Disclaimer : All characters are belongs to God, their parents, their agency, and themselves. But this fic is belong to me
Length : Chaptered
Warning(s) : Boys love, -maybe- typo(s), bahasa non-baku, AU, etc.
Cast : All EXO members and others.
Pairs : Official Couple and Crack Couple. Find them out with yourself!:)
.
Fallen © Mai Ravelia
.
Don't Like? Don't Read! I've warned you!
.
Enjoy!
.
Chapter 1
Senin pagi hari itu terlihat biasa saja.
Matahari memunculkan bias-bias cahayanya di ufuk timur. Perlahan namun pasti, mulai merambat naik dari kaki langit dengan kecepatan dan waktu yang telah diatur sedemikian rupa. Burung-burung seolah bernyanyi menyambut kehadiran kembali Sang Raja Langit yang keluar dari persembunyiannya. Kendaraan beroda mulai terlihat ramai dan membelah jalanan kota Seoul, dan orang-orang yang berlalu-lalang dijalanan telah bermunculan untuk melakukan aktifitas mereka di Senin pagi.
Secara umum, ini memang pagi yang damai bagi orang-orang.
Secara khusus?
Tetap akan ada orang yang membantahnya.
.
Yeoja paruh baya tersebut kembali menaiki tangga menuju lantai teratas rumah keluarganya untuk yang ketiga kali. Kemudian ia berhenti di sebuah pintu kayu berwarna coklat, dan kembali mengetuknya.
"Chagi, bangunlah. Ini sudah jam tujuh lewat," teriaknya.
Tak ada jawaban.
Yeoja tersebut tidak menyerah.
"Chagi! Kalau kau tidak turun sekarang, kau bisa te—"
Pintu dihadapannya terbuka dengan kasar dan menyebabkan perkataan Yeoja tersebut terpotong. Seorang namja yang lebih muda darinya muncul diambang pintu dengan ekspresi datar. Rambutnya yang agak ikal terlihat tidak teratur dan pakaian yang digunakannya terlihat asal-asalan. Namja tersebut hanya menatap sekilas mata ibunya, sebelum ia menutup kembali pintu kamarnya dengan kasar dan berjalan menuruni tangga.
Meninggalkan sang ibunda yang menatap punggungnya dengan sedih.
.
Sudah menjadi rahasia umum jika seorang Xi Luhan tidak menyukai bangun pagi. Itu pula yang menyebabkan ia sangat sulit untuk dibangunkan. Luhan tidak menyukai cahaya matahari yang merambas memasuki kamarnya dan kicauan burung yang terdengar seperti lonceng kematian ditelinganya.
Luhan melangkah gontai menuruni tangga rumahnya satu-persatu. Ketika ia menginjak lantai dasar, dihadapannya terlihat satu set meja makan yang cukup besar dengan berbagai menu yang telah tersaji diatasnya. Terdapat dua orang namja yang duduk disana. Seorang namja yang lebih muda setahun darinya yang sedang mengoleskan mentega diatas rotinya, dan seorang namja paruh baya yang mengabaikan kopi hitamnya yang mulai mendingin dan lebih mementingkan surat kabar yang sedang dibacanya.
Adik sepupunya dan Ayahnya.
Ayahnya adalah pria berdarah Cina, dan Ibunya wanita asli Korea. Namun, sejak kecil Luhan sudah menetap di Korea. Dan sesekali ia ke Negri Tirai Bambu untuk mengunjungi sanak saudara Ayahnya disana. Terakhir ia kesana, ketika berumur 11 tahun dan keluarganya pulang—
-dengan membawa sepupu jauhnya yang baru saja ditinggalkan kedua orangtuanya.
Bertemu dengan Tuan Xi adalah salah satu hal yang dibenci Luhan dipagi hari.
Luhan mendudukan diri disalah satu kursi yang terdapat disitu. Kemudian tangannya perlahan mengambil dua potong roti tawar tanpa kulit dan tangan yang satunya ia gunakan untuk mengambil selai coklat kacang. Disela-sela kegiatannya, Nyonya Xi datang menyusul dan mengambil tempat duduk tepat disampingnya. Namun lagi-lagi ia menghiraukannya.
Beberapa menit berlalu, sarapan keluarga Xi terlihat tenang dengan sesekali terdengar suara kecapan atau seruputan, sebelum akhirnya Tuan Xi dengan tiba-tiba menghempaskan surat kabarnya ke meja, membuat semua anggota keluarganya menatap kearahnya.
"Luhan," suara berat Tuan Xi mulai terdengar, seperti menahan sesuatu. "Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini?"
Luhan tidak bergeming.
"Xi Luhan, lihat aku!"
Luhan mengalah dan akhirnya tatapannya menuju sepasang mata yang agak sipit dengan kelopak yang memiliki garis-garis penuaan yang terlihat jelas, namun tetap berwibawa.
"Sudah saatnya kau mulai memikirkan masa depanmu dan masa depan keluargamu dan berhenilah bersikap acuh tak acuh. Lihat dirimu! Kau adalah anak lelaki tertua dikeluarga ini, kelak kau akan meneruskan semua usaha aku dan umma-mu! Kau harus belajar bertanggung jawab dan disiplin!" ujar Tuan Xi sembari menatap anak lelakinya—
-yang lebih memilih menatap sepotong roti ditangannya.
Tidak peduli.
"Lihatlah adikmu!"
Seketika sorotan mata Luhan berubah menjadi benci pada sepotong roti tak berdosa ditangannya.
"Dia bahkan bangun paling pagi diantara kita semua, padahal jam kuliahnya sama denganmu. Dan kau bangun paling siang, kami semua harus menunda sarapan karenamu dan hampir terlam—"
"Jangan samakan aku dengan dia, Appa," Luhan akhirnya memotong perkataan Tuan Xi dengan sorotan tajam yang tertuju pada adik sepupunya—
-yang lebih memilih untuk menunduk.
"Dimana sopan santunmu, Xi Luhan?" geram Tuan Xi karena perkataannya telah dipotong begitu saja.
Lagi, Luhan tidak menjawab.
"Chagi—" Nyonya Xi akhirnya mengeluarkan suara setelah mengumpulkan keberaniannya yang sempat menghilang. Ia mengusap pundak tegap suaminya, berharap dapat sedikit meredam emosi suaminya.
"Jadi usaha kami selama ini menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi yang berkualitas itu sia-sia? Hah? Kau bahkan tidak memiliki basic kesopanan dan kedisiplinan—"
"Aku selesai," ujar Luhan sembari berdiri dan menggendong tas ranselnya. Sarapannya tidak dihabiskan karena ia tidak mempunyai selera makan lagi. Ia berjalan meninggalkan ruang makan keluarga Xi tanpa sekalipun menatap orang-orang yang berada disitu.
Ia muak. Sangat muak.
"AKU SEDANG BERBICARA PADAMU, XI LUHAN! DASAR ANAK SIALAN! KURANG AJAR!" teriak Tuan Xi kepada punggung anak sulungnya yang semakin lama semakin menjauh.
"Appa, sudahlah," sang anak bungsu memegang kedua bahu paman yang telah dianggap ayahnya sendiri itu. Sedangkan sang istri merangkul erat lengan suaminya sembari terisak.
#
Kelas di siang hari itu terlihat sangat membosankan dimata Luhan. Sedari tadi pikirannya tidak fokus sama sekali sehingga semua kelas kuliahnya hari itu seperti lewat begitu saja olehnya. Maka ia memutuskan untuk membolos, di perpustakaan.
Jika Luhan membolos ke kantin, ia tidak bisa menenangkan pikirannya yang bisa diibaratkan seperti benang kusut. Rumit, semrawut, susah diuraikan. Berbeda dengan di perpustakaan yang notabene tenang dan damai. Jika ada yang bertanya sedang apa dia disini, maka ia akan berdalih untuk mencari referensi baru untuk partitur musiknya.
Ya, Luhan kuliah di fakultas kesenian dan mengambil jurusan musik. Berbeda dengan keinginan Appa-nya yang menginginkannya masuk ke fakultas manajemen, untuk dapat meneruskan perusahaan orangtuanya kelak.
Baginya, musik adalah segalanya. Luhan dapat mengekspresikan semua kegundahannya, emosinya, kesenangannya ke dalam musik. Musik juga dapat mempengaruhi mood seseorang yang mendengarnya. Dan musik dapat menenangkan pikirannya yang saat ini luar biasa kacau.
Setelah memastikan laptop miliknya terhubung dengan WiFi, ia mencolokkan kabel konektor headset miliknya, memasangnya ditelinga dan menyalakan musik dengan volume yang paling keras.
Biarkan dia egois, tidak ada yang perlu tahu apa alasannya.
#
Bus terakhir yang akan lewat di halte dekat kampus Luhan tiba sekitar pukul sepuluh malam. Mengapa Luhan hafal jadwal bus tersebut?
Karena ia biasa pulang dengan bus terakhir yang lewat.
Sebenarnya jam kuliahnya telah selesai pukul dua belas sampai pukul satu siang. Namun sekali lagi, Luhan berusaha mengurangi frekuensi bertemu dengan keluarganya dirumah. Maka setelah selesai kuliah, biasanya ia akan bermain dirumah temannya, Xiumin, untuk bermain video games. Atau sekedar berjalan-jalan sendirian di pusat perbelanjaan di kota Seoul untuk menghabiskan waktu seperti orang idiot.
Ia akan melakukan apapun, agar tidak perlu dirumah.
Malah Luhan ragu, apakah rumah bergaya minimalis berlantai dua yang selama ini ia tinggali masih bisa ia sebut 'rumah'?
Bagaimanapun juga, rumah adalah tempat dimana kita bernaung, merasa aman dan nyaman, bukan?
Ia mengamati jalanan malam kota Seoul yang indah melalui kaca jendela bus, dengan pikiran yang kosong.
.
Dihadapannya kini terdapat pintu kayu yang cukup besar dengan polesan emas di kedua gagangnya.
Luhan merogoh kantung celananya, berniat mengambil kunci cadangan rumahnya yang selalu ia bawa. Setelah ia menemukannya, dengan segera ia membuka pintu dihadapannya dengan suara sepelan mungkin, mengingat ini sudah malam.
Dan yang didapatinya adalah—keadaan rumah yang sangat sepi.
Baiklah, sehari-hari rumah besar ini memang sepi. Kedua orangtuanya sibuk mengurusi restoran keluarganya yang kini berkembang pesat, adik sepupunya yang mengurung diri dikamar, dan hanya ada beberapa pekerja rumah tangga yang kadang masih berkutat di dapur.
Tapi, kali ini rumah ini terasa sepi dan—aneh. Entahlah, Luhan merasa ganjil.
Sepasang kakinya ia bawa menuju dapur untuk sekedar mencari kudapan dimalam hari dan segelas susu dingin untuk pengganti makan malamnya. Luhan sempat terkejut ketika ia mendapati adik sepupunya berada di kursi meja dapur, duduk membelakanginya, dengan sebuah buku ditangannya.
Mungkin adiknya mendengar suara langkahnya mendekat, maka namja bertubuh kecil tersebut segera membalikkan badannya.
"Oh, kau sudah pulang, ge? Syukurlah," ucapnya.
"Iya," jawab Luhan seadanya. Beberapa detik kemudian ia baru menyadari hal aneh yang diucapkan adiknya, "Memangnya kenapa?"
"Tidak, aku hanya merasa takut sendirian disini. Makanya aku menunggu Luhan-ge pulang," jawab adiknya.
Luhan menaikkan sebelah alisnya, "Takut?"
"Iya."
"Kau aneh, Yixing."
Yixing tidak menjawab. Matanya kini terus mengamati gerak-gerik kakak sepupunya yang sedang menuangkan susu kedalam gelas kaca.
Luhan tidak bodoh. Ia tahu bahwa setiap pergerakannya tidak luput dari pandangan Yixing. Awalnya ia berusaha menghiraukannya, namun—
-Luhan menghela nafas.
"Aku sudah pulang, Yixing. Tidurlah, tidak ada yang perlu ditakutkan lagi."
Yixing tersenyum kecil dan mengangguk.
"Baiklah, selamat tidur, ge," ucap Yixing sembari meninggalkan kakaknya sendirian di dapur.
Yixing menapakki anak-anak tangga satu-persatu. Kemudian ia berhenti di tengah-tengah dan berbalik, melihat bahu kecil Luhan yang membelakanginya, dengan kepala yang tertelungkup diatas meja.
"Xie xie, gege," bisiknya nyaris seperti angin.
#
Luhan membuka matanya yang terasa berat dengan susah payah. Pandangannya langsung tertuju kepada langit-langit kamarnya dengan lampu yang tidak dimatikan.
Ia melirik jam digital kecil yang terletak dimeja.
03:09
Luhan mengerjapkan matanya. Sudah berapa lama ia tidur?
Kedua alisnya saling bertaut, mencoba menyusun kepingan-kepingan memori beberapa jam yang lalu. Setelah Yixing meninggalkannya tidur, kepalanya mendadak pusing, seperti ada beban berat yang menyangga kepalanya. Dan kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi.
Lalu—mengapa sekarang ia ada dikamarnya sendiri?
"Akh!" Luhan serta-merta memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut keras dan efeknya adalah sakit kepala yang luar biasa. Luhan semakin yakin bahwa jam tidurnya sangat jauh dari kata cukup.
Ia akhirnya berhasil bangun dari tidurnya dan duduk ditepi ranjang. Seluruh isi kamarnya terasa berputar-putar dan dipelupuk matanya terdapat sedikit air yang menggenang.
Tenggorokannya terasa kering.
Diraihnya gelas diatas meja dan ia bangun dengan susah payah karena pusing yang masih dirasakannya. Luhan berjalan tertatih kearah pintu kamarnya, dan ketika ia hendak membuka pintunya—ia terhenti.
Tangannya melayang diudara.
Percakapan dilantai dasar terlalu jelas terdengar.
#
Matahari di kota Seoul bersinar cerah seperti biasa. Berlawanan dengan suasana hati seorang Xi Luhan.
Ini masih awal Minggu, dan Luhan merasa usianya telah bertambah tua sepuluh tahun. Jika nanti ada seseorang yang melihat uban yang mencuat dari kepalanya dan mengatakan, "Kau punya uban, ya?" Maka ia takkan perlu merasa kaget.
(Terlalu) Banyak hal yang dipikirkannya akhir-akhir ini.
.
Hari ini, Luhan mendengar banyak suara.
Bisingnya kendaraan bermotor, lembutnya angin yang menyapu helaian rambutnya, derap langkah orang-orang yang melewatinya, tawa dan ocehan teman-temannya—
-tapi suara yang yang terngiang di telinganya mampu mengalahkan suara manapun.
Suara itu telah lama didengar, namun otaknya seperti kaset rusak; terus mengulang-ngulang beberapa kalimat yang sangat tidak ingin didengarnya.
Membuat Luhan berada dalam dunianya sendiri.
.
"—bagaimana mungkin? Aku sudah mengecek semuanya! Dari mulai kita memesan semua bahan-bahannya, pengangkutannya, penyimpanannya, tidak ada yang ganjil!" Nyonya Xi menjerit frustasi.
"Tapi inilah kenyataannya! Lima kali panggilan komplain, surat keterangan pihak rumah sakit, surat dari pihak kepolisian, semuanya ada!" Tuan Xi nyaris berteriak.
"—lalu bagaimana? Bagaimana nasib kita? Anak-anak?"
.
.
.
"Aku—aku tidak tahu. Tapi yang jelas, jika ada suatu hal terjadi, jagalah anak-anak kita."
#
Luhan tidak akan pernah melupakan ekspresi ketakutan Ibunya dan penampilan kacau Ayahnya semalam.
Sebut ia orang yang tidak pedulian, dan ia akan menyetujuinya.
Namun, bukan berarti Luhan tidak pernah memikirkan sesuatu.
Semalam, Luhan mengurungkan niatnya untuk mengambil segelas air karena terlalu terpaku mengintip kedua orangtuanya yang sedang mencemaskan sesuatu. Dan berujung pada dirinya yang mendadak terserang insomnia.
Ada apa? Apa yang terjadi?
Luhan tidak bodoh. Ia yakin sekali bahwa masalah yang sedang dihadapi orangtuanya adalah masalah yang cukup—atau mungkin sangat serius.
Ia menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Mungkin dosennya, Mr. Lee bisa mendengar helaan nafas frustasi dikelas yang sedang diajarinya.
#
Pukul delapan malam. Biasanya, Luhan akan menghabiskan waktunya diruangan musik kampus untuk sekedar menarikan jemarinya diatas tuts-tuts yang putih bersih, atau bermain di games center.
Dan ya, kini ia sedang berada disebuah game center dan sedang asyik memainkan beberapa permainan disana.
Nyatanya, Luhan tidak menikmatinya. Berkali-kali ia kalah dalam beberapa permainan, atau skor yang diraihnya sangat rendah.
Luhan tidak konsentrasi. Ada sesuatu yang mengganjal pikiran dan perasaannya.
Ia ingin—cepat-cepat pulang.
Maka dalam hitungan menit—Luhan mendapati dirinya tengah menunggu di halte bus yang akan membawanya menuju halte dekat kampusnya, lalu ia transit ke bus lain menuju rumahnya.
Luhan merogoh kantong celananya, untuk mengecek handphone miliknya yang telah beberapa jam ia anggurkan. Ketika ia menyentuh layar lebar handphone miliknya, terpampanglah tulisan besar yang bercetak tebal;
10 missed calls
Dan panggilan terakhir dilakukan sekitar sepuluh menit yang lalu.
Alis Luhan bertaut. Profil handphone yang di-silent membuatnya tidak sadar bahwa ada panggilan masuk. Ketika ia mengetahui siapa yang menelpon, tanpa babibu lagi Luhan langsung melakukan panggilan balik—dengan perasaan cemas.
Tersambung—dan tidak diangkat.
"Shit! Cepatlah angkat!" umpatnya. Tak peduli jika beberapa pasang mata mulai menatapnya.
Sekali,
Dua kali,
Tiga kali,
"Yeoboseo?"
"Yixing!" Luhan nyaris berteriak, "ada apa? Kenapa menelponku?"
"Ge, kau dimana?" suara Yixing disebrang terdengar sangat kecil, seperti tercekat.
"Aku sedang menunggu bus menuju arah pulang. Kau kenapa?"
"Cepatlah pulang, ge..."
"Demi Tuhan, Yixing! Ada apa?!"
.
.
.
"Appa—dilarikan ke rumah sakit, terkena stroke."
#
Luhan baru menyadari, dengan pikirannya yang panik kali ini, perjalanan bus untuk sampai ke rumah terasa sangat lama. Ia tak bisa duduk tenang. Berkali-kali ia memainkan ujung sepatunya, menautkan jemarinya, menghela nafas, dan mengumpat dalam hati ketika terjadi kemacetan.
Dan dalam kurun waktu yang baginya sangat lama, maka sampailah bus yang ditumpanginya di halte dekat kampusnya.
Namun, ketika ia hendak turun, kondektur bus menegurnya.
"Maaf, apa Anda akan turun di halte ini?"
Sembari menahan kesal, Luhan menjawab singkat. "Ya."
"Kalau begitu mohon bersabar, Tuan. Karena bus yang akan tiba di halte ini mengalami keterlambatan karena ada kebocoran ban. Bus akan tiba kira-kira satu jam lagi. Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya," jelas kondektur bus.
"A-ap—" Luhan membulatkan matanya hingga nyaris keluar. Ia tak sanggup melanjutkan perkataannya ketika matanya melihat segerombolan orang yang berdesakkan di halte bus yang ditujunya, menunggu bus yang datang terlambat.
Luhan segera turun tanpa mengindahkan perkataan sang kondektur. Matanya bergerak liar mengamati orang-orang yang kelelahan menunggu bus yang akan datang.
Dan Luhan tak mau membuang satu jam dengan sia-sia.
Ia berjalan cepat—nyaris berlari—menuju jalan raya dekat dengan gedung kampusnya. Menunggu dan mencari taksi yang lewat.
.
"Luhan-hyung?"
Merasa terpanggil, Luhan menoleh kearah gedung kampusnya. Terlihat namja berkulit putih dan bertubuh pendek menghampirinya. Salah satu hoobae-nya di semester duaa.
"Baekhyun? Kau belum pulang?"
"Belum, tadi aku keasyikan diruang musik sehingga lupa waktu," jawab Baekhyun sambil terkekeh. Matanya yang sipit yang dilapisi eyeliner mengamati sunbae-nya yang duduk di semester empat. "Hyung sedang apa disini?"
"Aku sedang menunggu taksi," jawab Luhan.
Baekhyun menepukkan kedua tangannya sekali, "Ah, pasti karena keterlambatan bus itu, ya? Aku juga ingin menunggu taksi. Kita tunggu bersama saja!"
Luhan tersenyum sedikit melihat kelakuan hoobae-nya yang mempunyai julukan 'Happy Virus'. Karena dengan mudahnya, Byun Baekhyun menebarkan virus senangnya ke orang lain
Malam semakin larut dalam tiap hitungan detik yang berlalu. Angin malam sering berhembus dan menggigit setiap inci kulit yang terkena hembusannya. Dan taksi yang dituju tak kunjung datang.
Luhan semakin gelisah, kampus akan menjadi sangat gelap ketika malam. Matanya mengamati setiap kendaraan yang lewat dengan tatapan nanar.
"Lama sekali..." keluh Baekhyun yang merasa kakinya mulai pegal.
Luhan tidak menanggapinya. Pandangannya masih tertuju pada kendaraan yang masih berlalu-lalang. Kemudian, sudut matanya menangkap sebuah mobil sedan metalik yang tiba-tiba menepi lumayan jauh dari tempat mereka berdiri.
Setelah menepi dan mematikan mesin, pemilik mobil tersebut tak lantas keluar. Awalnya Luhan memutuskan untuk tidak memedulikannya, namun, tiba-tiba mobil tersebut berjalan lagi dan semakin menjauh dari pandangan—
-menuju gedung belakang kampus.
Luhan memicingkan matanya, merasa familiar dengan mobil sedan mencurigakan itu. Ketika pandangannya tertuju pada plat nomor sedan tersebut—
-Luhan menahan nafasnya.
"Baekhyun-ah," panggilnya.
"Ya, hyung?"
"A-aku, anu, aku ada urusan disana. Kau pulang duluan saja, ya."
"Huh? Memangnya ada apa?"
"Tidak apa, ada seseorang yang ingin kuselidiki. Bye!" seru Luhan yang langsung berlari meninggalkan Baekhyun.
Mulut Baekhyun sedikit terbuka melihat kelakuan sunbae-nya yang mendadak aneh. Ia menggaruk kepalanya, matanya bergerak-gerak gelisah, lalu...
"Hyung! T-tunggu!"
Luhan menoleh dan mendapati Baekhyun sedang berlari menyusulnya.
"Hyung! A-aku ikut ya?"
Luhan menaikkan alisnya.
"I-itu karena..."
"Kau takut?"
"Iya—hehehe."
Luhan menghela nafas mendengar penuturan Baekhyun yang kini sedang memainkan jarinya.
"Baiklah, tapi jangan berisik."
"Yeiy—ups!" Baekhyun menutup mulutnya karena terlanjur senang.
Luhan menggelengkan kepalanya. Malam ini, ia merasa seperti mahasiswa yang merangkap babysitter.
Mereka berdua kembali berlari. Sebenarnya, Baekhyun bingung mengapa mereka terus-terusan berlari. Ia ingin bertanya, namun niatnya ia urungkan ketika melihat Luhan tiba-tiba berhenti.
Sontak Baekhyun ikut berhenti. Mereka berdua menempel di tembok, dan Luhan seperti mengawasi sesuatu.
"Hyung, apa yang kau lihat?" tanya Baekhyun dengan suara sekecil mungkin.
"Seseuatu yang ganjil," jawab Luhan tanpa menatap Baekhyun.
"Huh?" Penasaran, Baekhyun turut menjulurkan kepalanya sedikit dari punggung Luhan. Maka tampaklah mobil sedan hitam metalik yang berhenti tepat di sisi belakang kampus mereka, dengan dua orang yang berada didalamnya.
Sisi belakang kampus mereka adalah tempat tergelap. Jarang sekali ada lampu yang dinyalakan. Alasannya apa, Baekhyun tidak tahu dan tidak mau tahu.
Malam itu dingin, namun Baekhyun dapat melihat setitik keringat di pelipis Luhan.
Apa ia tegang?
Baekhyun memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh. Dua detik kemudian, mata sipitnya terbuka lebar.
"H-hyung, mereka keluar."
Suara Baekhyun terdengar rendah dan sayup-sayup. Namun jarak telinga Luhan dengan mulut Baekhyun kurang dari 10cm, membuat Luhan langsung menangkap apa yang dikatakan Baekhyun.
Pandangan Luhan tertuju pada 3 pintu mobil yang terbuka bersamaan. Dan tampaklah 3 namja dewasa berperawakan lumayan tinggi keluar dari mobil tersebut. Seseorang dari mereka berbisik kepada dua orang yang lain, yang jelas tak dapat didengar oleh Luhan maupun Baekhyun.
"Kau mengenal mereka, hyung?" tanya Baekhyun.
"Tidak, tapi aku mengetahui salah satu dari mereka. Dia adalah pegawai baru appa-ku," jelas Luhan.
"La-lalu ada urusan apa mereka kesini?"
"Itulah yang ingin kuketahui."
Baekhyun menelan air liurnya. Ini semacam awkward moment baginya. Disisi lain, ia ingin cepat-cepat pulang dan merebahkan diri dikasurnya, tapi ia juga penasaran dengan ketiga orang didepannya.
Dan kedua mata sipitnya terbuka lebar untuk yang kesekian kali.
"Hyung, mereka mengeluarkan senjata."
Sontak Luhan menajamkan penglihatannya yang memang kurang dalam gelap. Dan ia bisa melihat siluet revolver yang dikeluarkan dari masing-masing jas ketiga namja tersebut.
Salah seorang dari mereka memberi kode, berupa anggukan kepala singkat yang diikuti kedua rekannya. Kemudian kedua rekannya bergegas maju sembari menggenggam erat revolver ditangan mereka, meninggalkan seorang yang berdiri bersandar pada mobil.
Luhan dan Baekhyun sama-sama menahan nafas.
"Pencuri?" tanya Baekhyun.
Yang ditanya hanya mengangkat bahunya. "Apa yang mau mereka ambil dari kampus seperti ini?" Luhan balik bertanya.
"Entahlah, mungkin—"
Baekhyun tidak bisa melanjutkan perkataannya, karena terputus begitu saja dengan suara teriakkan dan bunyi berdentum yang cukup keras.
Dan tubuh mereka berdua terasa kaku.
Luhan diam, nyaris ikut tak bernafas. Ia berusaha mencerna apa yang didengarnya. Suara teriakkan itu—itu suara seorang namja. Dan bunyi yang berdentum itu, seperti bunyi orang yang terkapar di lantai yang keras.
Teriakkan.
Dentuman.
Teriakkan.
Dentuman.
Berulang kali layaknya kaset yang rusak. Namun suara-suara tersebut mendadak hilang setelah muncul suara bisingnya peluru yang meluncur keluar.
Suara tembakan.
Dan hening. Dengan efek angin berhembus dan pantulan gema disetiap sudut ruangan menambah suasana yang sangat tidak nyaman bagi Luhan dan Baekhyun.
Kedua namja tersebut tidak melakukan apapun selain terus bernafas pelan-pelan dan terus memantau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan pandangan mereka kini tertuju pada dua orang yang keluar dari gedung kampus yang merupakan pelaku kebisingan yang baru saja terdengar. Mereka terlihat menyeret seorang namja lain yang tampaknya tidak sadarkan diri. Dan wajah kedua pelaku tersebut tertutupi sebagian oleh memar dan dan jejak darah yang masih segar.
Orang yang menunggu disamping mobil langsung membukakan salah satu pintu belakang mobil dan membiarkan kedua rekannya memasukan tubuh namja yang pingsan dengan tergesa-gesa.
"P-penculik—" Baekhyun berusaha mengeluarkan suaranya yang tercekat.
Luhan segera mencengkram tangan Baekhyun yang dilapisi sweater, "Tak ada waktu lagi, kita harus melaporkan hal ini," tukasnya sembari menarik paksa lengan Baekhyun untuk berdiri.
Namun, Luhan lupa akan satu hal. Jika dalam waktu yang lama tubuh manusia tidak bergerak dan dalam posisi yang yang tidak nyaman, maka peredaran darah akan terhambat dan menimbulkan kram.
Baekhyun berusaha berdiri, namun seketika kedua tungkainya bergetar hebat dan dengan tarikan paksa Luhan, Baekhyun jatuh terjerembab diatas tumpukan daun yang berguguran—
-yang menimbulkan suara yang bising.
Sedetik kemudian, Luhan merasakan timah panas mendarat tak jauh dari kakinya.
"SIAPA DISANA?"
Luhan merasa tubuhnya membeku. Namun ia segera menyadari gentingnya suasana ini. Dengan tangannya yang gemetar ia berusaha membantu Baekhyun berdiri—
-namun terlambat.
Terjangan yang sangat keras ia rasakan hingga membuat tubuhnya terpental beberapa meter dan pegangannya terlepas dari Baekhyun. Dan Luhan mendapati dirinya ditindih seseorang dengan ujung pistol yang nyaris mengenai hidungnya.
Ia melirik sedikit, dan mendapati Baekhyun diperlakukan sama sepertinya.
"Kau!"
Luhan menatap mata orang yang menerjangnya. Dan seketika ia mengenali orang itu—dia adalah pegawai baru Appa-nya.
Sial! Ia lupa namanya!
"Apa yang kau lihat tadi? Hah?" bentak namja itu, membuat Luhan mengernyit.
"Aku baru saja melihat kebusukkanmu," desis Luhan. Ia memang tidak pernah menyukai pegawai baru Appa-nya yang ini.
"Lalu? Apa yang akan kau perbuat?" tantang namja itu. "Kau ingin mengadukanku ke Appa-mu dan berharap ia memecatku? Heh?! Berdiri saja sekarang ia tidak bisa!"
"BRENGSEK!" teriak Luhan dan segera melayangkan tendangannya ke perut namja itu. Namja itu berteriak seraya mengumpat dan memberi sedikit celah untuk Luhan kabur. Tak ayal, Luhan segera mengambil kesempatan itu dan menghampiri hoobaenya.
"Baekhyun!"
"H-hyung!" suara Baekhyun tercekat. Luhan melihat sebilah pisau nyaris tertanam di leher Baekhyun. Hoobae-nya itu meronta tatkala kini ada dua orang yang menindihnya.
Luhan sempat berpikir, sebenarnya ada berapa orang dimobil sedan itu.
"Menjauh! Keparat!" umpat Baekhyun. Kakinya menendang ke segala arah, namun sia-sia. Ia kalah jumlah dan tenaga.
"Baek—" perkataannya terputus ketika ia merasakan hantaman yang kuat di leher belakangnya. Luhan jatuh tersungkur dan pandangannya sedikit mengabur.
"Ugh," ia bisa melihat pegawai Appa-nya telah bangkit dan menatapnya dengan benci.
"Mereka tidak bisa kita tinggalkan disini, nanti mereka akan melaporkan kita," seru salah satu namja yang menindih Baekhyun.
"Kau benar," namja pegawai Appa-nya kembali menatap Luhan dengan seringaian yang menjijikan. "Kau boleh juga, bocah."
Luhan tidak tahu apakah itu pujian atau ejekkan. Ia merasakan telapak tangan namja tersebut mencengkram dagunya dan menariknya keatas.
"Ternyata kau manis juga."
"A-ap—" Luhan membulatkan matanya.
"Hei, kau ternyata satu pemikiran denganku. Bocah ini juga manis," namja yang lain menarik kerah Baekhyun yang masih meronta-ronta.
"Menjauh dari Baekhyun!" Luhan berusaha teriak meski tenggorokannya terasa sakit.
"Oh, jadi namanya Baekhyun? Unik sekali," namja yang lain menyeringai. "Baiklah, Baekkie-ah. Mari kita bermain~"
Mata sipit Baekhyun melebar. Kurang-lebih ia mengerti apa maksud namja yang menindihnya. Ia kemudian makin meronta dan kakinya menendang dengan cara membabi buta. Dan kaki kanannya berhasil menendang pelipis salah satu namja yang menindihnya hingga lebam.
"Shit!" umpat namja itu ketika mengetahui pelipisnya lebam. Seketika ia menyayatkan pisaunya ke paha Baekhyun hingga celana dan kulit putih korbannya robek.
Serta-merta suara Baekhyun melengking tinggi.
"AAAARGGHH!"
"BAEK—ARGH!" Luhan merasakan gigitan kasar dilehernya. Taring-taring yang tajam seolah ingin merobek leher dan nadinya. Namja yang menindihnya adalah pelakunya.
Sialan! Sialan! Sialan! Luhan terus mengumpat ketika ia menyadari ia tak dapat berbuat banyak. Tenaganya terkuras habis, kepalanya sangat berat dan pandangannya mengabur akibat dipukul. Kedua tangannya ditahan dan kakinya dipaksa mengangkang dan Luhan hanya bisa memberikan perlawanan yang tak berarti.
Demi Tuhan, ia ingin menangis sekarang! Tak peduli pada kenyataan bahwa ia adalah seorang namja. Keluarganya sedang tertimpa musibah, hoobae-nya yang sedang 'dikeroyok' dan berjuang sendirian, dan dirinya ia tak dapat menolong salah satu dari mereka.
Bahkan ia tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Luhan merasa dirinya bagaikan sampah.
"ARGH!" Tiba-tiba namja diatasnya berteriak keras dan melepaskan gigitan pada lehernya. Dan seketika ia melihat sebuah tendangan dilancarkan pada perut namja diatasnya, dan membuatnya menyingkir dari atas Luhan.
Dan dengan susah payah, Luhan dapat melihat siluet tinggi namja lain yang baru saja menolongnya.
"Menyerahlah! Kalian akan ke penjara sebentar lagi!" ucap namja tinggi tersebut.
Namja yang menindih Luhan, tak lain adalah pegawai baru tersebut terlihat mendesis dan kemudian menerjang namja tinggi tersebut dan terjadi baku-hantam.
Luhan tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan dan berharap ia dan Baekhyun bisa secepatnya kabur dari sini.
Luhan melirik ke sebelah. Hal yang sama terjadi pada Baekhyun. Baekhyun juga ditolong dua namja lain yang tak dikenalnya sama sekali. Dan mereka terlibat baku hantam juga.
Dan pandangannya bertemu dengan Baekhyun.
"Hyung! Luhan-hyung! Bertahanlah!" teriak Baekhyun. Namun sayang, Luhan hanya mendengarnya samar.
Sarafnya melemah. Terbukti ketika Luhan merasakan pandangannya semakin mengabur, pendengarannya semakin samar, kepalanya terasa berat dan tubuhnya semakin ringan. Sadar tak sadar, ia melihat beberapa namja menghampiri dirinya.
Dan hal terakhir yang diingatnya adalah, tubuhnya semakin ringan, seperti ada yang menggendongnya.
.
TBC
.
Annyeong, this is ma first fict in this fandom saya newbie di fandom ini. Jadi mohon bantuannya ya, para sunbae dan readers *bow*
Lanjut atau hapus? Tolong sarannya ya :3
Sign,
Mai
