Salted Chrysantemum
.
a fic by Aulient A.
.
DISCLAIMER: Masashi Kishimoto
.
merman/havmand!au, hanahaki disease!au.
.
warning: implied suicidal thoughts, implied one-sided love, DLDR.
.
Ini hanyalah kisah tentang seorang gadis yang memuntahkan bunga setiap kali ia batuk, dan sesosok makhluk laut yang sering dianggap buruk.
prologue
~o0o~
Hinata menatap amplop coklat yang tipis dan lebar berlogo 'Okinawa Prefecture Hospital' di tangannya. Ia menaruh gelas karton kopi yang tadi siang ia beli di kafetaria kantor ke meja ruang tamu apartemennya yang rapi. Menghembuskan napas berat, Hinata merobek ujung atas amplop besar itu, dan menarik isinya keluar. Mata amethyst Hinata menyisir kolom identitas di atas lembar plastik tebal yang kini ia pegang, melihat namanya sendiri tertulis disana membuatnya agak mual.
Nama: Hyuuga Hinata
Umur: 24 tahun
Jenis Penyakit: Hanahaki Disease
Ia dan penyakit sialannya.
Lembar plastik yang kini ia pegang adalah hasil rontgen rongga dadanya. Saat melihat gambar yang terpampang disana, berbagai emosi bercampur aduk di kepala Hinata. Ia kagum, jijik, kesal, senang, takut, sekaligus frustasi luar biasa saat melihat hasil rontgen nya sendiri. Di lembaran plastik itu, terlihat jelas bagian paru-paru Hinata yang dipenuhi oleh bunga-bunga krisan indah yang bermekaran. Bunga-bunga itu memenuhi rongga dada Hinata, berdempetan berebut lebih banyak tempat untuk merekah indah.
Ya, kau tidak salah baca. Paru-paru Hinata memang dipenuhi bunga.
Hanahaki Disease adalah tumbuhnya berbagai macam bunga di paru paru seseorang yang mencintai orang lain dengan sangat dalam, namun orang lain itu tidak balas mencintainya untuk waktu yang terlalu lama. Gejala yang timbul karena penyakit ini adalah batuk berlebihan disertai keluarnya kelopak-kelopak bunga dari rongga mulut, nyeri pada bagian dada, dan kesulitan bernafas.
Penyakit ini hanya bisa disembuhkan bila orang yang dicintai oleh penderita bisa dengan tulus mencintai si penderita, sebagaimana si penderita mencintai orang itu. Penyakit ini bisa juga diangkat melalu operasi dan pembedahan. Namun, saat bunga-bunga hanahaki disease diangkat melalui jalur operasi, si penderita juga akan turut kehilangan semua perasaan dan emosi yang ada dalam dirinya. Selain dengan cara-cara itu, penyakit ini sama sekali tidak bisa disembuhkan.
Hinata merasa gatal pada tenggorokannya, dan tanpa ia kehendaki, ia terbatuk keras beberapa kali, dan kelopak-kelopak putih dan kuning bunga krisan keluar dan berjatuhan dari mulutnya. Dadanya terasa sesak.
Ia menyibakkan beberapa kelopak bunga yang terjatuh di atas lembaran rontgen nya, dan mengamati lembaran itu lagi. Dokter keluarganya telah menganjurkannya untuk segera mengangkat bunga-bunga yang ada di paru-parunya sejak ia pertama kali di diagnosis menderita penyakit itu. Tapi Hinata tidak mau mengambil resiko kehilangan semua emosi dan perasaan yang bisa dirasakannya. Baginya, itu sama saja artinya dengan tidak hidup.
Sampai sekarang penyakitnya sudah menginjak stadium 3, Hinata masih bersikeras tidak ingin bunga-bunga itu diangkat dari paru-parunya.
Hinata mendesah lagi, dan menyesap kopinya.
Ia berusaha bernafas secara perlahan dan teratur, mengabaikan rasa nyeri yang muncul dan hilang secara acak di dadanya. Ugh, betapa Hinata membenci penyakit ini. Padahal Hinata sudah belajar untuk membenci pemuda yang membuatnya mendapatkan penyakit ini. Namun usaha yang melelahkan itu nyatanya tidak berefek apapun pada puspa yang bermekaran di paru-parunya. Bunga-bunga itu tetap tumbuh subur disana.
Untuk kesekian kalinya di hari itu, Hinata batuk dengan kencang, melontarkan kelopak-kelopak bunga ke meja ruang tamunya. Hinata mengerang. Penyakit ini, bukan hanya sangat menyakitkan dan mematikan, namun juga sangat-sangat merepotkan. Setiap kali ia batuk, ia harus membersihkan kelopak-kelopak bunga sialan itu dari pandangan.
Dering telepon ponselnya mengalihkan Hinata sejenak dari pikiran-pikirannya, ia bergegas mencari ponselnya dan menyentuh tombol hijau di layarnya
"Hey,"
Hinata mengenali suara itu. Sangat, sangat mengenali suara rendah yang selama tiga tahun terakhir menjadi bayang-bayang sekaligus angan-angan semu dalam hidupnya.
"Hey." Balas Hinata
"Bagaimana keadaanmu?"
"Hm," Hinata terkekeh kecil, geli mendengar pertanyaan bodoh lawan bicaranya. "Masih buruk, seperti hari-hari sebelumnya. Lebih buruk, malah. Sekarang sudah stadium tiga lho. Tadi sore aku mengambil hasil rontgen ku dari rumah sakit, bunga nya semakin banyak, semakin indah." Hinata berkata dengan nada riang gembira, yang hampir terasa seperti mengejek pemuda yang menelepon nya, pemuda yang sama yang membuat Hinata menderita penyakit sialan ini.
"Stadium…. 3?" ketidakpercayaan tersirat jelas dalam nada suara pemuda itu.
"Yeah," Hinata mengendikkan bahu. "Memang hanya tinggal menunggu waktu saja, kan?"
"Jangan bicara seperti itu, Hinata. Aku tidak suka. Kau berkata seolah-olah kau akan mati besok pagi."
Hinata mengernyitkan alisnya yang terbentuk sempurna, "Oh, omong kosong. Apa pedulimu, Sasuke?"
"Demi Tuhan, Hinata, aku peduli padamu! Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini padaku?" helaan nafas lelah terdengar di seberang telepon.
"Sampai…. entahlah. Sampai aku tidak ada?"
"Hinata-"
Hinata menutup teleponnya.
Musim dingin tanpa salju telah menyelimuti Okinawa dalam waktu yang lama. Bahkan menurut Hinata, terlalu lama. Hari-hari suram disini hanya diisi dengan hembusan angin dingin kencang yang membekukan. Pohon-pohon tanpa daun berderak-derak di terpa angin, mengindikasikan mereka bisa saja patah setiap saat.
Hinata selalu menyukai air. Hujan, laut, sungai, Hinata selalu menyukainya. Dan pantai adalah salah satu tempat yang rutin dikunjungi nya jika sedang penat. Ia selalu mengunjungi pantai, tanpa mengenal musim. Musim panas, semi, gugur, ataupun dingin, tidak memiliki perbedaan dimatanya. Selama ia masih bisa melihat air yang bergelombang dan beriak, merasakan air laut yang menyentuh kakinya, ia akan terus mengunjungi pantai
Pantai itu, adalah rendezvous pribadinya.
Ia rutin datang kesini sejak ia pertama kali di diagnosis menderita penyakit terkutuk itu, hanahaki. 2 tahun yang lalu, tepatnya. Tempat ini, pantai ini, telah menjadi saksi bisu segala keluh kesah dan emosinya yang tidak mampu ia tumpahkan pada orang lain. Tempat ini, pantai ini, adalah rumah keduanya.
Hinata tidak pernah menghitung akan berapa kali ia telah mengunjungi tempat ini untuk merenung dan berpikir. Well, sebenarnya pernah, namun ia kehilangan hitungan setelah kunjungannya yang ke 18, dan itu sudah 2 tahun yang lalu.
Dia suka mengunjungi pantai ini pada musim dingin, karena hanya orang bodoh yang pergi ke pantai saat musim dingin. Apalagi saat cuaca berangin begini. Dengan begitu, ia bisa memiliki tempat ini untuk dirinya sendiri, tanpa harus berbagi keindahannya dengan orang lain.
Biasanya, Hinata akan duduk di batu karang yang agak dekat dengan garis tepi pantai, dan mengamati air yang bergejolak di depannya. Namun hari ini, ia merasa ingin berjalan-jalan di seluruh pesisir pantai, menikmati aroma pantai yang bahkan sebenarnya tidak bisa ia cium dengan jelas lagi sejak bunga-bunga krisan memenuhi paru-parunya.
"Hei."
Hinata menoleh secepat kilat, terperanjat saat mendengar suara rendah yang jelas jelas milik seorang pria, dari belakangnya.
"Mendekatlah."
Hinata mengernyit, setengah karena takut, setengahnya lagi karena heran. Masalahnya, ia tidak tahu dimana sumber suara itu berasal. Jadi, ia harus mendekat kemana?
"Arah jam 4, bodoh."
Hinata menoleh dengan cepat lagi, kali ini mengikuti instruksi suara misterius tersebut. Menoleh perlahan ke arah jam 4 (serong kanan belakangnya), dan ia hanya melihat sebuah batu karang besar yang biasa memecah ombak di saat-saat pasang.
Tunggu. Ia melihat sesuatu. Sesuatu yang berkilau di balik batu karang itu. Kilauannya aneh, pula. Hijau kebiruan bercampur dengan cahaya emas.
Ia berjalan perlahan ke arah batu karang itu. Pantai sebentar lagi akan pasang, air sudah naik sampai ke betisnya saat dia berjalan mendekati batu karang itu. Hinata berjalan perlahan, mengantisipasi apa yang akan dilihatnya di balik batu karang tersebut. Saat sudah cukup dekat, Hinata meraba permukaan batu karang itu dan perlahan-lahan memutarinya.
Kilauan yang tadi dilihatnya semakin jelas, itu berasal dari benda lonjong bersisik yang memantulkan cahaya seperti mutiara. Apakah itu…. ikan? Sebesar itu? Hinata bersumpah, besarnya setengah badan orang dewasa.
Namun, nyatanya, itu bukan ikan raksasa.
Hinata melongok lagi, dan apa yang dilihatnya, membuatnya terkejut luar biasa hingga hal yang bisa ia rasakan hanyalah keterkejutan mendalam di kepalanya dan sel-sel otaknya yang mengirim informasi ke otaknya lebih banyak daripada yang ia bisa terima dalam sedetik.
Benda lonjong berisik yang memantulkan cahaya seperti mutiara itu adalah sebuah ekor. Sebuah ekor dari seorang…. putri duyung?
Hinata jatuh pingsan.
"Sialan, aku tidak tahu bagaimana caranya berurusan dengan fana yang tidak sadarakan diri."
Samar-samar, Hinata mendengar suara debur ombak dan kecipak air yang terdengar sangat dekat darinya. Hinata masih belum membuka matanya, namun kesadarannya perlahan-lahan sudah mulai kembali.
Hinata mengerang.
Makhluk yang sejak tadi ada di samping Hinata, terkejut ketika mendengar erangan Hinata yang terdengar agak menyakitkan. Seperti gadis itu menggunakan seluruh tenaga nya untuk mengeluarkan satu erangan lemah tersebut.
Mahkluk itu menepuk-nepuk pipi Hinata yang diselimuti pasir pantai halus, berharap tindakan itu dapat mempercepat proses Hinata untuk sadar diri. Makhluk itu terlonjak ketika tangan kanan Hinata tiba-tiba mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat, dan menarik tangan itu menjauh dari wajahnya.
Lalu Hinata terbatuk. Sangat, sangat, keras.
Dan puluhan kelopak bunga krisan berwarna merah, kuning, putih, dan merah muda, bertebaran di pasir putih di sekitar Hinata.
Makhluk itu, terdiam di tempat setelah melihat kelopak-kelopak tersebut keluar dari mulut Hinata.
Ketika Hinata sepenuhnya sadar akan sekelilingnya, ia membuka mata lebar-lebar dan mencermati makhluk yang ada disampingnya. "Astaga…" Hinata memekik. "Astaga… kau…?"
"Uh," makhluk itu tersenyum canggung. "Hai, fana."
Hinata terlihat seperti mau pingsan lagi. "Kau… apakah ini nyata? Aku pasti hanya bermimpi, kan?"
"Um, seharusnya aku yang berkata seperti itu, nona. Kau baru saja mengeluarkan berbagai kelopak bunga dari mulutmu!"
"Tapi…. kau…" Hinata berusaha bangkit dan beringsut mundur. "Putri duyung itu seharusnya tidak ada! Apalagi yang laki-laki! Mereka hanya bagian dari dongeng!"
Mendengar perkataan Hinata, makhluk itu menyatukan alisnya, merasa tersinggung. "Maaf ya, pertama-tama, aku ini bukan putri duyung. Aku ini havmand. Atau kau bisa memanggil kaumku dengan sebutan merman. Apapun selain putri duyung! Aku muak di salah artikan sebagai salah satu kaum putri duyung." si Havmand menarik nafas panjang, lalu melanjutkan pidato kecil-kecilannya. "Lalu, yang kedua, tau apa kau tentang dongeng, huh? Kau sendiri terlihat seperti gadis ajaib yang keluar dari dalam dongeng. Tidakkah kau melihat dirimu sendiri? Kau baru saja melontarkan kelopak-kelopak bunga! Dari mulut mu! Secara harfiah!"
"Berhentilah berteriak padaku!" Hinata balik berteriak pada si havmand, dan berteriak adalah pilihan yang salah untuk Hinata. Segera setelah teriakannya selesai, Hinata kembali terbatuk keras hingga terbungkuk-bungkuk, kali ini hingga beberapa kali, tanpa jeda.
Tanah disekeliling Hinata terlihat seperti hamparan permadani dari kelopak bunga.
"Kau… kau tidak apa-apa?" si havmand beringsut mendekati Hinata. Tindakannya terlihat agak canggung mengingat si havmand harus merangkak dengan tangan dan menyeret tubuh dan ekor duyungnya.
"Ugh, aku baru saja bertemu dengan makhluk dari negeri dongeng, pingsan di hadapannya, dan memuntahkan hamparan kelopak bunga saat sadar. Tentu saja aku tidak apa-apa, tuan Havmand."
Nada sarkastis Hinata mengundang sebuah kerutan heran di dahi si havmand.
"Kau punya nama?"
"Dan kenapa aku harus memberitahukan informasi pribadi ku padamu, tuan Havmand?"
"Tsk," si Havmand mendengus. "Apakah semua manusia fana semenyebalkan ini?" si Havman beringsut menjauh dari Hinata. "Dan, berhentilah memangggilku tuan havmand! Aku juga punya nama."
"Oh ya?"
"Tentu saja. Namaku Uzumaki Naruto dari kawanan Uzumaki di Arus Timur. Senang bertemu denganmu." lalu Naruto tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi nya yang rapi.
"Arus Timur?"
"Tempat tinnggalku. Agak jauh dari sini. Anyway, manusia fana, tidakkah kau merasa setidaknya berhutang untuk memberitahukan namamu padaku?"
Hinata memicingkan mata sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus memberitahukan namanya pada makhluk tersebut aau tidak. Tapi lalu ia berpikir, tidak ada salahnya memberitahukan namanya pada makhluk itu. Jika nanti makhluk itu menyihirnya menjadi keong karena sudah mengetahui namanya, well, so be it. Toh, waktu Hinata di dunia juga hampir habis, kan?
Akhirnya, dengan suara pelan dan parau, Hinata berkata, "Hinata."
"Oh? Namamu Hinata?"
Hinata mengangguk.
"Hanya Hinata? Tidak ada nama kawanan?"
"Kawanan?" bingung, Hinata bertanya. "Manusia tidak punya kawanan."
"Oh." Naruto mengalihkan pandangan matanya sejenak, merasa tidak enak. "Pasti tidak enak sekali hidup tanpa kawanan."
Hinata mengendikkan bahu sedikit, "Mungkin. Tidak pernah tahu rasanaya memiliki kawanan. Tapi aku punya nama keluarga."
Naruto kembali menatap Hinata. "Nama keluarga?"
Sambil menjawab, Hinata mengangguk kecil. "Hyuuga. Namaku Hyuuga Hinata."
"Jadi… Hyuuga, tidakkah kau mau menjelaskan padaku asal mula bunga-bunga itu?"
"Hah?" Hinata, yang tadinya sedang sibuk menepuk-nepuk pakaiannya dari pasir, menatap Naruto yang masih bertahan di posisi yang sama, menumpu berat badannya pada kedua siku. "Bunga-bunga itu, adalah penyakit."
"Penyakit?"
"Yeah, jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan."
"Mematikan?"
Hinata menatap naruto seakan akan ia telah menanyakan pertanyaan paling retoris sedunia. "Sangat."
Naruto membuka mulutnya, terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun Hinata tiba-tiba berkata, "Dan kau. Kau memanggilku kesini tadi, sebelum aku pingsan." Hinata memicingkan mata. "Mau apa kau memanggilku?"
"Oh, itu." Naruto menggaruk belakang kepalanya. "Aku sedang dalam sebuah misi. Dan aku membutuhkan bantuan seorang manusia fana untuk melakukannya."
Hinata menaikkan alisnya, "Misi?"
"Iya," Naruto mengangguk. "Sebelum aku menjelaskan apa misiku, bisakah kita pindah ke tempat yang agak lebih nyaman? Siku ku sakit sekali."
~o0o~
a/n: soooooo gimana menurut kalian? lanjut apa engga? soalnya saya ngerasa tema merman sama hanahaki disease masih sedikit banget yang ngangkat :') let me know your thoughts in the review box~ kritik membangun dan saran sangat sangat dibutuhkan^^
a/n2: i still have a soft spot for sasuhina im sorry
