DESIRE
Story by: MagnaEviL
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: AU, maybe OOC, yaoi, dll.
Don't Like Don't Read.
Enjoy
…
Di kota Kanada, aku sedang menikmati hari-hariku bersamanya. Saat berduaan seperti ini merupakan momen terindah bagiku. Di kota ini pula yang menjadi tempat tinggalku bersamanya. Kami sudah tinggal bersama hampir empat tahun lamanya. Sebagai pasangan yang sudah menikah.
Kami sama-sama lelaki. Aku tahu ini terdengar gila. Bahkan hubungan kami yang tak normal ini sudah mendapatkan berbagai kecaman maupun teror dari orang-orang terdekat. Aku menerima semua itu. Asalkan aku tetap bisa bersamanya. Namun, ada beberapa orang juga yang mendukung kami. Mereka adalah sahabat-sahabatku.
Memang sejak awal hubungan kami memang sudah ditentang. Terlebih dari kedua orang tua kami. Mereka sangat tidak menyetujui hubungan kami yang saat itu masih dalam status sebagai kekasih. Sudah beberapa kali orang tuaku dan juga orang tuanya berusaha memisahkan kami. Usaha mereka memang berhasil. Kami sempat berpisah saat itu. Namun tak berapa lama kami pada akhirnya bertemu kembali.
Orang tuaku juga mengancam kepadaku, kalau aku tidak segera memutuskan hubungan ini, maka aku akan dicoret sebagai daftar ahli waris pada klan Namikaze. Aku termasuk dalam klan Namikaze, sebuah klan yang cukup terpandang di negara Jepang. Apalagi aku adalah anak tunggal. Maka penerus klan Namikaze akan berakhir pada diriku kalau aku tetap menjalin hubungan dengannya.
Tapi aku tak peduli pada harta itu. Aku mencintainya. Aku mencintai Sasuke, Uchiha Sasuke. Seorang pemuda yang berasal dari klan Uchiha. Sebuah klan dimana perusahaan yang didirikannya begitu mendominasi di kota Tokyo. Dan Sasuke saat itu menjabat sebagai direktur di salah satu perusahaannya.
Kakak Sasuke, Uchiha Itachi, begitu mendukung hubungan kami. Dia tidak peduli pada adiknya yang seorang gay. Asalkan adiknya bahagia, dia takkan mempermasalahkannya. Dia juga yang sudah beberapa kali menyelamatkan hubungan kami dari kata pisah.
Pada akhirnya Sasuke mencoba melamarku. Aku senang sekaligus terharu. Dengan berani dia melamarku di hadapan orang tuaku. Tentu saja orang tuaku tak merestuinya. Bahkan Sasuke mendapat sebuah tamparan di pipinya dari ayahku. Sasuke diam saja menerimanya dan tidak berusaha melawan. Bagaimanapun, Sasuke sangat menghormati orang tuaku sebagaimana dia menghormati kedua orang tuanya. Aku tak tega padanya. Pada akhirnya aku membawanya menjauh dari hadapan orang tuaku yang masih saja memaki dirinya. Meski pada akhirnya aku dikurung oleh kedua orang tuaku selama beberapa hari di kamar dan tak diijinkan keluar.
Tepat seminggu setelah aku dikurung, Sasuke akhirnya mengajakku kabur dari rumah. Tak hanya kabur dari rumah, Sasuke juga membawaku keluar dari negara Jepang ini. Dia membawaku ke negara Belanda. Di sana kami menikah. Karena di sana, adalah surga bagi orang-orang seperti kami. Setelah menikah, barulah kami memutuskan untuk tinggal di Kanada.
Kenapa kami harus meninggalkan kota Jepang? Jawabannya sederhana. Hubungan sesama jenis seperti kami merupakan hal yang tabu untuk diperlihatkan. Selain itu, kedua orang tua kami akan mudah menemukan aku dan Sasuke.
Saat ini kami sedang asik menikmati hidangan makan malam di salah satu restoran yang cukup berkelas di kota ini. Maklum saja, aku tak pandai memasak. Memang, di rumah kami masih ada pembantu. Namun aku merasa kasihan dengannya yang sudah bekerja seharian tanpa henti. Jadi aku menyuruhnya istirahat dan memutuskan untuk makan di luar saja.
Sasuke baru saja pulang dari kerjanya. Bisa kulihat dia memasang wajah kesal saat aku membawanya ke luar rumah. Aku hanya melebarkan mulutku, menyengir. Tapi bagaimanapun ia tak marah kepadaku. Ia hanya menggerutu, tapi tak memrotes sama sekali.
Alunan musik Jazz menghiasi gendang telinga kami. Musik yang mengalun dari piano itu terdengar lembut. Menciptakan suasana yang romantis sekaligus hening secara bersamaan. Aku menikmatinya, walau tak benar-benar menikmatinya. Karena aku lebih menyukai musik pop ketimbang jazz.
Aku meminum lemon tea hangatku. Rasanya menghangatkan di cuaca yang dingin ini. Karena sebentar lagi wilayah kota Kanada akan diselimuti salju beberapa hari ke depan. Aku melirik Sasuke yang sedang duduk menghadap jendela di depanku. Ia hanya menopang dagu, sambil memandang hamparan jalan yang dipenuhi oleh para pejalan kaki.
Mengalihkan pandanganku ke daging steak di hadapan Sasuke, rupanya ia hanya memakan setengahnya saja. Sedangkan aku sudah menandaskan makanan di piringku sedari tadi. Aku menyentuh tangannya untuk menyadarkannya dari lamunan.
"Kau sudah selesai?"
Sasuke menoleh kepadaku. Ia terlihat capek. Mungkin ini adalah salahku karena mengajaknya keluar.
"Hn." Ia bergumam pelan.
Aku melempar senyum kepadanya. "Kita pulang? Kau terlihat sangat lelah," tawarku kepadanya.
Ia memandangku lalu menggelengkan kepalanya sekali. "Nanti saja. Kita jalan-jalan sebentar."
Aku mengangguk menyetujuinya. "Baiklah. Bukan ide yang buruk."
Kami beranjak dari tempat duduk yang kami tempati. Tak lupa Sasuke mengangkat tangannya untuk meminta tagihannya. Pelayan restoran pun datang ke arah kami. Dengan seragam hitam putih itu, ia menyerahkan tagihannya kepada Sasuke. Aku melihat pelayan perempuan itu mengerlingkan matanya kepada suamiku. Tak lupa juga menebarkan senyumnya yang menurutku cukup menawan. Sedikit cemburu memang mengingat suamiku adalah orang yang tampan. Tak aku tak perlu khawatir karena Sasuke dengan sikap cueknya menyerahkan uang pembayaran kepada pelayan itu tanpa memandang wajahnya. Aku hanya terkikik geli dalam hati melihat wajah kesal pelayan itu.
Angin dingin menerpa wajahku kala kami keluar dari restoran itu. Memandang langit yang berhiaskan bintang. Aku melirik Sasuke. Ia hanya mengedarkan pandang. Namun setelah itu, perbuatannya cukup membuatku malu. Ia menggenggam tanganku dan mulai menyusuri jalanan malam. Tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang memandang aneh ke arah kami. Ya, aku sangat malu sekarang.
"Sasuke, kita mau kemana?" tanyaku saat kutahu Sasuke hanya berjalan mengelilingi kota ini tanpa menghentikan langkahnya ke suatu tempat.
"Kita ke taman. Aku sedang suntuk."
Aku mengernyitkan alisku. "Kau ada masalah?"
"Pekerjaanku."
"Ada apa?" aku bertanya khawatir. Melihat dia begini, aku ingin sekali membantunya. Tapi Sasuke dengan tegasnya melarangku menyentuh pekerjaannya. Ia hanya menginginkanku untuk mengurus rumah saja. Soal pekerjaan dan mencari uang itu adalah urusannya. Apa ia lupa kalau aku adalah laki-laki? Atau ia sengaja? Mengurus rumah seperti ibu-ibu saja.
"Ada sedikit masalah dalam bagian keuangan. Tapi tak apa. Hanya masalah kecil."
Biarpun kau berkata begitu, aku tahu bahwa masalahnya itu cukup berat. Namun aku tak menyuarakan pendapatku. Aku hanya mengangguk kecil.
Akhirnya kami sampai di taman setelah berjalan selama lima belas menit. Aku mengedar pandang sekiranya mencari tempat untuk duduk. Dan aku menemukannya.
"Kita ke sana saja." Aku menunjuk bangku taman yang letaknya tak jauh dari sini. Sasuke menurut saja saat aku membawanya ke sana.
Kami duduk di sebuah bangku panjang yang letaknya dekat lampu taman. Di sini lumayan terang. Kami bisa memandang orang-orang sedang berjalan di depan kami. Kembali aku melirik Sasuke dan ia hanya fokus pada apa yang ia pandang. Dan aku mengikuti arah pandangnya. Saat kulihat, hatiku tiba-tiba mencelos.
Ia memandang pada orang tua yang tengah menghibur anaknya yang masih balita menangis karena terjatuh. Hanya satu pemikiranku saat ini.
Sasuke menginginkan seorang anak dimana aku yang takkan mungkin bisa memberikannya.
Aku memegang dadaku yang tengah sakit. Tentu saja aku takkan bisa memberikannya karena aku adalah laki-laki. Laki-laki takkan bisa hamil. Dan laki-laki takkan bisa melahirkan.
Aku mencengkram bajuku.
Tak hanya kali ini aku mendapati ia memandang pada sebuah keluarga yang memiliki anak. Tapi sebelumnya aku juga memergokinya. Aku hanya diam saja. Aku tak mengganggu. Kubiarkan saja ia berangan-angan memiliki buah hati. Seperti yang sudah kukatakan, aku takkan bisa mengandung layaknya perempuan.
Sasuke menepuk pundakku pelan saat ia hanya mendapatiku berdiam saja. "Apa kau baik-baik saja?"
Aku mencoba tersenyum meyakinkannya. "Ya. Aku baik-baik saja."
Sasuke hanya mengangguk dan akupun kembali terdiam.
Ingin rasanya aku meminta pada Tuhan agar aku bisa hamil. Tapi itu tak mungkin. Laki-laki sepertiku sudah ditakdirkan untuk tak bisa hamil.
Aku seorang pendosa. Kuakui itu. Karena aku menjalin hubungan terlarang dimana Alkitab sudah dituliskan secara jelas bahwa hubungan sesama jenis itu dilarang. Sangat dilarang. Jadi untuk apa seorang pendosa sepertiku meminta kepada Tuhan agar bisa hamil dimana permintaan itu berlawanan dengan takdir yang sudah digariskan? Jangan harap Tuhan bisa mengabulkan permintaanku ini. Aku ingin menangis sekarang juga.
...
Aku menggosok rambutku yang basah dengan menggunakan sebuah handuk. Aku habis mandi. Akupun menuju lemari bajuku yang terletak di ujung kamar ini. Aku membukanya. Kulihat bajuku yang terlipat rapi.
Semenjak menikah dengan Sasuke, aku mulai membiasakan diri untuk rapi. Rapi dalam segala hal. Karena Sasuke sangat menyukai kerapian. Aku hormati kesukaannya itu. Karena dulunya aku selalu berantakkan.
Ketika aku mengambil baju kaosku, aku teringat satu hal. Baju-baju yang kumiliki mulai terasa tidak pas di badanku. Maklum saja. Aku memiliki baju-baju lama yang masih terpakai saat aku masih kuliah dulu. Kini saatnya aku harus membeli baju baru. Sepertinya nanti sore aku akan meminta Sasuke menemaniku berbelanja.
Jangan heran aku selalu meminta Sasuke untuk menemaniku kalau sedang ingin keluar rumah. Selama hampir empat tahun tinggal di kota ini, aku sangat jarang sekali keluar rumah. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kalaupun keluar, aku hanya berbelanja cemilan di supermarket terdekat. Jadi, aku masih belum hapal benar jalan-jalan di kota Kanada ini. Bahasa Inggris-ku pun masih belum lancar. Aku dan Sasuke masih menggunakan bahasa Jepang dalam berbicara meskipun diselingi bahasa Inggris. Alih-alih ingin berpergian, malah tersesat ujung-ujungnya. Dan aku tak mau merepotkan Sasuke.
Akupun membawa kakiku keluar dari kamarku. Dengan bertelanjang dada dan menggunakan celana pendek selutut, aku mencari Sasuke. Kulihat ia sedang asik menonton televisi yang menyiarkan pertandingan olahraga sambil merokok. Kebiasaan buruknya datang lagi. Sudah kuberitahu padanya kalau ingin merokok jangan di dalam rumah. Karena aku tak menyukai asap rokok.
Aku menghela napas. "Sudah kubilang jangan merokok di dalam rumah, Sasuke." Ucapku dari belakangnya.
Sasuke melirikku dari bahunya. "Hn." Dia pun memilih untuk mematikan rokoknya.
Akupun duduk di sampingnya dengan handuk di leherku. "Apa nanti sore kau sibuk?" tanyaku. Aku melihat ke arah televisi. Rupanya sedang ada pertandingan sepak bola.
"No. I'm free. Why?" tanyanya sambil memandangku.
Aku tersenyum. "Can you accompany me to buy clothes? I need it. Because clothes in my closet has been felt not right."aku menjelaskan tujuanku.
Sasuke mengangguk. "Yes, I can." Sasuke menyetujuinya.
Aku tersenyum lebar mendengarnya. Mungkin ia tahu kalau aku masih belum hapal jalan di kota Kanada ini. "Thank you." Aku berucap.
"Hn." Ia mulai mengambil rokoknya dan bersiap untuk menyalakannya kembali.
Sebelum itu, aku mencegahnya merokok dengan mengambil rokoknya. "Kalau kau ingin merokok, jangan di dalam rumah!" bentakku padanya.
Ia mendengus kesal. Kemudian ia mendekatiku mengambil batang rokok yang sudah kurebut tadi. Sekilas ia menciumku tepat di bibir. Rasa tembakau terasa di bibirku. "Aku akan melakukannya di luar. Kau puas?"
Aku menyeringai kepadanya. Dan akupun membalasnya dengan mengecup sekilas bibirnya. "Aku senang mendengarnya."
Ia melengos saja dari hadapanku. Mengambil kotak rokoknya kemudian melangkah keluar. Sepertinya ia sedikit marah kepadaku. Aku hanya terkekeh pelan.
Beberapa jam kemudian sore sudah menjelang. Aku menikmati kediamanku di dalam mobil sport milik Sasuke ini sambil memandangi orang-orang yang tengah berlalu. Dengan bertopang dagu, aku menghela napas.
"Kita sampai." Sasuke menyadarkan lamunanku. Aku mengangguk dan segera melepaskan sabuk pengaman yang terikat di pinggangku. Dan akupun berjalan beriringan ke dalam mall bersama Sasuke.
Kulihat ada beberapa penjual baju yang memberikan potongan murah pada barang dagangannya. Aku harus ke sana. Semenjak hidup dengan Sasuke, aku harus berbelanja sehemat mungkin dan juga membeli barang yang murah. Meskipun kini Sasuke sudah mendirikan perusahaannya sendiri dengan uang tabungannya dan penghasilannya lumayan besar, aku tetap harus menggunakan uang secermat mungkin.
Sebenarnya aku tak mempermasalahkan apakah pakaian itu pantas atau tidak pada badanku, asalkan pakaian itu nyaman maka aku akan memakainya. Di kehidupanku dulu, semua barang-barangku tergolong mewah. Karena menurut orang tuaku, barang mewah sudah sangat berkualitas dan yang terbaik. Aku hanya tertawa. Bukankah barang murahpun sudah cukup berkualitas dan terbaik?
Aku memilah-milah pakaian yang terasa pas di badanku. Aku terlalu malas untuk mencobanya di ruang ganti. Maka aku hanya memperkirakannya saja. Aku mengambil beberapa kemeja dan juga kaos. Serta tak lupa celana berbahan kain. Setelah memilihnya aku segera menuju kasir.
Ketika aku hampir menuju tempat kasir, aku sadar bahwa Sasuke tidak bersamaku. Melalui mata ini aku mencarinya di segala penjuru ruangan. Dan pada mata ini pula aku menemukannya di tempat penjualan pakaian anak-anak.
Anak-anak, ya?
Hatiku kembali sakit. Sebesar itukah kau ingin memiliki anak, Sasuke? Jika bisa, aku akan memberikannya kepadamu. Tapi bagaimana? Sementara aku adalah seorang laki-laki yang takkan mungkin menghasilkan seorang anak. Sasuke, tak bisakah kau menginginkan sesuatu yang lain selain anak? Kalau ada, aku akan memberikannya kepadamu. Meski kau akan meminta nyawaku.
Dengan segera aku menuju ke meja kasir setelah aku melihat Sasuke menuju ke arahku. Setelah penjaga itu menyebutkan harganya, aku mengambil dompetku dan membayarnya.
"Sudah selesai?" tanya Sasuke kepadaku.
Aku mengangguk mengiyakannya. "Ya, sudah."
"Tidak ada yang ingin kau beli lagi?" Sasuke kembali menanyaiku.
Aku memegang daguku mengambil pose berpikir. "Kurasa cemilan di rumah kita sudah habis, dan ramen instan juga habis."
Sasuke mendengus. "Kau masih saja memakan ramen?"
Aku memajukan bibirku. "Teme! Biar bagaimanapun ramen adalah makanan favoritku!" seruku kesal.
"But, this isn't good for you, Dobe."
"I don't care about it, Teme."
Kulihat ia hanya berdecak kesal. "Whatever."
Dan segera kamipun pergi dari mall tersebut.
…
Kami hanya duduk dalam diam di depan televisi. Kulihat Sasuke hanya fokus terhadap apa yang ia tonton. Sebuah pertandingan sepak bola. Wajahnya sama sekali tak menampakkan ekspresi sama sekali ketika menonton pertandingan itu. Bahkan ketika bola itu masuk ke gawang atau tidak, ia tetap memasang wajah datar. Ck, mengesalkan sekali. Aku hanya kembali memakan cemilanku.
Tiba-tiba saja aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Perihal tentang apa yang selama ini aku takutkan. Aku tidak tahu apakah waktunya tepat atau tidak sekarang. Kuharap ini adalah tepat.
"Sasuke." Aku mulai memanggil namanya. Nama suamiku.
"Hn?"
Aku mengatur napasku. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?"
Dia mengalihkan pandangannya terhadapku. "Apa?"
"Kuharap kau mengatakannya secara jujur."
"Apa kau sedang mengintrogasiku?" tebaknya.
Aku hanya memutar kedua bola mataku. "Tidak."
"Lalu apa?" sahutnya tidak sabaran.
Aku mengambil napasku kembali. Aku mulai gugup sekarang. Kuharap ia benar-benar menjawabnya dengan jujur.
"Selama hampir empat tahun menikah, adakah sesuatu yang begitu kau inginkan?"
Dalam mataku, Sasuke menautkan kedua alisnya. "Apa yang kau maksud?"
"Sudah, jawab saja!" nadaku sudah naik satu tingkat.
Sasuke terdiam. Tak berapa lama ia tersenyum. Hal yang sangat jarang aku lihat dari wajahnya. Kemudian, melalui tangannya, ia menyentuh pipiku. Tangannya terasa dingin dan juga hangat dalam waktu bersamaan.
Ia memelukku. Erat, seakan aku adalah barang yang sangat enggan untuk dilepaskan. Yeah, aku adalah bagian terpenting dalam hidupnya.
"Tidak ada yang kuinginkan di dunia ini selain kau, Naruto. Aku memang ingin memiliki keluarga yang utuh. Namun kehadiranmu cukup menjadi pelengkap di hatiku."
Aku memeluk Sasuke, erat. Sangat erat. Aku tidak peduli jika Sasuke akan merasakan sesak napas. Yang kuinginkan, hanya memeluknya seerat mungkin.
Airmataku jatuh. Sesuatu yang sedari tadi terus kutahan. Tapi aku tak bisa menahannya lagi. Tak bisa. Aku membenamkan wajahku di tekuknya. Aku tak peduli jika Sasuke akan protes karena baju bagian pundaknya basah oleh airmataku. Yang kuinginkan adalah menumpahkan segala perasaanku sekarang.
Ya, Sasuke. Aku akan memberikan apa yang kau maksud dalam ucapanmu tadi. Aku menangkapnya. Sangat jelas. Jelas sekali.
Aku akan mengambil jalan pintas.
…
Pagi-pagi sekali sudah berpakaian sangat rapi. Dengan kemeja kotak-kotak berwarna oranye, celana jeans berwarna biru, lalu mantel berwarna putih karena diluar nampak salju mulai turun, serta sebuah syal yang melingkar di leherku.
Sebelum keluar aku sudah berpesan kepada pembantuku kalau aku akan pergi. Jangan khawatir soal Sasuke, ia sudah berangkat ke kantornya setengah jam yang lalu. Aku akan menemui seseorang yang mungkin bisa membantuku mewujudkan hal ini.
Aku menghentikan sebuah taksi berwarna kuning ketika mobil itu melintas di depanku. Dengan mengatakan tujuanku, supir itu menyanggupinya. Aku segera naik ke kursi penumpang. Duduk dengan nyaman, sembari menunggu sampai ke tempat tujuan.
Sebuah gedung yang cukup tinggi dan ramai pengunjung terpampang di hadapanku. Aku membayar ongkos kepada supir taksi di depanku. Setelah mengatakan terima kasih, aku keluar dari mobil berwarna kuning itu. Kembar sekali warnanya dengan rambutku.
Mula-mula aku berjalan ke arah resepsionis. Menanyakan seseorang yang sangat ingin kutemui. Sebentar aku menunggu karena sang resepsionis itu sedang memeriksa sesuatu. Setelahnya ia tersenyum kepadaku, lalu ia memberitahuku kalau orang yang kucari masih ada di gedung ini.
Aku membalas senyumnya seraya mengucapkan terima kasih. Kemudian aku membawa kakiku pergi dari tempat itu. Menemui seseorang yang sudah sangat kukenal.
Setelah sampai di depan ruangan, dimana orang yang kucari ada di dalamnya, aku mengetuknya terlebih dahulu untuk ijin permisi. Terdengar suara dari dalam.
"Come in."
Aku mengatur napasku sebelum aku masuk menemui orang itu.
Membuka pintu itu, suara berderit terdengar dari pintu ini. Aku melangkah masuk. Mendapati seorang wanita yang berusia hampir enam puluh tahun namun memiliki fisik yang jauh dari umurnya.
"Ada yang bisa saya ban—kau!"
Tsunade—ralat, nenek Tsunade, orang yang kumaksud tengah memicingkan matanya. Menatapku tajam, seolah aku adalah musuh terbesarnya yang begitu dibenci.
"Apa kabar nenek Tsunade?" sapaku disertai dengan cengiran lebar.
"Aku bukan nenekmu! Dan panggil aku nona Tsunade!" ia membentak kasar. Kulihat ia memijit keningnya. "Ada apa kemari, Bocah?"
Aku mengerucutkan bibirku. "Aku bukan bocah, Nenek Tsunade. Umurku hampir dua puluh tujuh tahun—kalau kau lupa."
Nenek Tsunade menghela napasnya mendengar perkataanku. "Lupakan. Kembali ke pertanyaanku sebelumnya, mau apa kau kemari? Jangan bilang kau hanya menemuiku saja. Aku sibuk!"
"Aku ke sini ada tujuan, Nenek Tsunade."
"Sudah kubilang panggil aku nona Tsunade!" ia membentak lagi ke arahku. Namun, aku tak memperdulikannya. Aku langsung saja duduk di hadapannya tanpa seijinnya.
Kupandangi ruangan ini. Cukup rapi tapi mengingat nenek Tsunade adalah seorang dokter di sini. Beliau dokter yang cukup terpandang di kota ini, mengingat kemampuannya dalam hal medis tidak diragukan lagi keahliannya.
Nenek Tsunade adalah orang tua dari teman ayahku dulu. Namun, bagi ayah, nenek Tsunade dan juga suaminya—kakek Jiraiya sudah dianggap layaknya orang tua kandung sendiri. Ayahku sangat menyayangi mereka. Jangan heran juga kenapa aku tetap bersikeras memanggilnya nenek, karena beliau sudah kuanggap nenekku sendiri meski ia tak mengakuinya juga.
Kami bertemu kira-kira dua tahun yang lalu di kota ini. Saat itu aku kalang kabut karena Sasuke sedang sakit. Ia menderita keracunan akibat memakan masakanku yang terbilang cukup buruk. Aku bersalah karena aku yang memaksanya makan masakanku. Alhasil ia muntah-muntah, mengeluarkan semua cairan di perutnya hingga pingsan.
Saat aku membawanya ke rumah sakit, aku tak tahu kalau yang merawat Sasuke saat itu adalah dokter yang bernama Tsunade. Aku terkejut saat nenek Tsunade keluar dari ruang pemeriksaan Sasuke. Beliau sama halnya denganku, terkejut. Namun tak lama, aku dan beliau pun membicarakan tentang Sasuke di ruangannya.
Aku juga memberitahu kepadanya kalau aku dan Sasuke sudah menikah. Beliau terkejut, tentu saja. Dan aku hanya tertawa kecil melihat raut wajahnya yang terkejut itu.
"Bocah, kau ke sini bukan untuk berdiam diri saja, 'kan?" nenek Tsunade berkata kepadaku.
Aku hanya menyengir saja.
Nenek Tsunade kembali menghela napas. "Bagaimana kabar Minato? Apa kau ada menghubunginya?" nenek Tsunade bertanya kepadaku.
Senyum yang selalu bertengger di bibirku memudar. Entah apa yang harus kujawab dari pertanyaan wanita di depanku ini.
"Kenapa, Bocah? Apa kau tidak menghubungi mereka?"
Aku mengalihkan pandanganku. "Aku tidak tahu. Lagipula buat apa? Mereka sudah tak menganggap aku ada. Aku dibuang oleh mereka."
Tiba-tiba saja kepalaku dihantam oleh sesuatu. Aku meringis kesakitan sambil memegang kepalaku. Kulihat nenek Tsunade memegang sebuah buku di tangannya. Aku menatapnya tajam.
"Apa yang nenek lakukan?" seruku.
"Kau itu bodoh atau apa? Darimana kau mendapatkan kesimpulan seperti itu? Aku menduga kalau kau tak menghubungi mereka selama ini."
Aku tertunduk. "Aku sudah menghubungi mereka—sekitar dua bulan yang lalu. Tapi, begitu mereka tahu kalau aku yang menelpon, mereka tak mau menerimanya. Itu yang membuatku berasumsi kalau aku sudah tak dianggap lagi."
Setelahnya kami terdiam. Kudengar nenek Tsunade kembali menghela napas. "Bodoh! Mereka tak menerima telpon darimu bukan berarti kau tak dianggap lagi, Bocah. Mungkin saja mereka masih marah kepadamu."
"Sudahlah… aku tak mau membahas mereka." Ucapku kepadanya. "Lagipula tujuanku ke sini bukan untuk membahas mereka. Aku punya tujuan lain."
"Dasar."
Aku mengangkat kepalaku yang tertunduk. Kemudian menatapnya. "Mungkin ini terdengar aneh bagimu, tapi aku sangat penasaran." Aku menarik napasku. "Apa laki-laki bisa hamil?"
Kembali kepalaku dihantam sesuatu. Membuat kepalaku yang tadi masih terasa pusing menjadi sangat pusing. Aku mendelikkan mataku kepadanya.
"Kau benar-benar bodoh, Bocah! Tentu saja laki-laki tak bisa hamil. Apa kepalamu terbentur sesuatu yang mengakibatkan pembicaraanmu seperti orang mabuk?"
"Nenek Tsunade, kalau itu aku tahu. Tapi yang kumaksud dari pertanyaanku adalah, apa laki-laki bisa hamil tapi dengan cara yang lain?" kemudian aku mengusap kepalaku yang tadi habis dipukul.
Nenek Tsunade memicingkan matanya ke arahku. "Kenapa kau bertanya seperti itu, Bocah?" tanyanya.
"Sudah! Jawab saja!" aku membentak lagi. Aku sudah kehabisan kesabaran.
"Kalau aku menjawab 'bisa', apa yang ingin kau lakukan?" nenek Tsunade memancingku untuk menjawab pertanyaannya. Tapi… apa yang harus kujawab?
"Jangan bilang kalau kau ingin hamil, Naruto?"
Aku terbelalak. Memang, memang itulah tujuanku ke sini. Menanyakan sesuatu itu dan kalau bisa aku ingin melakukannya. Namun aku ragu harus merespon jawaban apa kepada nenek Tsunade. Antara mengangguk atau menggeleng. Tapi aku memutuskan untuk mengangguk.
"Kau gila? Atau jangan-jangan Uchiha itu yang memaksamu?"
Dengan segera aku menggelengkan kepalaku. Bahwa apa yang dikatakan nenek Tsunade adalah salah besar. "Tidak. Sasuke tak memaksaku untuk melakukan ini semua. Tapi, aku hanya ingin memberikan apa yang paling ia inginkan, nenek Tsunade." Jeda menyelimuti kami. "Karena aku begitu menyayanginya—sebagai suamiku."
"Tapi, kau kan bisa mengadopsi anak?"
"Itu berbeda!" aku merasakan mataku memanas. "Kalau mengadopsi anak, belum tentu anak itu akan menerima kami sebagai orang tuanya. Karena orang tuanya adalah sama-sama laki-laki. Lagipula—" aku menarik napasku. Menahan agar airmataku tak jatuh. "—yang akan aku asuh adalah anak orang lain. Bukan anak dari darah kami sendiri."
Kulihat nenek Tsunade bangkit dari duduknya. Ia menghampiriku kemudian memelukku. Aku balas memeluknya. Pelukkannya seperti pelukkan seorang ibu yang sudah beberapa tahun tidak aku dapatkan. Aku merindukan ibuku sekarang. Kutumpahkan airmataku yang sedari tadi kutahan.
"Dengar, Naruto. Aku memang berkata bahwa laki-laki pun bisa hamil. Tapi resikonya cukup besar dan tingkat keberhasilannya kecil. Sudah berapa pasien yang datang kepadaku, dimana pasienku yang berkelamin pria itu menginginkan sebuah kehamilan, sama sepertimu. Tapi rata-rata mereka tidak bernasib beruntung. Aku tak mau, bocah yang sudah kuanggap cucuku ini menjadi salah satu di antara mereka."
Aku mengeratkan pelukkanku kepadanya. Airmataku mengalir lebih deras. "Aku tak peduli, Nenek Tsunade. Aku hanya ingin memberikan keturunan kepada Sasuke. Aku ingin memberikannya. Dia sudah sangat baik kepadaku, Nenek Tsunade. Sudah sepantasnya aku membalas kebaikkannya."
"Meski nyawamu taruhannya?"
Diam. Aku terdiam. Tubuhku bergetar. Dan akupun mengangguk.
"Meski nyawaku adalah taruhannya."
TBC
Aku nga kuat lanjutin fic ini T.T
Cukup menguras perasaan untuk membuat fic seperti ini. Beberapa kali aku harus nahan airmataku untuk menulis scene yang dimana membuat perasaanku terenyuh. Oh God, aku bener-bener nga kuat. Tapi, aku musti nyelesein fic ini.
Mungkin kasus di dalam nga fic ini memang ada atau hampir ada di dunia ini. Tapi aku yakin, pasti ada. Dimana laki-laki yang sudah menikah dengan laki-laki lainnya pasti menginginkan buah hati. Untuk pelengkap dari pernikahan mereka.
Sejauh yang aku baca, laki-laki bisa hamil dengan 'cara tertentu'. Kalau kalian pernah membaca kasus laki-laki hamil, mungkin aku akan menggunakan metode itu untuk membuat Naruto hamil di fic ini. Dan juga, tidak semua laki-laki
Eits, aku nga jamin fic ini bakalan MPreg atau nga. Aku juga nga mau sembarangan nulis MPreg dimana asal muasal terjadinya kehamilan dari laki-laki itu tidak jelas. Bagaimanapun, laki-laki hamil itu sangat jarang sekali terjadi.
And then, kenapa Naruto kebanyakkan nangis?
Aku cuma mau memposisikan diriku sendiri bagaimana seandainya aku ada di posisi Naruto. Mungkin beginilah jadinya, penuh dilema dan kegalauan. Dan sungguh! Aku nga bermaksud membuat Naruto lemah atau membuatnya seperti perempuan cengeng.
Hei, laki-lakipun butuh tempat untuk menangis agar perasaannya lega. Tak hanya cewek saja. Laki-lakipun bisa menangis karena cinta. Kalau bukan untuk menangis, untuk apa airmata laki-laki itu?
Itu adalah pertanyaan yang diajukan sahabatku kepadaku. Apa wajar laki-laki itu menangis? Aku menjawab, tidak wajar. Lalu ia bertanya, kalau bukan untuk menangis, untuk apa airmata laki-laki itu? Dan akupun terdiam. Tak bisa menjawab.
Ok, lupakanlah.
So, review? Fic ini mungkin hanya twoshoot aja.
Dan tidak menerima flame. Hanya membutuhkan kritik dan sarannya.
