mata hati anaknya itu.

Tapi, setau Kaga, murid Tokyo itu sangat menyeramkan. Seperti binatang buas. Bukan kah ibunya sering mengajaknya menonton film dan drama dengan cerita demikian? Ia bisa saja menjadi salah satu murid yang selalu terkena ijime dan disiksa habis habisan karena sifat pendiamnya. Menjadi bulan-bulanan disepanjang koridor, di hujat dan dicaci maki. Kemudian dilecehkan dan diperkosa masal. Apa Ibunya tidak berpikir kesana? Apa Ibunya sengaja memberi pakan kepada makhluk-makhluk buas di Tokyo sana berupa anaknya sendiri? Tapi Kaga tidak bisa menolak jika Ibunya sudah memintanya. Sekalipun bisa saja ia membatalkan beasiswa itu. Sedingin apapun, Kaga tetap teramat mencintai Ibunya, ingin didekatnya seperti layaknya seorang anak kepada Ibu. Ia juga tidak mau meninggalkan Ibunya sendiri begitu saja. Tapi Ibu selalu bilang "Membanggakan Ibu, nilainya lebih besar dari pengorbanan Ibu padamu, Kaga-chan" Ayolah! Apa yang bisa membalas kebaikan seorang Ibu? Menurut Kaga tidak ada.

Dan ketika hari itu tiba, hari dimana Kaga berpisah dengan ibunya. Tidak ada tangis dengan haru deru dan peluk penuh ketidakrelaan seperti di telenovela yang sering Ibunya tonton dimalam hari. Hanya ada jitakan maut dan berpuluh puluh paragraf omelan yang keluar dari mulut sang Ibu muda dipenghujung 30 tahunnya itu.

"Aku tahu, Bu.. Aku tahu."

KAGA tahu, ia paham betul sebenarnya ibunya sedang sedih. Menangis dalam hatinya. Ibu mana yang rela melepaskan anaknya sendirian di kota yang begitu jauh? Ibu mana yang masih bisa tertawa dan seakan akan kesal dengan sifat menyebalkan anaknya seperti Ibu Kaga? Ibu mana yang terus menerus berkata 'Bertemanlah, bertemanlah, dan bertemanlah' berulangkali sambil mengacak acak rambut anaknya? Bukan memeluknya dan berkata 'Berhati-hatilah' berulangkali. Like mother, like daughter. Mungkin itu maksudnya ya. Kaga juga tidak bisa bersedih sedih sendu di depan ibunya meski hatinya ingin. Pun, mungkin ibunya begitu. Faktor genetik ia yakini. Hanya lambaian tangan dan satu ciuman di pucuk kepala Kaga yang kala itu menjadi tanda 'sampai jumpa' dari Ibunya sebelum ia benar benar menghilang di bandara menuju ke pesawat yang akan mengantarkannya ke kota Tokyo.


Tokyo Gakuen. Pusat pembelajaran modern dengan segudang fasilitas dan ribuan piala juga penghargaan. Siswa dan siswi yang pintar dan sangat stylish. Ah, Kaga tidak peduli dengan segala kemewahan dan kehebatan sekolah ini. Ia hanya ingin cepat menemukan kamar asramanya, lalu tidur dengan lelap, menjalani hari yang membosankan, mendapat predikat juara, membanggakan ibunya, lulus, masuk universitas, membanggakan ibunya lagi, lalu menjadi seorang dosen atau mungkin dokter. Setelah itu menikah. Apa? Menikah? Dengan siapa? Dengan gugus karbonil? atau gugus metil? Yang benar saja. Ia tidak mau memikirkannya.

Ia terus berjalan di lorong asrama, melewati berbagai pintu kamar. Pengurus asrama mengatakan kamarnya berada dilantai tiga nomor 104 dan ia berdalih tidak bisa mengantar Kaga karena mempunyai urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Terkutuklah dia. Meninggalkan Kaga yang harus mencari-cari kamarnya dari satu lorong ke lorong lain, dan..

"Kenapa harus lantai tiga?!"

Apa dia tidak tau Kaga benci dengan hal melelahkan dan menjengkelkan seperti ini? Terlebih membawa koper besar berisi barang-barang tidak penting yang dijejali oleh Ibunya dengan penuh semangat membara.

Baiklah, ia menemukan kamar nomor ke seratus. Kamar itu terbuka. Pemilik yang ceroboh, pikirnya. Ia terus melangkahkan kakinya.

"101, 102, 103.."

CKLEK!

"Hah?"

KAGA membuka pintu nomor 104. Tidak dikunci. Apa sudah ada yang menempatinya? Apa artinya dia salah kamar? Apa memang diisi lebih dari satu orang? Apa-

"Kaga-chan?" seseorang memanggilnya dari belakang. Suaranya lembut, sangat lembut. Lembut sekali sampai Kaga tidak mau menoleh dan malah berharap.. Bolehkah Kaga meminta suara khayalan itu memanggilnya lagi?

"Apa itu kau?" suara itu melanjutkannya. Membuat Kaga tidak bisa berhenti untuk tidak berbalik dan menoleh ke arah asal suara itu. Kaga membelalakan matanya. Orang dihadapannya kini sukses membuatnya tercengang dan diam mematung. Sesosok manusia yang ia bilang ia membencinya. Seseorang yang selalu membuatnya marah dan emosi. Seseorang yang mungkin telah membencinya. Bisakah Kaga menelan ludahnya saat ini? Sosok itu memiliki rambut kecoklatan yang indah dan tergerai bebas. Leher jenjang yang putih, postur tubuh seorang gadis idaman. Kulit yang bagaikan boneka porselen itu ditampilkannya dengan mengenakan kaus berlengan pendek dan hotpants.

"A-akagi-san?"

Kok semok?! Bahkan, tinggi mereka kini hampir sama. Meski Kaga meyakini bahwa dirinya masih beberapa senti lebih tinggi dari Akagi. Dan.. Apa yang ia lakukan disini? Jangan-jangan..

"Apa ini kamarmu?" mereka bertanya hampir bersamaan setelah terdiam beberapa lama.

"Ahahaha, tenang saja, kamarku nomor 100. Aku hanya mengikutimu dari belakang karena tadi kau terlihat seperti sedang mengintip.. kamarku?" Akagi berbasa-basi? Dengan senyuman renyah? Lagipula.. Apa maksud dari kata 'tenang saja' yang ia lontarkan itu? Sedikit menyentil hatinya. Batin Kaga bertabrakan dengan berbagai macam pikiran saat ini.

"Oh, pintu kamarmu terbuka. Kau ceroboh." Timpal Kaga dengan wajah yang ia atur sebiasa mungkin. Ia bahkan bingung kenapa ia harus mengatur ekspresinya yang tidak mempunyai banyak eskpresi itu. Akagi tersenyum.

"Tetap dingin seperti biasanya, ya?" seseorang keluar dari dalam kamar Kaga. Mendengar keributan di depan pintu, dan menghampiri biang keributan yang tengah mengganggu waktu bersantainya.

"Hei! Bisa diam tidak? Eh? Apa? KAGA?!"

Ia kenal suara itu, sangat kenal. Tidak bisa Kaga menahan dirinya untuk berbalik dan melihat pemilik suara itu. Air mukanya berubah menjadi bingung dan terkejut meski tak terlalu nampak di wajahnya yang memang miskin akan ekspresi itu. Seseorang yang ia kenal -sungguh ia berusaha untuk mengingatnya- kini berdiri di hadapannya. Dengan senyum yang tidak pernah luput dari wajahnya yang begitu ramah tamah dengan berbalut setelan kaus santai lengan panjang dan rok diatas lutut. Kaga mencerna otaknya sekali lagi, ini begitu kebetulan. Apa kebetulan semudah ini datang padanya?

"Shoukaku-san?" akhirnya Kaga menyebutnya. Mengingat nama itu.

Shoukaku adalah rekannya saat seminar olimpiade sains tingkat SMP di provinsi. Gadis itu terus menerus mendekati Kaga karena ia mengatakan bahwa Kaga kelihatan baik dan tidak punya jiwa pesaing sejati sama sekali. Tidak seperti aura para peserta dari sekolah lain. Meski begitu, sifat Shoukaku memang tidak segegabah dan seidiot Akagi, jauh memang. Pikir Kaga. Jika dibandingkan dengan Akagi, Shoukaku jauh lebih tenang, lembut dan tetap terlihat ceria dengan senyumannya. Satu paket dengan Ibu Kaga. Yang dia ingat, justru sifat Shoukaku yang seperti itu yang membuat dirinya tidak terlalu keberatan didekati oleh gadis ini. Meskipun pada dasarnya Kaga tidak menerima untuk dekat dengan siapapun. Selama empat hari tiga malam saat seminar hanya Shoukaku yang kaga kenal dari sekian banyak murid yang mengikuti kegiatan tersebut. Terakhir kali kaga bertemu dengannya adalah saat final olimpiade fisika. Kaga mengalahkannya meski tidak telak. Hanya 4 poin lebih unggul dan otomatis Kaga melanjutkannya menjadi perwakilan provinsi di tingkat nasional.

"Kebetulan sekali, ya? Aku langsung mengenalimu dari model rambutmu itu loh!" seru Shoukaku membuyarkan lamunan Kaga, kemudian diiringi tawa ringan. Kaga hanya tersenyum sekenanya. Ia tidak terlalu pandai tersenyum. Ya, semua orang tau itu.

"Apa ini kamarmu, Kaga-san?"

"ehm.. Sepertinya begitu"

"Sungguh?! Sepupuku juga tinggal dikamar ini."

Hampir-hampir Kaga melupakan ada sosok lain yang saat ini masih berdiri di samping mereka berdua. Kaga menolehkan pandangannya hampir tidak ingat dengan perkataan Shoukaku.

"Ah- maaf. Aku akan kembali ke kamarku!" Kaga tidak merasa menyalahkan Akagi sedikit pun. Kenapa ia meminta maaf? Akagi pun membungkukkan sedikit badannya dan pergi kembali menuju kamarnya. Lidah Kaga rasanya kaku. Ingin mencegah tapi untuk apa? Ingin bertanya tapi tanya apa?

"Temanmu?" Shoukaku menyela lamunan Kaga dan mengembalikannya lagi menuju kenyataan.

"Tidak-"

"Syukurlah" potong Shoukaku.

Ah? Syukur? Apa yang harus disyukuri? Seakan nampak sekali keingin tahuan dari wajah Kaga, Shoukaku tersenyum dan melipat kedua tangannya di dada. Rasanya seperti seorang kakak yang baru melihat adiknya pulang sebelum ia mencarinya.

"Dia gadis yang buruk." Ucap Shoukaku begitu entengnya sambil memandang arah menuju kamar Akagi. Kaga termengu sejenak. Kemudian kedua alis matanya bertautan. Kaga menatap Shoukaku yang kini masih berada di hadapannya, masih dengan posisinya saat mengatakan empat kata membingungkan itu. Lalu, Shoukaku kembali melemparkan pandangannya pada Kaga. Menatapnya seakan mempertanyakan 'Kenapa mukamu begitu?'

Kaga menarik napas dalam dan sedetik menundukkan kepalanya. Ia mengangkat dagunya, menatap mata Shoukaku kembali kemudian tersenyum kasar.

"Kau benar."

Akagi, kau gadis yang begitu buruk. Bahkan setelah pergi dariku. Bahkan, setelah berani-beraninya kembali muncul.

To be continued…

Halo. Lama sekali rasanya akirnya kembali di fandom ini. Bahagiaaaaa… Saya kembali dengan fiksi lama saya yang sedikit sekali saya remake dan kebetulan saya sudah punya rencana dan cerita kelanjutannya makanya saya iseng mau update lagii /

Selamat membacaa /kayak ada yg baca aja/ *plakk!