"It's Too Late to Regret" .
Chapter 1
All the cast are not mine. They're belong to God, their parents, and them self.
.
Pairing : HaeHyuk~
.
Rated T (maybe)
.
Genre : Romance, Angst.
.
Warning! OOC, gaje, MPREG, yaoi,judul sama cerita nggak nyambung, typo(s), serba kurang._.
.
Summary : Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Tak bisakah kau
melupakannya dan mulai melihat ke arahku? Aku yang selalu mencintaimu.
Aku yang selalu ada di sini…
.
.
HAPPY READING~ :3
.
.
DRT… DRT…
Namja berambut brunette itu mengalihkan pandangannya dari laptop di hadapannya. Ditatapnya ponsel yang berada di samping laptopnya. Ia menghela nafas panjang saat melihat nama yang tercantum di layar ponselnya. Tanpa semangat, ia membuka pesan itu. Senyum miris tergambar di wajahnya.
From: Kim Hyukjae
Hae~ Kau masih sibuk di kantor, ne? Aku mohon,
untuk hari ini saja… pulanglah lebih cepat, ne?
Aku sengaja memasak makan malam yang special untukmu. Ada yang
ingin kubicarakan denganmu. Jadi segera pulang, ne?
Saranghae~ :*
Namja brunette yang bernama Lee Donghae itu melepaskan kacamatanya. Memejamkan mata, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia menghela nafas panjang. Memikirkan namja berambut pirang bernama Kim Hyukjae membuat hatinya miris. Mengingat Kim Hyukjae, membuatnya mengingat seorang namja di masa lalunya. Namja di masa lalu yang hingga kini masih dicintainya.
Ya. Berbohong kalau ia berkata mencintai Kim Hyukjae yang notabenya adalah 'istri'nya.
Seorang Lee Donghae, masih mencintai namja di masa lalunya.
.
.
.
Hyukjae menatap ponselnya dengan penuh harap. Ia terus menggigit bibir bawahnya. Ia berusaha menahan airmata yang siap meluncur kapan saja. Perasaannya takut. Ia sangat takut.
DRT… DRT…
From: Hae :*
Ne. Aku akan pulang lebih cepat. Mungkin sekitar
pukul 10.00 malam. Aku masih banyak tugas.
Tes.
Airmata yang sejak tadi ditahannya, kini meluncur sudah. Lagi. Seperti ini lagi. Hyukjae sudah lelah, kalau boleh jujur. Raganya lelah. Jiwanya lelah. Ia sudah sangat lelah.
Hyukjae sadar. Sangat sadar, malah. Donghae sama sekali tidak mencintainya. Donghae tidak pernah mencintainya. Menyukainyapun tidak. Hyukjae pasti sudah sangat bersyukur kalau saja Donghae menyukainya. Tak apa meskipun hanya menyukainya. Itu sudah lebih dari cukup.
Tidak perlu berharap kalau Donghae akan mencintainya. Karena Hyukjae tau, hati Donghae hanya untuk 'dia'. Bukan untuk Hyukjae.
.
.
.
Donghae membuka pintu rumahnya, lalu menghela nafas. Lampu masih menyala. Hyukjae masih menunggunya. Entah kenapa, dadanya terasa sesak saat mengetahui fakta itu.
Jujur, ia menyesal. Hyukjae selalu mencintainya. Tapi ia tidak. Lee Donghae tidak bisa mencintai Kim Hyukjae. Ah… Bukankah kini namanya sudah menjadi Lee Hyukjae?
Donghae berjalan masuk ke arah kamarnya. Menghela nafas saat ia tidak menemukan sesosok orangpun di dalamnya. Ia melangkahkan kakinya mengelilingi rumah mewahnya. "Hyukjae?" panggil Donghae. Hati kecilnya berharap namja berambut pirang itu menjawab. "Hyuk?"
Langkah Donghae terhenti di pintu dapur. Senyumnya sedikit tersungging. Ia melangkahkan kakinya mendekati sosok Hyukjae yang sedang menyadarkan kepalanya di meja. Tertidur, sepertinya. "Hyukjae-ah, irreona! Jangan tidur di sini. Tidurlah di kamar…"
"Eungh…" Hyukjae melenguh. Matanya mengerjap-erjap.
"Hyukjae-ah… Irreona! Jangan tidur di sini. Nanti kau bisa sakit." Merasa tidak mendapat respon, Donghae menggoyang-goyangkan lengan Hyukjae. "Irreona, Hyukjae-ah. Jangan tidur di sini!"
Perlahan, Hyukjae membuka mata. Ia mengusap-usap kedua matanya. Donghar yang melihatnya tersenyum kecil. Ia akui, Hyukjae terlihat manis di saat seperti itu. Tapi 'dia'. 'Dia' yang membuat Donghae tidak bisa beralih. Menurut Donghae, 'dia' lebih manis.
"Eung? Hae sudah pulang, ne?" tanya Hyukjae dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Senyumnya terulas dengan manis, meskipun hanya tipis. "Selamat datang. Kau mau makan?"
Donghae menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Kemudian, ia mendudukkan tubuhnya di kursi di hadapan Hyukjae. "Aku sudah makan tadi," ucapnnya. Sedikit perasaan bersalah menyusup di dadanya saat melihat Hyukjae menundukkan kepalanya. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
Hyukjae mengangkat kepalanya. Wajahnya tampak sedikit berseri. "Ah~ Suatu hal yang sangat membahagiakan bagiku~!" ucapnya dengan semangat. "Kau tau? Aku tadi pergi ke rumah sakit untuk menemui Yesungie hyung—"
"Ke rumah sakit untuk menemui Yesung hyung? Memangnya kenapa kau senang dengan hal itu? Karena bertemu dengan Yesung hyung?"
Merasa perkataannya dipotong, Hyukjae mempoutkan bibirnya. "Aku belum selesai berbicara, Hae!" protesnya. Dongha menghela nafas. Lagi. Sikap Hyukjae membuat Donghae mengingatnya'nya' lagi.
"Arraseo," balas Donghae singkat.
Hyukjae menghela nafas. "Well~ Yesungie hyung menyuruhku ke lab. Setelah berjam-jam menunggu, akhirnya dokter menyerahkan ini kepadaku!" Raut wajah Hyukjae kembali berbinar-binar. Ia menyerahkan amplop coklat besar dari rumah sakit.
Donghae membuka amplop coklat itu. Ia membelalakkan matanya saat membaca hasil lab. Perlahan, ia kembali membaca kertas itu. Berharap semuanya hanya ilusi. Berharap ia salah membaca. Tapi tidak. Ia tidak salah membaca. "K—kau—"
"Ne!" jawab Hyukjae dengan semangat. Gummy smile terpampang jelas di wajahnya. Donghae menatap Hyukjae dengan syok. "Aku sangat senang, kau tau? Akhirnya—"
"Bagaimana bisa?" potong Donghae. Donghae menatap kosong ke arah Hyukjae. "Bagaimana bisa ini terjadi?" tanyanya datar.
"Kau tau—eum… Kejadian beberapa minggu yang lalu saat kau—"
"Tapi aku sedang mabuk saat itu!" bentak Donghae, memotong perkataan Hyukjae –lagi. Hyukjae –yang memang sensitif—langsung menundukkan kepalanya. Ia takut.
"Ma—maaf," ucapnya lirih. Donghae menghela nafas. Berusaha menahan amarahnya.
"Sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Aku mau tidur," ucap Donghae pada akhirnya. Hyukjae yang sejak tadi menunduk –menangis dalam diam—mengangkat kepalanya. Ia menatap Donghae yang sedang berjalan menjauh.
"K—kau tidak mau makan dulu?" tanya Hyukjae, memberanikan diri.
Donghae berhenti berjalan. Menoleh ke arah Hyukjae. "Aku sudah makan," jawabnya datar. Kemudian, ia kembali berjalan. "Oh, ya. Chukkae," ucapnya tanpa berhenti berjalan. Meninggalkan Hyukjae seorang diri di dapur.
Hyukjae menatap nanar ke arah makanan yang sudah dimasaknya. Semuanya sia-sia. Semua yang dilakukannya sia-sia. Sia-sia sudah ia merelakan waktu berjam-jam di dapur untuk memasakkan makanan kesukaan Donghae. Sia-sia ia membeli berbagai macam bahan makanan hingga ia mual. Semuanya tidak berguna.
Perlahan, airmata kembali mendesak keluar. Isakan mulai terdengar dari mulut Hyukjae. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka kalau perjodohannya akan seperti ini. Ia kira, Donghae adalah orang yang baik. Ia kira, lama kelamaan Donghae akan mencintainya. Ternyata ia salah. Salah besar.
Sedikit perasaan menyesal telah menikah dengan Donghae merayap di hati Hyukjae. Ini salah. Seharusnya sejak awal ia sudah tau kalau ini semua salah.
.
.
.
Donghae merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia menghela nafas. Kepalanya berdenyut pusing. Semua pikiran masuk ke dalam otaknya. Masalah pekerjaan, tentang Hyukjae yang kini membawa calon anaknya, bahkan tentang'nya'pun kini menghinggapi otaknya.
Kalau saja yang ia nikahi bukan Hyukjae, melainkan 'dia'. Kalau saja yang kini mengandung anaknya adalah 'dia', bukan Hyukjae… Donghae pasti tidak menyesal. Tidak pernah menyesal, malah. Tapi ini berbeda. Ini Hyukjae. Bukan 'dia'.
Lagi, Donghae menghela nafas.
Sebenarnya kalau boleh jujur, Donghae menyesal telah menyakiti Hyukjae. Bukan kali ini saja, tapi sudah berkali-kali. Ia menyesal telah membuat Hyukjae menangis berulang kali. Bagaimanapun, Donghae sudah berjanji kepada'nya' kalau akan mencoba mencintai Hyukjae. Ia sudah berjanji. Tapi ia tidak bisa. Ia sudah mencoba.
Donghae memejamkan matanya. Telinganya masih sayup-sayup mendengar suara langkah kaki. Ya, siapa lagi kalau bukan Hyukjae? Bisa ia dengar kalau pintu kamarnya terbuka. Donghae tetap mempertahankan untuk memejamkan matanya.
"Ah, sudah tidur, ya?" gumam Hyukjae lirih. Hyukjae mendesah pelan. "Kenapa tidak memakai selimut? Malam ini kan, dingin…"
Hyukjae berjalan menuju Donghae yang masih berpura-pura tidur. Ia memakaikan selimut ke tubuh Donghae. Senyuman manis tipis disunggingkannya di bibirnya. "Selamat tidur," ucapnya pelan dengan lembut. Lalu, ia membaringkan tubuhnya di samping Donghae. Meringkuk tanpa selimut yang menutupi tubuhnya.
.
.
.
"Hae-ah… Irreona! Hae~!"
Donghae menggeliat saat Hyukjae membangunkannya. "Ada apa? Memangnya sudah pagi?" tanyanya. Hyukjae menggelengkan kepalanya.
"Tiba-tiba aku ingin makan ice cream strawberry. Kau mau mengantarkanku, kan?"
Donghae yang mendengarnya langsung membuka matanya dan mendudukkan tubuhnya. Sudah mulai ngidam, eoh? "Memangnya mau cari ice cream dimana malam-malam begini?" tanyanya sambil melihat ke arah jam dinding.
Hyukjae mengangkat bahunya. "Mollayo… Aku tak tau… Tapi aku ingin makan ice cream strawberry," ucapnya, sedikit beraegyo.
Donghae mendengus kesal. "Ini sudah lebih dari tengah malam, kau tau? Mana ada kedai ice cream yang buka?" tanyanya kesal. Hyukjae menundukkan kepalanya. "Sudahlah! Kau cari saja sendiri. Aku mau tidur!" Hyukjae terdiam.
"Baiklah," jawabnya singkat. Nada suaranya terdengar kalau ia sedang menahan tangis. Donghae mendengus.
"Kalau begitu, pergilah!" usir Donghae. Perlahan, Hyukjae berjalan keluar dari kamar. "Oh, ya!" panggil Donghae, membuat Hyukjae menghentikan langkahnya dan menoleh. "Jangan pernah ganggu aku karena adanya bayi itu di perutmu! Karena aku tidak pernah menginginkan bayi itu!"
Donghae kembali menidurkan tubuhnya. Membiarkan Hyukjae yang membeku di luar kamar.
.
.
.
Donghae menggeliat saat mendengar suara berdering dari jam yang berada di sampingnya. Sambil memejamkan matanya, ia menekan tombol jam agar jam itu berhenti berdering. Ia menggeliat, lalu perlahan membuka matanya.
Ia menoleh, menatap tempat tidur yang terlihat kosong. Ia beranjak dari tempat tidurnya saat tidak melihat seorangpun di sampingnya.
Curiga, saat ia tak mendengar suara berisik dari arah dapur. Ia lebih merasa curiga saat menyadari bahwa alarmnya berbunyi tanpa ia atur. Ia melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi yang terletak di kamarnya. Bergegas membersihkan wajahnya, lalu berjalan turun menuju dapur.
"Hyukjae?"
Hening. Tidak ada jawaban.
"Hyukjae-sshi?" Lagi, ia memanggil tanpa membuahkan jawaban. Donghae berjalan mengitari rumah besarnya. Membuka satu persatu pintu yang ada di rumahnya.
Entah kenapa, hati kecilnya sangat berharap kalau Hyukjae muncul dari salah satu pintu sambil meneriakkan, 'Kejutan~!' dengan cerianya.
Menyerah karena tidak menemukan Hyukjae, Donghae berjalan lemas ke arah dapur. Matanya tertuju pada makanan-makanan yang sudah tertata rapi di atas meja makan. Ia mendudukkan tubuhnya di atas sebuah kursi. Menghela nafas, lalu menatap makanan –yang ia yakini adalah buatan Hyukjae tadi malam.
"Hhh," desahnya. Tangannya tergerak untuk mengambil selembar kertas kecil berwarna kebiruan yang tak sengaja tertangkap oleh matanya. Ia membaca kertas itu.
Annyeong, Hae~ Selamat pagi^^
Maaf aku tidak membangunkanmu pagi ini… Tiba-tiba,
aku ingin pergi ke suatu tempat. Tapi aku tidak ingin mengganggumu.
Kau tampak sangat lelap saat tertidur. Lagipula, kau pasti sangat
capek, kan?
Tenang saja… Aku sudah memasakkan makanan untukmu. Jadi,
kau tidak usah makan di luar, ne? Lebih baik makan masakan rumah,
kan? Maaf kalau masakannya tidak enak. Aku memang tidak
pandai memasak sepertinya…
Aku juga sudah menyiapkan bekal untuk makan siangmu di kantor.
Untuk makan malam, aku pasti akan menyiapkannya. Jadi, jangan makan
di luar, ne? Makanlah masakanku, meskipun tidak seenak makanan
di restaurant.
Oh, ya… Kalau makanannya sudah dingin, kau panaskan saja.
Tidak enak kalau dimakan dalam keadaan dingin… ^^
Hwaiting! ^^
Kim Hyukjae.
Donghae memejamkan matanya. Rasa sesak langsung memenuhi dadanya saat Hyukjae menulis marganya dengan Kim. Bukan Lee.
Oke, Donghae memang tidak pernah mencintai Hyukjae. Tapi bagaimanapun, mereka sudah menikah, kan?
Dan… Kemana Hyukjae pergi? Kenapa ia tidak memberitahunya? Apa Hyukjae masih sangat mengindahkan perkataannya dini hari tadi?
.
.
.
Hyukjae mendudukkan tubuhnya di samping sebuah nisan. Ia menghela nafas panjang. Wajah cerianya kini berganti sendu, menatap nisan itu. Tangan putih pucatnya membelai lembut nisan tersebut. Senyuman sendu terlihat di wajahnya.
"Umma…" bisiknya lembut. Nada suaranya sangat menunjukkan kerinduan yang teramat dalam. "Kenapa umma pergi sebegitu cepatnya?" bisiknya lagi. "Aku masih membutuhkan umma… Terutama di saat seperti ini."
Airmata menuruni wajah pucat Hyukjae. "Umma tau? Sekarang di sini, ada kehidupan baru," bisiknya sambil membelai lembut perut ratanya. Ia tersenyum kecil. "Umma sudah jadi nenek," kekehnya pelan.
"Tapi kenapa Donghae malah merasa terganggu, Umma? Dia masih tidak bisa mencintaiku, Umma…" Ia mendesah pelan. "Apa kira-kira—" Suaranya tercekat. "—apa kira-kira keputusanku benar, Umma?"
Lagi, Hyukjae mendesah pelan. "Umma akan selalu mendukung semua perbuatanku, kan? Asalkan aku senang… Umma pernah bilang begitu, kan?"
Hyukjae memejamkan matanya. Berusaha meresapi udara yang meniup rambutnya. Ia menajamkan telinganya, seolah ia menunggu jawaban dari ibunya. Senyuman tersungging di bibirnya. "Gomawo, Umma…"
.
.
.
Donghae mendudukkan tubuhnya di kursi kantornya. Ia menghela nafas panjang. Ia kembali menatap layar ponselnya. Hatinya berharap ada sebuah kabar dari Hyukjae. Entah kenapa, ia merasa sangat bersalah. Bayangan-bayangan Hyukjae yang selama ini selalu sabar menghadapinya terlintas begitu saja di otaknya.
Lagi, ia menghela nafas panjang. Hati kecilnya hanya bisa berharap kalau Hyukjae akan baik-baik saja.
.
.
.
Hyukjae membuka pintu sebuah rumah dengan perlahan. "Annyeong," ucapnya.
"Nugu?" suara seorang namja terdengar dari dalam rumah. Hyukjae tersenyum miris mendengar suara itu. Suara itu… lama sekali tidak ia dengarkan…
"Ini aku, Hyukjae."
BRAK!
Suara berisik terdengar dari dalam rumah. Tak lama kemudian, muncul seorang namja mungil dengan rambut coklatnya. "Hyung~!"
BRUAK!
Namja itu berlari ke arah Hyukjae, lalu memeluknya erat. "Jeongmal bogoshippo, Hyukkie Hyung~!" ucapnya sambil melesakkan kepalanya ke dada Hyukjae. Hyukjae tersenyum kecil. Ia mengusap rambut coklat namja itu dengan lembut.
"Nado bogoshippo, Wookie," lirihnya.
.
.
.
"Silahkan diminum, Hyung~"
Hyukjae mengangguk, setelah Ryeowook meletakkan segelas teh hangat di hadapannya. "Gomawo, Wookie," ucapnya sambil sedikit membungkukkan badan. Ryeowook tersenyum manis.
"Cheonmanayo, Hyungie~"
Hyukjae meminum teh hangat itu dengan sopan, lalu meletakkannya lagi. "Hyung, tumben sekali ke rumahku? Seingatku, Hyung terakhir kali ke sini saat beberapa bulan yang lalu," ucap Ryeowook membuka percakapan.
"Aku hanya ingin saja," jawab Hyukjae. Ia tersenyum sambil menatap Ryeowook lembut. "Lagipula, tadi aku mengunjungi umma. Ada yang ingin kubicarakan dengan umma," tambahnya. Ia tersenyum sambil menepuk-nepuk kepala Ryeowook, saat melihat tatapan khawatir dari Ryeowook.
"Hyung benar tidak ada masalah? Pasti ada, kan?" Hyukjae menggelengkan kepalanya.
"Tenang saja, Wookie. Aku baik-baik saja, kok~" jawab Hyukjae, berusaha meyakinkan Ryeowook yang notabenya adalah adiknya.
Ryeowook menatap hyungnya khawatir, lalu berusaha menyunggingkan senyuman. "Arraseo," ucapnya pada akhirnya. Meskipun ia yakin kalau Hyukjae sedang mempunyai masalah, tapi ia lebih memilih untuk menyerah.
Hyukjae tersenyum lembut. "Jadi… Bagaimana dengan Yesung hyung?" Ryeowook memiringkan kepalanya imut. Wajahnya tampak memerah saat mengetahui maksud dari perkataan Hyukjae.
"H—hyung tau?" desisnya pelan. Hyukjae tertawa pelan.
"Tentu saja aku tau. Aku sudah menjadi hyungmu selama bertahun-tahun, Wookie~ Aku selalu tau apa yang terjadi padamu, meskipun kau tidak memberitahuku," ucap Hyukjae setelah menghentikan tawanya. Ia kembali menyunggingkan senyuman lembutnya. "Jadi… kapan kalian menikah?"
Wajah Ryeowook benar-benar memerah kini. Ia menundukkan kepalanya dan memainkan jari-jari tangannya. "Eum… Well—Yesung hyung merencanakan kalau kami akan menikah sekitar tiga bulan lagi."
"Tiga bulan lagi, eum? Apa tidak terlalu lama?" tanya Hyukjae lalu mempoutkan bibirnya. "Itu terlalu lama, Wookie~ Kau bisa meminta Yesungie hyung untuk mempercepatnya, kan?"
Ryeowook menggelengkan kepalanya kuat. "Andwae! Aku tidak mau!" tolaknya mentah. Ia membuang mukanya saat mendengar Hyukjae tertawa pelan. "Memangnya, Hyung dengan Donghae hyung sendiri bagaimana?"
Pertanyaan Ryeowook sukses membuat Hyukjae terdiam. Sesaat, ia menatap kosong ke arah Ryeowook. "Ah~ Gwaenchana~ Malah ada kabar baik dengan hubungan kami," jawab Hyukjae setelah berhasil menguasai keadaan. Ryeowook menatap Hyukjae heran, tapi lalu memaksakan seulas senyuman.
"Memangnya kabar apa, Hyung?"
Hyukjae tersenyum lebar. Menunjukkan gusi merah ciri khasnya. Tangannya membawa tangan Ryeowook ke perut ratanya. "Di sini ada kehidupan baru," ucapnya pelan. Ryeowook membelalakkan matanya. Tapi kemudian, ia memekik kesenangan.
"Jinjjayo?!" pekiknya. Hyukjae mengangguk-anggukkan kepalanya. "Wuah~ Aku akan segera memiliki keponakan! Aaah~ Ini pasti menyenangkan sekali!" pekiknya, membuat Hyukjae tertawa pelan.
"Yesungie hyung tidak memberitahumu?"
Ryeowook menggelengkan kepalanya, sambil mempoutkan bibirnya. "Yesung hyung tidak menghubungiku sejak kemarin, Hyung! Aku jadi sebal kepadanya!"
"Jinjja? Mungkin saja Yesungie hyung sedang sibuk di rumah sakit. Kemarin pasiennya sangat banyak saat aku ke sana, kau tau?" Ryeowook mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar penuturan Hyukjae.
"Mungkin saja," desahnya. Kemudian, ia menghela nafas. "Tapi setidaknya kan, Yesungie hyung bisa memberiku kabar!"
"Sudahlah," ucap Hyukjae. Ia –masih—tersenyum lembut. "Jadi… Kapan Yesungie hyung melamarmu?"
.
.
.
Hyukjae membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa Donghae belum berada di rumah. Ia menghembuskan nafas, saat dilihatnya belum ada Donghae di rumah itu.
Dengan cepat, ia pergi ke arah dapur. Mengeluarkan beberapa bahan masakan, lalu mulai bekerja membuat makanan. Dengan penuh hati-hati tapi cepat, ia memasak makanan kesukaan Donghae.
Satu jam berlalu. Satu porsi makanan kesukaan Donghae sudah tersaji di atas meja. Hyukjae tersenyum puas. Lalu dengan cepat, ia mencuci semua alat yang telah digunakannya.
Setelah selesai mencuci semua alat yang telah digunakannya, Hyukjae berjalan naik ke lantai atas. Ia membuka pintu kamarnya. Berjalan ke arah sebuah meja, lalu mengambil kertas kosong. Ia tampak berpikir sebentar, sebelum mulai menulis.
Senyumnya tersungging. Ia menatap kertas itu.
~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~
TO BE CONTINUED or END?
~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~
I'm back with more HaeHyuk~!
Annyeong~ Akhirnya saya dapet mood juga buat bikin FF._. Biasanya, saya akan menelantarkan fanfic-fanfic yang udah hampir selese… u,u Tapi untuk FF ini, entah kenapa dapet mood buat segera nyelesai-in~ XD
Seperti FFku yang "Jeongmal Mianhaeyo, Umma", FF ini sebenernya mau aku bikin oneshoot. Tapi berhubung terlalu panjang, akhirnya nggak jadi. Entah ini akan menjadi 2shoot, 3shoot, atau bahkan mungkin selesai sampe di sini… Semuanya saya serahkan pada para reader dan para reviewers~
Buat yang udah ngebaca –apalagi ngereview—FF ini, jeongmal kamsahamnida~
Wanna know me more? Contact me at:
Twitter : revitakuzo
Facebook : Revita Kuzo
Kamsahamnida~ Once again, give me a
R
E
V
I
E
W
~
