Karena segalanya menjadi terlihat berbeda,

sejak sepasang iris gelap itu memerangkapnya dalam sebuah tatapan.

.

.

.

Chasing Butterflies

By

Nightingale

.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

Duk! Duk!

"Karin! Bangun, sudah hampir jam tujuh! Nanti kau terlambat!"

Duk! Duk!

"Bangun, Pemalas!"

Suara itu menyentaknya dari alam bawah sadar. Dengan gerakan malas ia menggeliatkan tubuhnya yang terbungkus selimut tebal berwarna coklat gelap. Ia berniat untuk tidak menanggapi panggilan itu, tapi selanjutnya ia sadar bahwa si pemilik suara –yaitu ibunya sendiri- tidak akan berhenti sampai ia menyahut.

"Nggh…" ia melenguh sambil menyingkap selimutnya. "Iya…, iya…, ngh, sudah bangun."

Tangannya terulur ke meja kecil disamping tempat tidurnya, meraih sebuah kaca mata. Setelah gagang benda itu terselip diantara daun telingianya, ia kemudian melihat ke sekeliling ruangan, berusaha mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.

Hari ini adalah hari rabu, berarti kelas hari ini akan diisi dengan mata kuliah Pak Asuma. Ia kemudian melirik ke arah weker berbentuk kepala beruang yang tergeletak di atas meja kecil.

Pukul 06.55

Karin menyebut dalam hati. Selanjutnya ia kembali menghadap ke depan, sesekali menggaruk pelipisnya yang gatal. Ekspresinya masih terlihat sangat mengantuk dengan mata setengah tertutup.

Satu detik.

.

Dua detik.

.

Tiga detik.

.

"Astaga! Aku terlambat!"

.

Dua puluh menit kemudian akhirnya Karin turun ke lantai dasar rumahnya dengan tergesa-gesa. Dia melihat dapur yang merangkap sebagai ruang makan itu sudah penuh dengan berbagai macam aktifitas. Ada Uzumaki Kushina, ibunya yang terlihat sedang berdiri menghadap westafel dengan tangan memegang lap, sedangkan di meja makan terlihat dua pemuda sedang asik menikmati sarapan mereka ─dengan tidak tenang. Mereka berdua sesekali saling melempar potongan roti yang ada di meja mekan ketika si ibu tidak melihat. Biasanya ada satu laki-laki lagi yang duduk di meja makan tersebut, dan Karin pasti akan melihatnya jika saja pagi ini ia tidak terlambat bangun. Ayahnya pasti sudah berangkat kerja lima belas menit yang lalu.

Mendengar suara derap langkah cukup keras dari arah pintu membuat wanita bersurai merah menoleh dan memasang wajah jengah.

"Lagi-lagi kau terlambat bangun," wanita itu menggerutu dengan suara pelan sambil melanjutkan pekerjaannya membersihkan dapur. "Kau sudah menjadi mahasiswa, Karin, setidaknya ubahlah kebiasaan burukmu yang tidak bisa bangun pagi itu." Sang ibu menasehati.

Karin hanya tertawa kering mendengar ucapan sang ibu. "Iya, Bu. Akan kuusahakan." Ucapnya sambil menarik punggung kursi yang kosong kemudian mendudukinya. Ibunya hanya menghela nafas lelah, semua orang di rumah itu –kecuali Karin sendiri- tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa bangun pagi.

"Aku tahu bagaimana cara membuatnya bangun pagi, Bu." Ucap seorang pemuda yang duduk di sebelah Karin. "Bunyikan alarm kabakaran di kamarnya."

Mendengar saran konyol itu Karin hanya bisa mendelik ke arah pemuda beriris biru langit disebelahnya. Naruto, kakak keduanya, dengan surai pirang dan mata biru cemerlangnya menatap Karin dengan pandangan menyebalkan.

"Itu tidak akan mempan." Pemuda lain di ruangan itu menyahut. Ia duduk di seberanng meja menghadap Naruto. "Aku punya cara yang lebih ampuh." Lanjutnya.

Karin memilih diam, dengan tenang ia mengisi piringnya dengan selembar roti tawar dan mengoleskan selai coklat di permukaannya.

"Oh ya? Apa?" Naruto bertanya antusias, memandang anak tertua diantara mereka bertiga. Deidara, putra sulung di keluarga tersebut menatap wajah Naruto –yang sebenarnya sangat mirip dengan wajahnya sendiri- dengan ekspresi yang selalu digunakannya ketika hendak membuat Karin kesal. Dan itu selalu berhasil.

"Kita pasang sesuatu yang paling ditakutinya di kamarnya." Ucapnya dengan pandangan kau-tahu-maksudku-apa ke Naruto.

Mendengar hal itu Karin yang sedang asik mengunyah sarapannya mendadak berubah tegang dan kaku, dengan gerakan patah-patah ia menoleh ke arah dua kakak laki-lakinya yang -ternyata- juga sedang menatapnya. Dengan cepat ia menelan sisa roti di mulutnya dan memberikan ancaman melalui delikan mata ruby miliknya.

"Jangan berani-berani melakukannya." Tukas Karin dengan suara rendah. Tahu dengan pasti apa yang sedang dua pemuda identik itu pikirkan.

Naruto dan Deidara menyeringai bersamaan.

"Memangnya apa yang akan kau lakukan kalau kami melakukannya?" tanya Deidara.

Setelah itu Naruto menyambung, "Lagipula itu bagus untukmu, kau jadi bisa bangun pagi tanpa suara teriakan Ibu."

Karin menggeram rendah, berusaha menahan emosinya.

"Aku akan membuat perhitungan dengan kalian berdua." Karin mengancam.

"Memangnya kami takut?" tanya Deidara balik menantang, nada suaranya mengindikasikan kemenangan.

"Kau hanya anak kecil, jangan harap bisa mela-"

Dak!

"Aduh!"

"Aw!" suara ringisan melantun seirama dari bibir Naruto dan Deidara.

Bagian belakang kepala mereka baru saja dihantam oleh pantat panci yang berada di tangan Kushina ─ibu mereka sendiri. Dua pasang iris biru itu menatap Kushina dengan mata terkejut bercampur kesal.

"Cepat habiskan sarapan kalian dan berhenti menggoda Karin!" Kushina menggertak dengan wajah galak.

Karin hanya tersenyum geli melihat ekspresi kesal kedua kakaknya.

"Kami hanya bercanda, Ibu." Ucap Naruto dengan wajah setengah merajuk.

"Kalian mau disini sampai jam berapa? Ini bukan hari minggu, dan sebentar lagi jam delapan. Kau juga, Karin."

"Aku sudah selesai, Bu." Karin menyahut cepat sebelum ia juga terkena pantat panci milik ibunya, yang meski sudah dicuci namun tetap terlihat kotor dimata Karin.

Naruto dan Deidara segera berdiri mengikuti Karin sambil meraih tas mereka masing-masing. Deidara dengan tas kantornya, sedangkan Karin dan Naruto dengan tas kuliah mereka. Mereka bertiga melangkah menuju pintu depan setelah pamit dan mencium pipi ibu mereka.

Karin menatap punggung dua kakak laki-lakinya yang berjalan di depannya. Tanpa sadar langkahnya berhenti tepat di depan pintu rumah. Memperhatikan bagaimana cara berjalan Naruto dan Deidara. Sebelah tangan mereka memegang tas, dan tangan yang satunya lagi sibuk mengelus belakang kepala mereka masing-masing. Karin tidak akan pernah meragukan kadar keisengan dua pemuda itu, tapi jauh di dasar hatinya Karin pun sadar bahwa semua itu hanyalah candaan untuk menggodanya.

Merasakan bahwa adik perempuan mereka tidak ada di antara mereka, sontak kepala mereka menoleh ke belakang. Alis Naruto terangkat melihat Karin hanya berdiri di depan pintu sambil menatap dirinya dan Deidara. Mereka berdua juga berhenti melangkah.

"Hei, ada apa?" Deidara bertanya.

"Ada yang ketinggalan?" Naruto ikut bersuara.

Karin menggeleng, dengan wajah tersenyum ia berlari kecil menghampiri Naruto dan Deidara kemudian menggandeng masing-masing lengan dua sosok tersebut. Menarik dua laki-laki itu untuk kembali berjalan.

"Tidak ada apa-apa." Jawabnya ketika ia berada di tengah-tengah Naruto dan Deidara. "Aku hanya berpikir bahwa hari ini kalian berdua sangat tampan."

Langkah Naruto dan Deidara serempak berhenti, membuat Karin menengadahkan wajah menatap mereka berdua bergantian.

"Kak Dei, apa kau tahu apa kira-kira yang sedang bocah ini inginkan?" Naruto bertanya dengan ekspresi heran.

"Mungkin tadi kepalanya terbentur sesuatu sewaktu baru bangun tidur tadi." Sahut Deidara sama bingungnya.

"Hei… Aku serius," Karin memprotes menyadari dua kakaknya menganggapnya sedang melantur. "Memangnya aku tidak boleh memuji Kakakku sendiri?" tanyanya dengan bibir manyun.

"Tidak salah." Jawab Deidara. "Hanya saja aneh mendengarmu berkata seperti itu." Sahut Deidara.

"Lagi pula kami berdua memang selalu terlihat tampan, sudah dari dulu." Naruto melanjutkan narsis.

"Ah sudahlah. " Karin melepaskan tangannya dari lengan dua kakaknya dan berjalan mendahului mereka menuju arah mobil mereka terparkir. "Kalian berdua memang menyebalkan."

Naruto berjalan menyusul Karin sambil tertawa keras melihat sang adik kembali jengkel, sedangkan Deidara hanya geleng-geleng kepala saja. Memang diantara mereka berdua Narutolah yanga paling gemar membuat adik perempuan mereka memasang wajah tertekuk. Meski ia juga tidak akan menampik bahwa sebenarnya ia pun menyukai ekspresi si bungsu yang seperti itu.

Seperti biasa, pagi ini selalu diawali dengan pertengkaran kecil diantara mereka.

.

Hari ini jam keduanya kosong. Pak Asuma, dosen mata kuliah Fonologi yang harusnya mengajar pada jam kedua di kelasnya tidak datang. Kata ketua tingkatnya dosen berjanggut itu sedang pergi keluar kota untuk menghadiri seminar entah-apa-namanya selama tiga hari. Jadi yang dilakukannya hanyalah duduk di kursi tempat seharusnya dosen itu duduk sambil menumpukan kedua tangan dan wajahnya di permukaan meja, memasang ekspresi bosan setengah mati.

Jika sudah seperti ini maka Karin pasti bingung apa yang harus dilakukannya. Ia bukan tipe gadis yang suka berkumpul dan bergosip tentang apa saja, bukan berarti ia tidak pandai bergaul, hanya saja ia tidak begitu suka duduk sepanjang hari dengan membicarakan berbagai hal yang tidak jelas apalagi hal itu bukanlah hal yang diminatinya.

Beberapa menit kemudian ia memilih berdiri dan berjalan keluar kelas setelah meraih tasnya. Dari fakultasnya ia melangkah menuju taman kampus yang diapit oleh tiga bangunan yaitu gedung fakultasnya, Perpustakaan, dan gedung fakultas Naruto. Ia duduk di sebuah bangku taman yang kosong. Kepalanya berputar ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan seseorang. Ia sudah sering memperhatikan orang itu sehingga ia tahu dimana biasanya dia menghabiskan waktu untuk sekedar nongkrong atau bermain dengan smartphone miliknya.

Iris ruby Karin melebar begitu melihat sosok yang sejak tadi dicarinya terlihat berjalan keluar dari pintu belakang perpustakaan dengan sebelah tangan menahan tas ransel di pundaknya. Hari ini ia mengenakan kemeja dari kain berwarna biru muda yang dilapisi sweater merah. Seperti biasa, penampilannya selalu terlihat rapi dan menawan. Sosok itu berjalan ke arahnya dengan manik gelap yang terus terarah ke depan.

Mendadak Karin merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, terlalu keras seakan memalu-malu dadanya. Ia segera mengalihkan tatapannya ke arah buku tebal yang tergeletak di pangkuannya dan langsung membuka halaman tengah buku itu, berpura-pura membaca dengan serius. Poninya terjatuh menutupi sebagian wajahnya, meski begitu ia masih bisa mencuri pandang dari balik kaca matanya dan melihat sosok itu berjalan melewatinya. Setelah sosok itu melewati bangku tempatnya duduk, Karin segera mengangkat kepalanya dan memperhatikan punggung itu menjauh.

"Aku tidak tahu apa yang kau suka darinya."

Karin tersentak mendengar suara tersebut. Ia memutar kepala dan melihat seorang gadis berambut biru pendek duduk di sebelahnya. Ada jepitan dengan hiasan bung mawar putih di salah satu sisi kepalanya.

"Konan! Kau mengagetkanku!" Karin memekik jengkel melihat ekspresi datar gadis itu.

"Aku tidak mengagetkanmu, kau sendiri yang tidak mendengarku tadi menyapamu sebelum duduk disini."

Karin hanya mendengus kesal, malas membalas kata-kata temannya. Konan, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi yang mengambil jurusan Biologi Sains di kampusnya adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa Karin sering memperhatikan sosok bermata gelap tadi. Meskipun mereka berbeda fakultas, tapi Konan adalah sahabat terdekat Karin, dan hanya kepada gadis itu saja ia berani bercerita tentang pemuda itu.

"Kenapa kau tidak menyapanya saja?" tanya Konan tiba-tiba.

Karin memutar bola matanya bosan. "Kukira kau sudah tahu jawabannya."

"Tapi dia adalah seniormu." Konan bersikeras. "Dia tidak akan menganggapmu aneh jika kau tersenyum dan menyapanya sesekali."

"Aku tidak mau." Jawab Karin tegas.

"Padahal kau bisa begitu akrab dengan Kak Kiba yang nota bene adalah sahabatnya Kak Sai."

"Sssh!" Karin mendesis dengan jari telunjuk teracung di bibir. "Jangan sebut namanya! Panggil saja dia Pangeran Matahari."

Konan memutar bola matanya bosan. Tidak habis pikir dengan sebutan konyol Karin untuk pemuda itu.

"Hell, Karin. Namanya Shimura Sai." Tukas Konan jengah.

"Aku tahu, tapi nanti ada yang mendengar kita!" Ucap Karin masih dengan suara desisan.

"Kau bertingkah seperti seorang gadis perawan yang belum pernah pacaran." Konan mengkritik.

"Shut up! Aku tidak seperti itu, dan hell, Konan, aku memang masih perawan." Desis Karin. Konan sudah tahu sendiri bahwa Karin sudah sering menjalin hubungan sejak mereka masih berada di bangku sekolah menengah. Namun ini pertama kalinya ia melihat seorang Namikaze Karin bersikap aneh seperti sekarang.

Konan menyeringai melihat Karin terpancing omongannya, kepolosan gadis bersurai merah memang sangat menyenangkan untuk dipermainkan. "Oh ya? Tidak ada hal yang bisa membuktikan pernyataanmu itu."

Karin menatap sahabatnya dengan pandangan menusuk, namun hal itu sama sekali tidak berpengaruh padanya.

"Well, yah, kau sudah sering berpacaran dengan berbagai jenis macam laki-laki, jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa kau sudah melakukan itu dengan mereka." Jelas Konan dengan wajah menggoda. Kedua alisnya bergerak ke atas dan ke bawah dengan cepat membuatnya terlihat seperti tante-tente kaya yang mencari berondong untuk dijadikan simpanan.

"Sialan kau, Konan!" Karin mengumpat sambil memukul bahu gadis berambut biru itu menggunakan buku tebal yang sejak tadi dipegangnya kemudian pergi dari sana meninggalkan Konan yang tertawa keras.

"Karin! Tunggu!"

.

"Kerja bagus, Namikaze-san."

Deidara hanya tersenyum kalem mendengar pujian dari rekan kantornya. Siang ini mereka baru saja menyelesaikan rapat dengan calon klien baru mereka, dan presentase yang dilakukan olehnya berhasil menggaet perusahaan tersebut untuk mensponsori proyek baru mereka.

Sekembalinya Deidara dan kedua rekannya ke kantor, ia langsung di panggil oleh presiden direktur untuk menghadap ke ruangannya. Deidara menatap pintu ruangan yang berwarna coklat kemerahan tersebut dalam diam. Berusaha mencari ketenangan dibalik corak kayu mahoni yang menjadi bahan pembuatan pintu tersebut. Selalu ada rasa aneh yang terselip di setiap pembuluh darahnya setiap kali ia harus mengetuk pintu ruangan sang atasan.

Tok! Tok!

Deidara mengetuk pelan pintu tersebut.

"Masuk." Suara datar dan terkesan dingin datang dari dalam ruangan memberi ijin bagi Deidara untuk membuka pintu.

"Anda memanggil saya, Pak?" tanya Deidara sopan dibalik pintu, hanya setengah badannya saja yang masuk kedalam ruangan sang presdir.

Seorang pemuda berusia akhir dua puluhan mendongak dibalik dokumen yang sedang dibacanya. Mata merahnya menatap datar dibalik kaca mata tanpa frame miliknya.

"Ya. Masuklah." Perintahnya sambil kembali mengamati berkas-berkas tersebut.

Dengan langkah senyap Deidara melangkah masuk kemudian berdiri di hadapan sang presdir. Sebuah meja besar dan mewah menjadi pemisah tubuh mereka. Manik birunya menatap papan nama besar dan cantik yang diletakkan di pinggir meja dengan posisi menghadap ke arah depan. Membuat iris safir milik Deidara dapat membaca dengan jelas tulisan di papan nama tersebut.

Akasuna Sasori.

"Bagaimana meeting kalian tadi dengan pihak klien?" sang presdir bertanya tanpa menatap si karyawan.

"Lancar Pak." Deidara menjelaskan. "Pihak Uchiha Corp. menyetujui kerja sama untuk proyek kali ini."

Sang presdir kembali menengadahkan wajahnya dan mempertemukan sepasang iris mereka yang berbeda warna.

"Siapa yang mewakili perusahaan itu?" Sasori bertanya lagi. Dilepasnya kaca mata yang dirasanya menghalangi.

"Uchiha Itachi, Pak." Jawab Deidara.

"Aku senang kau berhasil mengajak mereka untuk bekerja sama dengan perusahaan kita." Sang presdir memuji kinerja karyawannya. "Padahal aku merasa sedikit gelisah karena tidak bisa bertemu langsung dengan mereka, masalah di kantor cabang di Kyoto baru selesai tadi." Keluhnya sambil memijat pangkal hidungnya, memikirkan masalah kantor membuat kepalanya terasa pening.

Deidara tersenyum tipis mendengar ucapan Sasori. "Tentu saja mereka setuju Pak, kerja sama ini sudah jelas mendatangkan keuntungan bagi perusahaan mereka, tidak hanya dari segi financial saja, tapi reputasi perusahaan mereka jelas akan terdongkrak karena kerja sama ini." Papar Deidara dengan nada yakin disetiap kalimatnya.

Sasori tersenyum tipis melihat semangat bekerja Deidara. Tangan kanannya terangkat ke arah pemuda bermata bulat tersebut.

"Kemarilah." Pintanya dengan suara rendah setengah berbisik.

Deidara tahu itu bukanlah sebuah perintah yang mutlak harus ia patuhi melainkan hanya sebuah ajakan, namun Deidara tetap mengikuti instruksi sang pimpinan. Dengan langkah pelan ia berjalan memutari meja kerja Sasori lalu berhenti ketika jarak mereka kurang dari satu meter. Sasori segera memutar kursinya ke samping hingga ia kembali berhadapan dengan si pirang, namun kali ini tanpa ada meja kerja miliknya yang menghalangi. Kini pemuda bersurai pirang itu berdiri dihadapannya dengan gaya kikuk dan gelisah.

Sasori meraih kedua tangan Deidara dan menggenggamnya tanpa adanya ucapan protes dari si pemilik tangan. Dan dalam satu hentakan keras ia menarik Deidara hingga tubuh pemuda itu terjatuh ke arahnya dan duduk di kedua pahanya.

"P-pak Presdir…" Deidara mencoba berdiri namun kedua lengan atasannya sudah terlanjur melingkari pingganya, mengunci tubuhnya.

"Bisakah untuk sejenak kau berhenti membahas masalah pekerjaan?" Sasori berbisik ditelinga Deidara.

Nafas hangatnya menggelitik kuping pemuda tersebut, membuat bulu tengkuknya meremang. Sasori segera menyusupkan wajahnya ke leher si pirang, berusaha menghirup aroma tubuh Deidara yang menenangkannya. Mampu membuat seluruh urat-urat syarafnya mengendur.

"Ki-kita sedang ada di kantor, Sasori…" wajah pemuda itu memerah hebat. Deidara berusaha mendorong dada pemuda dengan rambut merah tersebut agar berhenti mengendusi lehernya, namun sepertinya lelaki itu tidak mendengarnya sama sekali.

Sasori menggeram kesal karena sejak tadi Deidara tidak berhenti bergerak, membuatnya kesulitan melakukan segala hal yang ada dipikirannya. "Berhenti memberontak atau aku akan menelanjangimu disini." Ancam sasori masih dengan suara rendah.

Seketika itu pula Deidara berhenti bergerak. Takut dengan ancaman sang presdir, laki-laki itu selalu membuktikan ancamannya. Inilah alasan mengapa Deidara merasa berat jika harus masuk ke ruangan sang presdir, karena hal seperti ini akan selalu terjadi jika ia berada di ruangan ini hanya berdua saja dengan Sasori.

Bukan tanpa alasan Sasori berani melakukan hal seperti ini padanya, dia bukanlah seorang pimpinan hidung belang dan Deidara sendiri bukanlah karyawan yang berada dalam ancaman akan dipecat jika melawan. Bukan, bukan sama sekali. Namun kenyataan bahwa mereka adalah sepasang kekasih sejak tahun pertama ia bekerja di perusahaan Sasori membuatnya tidak memiliki alasan sama sekali untuk melarang kekasihnya sendiri mencium atau memeluknya seperti sekarang ini.

Meski sudah empat tahun mereka menjalin hubungan, namun sampai sekarang belum ada satu orang pun yang tahu hubungan mereka. Tidak keluarganya atau keluarga Sasori, tidak pula karyawan lain yang ada di perusahaan tersebut. Memikirkan hubungan mereka membuat Deidara tanpa sadar menghela nafas berat.

"Apa yang kau pikirkan?" pertanyaan Sasori menghentaknya dari lamunan.

Posisi mereka sekarang sudah berubah. Kini dua kaki Deidara terbuka lebar dan mengapit tubuh Sasori. Membuat Deidara bisa menatap sepasang iris merah milik Sasori yang bersinar terang.

"Tidak ada." Deidara menjawab disertai gelengan pelan.

Tangannya terangkat untuk memeluk leher Sasori. Dengan iris safir cemerlang miliknya ia meneliti wajah didepannya. Rambut merahnya terlihat sedikit lebih panjang dari tiga hari lalu sebelum Sasori pergi keluar kota untuk menangani masalah di kantor cabang perusahaan yang ada di Kyoto. Kulitnya tetap putih dan mulus, sepasang alisnya melengkung sempurna, membingkai matanya yang besar dan bulat, juga hidung mancungnya. Pandangan Deidara jatuh pada bibir Sasori yang selalu terlihat penuh dan sensual.

Deidara mendekatkan wajahnya ke wajah Sasori hingga kening mereka saling bersentuhan. Kemudian ia membisikkan kalimat yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya.

"Aku merindukannmu." Sasori tersenyum tipis mendengar ungkapan si pirang.

"Aku tahu." Sasori berbisik mesra, masih dengan senyuman menawan yang terpasang di wajahnya. "Karena aku juga merasakannya."

Deidara membalas senyuman Sasori dengan sama hangatnya. "Kalau begitu cium aku, sekarang juga."

Selanjutnya bibir tipis miliknya tenggelam dalam ciuman bersama bibir Sasori.

.

Uchiha Sasuke melangkahkan kakinya dengan tenang melintasi koridor lantai tiga gedung fakultas Ekonomi di Universitas Konoha. Dia berjalan dengan wajah datar, ekspresi yang paling sering ditunjukkannya meski banyak mahasiswa lain –terutama perempuan- langsung berbisik-bisik dengan wajah memerah setiap kali ia lewat. Namun bukan Uchiha namanya jika ia harus merasa terganggu dengan hal tidak penting seperti itu.

Tujuannya saat ini hanya satu, yaitu mendatangi sebuah kelas –yang kemungkinan besar sudah kosong- di lantai tiga tersebut tempat dimana seseorang yang sedang dicarinya sedang berada. Rambutnya yang sehitam bulu gagak ikut bergoyang disetiap langkah kakinya.

Ketika ia sampai di pintu kelas tujuannya, iris obsidian miliknya melihat sosok yang sejak tadi dicarinya sedang asik melakukan ciuman panas dengan seorang perempuan berambut merah jambu yang tak dikenalinya. Kedua lengan si pemuda tampak aktif membelai punggung lawan mainnya, berbanding lurus dengan gerakan tangan si perempuan yang tangannya terlihat begitu bersemangat menekan dan menarik-narik rambut si pemuda, meminta dengan isyarat untuk semakin memperdalam pagutan bibir mereka. Meski begitu mimik wajahnya tidak berubah sama sekali, seolah apa yang dilihatnya sekarang merupakan hal yang sudah biasa dari sosok tersebut.

"Dobe." Sasuke memanggil sosok tersebut.

Dua manusia yang sedang asik berciuman panas itu terlonjak kaget mendengar suara datar di pintu ruangan. Namun rasa terkejut sosok yang tadi di panggil Sasuke segera menguap begitu melihat siapa yang memanggilnya. Berbeda dengan si perempuan yang wajahnya sudah sangat memerah karena malu. Ia melepaskan tangannya dari leher si pemuda sambil berusaha menjaga jarak, namun lengan laki-laki tersebut membuatnya terperangkap.

"Na-naruto… lepaskan aku." Gadis itu berbicara ke pemuda yang masih betah memeluknya dengan suara rendah, walau begitu Sasuke masih tetap dapat mendengarnya.

"Kenapa?" Naruto bertanya dengan wajah bingung. "Kau tidak usah takut, Sakura-chan, Sasuke adalah sahabatku." Ucapnya berusaha menenangkan gadis beriris emerald itu. Kemudian mata birunya beralih menatap Sasuke "Ada apa, Teme?"

Sasuke beralih dari Sakura ke Naruto. "Ayo pergi makan, aku lapar." Jawab Sasuke datar.

Naruto terlihat berpikir sebentar kemudian menarik nafas pelan. "Baiklah." Ucapnya pasrah. Ia kembali menatap gadis dalam pelukannya, "Sakura-chan, aku pergi dulu ya. Nanti malam kutelepon."

Setelah memberikan ciuman perpisahan ke Sakura, pemuda pirang itu segera melangkah menghampiri Sasuke yang berdiri di pintu kelas dengan cengiran lebar terpampang di wajahnya.

"Ayo." Ajak Naruto sambil berjalan menjauhi ruangan itu.

Sasuke menatap sekilas ke arah Sakura yang terlihat sibuk merapikan penampilannya. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Sasuke namun dibalas dengan ekspresi datar yang disertai tatapan dingin khas keluarganya.

"Bagaimana menurutmu tentang Sakura?" tanya Naruto di sela-sela kegiatannya mengunyah cheeseburger yang menjadi menu makan siangnya hari ini.

Mereka memutuskan untuk membeli makanan di kafetaria kampus dan memakannya di bawah pohon beringin besar yang berada di belakang fakultas. Tempat itu jarang dikunjungi oleh mahasiswa sehingga merupakan lokasi yang sangat trategis untuk dijadikan tempat beristirahat.

"Hn." Sasuke menggumam tidak jelas.

Sasuke hanya membeli sebungkus sandwich dan air mineral sebagai menu makan siangnya, itupun belum ia sentuh sama sekali. Entah kenapa selera makannya mendadak lenyap.

"Dia adalah pacar baruku. Kami baru jadian hari ini." Naruto bercerita tanpa diminta.

Meskipun Sasuke terlihat sedang menutup mata, namun Naruto tahu jika pemuda raven itu mendengarkan semua omongannya. Mereka sudah mengenal sejak tahun pertama mereka di bangku kuliah dan tidak pernah terpisah setelahnya. Seluruh teman-temannya di kampus tahu bagaimana eratnya persahabatan antara Namikaze dan Uchiha tersebut. Dimana ada Sasuke maka pasti ada Naruto, begitupun sebaliknya.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sasuke tiba-tiba, iris obsidiannya masih tersembunyi dibalik kelopak matanya yang terpejam.

"Hm. Seperti biasa. Yah, Sakura memang tak seagresif Ino, tapi tetap saja dia lebih baik dari pacar-pacarku sebelumnya." Naruto menjawab dengan ekspresi menerawang, membayangkan lagi bagaimana panasnya cumbuan mereka tadi.

Sasuke tidak menyahut. Memilih menenangkan pikirannya berharap bisa sedikit mencuri-curi kesempatan untuk tidur. Kepalanya ia sandarkan ke batang pohon di belakang mereka, menikmati semilir angin yang bertiup lembut membuai wajahnya. Semuanya berjalan tenang, sampai suara berisik Naruto kembali mengacaukan konsentrasinya,

"Teme, jangan tidur dulu!" pemuda pirang itu menggoyang-goyang pundak si raven dengan pelan. "Tadi kau bilang kau lapar, kenapa sekarang malah tidur?"

Sasuke diam, memilih untuk mengacuhkan si pirang.

"Teme! Oi!" Naruto masih bersikeras.

"Teme! Buka matamu, makan dulu sandwich-mu!"

"Oi, Teme jelek!"

"Pantat ayam!"

"Muka tembok!"

"Manusia pa-"

"Berisik, Dobe!" sasuke memotong ucapan Naruto dengan ketus. Manik gelapnya menatap wajah menyebalkan Naruto yang sedang tersenyum lebar penuh kemenangan padanya.

"Makan dulu, Sasuke. Kau tahu apa yang akan terjadi pada tubuhmu jika kau sampai terlambat makan." Kali ini Naruto berbicara dengan nada yang lebih serius, membuat Sasuke membatalkan segala celaan yang hampir meloncat dari ujung lidahnya.

Apa yang dikatakan si pirang memang benar, ia menderita penyakit semacam maag kronis, yang akan sangat beresiko jika penyakit tersebut kambuh. Namun hal itu tidak akan terjadi asal Sasuke tidak terlambat makan.

Melihat si raven sudah tidak kesal lagi, Naruto segera meraih sebungkus sandwich ukuran sedang yang ada di pangkuan Sasuke dan merobek plastiknya. Didekatkannya sandwich tersebut ke wajah Sasuke, menyuruh dengan isyarat untuk segera memakan roti tersebut.

"Aku bisa makan sendiri, Dobe." Ucap Sasuke dengan nada datar.

Naruto tersenyum sebelum mengangguk. "Aku tahu."

Setelahnya tidak ada lagi yang bicara. Sasuke sibuk mengunyah makan siangnya dengan wajah yang sama datarnya seolah-olah roti tersebut tidak memiliki rasa sama sekali. Namun Naruto sudah sangat maklum dengan karakter Uchiha bungsu tersebut, Sasuke bukannya tidak bisa merasakan hanya saja si raven tidak bisa menunjukkannya dalam bentuk mimik wajah dan perbuatan. Suatu hal yang lumrah mengingat dari keluarga mana ia berasal.

Naruto tersenyum puas melihat Sasuke telah menghabiskan satu bungkus roti yang beberapa menit lalu masih utuh. Setelahnya ia langsung membaringkan kepalanya di paha Sasuke yang tidak diprotes oleh si pemilik. Hal ini sudah sering mereka lakukan.

"Karena kau sudah makan, sekarang kau sudah boleh tidur. Aku juga mengantuk."

"Hn." Jawab Sasuke dengan gumaman yang ia yakini pasti dimengerti oleh Naruto.

Beberapa saat kemudian tidak ada lagi yang bebicara. Namun Sasuke tiba-tiba membuka matanya dan menunduk menatap wajah tertidur Naruto. Tarikan nafasnya teratur, terlihat dari gerakan dadanya yang naik – turun dengan konstan. Kelopak matanya terpejam dengan bibir yang sedikit terbuka, memperdengarkan suara dengkuran halus yang tipis.

Perlahan namun pasti tangan pucat Sasuke terulur menyentuh helaian pirang Naruto yang berantakan. Diusapnya rambut yang menutupi dahinya, menyingkirkannya dari sana agar ia bisa melihat keseluruhan wajah sang Namikaze. Dilihat dari segi manapun mereka tetaplah berbeda. Fisiknya yang berkulit pucat dan berambut gelap sangat kontras dengan Naruto yang tubuhnya terbalut kulit karamel dan rambut pirang bercahaya. Ibarat siang dan malam.

Ia adalah orang yang irit bicara, tidak pernah mengeluarkan suaranya jika memang tidak diperlukan. Karakternya yang seperti itu membuatnya sulit untuk berbaur dengan orang lain. Namun Naruto adalah sebaliknya, ia begitu terbuka dan hangat, senyum ramahnya selalu mampu menarik banyak orang untuk mendekat padanya. Mereka bagaikan api dan es, ibarat dua sisi mata uang yang saling membelakangi.

Namun hal itu semua sama sekali tidak pernah menjadi alasan untuk membuat mereka tidak dekat, salahkan Naruto dan sikap keras kepalanya yang tidak pernah kapok mendekati si Uchiha bungsu. Dan entah sejak kapan keberadaan Naruto menjadi sebuah kewajaran dan kebutuhan, seperti sekarang. Tidak perduli apa yang sedang Naruto lakukan dan dengan siapa si pirang itu bersama, ketika si raven datang mencarinya atau menghubunginya, maka ia akan meninggalkan semua itu dan mendatangi Sasuke.

Sasuke sadar ia memang jahat, karena terus saja bertindak seolah Naruto tidak memiliki hal lain untuk dikerjakan selain menghabiskan waktu bersamanya. Namun ini semua juga salah Naruto, karena tidak perduli betapa cantik ataupun menggodanya perempuan yang sedang menjadi kekasihnya, ia tetap mencari keberadaan Uchiha dan menariknya ke tempat ini hanya untuk sekedar makan siang atau mencuri waktu tidur beberapa menit dibandingkan makan siang bersama sang kekasih. Seperti sekarang, dengan kedua paha Sasuke yang menjadi alas kepala si pirang.

Takut membangunkan pemuda yang sedang berbaring di pangkuannya, Sasuke berniat menarik tangannya dari kepala si pirang, namun suara Naruto mengejutkannya.

"Jangan berhenti, Teme. Aku suka." Ucap Naruto dengan mata yang masih tertutup.

Sasuke terpaku untuk sejenak, namun beberapa saat kemudian ia tersenyum dan kembali membelai kepala Naruto.

Dan jawaban untuk segala pertanyaan tentang betapa berbedanya mereka dalam segala hal hanya terjawab dengan satu alasan yang paling masuk akal di dunia.

Yaitu karena Sasuke membutuhkan Naruto untuk berada di dekatnya, sebesar rasa butuh Naruto akan eksistensi Sasuke disetiap hari-hari yang dilaluinya.

Tbc

.

.

.

Hai Minna-san.

Night datang dengan fict baru,

Multichap lagi loh.

Kali ini temanya tentang cinta dan keluarga,

Semoga kalian suka.

Dan kalau berkenan,

Silahkan Review…

With love, Nightingale.