Dalam bahasa Inggris, ada satu pepatah "Curiousity can kill a cat―Keingintahuan membunuh seekor kucing."

Sama dengan kata pepatah itu, hukum itu juga berlaku pada sekolah kami―penekanan pada kata membunuh, terutama bagi mereka yang tak mampu menang dalam pertempuran berdarah ini.


Afterschool

First Death Incoming

Axis Powers Hetalia dimiliki oleh Hidekazu Himaruya, dan Nusantara Ardiana adalah OC Fem!Indonesia milik Arte Stella. Tidak ada keuntungan material yang didapat dari fanfiction ini.

Peringatan bahwa cerita ini ditulis dalam Dark Gakuen!AU dan mengandung pair berkisar Male x Fem!Indonesia, dan fokus utama berupa UKIndo. Akan ada beberapa karakter Nyotalia, banyak adegan gore dari berbagai kisaran, characters death, selingan lime, dan beberapa pairing pendukung lainnya. Mungkin saja minim dialog dan deskripsi yang mendetail.

Setting dan konsep sedikit terinspirasi dari Tokyo Girls Destruction karya BETTEN Court serta Redox milik Ferra Rii.

Last but not least, enjoy.


Ini tahun 2032, dan dunia tengah berada di Perang Dunia Ketiga.

Segalanya begitu ruwet, hancur, tak karuan, dan tak terduga. Siapa yang sangka bahwa negeri Indonesia akan menjadi tampuk kekuasaan, berdampingan dengan Rusia dan Cina? Siapa yang sangka bahwa Britania Raya akan hancur berkeping-keping hingga lenyap dari peta dunia? Siapa yang sangka bahwa seantaro Eropa yang bersisi dengan Amerika akan jatuh berkeping-keping dan tinggal menunggu waktu tunduk kepada kekuasaan Rusia?

Kau lanjutkan saja tanya demi tanya yang kau mulai dengan 'siapa sangka', karena memang kita―ya, kita, rakyat bumi biasa tanpa identitas berarti ini―tak ada yang tahu mengapa begitu berani Korea Utara itu akan meluncurkan misil penghancur ke Inggris Raya itu. Yang cukup kita tahu bahwa karena pertempuran itu, dibangunlah pada salah satu kawasan Oceania yang menjadi kawasan netral, sebuah akademi internasional khusus yang mengumpulkan murid dari berbagai kewarganegaraan bagaikan koleksi stempel di paspor.

Dididiklah mereka, para pion naas berstatus murid yang awalnya tanpa mereka tahu ada apa di balik kedok akademi ini, akan segala yang mereka butuhkan untuk menjadi seorang yang teratas di antara yang lainnya. Segala fisik dan mental untuk saling menguasai dalam semua aspek akademis dan non-akademis. Saling memakan atau bersiaplah untuk dimakan, adalah satu moto yang membangun mentalitas kompetisi pada sekolah ini.

Dan ditambah dengan legalnya untuk saling membunuh karena di luar sana status semua negara sedang dalam perang, jadilah moto itu benar-benar satu aplikasi yang mewarnai merah gelap darah di beberapa koridor sekolah.

Ah, tapi janganlah kau pikir terlalu jauh, kau ini masih anak baru, bukan? Maka terimalah sambutan hangat kami, selamat datang di World Academy II.

Kami tunggu kau, untuk bergabung dalam pesta pembantaian ini.


"Ini hukumanmu, Chris, karena berada pada peringkat akhir di kelas X semester dua, angkatan kita."

BRUAGH!

Dan jatuhlah tubuh milik murid asal Venezuela itu pada sekumpulan ujung tajam pagar hitam bergaya art-nouveau yang mengitari kebun mawar di baliknya. Ah, sekarang bercak darah itu menyiprat ke mawar putih dan ungu di dekatnya, sayang sekali.

"Biasanya kau hanya akan menggantung mati, pres. Ada apa dengan inovasi menjatuhkan dari lantai delapan ke ujung pagar tajam sekolah, hmm?"

Pemuda berjanggut dan berambut emas halus itu menanyai pada pemilik mata hijau yang merupakan kepemilikan ketua SC, Arthur Kirkland. Yang ditanya hanya mendesah kecil, lalu memutar matanya sebelum balik berjalan menuju lift yang segera membawa dua orang dengan pin SC di bagian kerah bajunya itu ke lantai dua. "Hanya butuh sedikit pembaharuan. Bosan aku, menyaksikan muka orang sesak napas di tiang gantungan terus." jawaban itu pun keluar tanpa nada bicara yang terkesan begitu tertarik. "Lagipula kenapa aku harus ditemani olehmu, eh, kodok Perancis sialan?"

Kodok Perancis bernama asli Francis Bonnefoy itu pun hanya tertawa. Ketua mereka masih tetap bertampang menyebalkan seperti biasanya, umm? "Aww, mon cher, jangan jahat begitu padaku. Toh, aku, selaku mantan ketua SC, hanya ingin melihat bagaimana kerja mantan asisten tersayangku." tertawalah ia, dan mengelak kecil kala sebuah pisau mengkilap hampir menusuk pelipisnya. Untung kedua jari kanannya itu masih mampu menjepit pisau itu sebelum barang ujungnya mengenai pelipisnya. "Seperti yang kuharapkan dari penerusku." tambah Francis sekali lagi, dan pisau itu pun ditarik kembali, masuk ke dalam sarungnya.

"Penerus, mimpi bodohmu mungkin. Kau tahu sendiri, jadi ketua SC di sini berarti harus menang dalam 10-on-1 dengan anak-anak kelas A kurang dari 4 menit." jawabnya ketus. Tapi sepertinya tertawaan dari pemuda Perancis itu adalah yang terbaik yang bisa ia dapatkan kini.

Akademi ini punya lima gedung, dari A sampai E, dan disusun dari A, kelas yang dihuni oleh kaum superior berprestasi tinggi dan yang telah membantai lebih dari 15 orang dalam dua bulan, sampai yang berada di E, kumpulan buangan yang sengaja ada untuk membersihkan mayat-mayat hasil pertempuran dari kelas A sampai D. Sekali waktu, salah seorang dari mereka akan dipilih oleh sang juara umum untuk dikorbankan dengan siksaan atau bahan percobaan pembunuhan lainnya. "Tetap saja hebat, chérie. Kau bunuh mereka kurang dari dua menit, bahkan! Rekor baru yang aku ragu, akan ada yang bisa memecahkannya."

Sampailah mereka di lantai dua, dan disusurinya koridor panjang tersebut, berjalan menuju ujung lorong besar bergaya istana Hogwarts tersebut. "Hmm, Francis? Tak salah kau?" bergumam pelan, Arthur menatap sesaat pada Francis yang telah menggantungkan jubah hitamnya di punggungnya. "Atau mungkin kau lupa pada orang itu, yang bisa menghabiskan semuanya kurang dari 50 detik?"

"Nama orang itu 'kan sudah hilang dari buku rekor, tak bisa kita masukkan dalam hitungan." balas Francis. "Oh, bicara soal nama, tadi ada anak perempuan yang baru masuk hari ini. Sepertinya dia sudah menunggu di ruang SC sekarang."

Sedikit berkerut wajahnya, dan ditanyalah Francis sekali lagi. "Dari?"

"Indonesia."

Tak perlu tambahan kata-kata, kala Arthur menambah kecepatan jalannya dan membuka pintu ruangan yang sangat tinggi itu. Menjumpai sosok remaja perempuan sebayanya yang telah menunggu dan kini tersenyum pada dua orang asal Eropa itu.

"Selamat pagi, saya Nusantara Ardiana, adik dari Saka Wirgantara. Mohon bantuannya."


Nusantara Ardiana.

Si gadis elok dari Indonesia, nampaknya dari luar seperti tipe anak yang kelihatan suka mencari masalah. Yah, tapi ingat saja, ini World Academy II. Mau tak mau, semua murid juga akan terjerat masalah apa pun di sini, setidaknya untuk masalah bertaraf paling ringan adalah menyaksikan pembunuhan dan membersihkan mayat.

"Berdasarkan hasil tesmu, kau akan dimasukkan ke gedung C. Jadi kelasmu ada di XI-C-2." Arthur yang berada di samping sang gadis ber-ras Melayu itu pun berjalan, menunjukkan kelas yang dimaksud dengan dampingan Francis. "Karena kau anak baru, kami rasa kau akan sangat membutuhkan pendamping spesial selama sebulan ini. Nanti akan ada anggota Student Council―kami singkat menjadi SC, atau singkatnya, mirip seperti sistem OSIS di negaramu―yang akan nanti datang ke tempatmu."

Diletakkan segala buku keperluan milik Tara―sapaan akrab gadis itu―oleh Francis pada meja gadis pendatang baru itu. Buku ekonomi, sejarah, sosiologi, bahasa Latin dan Inggris ada di tempatnya dan hal itu memberitahu Francis bahwa anak ini punya minat seputar pembahasan bertopik sosial. "Pendamping? Untuk apa?"

Giliran Francis yang berkedip kepada Tara. Tak lupa juga dengan senyuman kecil yang nampak begitu cerah, sangat nampak natural. "Oh, mon cher, kau akan membutuhkannya. Kau ingat kalau ini bukan akademi biasa dengan asramanya, oui?"

Kala itu, gadis itu masih tak mengerti akan apa maksud dari sang wakil SC bergaya flamboyan itu.

Tapi sepertinya, ia juga tak punya kesempatan untuk menyesal karena tahu. Ia sudah terlanjur masuk kemari, ingat?


SRAK, SRAK, SRAK!

Lalu terdengarlah, suara napas yang memburu dari sosok yang tengah berlari di rimbunnya semak-semak. Begitu terkekang raut wajahnya, sebuah gambaran akan ketakutan karena dikejar kematian yang dapat memburunya kapan saja.

SHIIING!

Dan secepat itulah, kematian dalam bentuk peluru menembus kepalanya. Cipratan darah merah itu kembali menodai rimbunan semak ini. Lalu dengar, suara tapak seorang dengan sepatu boots yang berat, berjalan menuju jasad yang semakin mengucurkan darahnya keluar, mewarnai rumput hijau itu menjadi begitu kemerahan.

"Oh, hebat, aku saja baru sampai kemari, Tino."

Lelaki bersepatu boots itu berbicara melalui wireless transceiver yang terpasang di telinganya, wajahnya nampak sedikit kecewa kala melihat jasad di depannya itu sudah ditumbangkan oleh sosok yang berada di balik transceiver dan tengah tertawa kecil itu. Jauh, sekitar 100 meter dari tempatnya berdiri, berada di atap sekolah sana, adalah seorang murid dengan topi beret putihnya. Matanya masih melirik pada scope senapan berburu yang sudah ia pasangi peredam, senjata yang ia gunakan untuk melubangi targetnya tadi. "Ayolah Al, kau sendiri yang memaksakan diri. Mana mungkin kau bisa berlari secepat peluru, umm?" jawab lelaki yang dipanggil Tino tersebut. Ditambah dengan angin malam ini cukup dingin dan kencang, membuat suaranya agak bergetar. "Jadi bagaimana identitas si manusia yang kabur ini?"

"Flash dari DC, dia bisa." optimis sekali ia menjawabnya, padahal tahu itu hanyalah karakter fiksi di atas komik. "Dominique Cardesilas, Argentina, dari kelas XII-D-5."

"Kau tahu Flash itu bukan orang sungguhan, Alfred." terdengar sayup-sayup suara bergesekan dan serak-serakan. Mungkin Tino tengah merapikan peralatan tembaknya. "Oh ya, Alfred, kudengar kalau tadi siang, ada anak baru."

"Memang kenapa? Tidak mengubah fakta bahwa populasi akademi ini akan surplus secara populasi, 'kan?" apalagi mengingat fakta bahwa sekolah ini memiliki tingkat kematian yang cukup tinggi per bulannya, katakanlah, 15 orang per bulan itu paling sedikit, maka tak heran jika Alfred F. Jones saja berasumsi seperti itu.

"Kupikir kau akan butuh karena ia ada di kelas kita." lanjut Tino. "Sepertinya penempatan kita di gedung C tahun ini punya alasan khusus. Lucu sekali, si ketua meminta kita berdua yang menjadi pendampingnya selama sebulan."

Baik Alfred mau pun Tino, adalah dua orang di bagian SC yang tak boleh diremehkan. Kekuatan fisik dan intelek mereka bahkan lebih tinggi dari rata-rata anak kelas B. Tapi yah, mereka ini dua dari tujuh anggota SC yang autoritasnya dikendalikan khusus oleh ketua SC untuk ditempatkan di gedung yang diinginkan sebagai pengawas keadaan murid-murid per gedung. Kebetulan, Alfred F. Jones dan Tino Väinämoinen adalah dua orang dari SC yang terpilih menjaga gedung C sekaligus pendamping murid baru itu.

"Wait, wait. Dua orang DAN satu bulan sebagai bagian escort? Tak biasa sekali. Tapi kalau seleksi saja masuk ke kelas C, harusnya ini bukan subjek yang perlu ditakuti?"

Pemuda asal Finlandia yang berada di balik transceiver itu balas mendesah. Kebetulan selesai juga acara beres-beres peralatan tembaknya. "Entah, kau tahu 'kan, Arthur pelit penjelasan." jawabnya. "Kita coba ikuti permainannya dulu, oke? Tiap kali ada murid baru juga dia bersikap seperti ini. Kumatikan sekarang koneksinya, ya. Sampai jumpa besok, Al."

Kembali, Alfred mendesah sebelum ia berlalu pergi sembari mematikan transceiver miliknya dan meletakkan bendera kuning di dekat mayat yang baru ditembak Tino. Menjaga anak baru selama sebulan dan butuh tambahan Tino itu sesuatu yang menandakan kalau anak baru ini punya sesuatu yang dipandang menakutkan oleh Arthur. Alfred pribadi juga benci main rahasia seperti ini, apalagi faktanya ia adalah bagian inti dari SC! Masakan ia tak boleh tahu ada apa dengan motif yang bahkan terkesan terlalu ketat untuk anak perempuan di kelas C yang boleh dibilang, kelas agak di bawah rata-rata.

"Satu-satunya waktu ketika Francis dan Arthur bersikap sangat ketakutan adalah saat orang itu datang..."

Lelaki berkacamata itu mengayunkan tangannya di atas jam tangan miliknya. Segera, muncul beberapa layar berhologram dari jam tangan itu, dan ia buka satu ikon bergambar amplop surat. Sepertinya surel berisi data anak baru itu baru ia terima sekarang. Tapi sungguh, betapa pun Alfred melihat berkas anak baru itu dari Arthur, Alfred tak menemukan adanya hal yang dirasa perlu untuk ditakuti sampai perlu diawasi selama sebulan―tambahkan satu instruksi terselubung adalah untuk meraup info sebanyak-banyaknya dari si target.

Masih tak habis pikir jugalah dirinya, dan halaman demi halaman, seksama memperhatikan barangkali ada detil yang terlupa atau bagaimana.

Tapi tak ada sesuatu pun yang aneh.

Semuanya... Terlalu normal untuknya.

.

To Be Continued