Seperti yang saya kira, saya lebih bisa dan lancar menulis dalam bahasa Indonesia. Maka saya persembahkan fiction ini untuk Zutarian Indonesia! Enjoy!

Disclaimer: I do NOT own Avatar: The Last Airbender, seluruh hak cipta hanya dimiliki oleh Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzko. But I do own this story.

Prolog

Seketika ia berlutut di depan pemuda yang terbaring lemah itu, gadis itu menghembuskan nafas yang secara tidak sadar tertahan. Dengan lekas, ia menggerakkan tangannya, menarik elemennya keluar dari wadah yang menggantung di pinggangnya. Hanya dengan satu gerakan cepat, tangannya kini telah terbalut sarung tangan air yang lalu ditempelkan ke atas luka di ulu hati pria itu. Ia menggigit bibir bawahnya, gelisah akan kondisi temannya yang mungkin sudah terlambat untuk ditangani lagi.

Kumohon, Zuko, buka matamu…

Matanya mulai pedas ketika ia tidak menangkap satu pun gerakan kecil atau kedutan di anggota badan orang itu. Ia bisa merasakan tubuh Zuko mendingin dan detak jantungnya kian melemah, kontras dengan darahnya yang mulai mendidih, dipicu oleh kecemasan yang membuat seluruh tubuhnya memanas dan jantungnya yang berdegup kencang, memukul-mukul tulang rusuknya seakan ingin membebaskan diri. Air mata mulai menyelimuti korneanya, membendung di pelupuk mata, dan memburamkan pandangannya. Telapak tangannya mulai menekan ulu hati pengendali api itu lebih keras lagi, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyembuhkannya. Kepalanya mulai pening seiring air di tangannya menyala lebih terang.

Demi para arwah, Zuko, jika kau tidak membuka matamu dalam waktu dekat, aku akan—

"…U-ugh…"

Katara mengerjapkan kelopak matanya, menjernihkan penglihatan dari air mata yang menyamarkan semua bayangan. Harapan perlahan merasuki sukmanya seketika ia melihat wajah temannya mengkerut menahan sakit.

"Ayolah, Zuko, berjuanglah!" gumamnya.

Ia menarik nafas dalam-dalam lalu sekali lagi mengerahkan tenaganya sampai batas maksimal. Dahinya berlipat, alisnya berkernyit, setetes peluh mengalir menuruni pelipis sementara matanya tajam menatap sinar yang membalut tangannya. Ia tidak menghiraukan sakit kepalanya yang semakin menjadi-jadi. Keselamatan pria di hadapannya hanya satu-satunya hal yang terbersit di pikirannya.

Sesaat sebelum ia jatuh kelelahan, sebuah tangan kasar menggenggam lembut pergelangan tangannya, membangunkan Katara dari konsentrasi dan aksi penyembuhannya. Sarung tangan airnya menguap, meninggalkan jemarinya yang kini lembap.

Tersadar, ia melirik wajah pria yang masih terbaring di depannya. Ujung-ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar begitu Zuko membuka kelopak mata, menampakkan dua iris emas yang menatapnya tulus.

Rasa lega membasuh jiwanya seakan ia dapat bebas dan bernafas kembali dari cengkeraman kuat yang mencekik tenggorokannya. Katara sumringah, air mata kembali membendung di pelupuknya dan kali ini berhasil menetes keluar. Tetapi ia tidak keberatan, ia terlalu bahagia untuk peduli akan terlihat norak di hadapan temannya itu. Tangannya terulur untuk memapah punggung Zuko, membantunya bangun ke posisi duduk.

"Terima kasih," bisik pria itu dengan suara parau setelah meringis saat lukanya tersentuh.

Mendengar dua kata tersebut, Katara langsung melingkarkan lengan di bahu pengendali api itu dengan satu tangan masih melekat di punggungnya untuk menahan agar tidak jatuh, mengatur posisinya sedemikian mungkin agar bekas luka Zuko aman dari sentuhan. "Akulah yang seharusnya berterima kasih padamu."

Zuko menghela nafas merasakan bahunya mulai basah oleh air mata kemudian menggerakkan satu tangannya ke punggung gadis itu, membalas pelukannya. Matanya terpejam seraya ia menghirup dalam-dalam harum rambut Katara yang membenamkan wajahnya. Diam-diam, ia menikmati momen menenangkan ini dan bersumpah akan selalu mengenangnya sampai nanti.

Ketika Katara hendak menarik diri untuk melepaskan pelukannya, punggungnya tertahan sehingga ia tetap tinggal di posisinya. Gugup, denyut nadinya kembali berakselerasi.

"Z-zuko…?"

"Biarlah sebentar lagi. Aku masih belum percaya ini nyata…"

Wajah gadis itu memanas seiring pipinya mulai menampilkan semburat warna kemerahan mendengar pernyataan Zuko. Ia pun kembali memeluk pangeran api itu sambil berdoa dalam hati agar ia tidak mendengar suara detak jantungnya yang semakin lama semakin mengeras.

"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku akan sangat hancur jika petir itu menumpaskanmu."

Terenyuh, Katara mengangguk pelan. Wajahnya disembunyikan di tengkuk temannya.

"Syukurlah kau masih bisa bertahan. Aku tidak mau lagi merasakan beratnya kehilangan orang yang berharga…"

Namun sayangnya ia bukanlah pengendali takdir.

Jadi, bagaimana? Maaf kalau prolognya terlalu pendek, bab-bab berikutnya akan lebih panjang sekiranya lebih dari 1000 kata. Saya masih berusaha agar deskripsi yang saya tuliskan bisa terbayang sehingga gambarannya lebih jelas lagi.

Agar kalian tidak bingung atau tidak tersesat, akan saya perjelas di sini bahwa kejadian ini bersetting di lapangan dimana Zuko menantang adiknya dalam pertarungan Agni Kai di Fire Palace dan waktunya adalah ketika Katara berhasil mengalahkan Azula (S03E21). Selebihnya dari cerita ini saya karang sendiri sesuai bayangan yang menurut saya seharusnya terjadi (karena akan terlihat lebih keren jika sedikit cuplikan Zutara di tampilkan ^_^).

Thank you for reading, please leave a review!