Disclaimer : Masashi Kishimoto

Story by : Jullianna

Pairing: Haruno Sakura dan Uchiha Sasuke, bisa berubah sewaktu-waktu.

Warning : AU, OOC, typo(s), etc.


BAB 1

"Mata Onyx, Untuk Pertama Kalinya"


Aku, Haruno Sakura. Aku hanya menginginkan kebebasan.

Ini Desember seperti biasa. Salju turun menyelimuti seluruh tanah, bukannya menghangatkan tapi mendinginkan dan menciptakan sensasi sendu tersendiri. Aku duduk menghadap ke jendela seperti biasa, setiap Desember. Menyaksikan salju-salju itu menutupi permukaan jendelaku, sehingga terkadang harus aku yang turun tangan membersihkannya dengan tanganku yang selalu tertutup sarung tangan ini. Bahkan perapian di belakangku tak mampu menghangatkan sedikitpun.

Brak!

Suara pintu yang terbuka kasar di belakangku menghancurkan semua ketenangan ini. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan sepupuku tersayang, Ino.

"Ohayou, Sakura!"

Ino berjalan ke depanku sambil membawa dua buah kotak. Kotak yang sangat besar terletak di bawah dan kotak yang lebih kecil ditumpuk di bawahnya. Kotak itu tampak sangat manis dengan hiasan pita di atasnya. Ino nyengir sambil meletakkan kotak-kotak itu di pangkuanku.

Aku sudah tahu apa isinya, barang-barang mahal yang tidak ada gunanya untukku. Sampai kapan orang-orang itu mau menghamburkan uangnya demi menarik perhatianku? Aku saja sudah lelah meladeni mereka. Akhirnya aku mendorong kotak itu pada Ino.

"Dari siapa lagi?" tanyaku walaupun aku tidak sepenuhnya penasaran pada siapa yang memberi kotak-kotak manis itu.

Entah kenapa Ino terlihat berbinar-binar, "Pangeran Rei Gaara dari Sunagakure. Dia sangat tampan tahu! Sebentar lagi dia akan menjadi Raja di sana. Kalau kau mau tahu, sekarang dia masih single dan sedang mencari Ratu untuk mendampinginya memerintah Sunagakure. Dengar-dengar, kau adalah salah satu kandidat calon Ratu Sunagakure, Sakura!"

"Apa?!"

Mendengar penuturannya, mataku terbelalak sempurna. Aku? Menikah dengan Pangeran Gaara yang sok misterius itu dan menjadi Ratu Sunagakure? Tidak! Hal itu hanya akan terjadi dalam mimpi kalian!

Aku hanya pernah bertemu sekali dengannya saat perayaan ulang tahun Raja Konoha kemarin. Dan tentu saja aku tidak banyak mengobrol dengannya. Waktu itu yang memperkenalkan kami adalah Ayah dan perkenalan kami hanya sebatas tahu menahu nama dan jabatan masing-masing saja. Dia bahkan terlihat sangat dingin dan jujur saja, aura yang dipancarkannya agak menakutkan.

Tapi kenapa sekarang aku malah digosipkan akan menjadi salah satu kandidat Ratu Sunagakure? Ayolah, cari saja wanita lain. Aku yakin di luar sana banyak wanita yang bersedia menikah dengan pria yang hobinya memakai eyeliner terlalu tebal itu. Kenapa harus aku?

Aku menatap Ino tajam,"Kabar itu.. kau dengar darimana, Ino?"

"Aku punya banyak relasi, tahu. Dari siapapun itu kau-"

Aku menatap Ino semakin tajam. Aku paling tidak suka seseorang yang terlalu berbelit-belit saat aku sendiri sedang merasa sangat penasaran. Bagaimanapun juga aku harus tahu gosip itu dia dengar dari siapa.

Ino mendengus, "Fine! Aku mendengarnya dari Temari. Kau tahu 'kan Putri Suna yang selalu membawa kipas kemana-mana itu? Nah, dia adalah kakaknya Gaara. Dia yang mengatakannya padaku. Sebenarnya aku tidak boleh membocorkan rencana ini padamu, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memberitahunya padamu."

Aku menatap Ino dengan tatapan apa-kau-serius? Dan tentu saja aku tahu kalau dia benar-benar serius dengan masalah ini.

Astaga, apa yang harus kulakukan? Jika rencana ini benar seharusnya Ayah juga sudah tahu dan segera memberitahu padaku.

Cih. Jika Ayahku, Tuan Haruno Kizashi, benar-benar tahu mengenai rencana sepihak ini, itu berarti sebentar lagi aku akan terlibat dalam masalah perjodohan yang sangat berbelit-belit. Aku benci segala hal mengenai perjodohan. Semua rencana ini hanya berlatar belakang politik dan mereka semua, terutama Raja dan para petinggi negeri ini, sama sekali tidak memikirkan perasaanku. Bagaimana jika pernikahan itu akhirnya gagal? Siapa yang dirugikan? Tentu saja aku!

Kenapa mereka tidak mengirimkan Putri Konohagakure saja untuk melakukan perjodohan itu?

Oh aku lupa, Konohagakure tidak punya seorang Putri. Negeri ini hanya punya seorang Pangeran. Pangeran Namikaze yang tidak pernah kulihat wajahnya.

Kalau begitu jodohkan saja Pangeran Namikaze sialan itu dengan Pangeran Rei Gaara! Semua masalah selesai 'kan?

"Apa yang kau pikirkan, Sakura?" interupsi Ino.

Aku menggeleng lemah padanya.

"Aku tahu ini berat. Tapi tidak ada salahnya 'kan mencoba mengenal Pangeran Rei Gaara terlebih dahulu? Siapa tahu kalian berjodoh." Ino memberi saran.

Bagaimana aku bisa mencoba mengenalnya bila sikapnya padaku membuatku merasa tidak nyaman saat berada di dekatnya?

"Selama rencana ini belum kudengar secara langsung dari Ayah, aku tidak akan mempercayainya." ucapku tegas.

Ya benar. Aku berharap rencana yang diberitahu Ino tadi benar-benar hoax dan aku tidak akan dijodohkan dengan siapapun.

Asal kau tahu saja, sebagai anak emas selama ini hidupku sudah banyak diatur oleh orang-orang di sekitarku. Jika sampai masalah jodohku pun ikut diatur oleh mereka, aku tidak bisa mentolerir lagi.

Ino mengguncang pundakku, "Lalu Sakura,, barang-barang mahal ini mau kau apakan?"

Aku melirik kotak-kotak itu dan lagi-lagi menghela nafas. Menurutku akan lebih baik jika pada awalnya kotak-kotak itu tidak datang ke rumahku.

"Untukmu saja, babi." ucapku malas.

Ino cemberut sambil membuka kotak-kotak itu. Aku tahu sebenarnya ia akan dengan senang hati menerimanya.

"Hei jidat lebar, apa kau yakin? Gaun ini sangat indah juga sangat mahal. Sepatunya juga, belum ada di pasaran. Aku yakin kau akan sangat cantik jika memakai barang-barang ini," ujarnya dengan nada membujuk.

Aku memang sudah cantik dari lahir, dasar bodoh.

"Aku tidak membutuhkannya. Kau tidak lihat lemariku sepenuh apa? Kalau saja Bibi Tsunade mengizinkan, pasti sudah kusumbangkan semua gaun-gaun itu kepada rakyat yang membutuhkan,"

Ino terlihat menyerah. Tapi sedetik kemudian wajahnya tersenyum bahagia. Ia memeluk kotak-kotak itu erat-erat. Membuatku jijik melihatnya. Terkadang sikapnya yang seperti inilah yang kubenci. Dasar mata duitan!

"Terimakasih, bebek buruk rupa. Aku akan memakai gaun ini untuk Sai saat pesta ulang tahunmu besok. Aku yakin, ia akan terpesona melihatku," Ino mulai mulai mengoceh lagi. Biasanya saat aku sedang kesal, aku akan membungkam mulutnya dengan plester milikku. Tapi saat ini, aku hanya ingin kedamaian. Gosip perjodohan tadi sungguh menguras pikiranku.

Ino kembali bercerita.

"Kemudian saat selesai berdansa, ia akan menggandeng tanganku dan menarikku ke tempat yang sepi seperti waktu itu. Ia akan menatap mataku, aku akan menatap matanya. Di kegelapan yang sunyi dan menenangkan, ia akan berkata, aku mencintaimu, Ino. Ia akan membisikan namaku dengan lembut dan mesra. Kemudian ia akan menggenggam tanganku erat-erat. Dan dengan perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku tidak kuasa melihatnya, jadi aku hanya menutup mata sambil menahan degup jantungku yang menggila. Semakin dekat, bahkan aku bisa merasakan nafasnya di sekitar wajahku. Kemudian di-"

"-Aku tidak mau dengar lanjutannya!" potongku cepat.

Aku benci jika Ino sudah bercerita tentang hubungannya dan Sai. Ia pasti akan memanas-manasiku. Mentang-mentang dia sudah mempunyai Sai, kekasih tampannya yang berkulit pucat sekaligus sahabatku itu, sedangkan aku tidak punya siapa-siapa.

"Sudahlah, Sakura. Kau harus mengakui, kau 17 tahun dan belum pernah berciuman se-ka-li-pun," ucap Ino menekan dengan jelas kata sekalipun.

Sial, aku benci jika sudah berhadapan dengan hal semacam ini. Memang kuakui, aku belum pernah berpacaran sekalipun. Dan dua minggu lagi ulang tahunku. Itu berarti aku telah melajang selama 18 tahun kehidupanku. Tidak seperti Ino yang bisa berganti pasangan hampir setengah tahun sekali. Tapi setelah bertemu dengan pria baik bernama Sai dan menjalin hubungan dengannya, Ino berjanji padaku tidak akan pernah menyakiti Sai dan tetap setia padanya.

Silahkan tertawakan aku karena aku punya masalah serius mengenai sebuah hubungan. Aku bahkan sempat mendapat julukan Putri Berhati Es lantaran susah sekali untuk bertahan pada suatu hubungan dan tidak banyak pria beruntung yang berhasil menaklukan hatiku. Semua yang pernah menjalin hubungan denganku memilih mundur dari perjuangan mereka karena tidak tahan pada sikapku yang dingin seperti es ini.

Tapi toh aku tidak peduli. Mereka semua adalah pria tidak berguna yang sama sekali tidak bisa memahami diriku.

Hei, aku begini bukan karena aku tidak laku ya. Bahkan setiap hari ada saja laki-laki yang mengirimkan hadiah untukku, entah itu gaun, sepatu, hidangan mewah, perhiasan baik emas maupun berlian, tiket liburan untuk dua orang, atau barang-barang semacam itu aku selalu menjumpainya sepanjang perjalanan hidupku. Dan harga yang mereka tawarkan tidak main-main. Aku saja heran darimana mereka mendapatkan uang-uang itu. Mereka mengira seleraku sangat tinggi jadi mereka seakan berlomba-lomba memberikan apa yang terbaik yang mereka punya.

Tapi sebenarnya aku tidak seperti itu.

Asal orang itu mapan, baik hati, perhatian, dan mampu membuatku nyaman di sisinya saja itu sudah cukup.

Aku tahu orang-orang yang memberikan hadiah-hadiah padaku semuanya adalah orang mapan, tapi bukan berarti mereka bisa memberikan kasih sayang yang selama ini aku impi-impikan.

Ibuku sudah meninggal saat aku berumur lima tahun, dan aku tidak mendapatkan cukup kasih sayang dari seorang Haruno Kizashi. Selama ini aku jarang bertemu dengan Ayah. Hidupku aku habiskan di rumah bersama dengan Ino, Bibi Tsunade, Paman Jiraiya, dan para pelayan yang setia mengabdi sejak aku masih kecil.

Meski aku tahu Ayah sangat menyayangiku. Tapi aku masih ingin lebih disayangi. Jujur saja aku adalah gadis yang haus akan kasih sayang.

Aku sudah sering dijadwalkan untuk kencan dengan beberapa laki-laki pilihan Bibi Tsunade, tapi ketika aku menanyakan kepada mereka hal terbesar apa yang bisa mereka tawarkan untuk membahagiakan hidupku kelak, mereka selalu menjawab dengan jawaban yang tidak kuharapkan.

Uang, materi, kekayaan yang tidak benar-benar kuinginkan. Tidak ada satupun di antara mereka yang ingin mencurahkan seluruh cinta dan perasaannya padaku. Tidak ada. Dan entah bagaimana caranya aku bisa menemukan laki-laki yang masuk dalam kriteriaku.

"Kau melamun," suara Ino menyadarkanku, "Kali ini apa lagi?"

Aku menggelengkan kepala lemah. Aku ingin berkata pada Ino bahwa dia adalah gadis yang sangat beruntung karena bisa bertemu dengan pria baik seperti Sai, sedangkan aku?

"Tidak," jawabku, "Kau sangat beruntung bisa bersama dengan Sai.""

Entah kenapa Ino malah membulatkan matanya. Ia terlihat terkejut dengan penurutan jujurku.

"Apa kau cemburu?""

Pertanyaannya sukses membuatku ingin membuangnya ke Samudera Antartika. Bisa-bisanya dia berkata aku cemburu pada sahabat dan sepupuku sendiri. Menggelikan ya.

"Go to hell, Ino-pig!""


Aku Haruno Sakura, gadis berambut merah muda seperti surai-surai bunga sakura pada musim semi, yang akan selalu kesepian seumur hidupku bila aku tidak tinggal bersama dengan Ino, sepupuku yang cerewetnya melebihi Ayahku sendiri. Sejujurnya aku bersyukur masih ada Ino di rumah ini kalau tidak aura kesepian di rumah besar ini akan tersebar kemana-mana.

Seperti saat ini, aku sedang berjalan sendirian di taman belakang rumahku. Sejujurnya gaun panjang berwarna putih susu yang kukenakan sangat menganggu perjalananku ini tapi bila nanti bibi pulang dan melihat aku tidak berlaku layaknya seorang bangsawan, aku akan disantap mentah-mentah. Tapi setidaknya aku masih bisa memakai mantelku yang paling sederhana kalau tidak gaun ini bisa kotor terkena salju.

Keadaan di sekitarku benar-benar sepi, hanya terdengar suara gesekan pepohonan yang tertiup angin. Para pelayan entah pergi kemana dan penjaga di setiap pintu tidak berniat berbicara denganku. Sungguh, aku ingin pergi jalan-jalan ke desa dan berbaur di sana. Tapi setiap hari aku malah terkekang di sini.

Aku ingin hidup bebas, tidak bergantung pada semua kekayaan dan tata krama yang selama ini dianut oleh keluargaku. Sudah lama kupikirkan hal ini, bahwa aku selalu hidup dalam kebohongan. Semua senyum dalam hidupku ini kebohongan semata.

Suatu hari aku pernah bertanya pada bibi dan pamanku apakah aku diizinkan untuk melanjutkan sekolah di luar negeri. Tapi mereka berkata aku belum siap untuk itu. Sial. 17 tahun itu usia yang sudah terlalu matang untuk keluar dari kandang dan mengepakkan sayap selebar-lebarnya. Mereka selalu memanjakanku dan menganggapku anak-anak.

Walaupun sebenarnya sekolah itu hanya kedok supaya aku tidak terus-terusan berada dalam pengawasan keluarga bangsawanku.

Sikap mereka padaku membuatku kesal. Mereka selalu mengaturku. Diam-diam mengawasiku saat berjalan-jalan di halaman rumah dan bahkan melarangku meninggalkan rumah satu langkah saja kecuali ada kepentingan yang mendesak. Ah, hidupku seperti Rapunzel yang terpenjara di menara.

Semua ini sangat menyesakkan dan membosankan kau tahu?

Aku ingin menjadi diriku sendiri. Sakura yang bebas. Sakura yang terbang tinggi tertiup angin musim semi yang menyejukkan.

Tapi kurasa semua itu tidak akan pernah tercapai.

Brak! Dug!

Alarm waspadaku menyala begitu mendengar derap suara asing di dekatku. Mataku dengan liar berusaha mencari siapa gerangan yang menimbulkan suara yang cukup memekakkan ini.

"Ino, kau kah itu?" teriakku sekeras-kerasnya. Mungkin dengan berteriak aku bisa menghimpun para pelayan untuk datang ke sini dan bisa segera mengamankan tempat ini.

Aku tetap menajamkan mataku dan bergerak memutar untuk menemukan sumber suara aneh itu. Namun nihil, aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan di taman ini kecuali-

"Diam! Jangan coba-coba berteriak atau nyawamu melayang saat ini juga."

Oh tidak. Demi Tuhan apa-apaan ini? Seketika pundak dan perutku ditahan kuat-kuat oleh tangan-tangan orang asing. Bukan tangan yang halus wanita, jadi dia pasti seorang pria. Tubuhku meronta-ronta berusaha melepas kekangan dari tangan yang melingkari pundak dan perutku ini. Siapapun dia, yang ku tahu adalah dia penyusup dan jelas-jelas bukan orang yang baik.

"PENGAWAL TOLONG AKU!""

Ia menggeram saat mendengar teriakanku. Saat itu juga aku baru tersadar bahwa berteriak bukanlah jalan keluar yang tepat. Mataku melebar saat kurasakan sesuatu yang sangat dingin menyentuh kulit leherku. Sial. Tanpa melihatnya sajapun aku tahu pria ini sedang mengarahkan sebuah kunai ke leherku. Dia mencoba membunuhku!

Sial! Ini sakit, bodoh! Di saat seperti ini bahkan aku tidak tahu harus berbuat apa. Andaikan aku punya pedangku saat ini.

"Kubilang diam!" dia mengancam dengan suaranya yang berat.

Aku mengangguk pasrah dan berhenti meronta. Akan lebih baik bila aku tidak membuatnya bertambah marah. Menyebalkan, di saat-saat seperti ini kenapa tidak terlihat satupun penjaga rumah? Aku bersumpah jika terjadi sesuatu padaku aku akan memecat mereka semua sekaligus!

"Aku mohon lepaskan, Tuan." pintaku dengan suara pilu. Bisa kurasakan mataku memanas dan perlahan-lahan cairan hangat turun melalui pipiku. Aku terisak.

Perlahan-lahan aku merasakan pegangan di perutku mengendur bersamaan dengan dibaliknya tubuhku dengan paksa. Deru napasku tidak karuan dan jantungku berdetak terlampau cepat.

Dengan gerakan kilat tahu-tahu ia sudah memojokkanku di dinding besar yang mengelilingi rumah ini. Aku ketakutan dan sebelum aku sempat berteriak, laki-laki di depanku sudah membekap mulutku dan menahan kedua tanganku di atas kepalaku dengan sangat kuat. Kedua kakinya menahan kakiku supaya berhenti meronta.

Tangisku semakin menjadi-jadi. Sebut saja aku lemah dan cengeng, tapi bagaimana seorang wanita tidak menangis saat mengetahui ada seseorang yang berniat membunuhnya?

Mata emeraldku menatap pria itu tajam dan berusaha mengorek informasi dari apa yang bisa kulihat. Kurasa aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Ditambah lagi wajahnya tertutup oleh masker hitam, membuatku hanya bisa melihat mata onyx yang terlihat tajam dan sangat gelap itu. Dan jangan lupa rambut berwarna ravennya yang berbentuk agak aneh itu.

Tanpa melihat wajahnya yang sebenarnya saja, dia terlihat cukup tampan.

Ia mengenakan jubah hitam yang terkoyak sana-sini. Penampilannya yang berantakan dan tidak teratur tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan. Tapi melihat dirinya, tidak pantas juga kalau dia disebut sebagai gelandangan. Lalu apakah dia? Perompak? Kudengar beberapa hari belakangan ini para perompak mulai melakukan perjalanan ke Konohagakure untuk melakukan berbagai macam transaksi. Karena itu penjagaan terhadapku juga diperketat.

Tapi sekarang justru tidak terlihat satu pun penjaga.

Ck. Menurut kabar lain yang kudengar perompak itu kasar dan suka merampas hak milik orang lain. Kasar, persis seperti pria di depanku ini.

Tubuhku otomatis menegang saat pria gila itu meletakkan jari telunjuk kotornya di depan bibirku, menyuruhku diam sejenak dan ikut mendengar suara-suara di sekitar kami.

"Kita kehilangan dia. Sebaiknya kita kembali saja."

Ada suara berat pria lain di balik tembok besar yang mengelilingi rumahku. Aku juga tidak mengenal suaranya. Lalu apa urusan laki-laki di depanku ini? Mengapa ia seperti berusaha menghindari pria di luar sana? Oh astaga, jangan-jangan mereka terlibat masalah besar yang membuat laki-laki ini harus bersembunyi di dalam rumahku.

Selama lima menit kami berdiri dalam diam tapi fokus mataku tidak terlepas dari dirinya. Bisa saja tiba-tiba dia melakukan hal yang tidak terduga dan mengancam keselamatanku. Tapi manik hitam miliknya juga balas menatapku dengan tatapan mengintimidasinya. Membuatku merasa terkekang dalam keadaan yang membahayakan.

Aku membuka suara, "Siapa kau sebenarnya?"

Ia tidak menjawab pertanyaanku dan malah melirik tembok di belakangku. Tampaknya ia berniat segera pergi dari sini. Tidak! Dia tidak boleh pergi sebelum para penjaga menangkapnya dan menjebloskannya ke dalam penjara. Bagaimanapun juga ia baru saja melakukan usaha percobaan pembunuhan terhadapku.

Tubuhku kembali menegang saat ia mendekatkan wajahnya kepada wajahku. Shanaroo, dengan jarak sedekat ini, kami saling berbagi udara di sekitar kami. Ada sesuatu yang unik. Aroma laut menguar dari tubuh pria ini. Aroma laut yang harus kuakui menenangkan dan di satu sisi, maskulin.

"Aku merasa terhormat bisa bertemu secara langsung denganmu," katanya dalam suara yang terhalang oleh masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya, "Kukira kabar yang dikatakan di luar itu tidak benar. Setelah aku membuktikannya sendiri ternyata kabar itu benar."

Kabar? Kabar apa yang dikatakan di luar sana mengenai diriku?

Ah benar, aku adalah anak Bangsawan Haruno Kizashi yang sangat terkenal bahkan sampai keluar Konoha. Tidak hanya puji-pujian dan penghormatan yang kuterima dari orang-orang, tentu saja puji-pujian itu diikuti oleh serentetan gossip buruk yang sama sekali tidak ingin kuladeni. Biarlah, biarlah mereka berspekulasi seenak hati mengenai diriku. Toh apa yang mereka katakan tidak semua benar. Mereka sama sekali tidak mengenal Haruno Sakura, dan aku juga tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri pada mereka.

Tapi kuharap kabar yang akan disampaikan orang ini bukanlah kabar buruk mengenai diriku.

Ia melanjutkan, "Aku-"

"Nona Haruno!"

Suara derap sepatu bergerak ke arahku. Akhirnya setelah sekian lama para penjaga bodoh itu menyadari ada yang tidak beres di rumah ini. Ya Tuhan, akhirnya aku selamat! Nyaris saja kukira mereka sudah mati di tangan pria bermata onyx ini.

Aku menatap laki-laki misterius ini yang terlihat terkejut dengan kedatangan tiba-tiba para pengawalku. Sebisa mungkin aku melepaskan cengkraman tangan kuatnya di lenganku, namun yang malah dia lakukan adalah mendekatkan wajahnya ke arahku dan waktu seakan berhenti saat aku merasakan sesuatu yang lembut menempel pada bibirku.

"Kita akan bertemu kembali, Nona Haruno Sakura." bisiknya di telingaku sebelum menghilang melompati tembok tinggi itu dan meninggalkanku sendirian.


TBC

Terima kasih sudah bersedia mampir! :)