"Kaa-chan, kau meletakkan bajuku dimana?" Boruto berteriak. Kedua tangannya dengan lincah memilah dan melempar beberapa baju yang terdapat di lemari, namun ia masih tak menemukan baju yang dicarinya. Baju yang baru saja dibelikan oleh Ayahnya minggu lalu, ketika malam festival kembang api di Konoha.
Seingatnya, Boruto baru memakai baju itu sekali ketika berangkat ke Akademi lima hari yang lalu. Dengan bangga ia pamer kepada teman-teman sebayanya, mengatakan bahwa baju itu pemberian Ayahnya, sang Hokage ke-tujuh. Tak membutuhkan waktu lama hingga hampir seluruh teman sekelasnya mengelilingi Boruto. Baju itu memiliki bahan yang sama dengan sebuah sweater—menggunakan kain wol—berlengan pendek, berwarna merah marun, dan terdapat lambang klan Uzumaki di dada bagian kiri. Sederhana, memang. Namun tetap saja pria kecil itu senang.
Berkali-kali ia mengatakan, "Kata Tou-chan, Aku sangat cocok memakai baju ini!" dengan menunjukkan sederet gigi susunya, Bolt tersenyum lebar. Bahkan ia terlihat sangat narsis, pikir Nara Shikadai, putra dari penasehat Hokage sekaligus teman baik Ayahnya, Nara Shikamaru.
Dan sekarang, Boruto kehilangan baju yang dibanggakannya. Tepat ketika ia memiliki janji untuk memperlihatkannya kepada Uchiha Sarada. Nanti malam.
Uh, bisa mati kalau Boruto tidak segera menemukannya. Kenangan dua hari lalu kembali terekam otaknya. Ketika Boruto tak sengaja melanggar janjinya kepada gadis keturunan Uchiha itu, Sarada langsung memukulnya hingga dirinya terpental sejauh tiga meter. Dan menyangkut di tiang jemuran tetangga. Boruto merinding disko hanya dengan mengingatnya.
Bagaimanapun, ia harus menemukannya.
"Kemarin Aku letakkan di dalam lemari. Coba kau cari lagi." Hinata yang berada di dapur harus sedikit berteriak agar Boruto dapat mendengarnya. Samar-samar wanita indigo itu dapat mendengar gerutuan tak jelas dari putranya. Rupanya pria kecil itu belum menemukannya.
Mau tak mau, Hinata harus meninggalkan pekerjaannya sejenak, untuk membantu anaknya yang sedang dalam kesulitan.
"Ah! Ketemu—eh?" Boruto menarik sesuatu dari dalam lemari yang memiliki ciri hampir sama dengan baju 'kebanggaan'nya. Namun yang didapatkannya adalah sebuah syal merah marun yang terlihat cukup tua. Ia menggelarnya di lantai. Panjang syal tersebut kita-kira dua sampai dua setengah meter. Kira-kira cukup digunakan untuk dua orang—eh?
Daily Lives of Uzumaki's © burritown
Part I: Red Scarf
A Naruto's FanFiction
Naruto © Masashi Kishimoto
Casts: Uzumaki Family (Naruto, Hinata, Bolt)
Genre: Family, General
Warning: OOC, Typo(s),Contain Naruto: The Last Spoilers, Alay-ness, and others
Written in 1.509 words
Segera Boruto berlari menuju ruang tengah, tempat dimana Ayah dan Ibunya berada. Untuk sejenak, ia dapat melupakan baju 'kebanggaan' miliknya. Untuk sekarang, asal-usul syal merah marun ini harus dipertanyakan. Setau Boruto, baik ia maupun Himawari tidak pernah memiliki sebuah syal berwarna merah marun—apalagi yang panjangnya mencapai dua sampai dua setengah meter—jadi ia memiliki keyakinan bahwa syal tersebut milik Ayah atau Ibunya.
Boruto berhenti di depan ruang tengah. Ayahnya sedang asyik membaca koran sambil sesekali menghisap cangkir berisi teh hijau buatan Ibunya. Hari ini merupakan hari libur nasional, jadi Ayahnya bisa beristirahat sejenak dari rutinitas sebagai Hokage. Sedangkan Ibunya baru saja melangkahkan kaki keluar dari dapur, berniat untuk membantu jagoan kecilnya. Himawari? Adik kecilnya itu sedang berada di kediaman Hyuuga. Ingin bertemu dengan Bibi Hanabi, katanya.
"Boruto-kun? Bajumu sudah ketemu?" Tanya Hinata ketika manik lavendernya mendeteksi keberadaan putra sulung yang tak lagi berada di dalam kamar. Otomatis membuat perhatian Naruto teralihkan dari koran yang sedari tadi dibacanya. Manik biru safir itu menatap Boruto yang masih terengah, mengatur asupan oksigen ke dalam paru-parunya.
Pria kecil itu menggeleng sebagai respon dari pertanyaan Hinata. Kaki-kaki kecil Boruto perlahan mendekat ke arah sofa, menyandarkan tubuhnya di atas benda empuk tersebut, dengan kedua tangan diletakkan di belakang, seperti menyembunyikan sesuatu. Senyumannya terlampau lebar untuk seorang anak yang baru saja menemukan 'harta karun'nya. Hinata mengikuti langkah kecilnya, dan mengambil tepat di samping Boruto.
"Tou-chan, Kaa-chan! Coba lihat, apa yang Aku temukan!" Manik biru safir kecil itu berkilat, menatap dua sosok yang berada diantaranya secara bergantian. Dengan seulas senyuman lebar yang masih bertengger. Sepertinya Boruto benar-benar tak sabar ingin menceritakan sesuatu yang telah ditemukannya.
Dua tangan kecilnya ia tengadahkan ke depan, menunjukkan sebuah syal merah marun kepada Orangtuanya. Biru safir milik Naruto sedikit melebar tatkala melihat eksistensi benda 'penuh kenangan' tersebut. Memorinya kmbali ke masa ketika ia masih bujangan, ketika tiba-tiba muncul salah satu keturunan Kaguya Ootsutsuki dua tahun selepas perang besar dunia shinobi keempat, Toneri Ootsutsuki, yang membual sesuatu tentang—entah apa, ia lupa, dan menculik Hyuuga Hanabi, adik iparnya. Sebagai gantinya, Naruto dan teman-temannya harus menyelamatkan putri Hyuuga, yang kemudian berujung pada lamaran Naruto terhadap Hyuuga Hinata—ah, masa itu sangatlah menyenangkan.
"Hoo, itu kan syal buatan Ibumu? Coba kemarikan," Naruto menengadahkan sebelah tangannya, sedangkan tangan lainnya meletakkan kembali koran yang dibaca. Boruto mengangguk, dan segera menyerahkan syal merah marun yang ditemukannya beberapa menit yang lalu.
Naruto mengamati syal tersebut secara mendetail. Terdapat beberapa sobekan kecil di beberapa rajutan, dan benang-benang yang mulai menyembul keluar—terakhir kali dipakai sekitar dua belas tahun yang lalu, ketika Naruto menghadapi pertarungan terakhirnya dengan Toneri Ootsutsuki. Ia menggenggam erat syal merah marun itu agar tidak terlepas, sementara sebelah tangannya mengeluarkan rasengan yang siap dilemparkan pada Toneri yang berdiri angkuh di depannya.
"Benar-benar mengenang masa lalu. Bukankah begitu, Hinata-chan?" Manik biru safir Naruto melirik ke arah Istrinya yang kini telah mengambil tempat di sebelah Boruto. Wanita itu mengangguk pelan sambil tersenyum dengan rona merah yang cukup tipis menghiasi pipinya. Hinata ikut memegang ujung syal merah marun. Kembali pikirannya bernostalgia di masa-masa ketika wanita itu masih seorang perawan yang sedang jatuh cinta. Ketika intuisinya memutuskan untuk memberikan sesuatu kepada Naruto sebagai hadiah natal—dan memutuskan untuk merajut sebuah syal merah untuk cinta pertamanya. Membuat Hinata terjaga hampir tiap malam hanya untuk menyelesaikan rajutan syal yang akan diberikannya kepada Naruto. Bahkan, beberapa kali adiknya, Hyuuga Hanabi, memergoki Hinata yang sedang serius merajut, tengah menggodanya dengan sesuatu seperti, "Hoo, sepertinya Onee-sama benar-benar jatuh cinta pada sang pahlawan desa." Atau, "Aku bertaruh bahwa Naruto juga memiliki perasaan yang sama sepertimu!" yang sukses membuat kedua pipi Hinata merona kemerahan.
Naruto kembali mengalungkan syal merah marun tersebut di lehernya, "Ah, masih terasa sama seperti dulu. Hangat."
Kedua tangan kecil Boruto turut meraih syal merah yang sedang digunakan Ayahnya. Melakukan hal yang sama seperti Naruto, pria kecil itu mengalungkan syal yang cukup panjang tersebut di lehernya. Memang benar seperti yang dirasakan Naruto, syal itu terasa hangat.
Sementara itu, Hinata kini telah menghilang dari ruang tengah. Mungkin kembali ke dapur, atau malah menuju kamar untuk membersihkan 'kekacauan' yang telah diperbuat oleh Boruto.
"Nee, Tou-chan. Kenapa kau memilih Kaa-chan sebagai Istrimu?" Ekor matanya melirik sosok Naruto di sampingnya, dengan sedikit menengadahkan kepala, tentunya.
"Karena Ibumu adalah wanita yang kuat, tekun, dan juga cantik." Naruto berbalik menghadap Boruto dengan seulas senyuman di wajahnya, "Dulu, Ibumu itu orang yang aneh, kau tahu. Dia hampir selalu mengamatiku dimanapun dan kapanpun. Pada waktu itu, Aku masih tidak mengerti jalan pikiran Ibumu. Tapi, seiring berjalannya waktu, Aku mulai menyadari bahwa Ibumu adalah wanita yang hebat, dia kunoichi yang tak kalah hebatnya dengan Sakura-basan, ataupun Ino-basan. Hinata selalu mempunyai caranya sendiri untuk melakukan sesuatu." Naruto memulia ceritanya.
"Ketika invasi Pain ke Konoha, Ibumu adalah satu-satunya orang yang ikut turun membantuku—bahkan dia menyatakan cintanya kepadaku. Dia mengatakan bahwa Aku telah merubahnya, dan tidak takut mati demi melindungiku." Pipi Naruto merona kemerahan ketika mengucapkannya. Pikirannya meloncat lagi ke masa ketika invasi Pain sedang berlangsung. Hinatanya yang sedang bertarung menggunakan jutsu yang baru dipelajari bersama Neji tempo hari, mencoba melepaskan Naruto dari—sejenis besi—yang mengunci seluruh pergerakan tubuhnya. Dan ia terpana untuk pertama kalinya kepada Hinata.
"Tapi—Shikadai pernah mengatakan padaku bahwa dulu Tou-chan benar-benar menyukai Ibu Sarada?"
"Kau benar. Aku dulu sempat menyukai Sakura-chan," Tertawa sejenak, "Tapi itu hanyalah cinta monyet, tak lebih. Dulu, Aku mengira bahwa Sakura-chan adalah gadis yang benar-benar cocok untukku, kau tahu—kita berada dalam satu tim dan selalu menjalankan misi bersama-sama. Kemudian perasaan nyaman itu muncul. Yang sempat kukira bahwa itu adalah rasa cinta, ternyata bukan."
"Lalu, bagaimana Tou-chan dan Kaa-chan bisa bersama?" Boruto tak henti menginterogasi Ayahnya. Ia terlampau penasaran.
"Haha, kalau itu ceritanya sangat panjang, Boruto. Akan menghabiskan waktu berjam-jam jika Aku ceritakan sekarang." Naruto mengusap puncak kepala anaknya dengan penuh kasih sayang, "Intinya, semua hal itu mulai Aku sadari melalui ini." Ia menunjuk syal merah marun yang sedang dikalungkan di leher keduanya.
"Kau tahu, Boruto. Ibumu yang membuatkan syal merah marun ini untukku, dua tahun setelah perang dunia shinobi keempat berakhir. Saat itu sedang musim dingin, dan Aku sama sekali tidak mempunyai syal yang masih dapat digunakan kecuali syal tua peninggalan Kakekmu. Hingga akhirnya, Ibumu memberikan syal merah ini kepadaku."
Boruto terpana. Ia ingin mendengar cerita Naruto lebih lanjut—
"Boruto-kun, Bajunya sudah ketemu!"
Pria kecil itu segera berlari menuju Ibunya. Melupakan sejenak tentang syal merah marun dan ceritanya. Kini Boruto lebih mementingkan soal baju 'kebanggaan'nya yang sebentar lagi akan dipamerkan ke Uchiha Sarada.
Lekas Boruto mengambil baju tersebut dari tangan Hinata. Dan buru-buru memakainya.
"Arigatou, Kaa-chan!" Boruto menunjukkan sederet gigi susunya.
Satu lagi yang membuat raut wajah Boruto semakin sumringah. Ia memiliki sesuatu yang dapat dipamerkan selain baju 'kebanggaan'nya kepada Sarada. Kisah cinta 'syal merah marun' antara sang Hokage ke-tujuh dengan Istrinya.
"Kaa-chan, Aku juga ingin dibuatkan syal merah seperti milik Tou-chan!"
.
.
.
つずく
To be Continued
.
.
.
A/N:
Satu lagi cerita kecil tentang keluarga Naruto-Hinata kita yang tersayang \w/ niatnya saya mau membuat cerita ini menjadi beberapa chapter dengan cerita yang berbeda di masing-masing chapter.
Dan di chapter pembukaan ini kita dapat melihat Boruto! Si bocah duplikat Naruto 'w'/ entah kenapa saya sangat jatuh cinta dengan makhluk kuning kecil ini. Apalagi pas denger kabar kalau Boruto mau dibuatin movie khusus oleh Kishimoto-sensei Agustus 2015 mendatang owo
Dan lagi, saya membuat cerita yang terkesan plotless dan amburegul. Sebenarnya cuma iseng-iseng bikin cerita tentang Boruto yang 'kepo' soal muasalnya syal merah yang tiba-tiba ditemukannya di lemari, sih. Tapi malah jadi melenceng T-T
Dan maaf kalau missal Himawari-chan tidak muncul di chapter ini T-T
Tentunya, terimakasih saya tujukan kepada seluruh pembaca :"D baik itu silent readers ataupun bukan. Saya sangat berterimakasih karena kalian telah menyempatkan waktunya untuk membaca fic ini :"D
Salam hangat,
burritown
