Terinspirasi dari idenya Freja Project by MiRai team (dia/mereka salah satu senior di jagad perffan yang karya seputar Sulay-nya saya kagumi). Sebelumnya mohon maaf apabila nggak sesuai ekspektasi. Maklumlah saya ini cuma tukang ketik yang masih yesterday afternoon di jagad perffan :D
.
.
.
SANG PEMBIMBING
Selayang Pandang
.
.
.
NoRen
SuLay
.
.
.
BxB
.
.
.
-000-
Oke, kepulangan Kaka' Jeno-nya memang cukup mengejutkan. Maklum, pacarnya itu nyaris sulit dikenali. Warna kulit berubah tan, rambut menjurus gondrong. Seakan belum cukup, kulit wajahnya yang biasa mulus terawat kini terlihat kusam, seolah-olah selama berbulan-bulan tak tersentuh skincare apapun. Belum lagi jerawat-jerawat kecil yang menghiasi pipi kanan-kiri sampai dahi. Tak heran kalau Renjun sempat berinisiatif untuk menelepon Densus 88 begitu membuka pintu, khawatir sosok kekar yang menggendong carrier itu teroris atau semacamnya. Tak kalah kaget dari Renjun, Jeno pe mama* malah refleks memekik saat bertatap muka dengan Si Kekar.
"Kaka' Jeno? Na pe muka kiapa so jadi bagini*?!"
Yang menjadi sumber keterkejutan malah nyengir seraya merangkul pundak Renjun, mengabaikan keterkejutan yang masih menyergap Si Pemuda Manis. Berbeda dengan ibunda Jeno yang refleks memekik kaget, Renjun tampak melongo. Sempat terbersit niat dalam hati Renjun untuk melepaskan rangkulan Si Kekar saking tak yakin bahwa yang merangkulnya ini sungguh-sungguh pacarnya. Akan tetapi, Renjun urung melaksanakan niatnya setelah gendang telinganya menangkap suara yang familiar dari sosok 'terduga Jeno'.
"Maklum, Ma, ta so lama di pedalaman."
Puji Tuhan, ternyata yang merangkulnya memang Jeno!
Sementara pacarnya lanjut bicara pada Sang Ibu dalam bahasa Manado yang tidak dimengertinya, Renjun memilih untuk mengamati baik-baik tampang Jeno. Sungguh, dia sama sekali tak menyangka bahwa Jeno bakal pulang dengan tampang semacam ini setelah dua bulan lebih tinggal di pedalaman demi mengambil data penelitian berupa data bahasa. Seingat Renjun dia sudah membekali Jeno dengan sunblock dan seperangkat skincare, tapi kenapa pacarnya malah jadi begini?
Astaga, Huang Renjun! Seharusnya engkau bersyukur pacarmu pulang dengan selamat, Nak.
"Kamu kenapa, Yang? Kok bengong terus?"
Jeno menanyainya begitu mereka sampai ke kamar Jeno yang tampak rapi sekaligus manis berkat pernak-pernik serba Moomin. Jangan tanya milik siapa pernak-pernik itu, pasalnya sudah pasti bukan milik Jeno. Heol, sekali lihat saja sudah terasa jelas aura khas dominan dari seorang Lee Jeno. Mana mungkin dia doyan mengoleksi pernak-pernik serba Moomin?
Lantas milik siapa gerangan semua pernak-pernik Moomin tersebut?
"Wah, Yang. Nggak salah nih? Kamarku kok jadi mirip kamar cewek?" Jeno lagi-lagi menanyai Renjun, kali ini gara-gara dia menyadari kamarnya bertemakan Moomin.
Nah, sekarang kau sudah tahu 'kan siapa gerangan pemilik pernak-pernik serba Moomin?
"Kamar cewek gimana? Kamar cewek itu kalo warnanya serba pink. Ini 'kan masih dominan item-putih, Yang," Renjun yang mendadak pulih dari moda bengong langsung protes. Manis-manis begini dia itu mengaku dirinya manly, tentu saja tidak terima kalau ruangan yang ditempatinya disebut-sebut mirip kamar anak gadis.
"Bukan masalah warna, Yang. Ini isinya Moomin semua. Cewek banget," Jeno berargumen.
Renjun manyun. "Moomin nggak identik sama cewek, Kaka' Jeno," dia lagi-lagi protes. "Udah jangan banyak protes. Buruan mandi, cuci muka yang bersih. Kamu dua bulan lebih di pedalaman jadi dekil banget, tau nggak?"
Alih-alih tersinggung, Jeno malah terkekeh sembari mencopot carrier-nya. "Inilah seninya jadi peneliti, Yang. Nggak takut dekil demi ngumpulin data penelitian," tangkisnya dengan nada canda.
"Tapi 'kan aku udah bawain kamu skincare," Renjun berargumen, masih bernada protes. "Memangnya nggak dipake?"
"Ya ampun, Yang. Namanya di lapangan mana kepikiran ngurusin skincare? Bisa nemu aer buat keperluan MCK aja udah bersyukur," Jeno membalas argumen Renjun. "Dari rumah penduduk ke sungai itu bisa setengah kilo sendiri, Yang. Di sungai mau bersih-bersih lama keburu ketempelan lintah. Lagian kayak gini malah sehat. Dekil, tapi itung-itung detoks juga, nggak kena produk kimia selama dua bulan lebih."
"Iya deh, iya, Kaka' Peneliti," Renjun mengalah, diam-diam bergidik ngeri membayangkan kaki pacarnya ditempeli lintah saat pergi ke sungai. Dengan penuh pengertian dia membantu Jeno mencopot jaketnya.
"Sekarang mandi, gih. Biar segeran," perintah Renjun setelah melemparkan jaket Jeno ke keranjang cucian di sudut kamar.
"Sun dulu boleh?" Jeno menaik-turunkan alisnya dengan genit. "Mumpung Mama nyanda* liat."
"Nimbole*, Kaka' Jeno. Mandi dulu, baru boleh," tolak Renjun dengan gaya angkuh.
"Dua bulan lebih ditinggal, ternyata so ngerti sedikit-sedikit bahasa Manado." Jeno mendadak takjub. "Nggak sia-sia Mama minta kamu stay di sini selama aku di pedalaman."
"Bagus, 'kan? Daripada kamu, nggak ngerti-ngerti bahasa Jawa, padahal udah bolak-balik diajarin. Suabar tenan aku, Mas," Renjun pura-pura bersungut-sungut, lagi-lagi mengundang kekehan kecil dari Jeno.
"Bahasa Jawa susah, Yang," Jeno beralasan. "Lagian keluarga kamu udah jarang pake bahasa Jawa, 'kan? Yangkung sama Yangti kamu di Wonogiri sama Temanggung malah jago bahasa Indonesia. Nggak apa-apalah kalo aku nggak bisa bahasa Jawa."
"Iya, nggak kayak opa sama oma kamu yang bisanya bahasa Manado, Mongondow sama Belanda. Mau nggak mau aku harus belajar bahasa Manado."
Kali ini Renjun bersungut-sungut betulan. Maklum, masih agak trauma lantaran Paskah kemarin untuk pertama kalinya dia diperkenalkan pada opa dan oma Jeno dari pihak ibu yang asli Mongondow. Seperti yang barusan dikatakan Renjun, opa dan oma Jeno tidak bisa bahasa Indonesia. Kedua sesepuh itu hanya bisa bahasa Manado, Mongondow, dan Belanda. Walhasil Renjun yang asli produk Wonogiri-Temanggung pusing tujuh keliling, hanya bisa mengandalkan bantuan Jeno selaku interpreter.
"Calon cucu menantu Opa sama Oma Lee Maramis memang harus bisa bahasa Manado, Yang." Tanpa menaruh peduli pada sungutan Renjun, Jeno malah mengusak rambut pacarnya dengan penuh sayang.
"Calon cucu mantu Eyang Huang Suwarsono juga harusnya bisa bahasa Jawa, sih," balas Renjun tak mau kalah.
"Tapi Eyang Huang Suwarsono bilang yang penting itu seiman, satu visi dan misi," tangkis Jeno untuk membela diri.
"Aishh, udah buruan mandi sana! Lama-lama aku kesel, nih." Renjun manyun lagi.
"Iya, iya, Sayang. Galak banget, sih? PMS ya?" Jeno malah menggodanya. Tanpa permisi dikecupnya singkat bibir mungil yang sewarna delima milik Renjun, walhasil mengejutkan pemiliknya.
"Yak! Kaka' Jeno!"
Yang diteriaki malah tertawa setan sambil melesat ke kamar mandi, sukses besar menghindari boneka berbentuk kepala Moomin yang dilemparkan Renjun dengan semangat Olimpiade.
-000-
Jeno mungkin terlalu merindukan guyuran air, sampai-sampai dia tak kunjung keluar meski sudah menghabiskan waktu dua puluh menit di dalam kamar mandi. Namun demikian, Renjun sama sekali tak keberatan. Selain karena maklum, kebetulan atensinya dari sosok Jeno di kamar mandi teralihkan lantaran ponselnya berdering, memperlihatkan panggilan masuk di layar dari kontak yang diberinya nama Pak Yixing.
"Wah, Pak Yixing nelepon gue. Asyik, mudah-mudahan beliau ngabarin kalo minggu ini gue bisa bimbingan buat proposal tesis!" Renjun bersorak riang.
Tanpa sudi membuang-buang waktu, Renjun bergegas menjawab panggilan dari dosennya itu.
"Halo? Pak Yixing?"
"Halo Renjun." Terdengar suara empuk menjurus lembut milik dosennya menyahut.
"Untuk minggu ini saya belum bisa ke kampus. Saya harus istirahat total di rumah. Bed rest. Kalau memang mendesak sekali untuk konsultasi, kamu ke rumah saya saja, ya."
"Bed rest? Bapak sakit?" Renjun langsung khawatir mendengar dosennya menyebutkan frasa 'bed rest'. Beragam spekulasi mulai bermunculan dalam benaknya dan berujung pada ketakutan akan berbagai kemungkinan penyakit yang diderita Sang Dosen.
"Saya nggak sakit, cuma drop aja. Maklum, trimester pertama," Yixing menjawab.
Butuh sekian detik bagi Renjun untuk mencerna jawaban dosennya, sampai akhirnya dia terbelalak lebar-lebar, kaget bukan kepalang begitu memahami makna dalam jawaban Yixing.
"Bapak hamil?" Renjun tak kuasa menutupi keterkejutan dalam nada bicaranya. Tanpa sadar volume suaranya sedikit naik sebagai efek kaget. Seakan belum cukup, gendang telinganya yang tajam menangkap suara-suara lain di sambungan telepon.
"Alice mau sama Ibu! Mau sama Ibuuu!"
"Alice, Ibu lagi istirahat, Sayang. Alice sama Papa aja, ya? Kasian Ibu, Nak. Di perut Ibu 'kan ada adeknya Alice, jadi Ibu sama Adek harus banyak-banyak istirahat."
"Nggak mau! Alice mau sama Ibu sekarang! Ibu nggak boleh sama Adek terus! Alice nggak suka sama Adek!"
"Alice, Alice nggak boleh ngomong kayak gitu ke Adek, Nak. Adek itu saudaranya Alice. Saudara harus saling sayang."
"Nggak mau! Alice nggak mau sayang sama Adek! Adek jahat! Adek bikin Ibu sakit!"
"Alice, Alice kok ngomongnya kayak gitu? Nggak baik, Nak. Adek nggak bikin Ibu sakit. Adek itu masih kecil, jadi harus diajak Ibu istirahat, Sayang."
Renjun meneguk ludah. Astaga, ternyata dosennya benar-benar sedang mengandung!
"Udah, udah, Mas. Nggak apa-apa. Sini biar Alice sama aku." Suara Yixing kembali menyapa gendang telinga Renjun.
"Renjun, maaf. Anak saya tiba-tiba rewel. Nanti saya kirim pesan ke kamu kapan sebaiknya kamu konsultasi ke saya, ya? Sementara kirim dulu draf proposal kamu ke posel saya, biar saya pelajari."
"Oh? Eh, iya Pak sa—"
"Nggak, Yi. Nanti kalo kaki atau tangan Alice kena perut kamu gimana? Udah, kamu istirahat aja. Alice biar kubawa ke rumah Mas Dongkyu. Siapa tau dia seneng ketemu sepupu-sepupunya."
Suara yang dikenali Renjun sebagai suara milik suami Yixing sukses memotong tuturannya. Renjun kontan mingkem dan lagi-lagi meneguk ludah lantaran mendengar suara tangisan yang familiar di sambungan telepon. Renjun kenal betul siapa pemilik suara tangisan itu. Itu suara tangisan Kim Alice, putri Yixing.
"Huaaaa! Alice nggak mau ke rumah Pakdhe! Alice mau sama Ibu! Huaaa!"
"Renjun, saya tutup dulu teleponnya, ya."
Suara Yixing menjadi pamungkas sebelum sambungan berakhir. Renjun tak sempat menyahut. Pemuda manis itu hanya bisa memandangi layar ponselnya. Sorot matanya masih sarat keterkejutan.
"Ternyata Pak Yixing lagi hamil," Renjun menggumam.
Tiba-tiba sepasang matanya terbelalak. "Eh, tunggu, tunggu. Kalo sekarang Pak Yixing masih trimester pertama berarti…"
Secepat kilat jarinya meluncur di layar ponsel, membuka menu kalender. Telunjuknya bergerak cepat menggeser bulan demi bulan, sementara mulutnya komat-kamit menghitung.
"Tujuh… Delapan… Sembilan… ANJIR!"
Lagi, sepasang matanya terbelalak. Kali ini bahkan lebih lebar dari sebelumnya.
"Mampus gue! Pak Yixing cuti lahiran pas gue bikin tesis. Huaaaa! Kaka' Jeno! Calon pembimbingku terancam bukan Pak Yixing!"
Histeris, Renjun berlari ke pintu kamar mandi, menggedor-gedornya bak Hansip hendak menggerebek pasangan mesum.
"Kaka' Jeno! Calon pembimbing tesisku terancam bukan Pak Yixing! Piye iki? Aku kudu otokeh?!"
.
.
.
BERSUMBANG DI LAIN WAKTU
.
.
.
Jeno pe mama: Mamanya Jeno
Na pe muka kiapa so jadi bagini: Kenapa wajahmu sudah jadi begini?
Nyanda: Tidak
Nimbole: Tidak boleh
(Mohon koreksi pabila ada kesalahan ley)
.
.
.
Yuliya Dyakonenko
