Disclaimer: Masashi Kishimoto
Rating: T (sewaktu-waktu bisa berubah rated semi M #plak)
Warning: Sho-ai, AU, OOC, dan hal-hal absurd lainnya.
Pair: NaruSasu (and maybe NaruxfemSasu)
.
.
Hentai Club In Action
.
By: CrowCakes
.
~Enjoy~
.
.
"KYAAAAA!" Teriakan Sakura yang pertama kali memecah suasana pagi di Konoha Gakuen yang tentram itu. Membuat semua mata melirik ke arah gadis berambut merah muda yang baru saja dilecehkan oleh seorang cowok berwajah tampan namun mesumnya kelewat batas.
"—KURANG AJAR!" Raung Sakura lagi, kesal.
Di bawahnya, pemuda tampan yang disinyalir bernama Naruto itu sudah tergeletak di lantai dengan wajah yang babak belur, melebihi muka eksotis Rock lee.
"—JANGAN BERANI MELAKUKAN HAL ITU LAGI, IDIOT!" Teriak Sakura terakhir kali seraya meninggalkan korban mutilasinya di lantai. Berlenggang pergi.
Naruto masih teronggok di lantai. Tidak mampu bergerak satu inchi pun. Sepertinya tinju Sakura sudah menghancurkan lambung dan ginjalnya.
"Ah—menjadi seorang seniman itu sangat sulit." Erang Naruto pelan.
.
"Maksudmu—menjadi mesum, Dobe?" Suara Sasuke yang pertama kali menusuk gendang telinganya, membuat Naruto mendelik sewot.
"Seni, Teme! Seniman!" Seru pemuda pirang itu seraya bangkit dari lantai. Membersihkan debu di pundaknya.
Sasuke menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Berdiri angkuh dengan wajah mencemooh, "Seni? Maksudmu dengan menyibak rok para cewek dan mengintip ruang ganti perempuan?—Itu menjijikan." Dingin dan tajam. Pernyataan telak dari Sasuke menohok hati polos Naruto.
"TEME!" Pemuda pirang itu meraung marah seraya menarik kerah baju cowok stoic didepannya.
Sasuke hanya mendengus pelan, "Jangan berani menghajarku."
"Oh yeah? Bagaimana kalau ku tinju?" Ancam Naruto yang mulai mengepalkan tangannya.
Sasuke mendecih kecil, kemudian sunggingan tipis terlihat disudut bibirnya, "Aku president council, ingat?—Kau bisa ku keluarkan dari sekolah dengan mudah, idiot."
AH!—
Tinju Naruto terhenti di udara. Ia baru ingat hal 'nista' itu.
Otak bodohnya beku sesaat. Ingin rasanya Naruto menjerit banci, berlari menuju jendela, kemudian terjun bebas dari lantai dua sambil berteriak 'GUE LUPA YA TUHAN!' atau bersembunyi di toilet sambil joget disko seraya meraung 'YA OLOH! NISTA AMAT NASIB GUE!' Dilanjutkan dengan kejang-kejang dilantai.
Tetapi itu hanya di bayangan kepalanya saja. Tidak mungkin Naruto yang macho (Mantan Chopet) harus jejeritan layaknya banci kena tangkap satpol PP.
Tidak—
—Ia tidak akan mau merendahkan harga dirinya yang sudah rendah. Jadi dengan terpaksa Naruto hanya bergerak mundur perlahan seraya memandang Sasuke dengan sinis.
"Jangan berani-berani mengeluarkanku—" Mundur selangkah dengan mata mendelik sewot tetapi kaki sudah gemetaran hebat.
"—Aku hajar kau nanti." Ancam Naruto yang terdengar mirip cicitan korban psikopat.
"—Awas kau, Teme. Lihat saja, aku akan balas dendam." Desis Naruto kedua kalinya seraya berlari kabur menjauh dari sang Uchiha.
Sasuke hanya diam melihat Naruto kabur terbirit-birit sambil meneriakan nama-nama penghuni kebun binatang.
Sang Uchiha menghela napas kecil melihat tingkah kekanakan Naruto, "Dasar si bodoh mesum itu. Aku penasaran apa yang akan dilakukannya dengan 'Hentai Club' miliknya."
.
.
.
Ruangan berukuran 5x5 meter itu terlihat berantakan dengan beberapa perabotan mesum dan hal lainnya. Termasuk meja panjang dengan empat kursi yang mengelilinginya.
Kecil. Sempit. Tidak nyaman. Itulah klub 'hentai' yang didirikan oleh Naruto sebagai ketua kelompok ajaran sesat itu. Ketiga pengikutnya, yaitu, Sai sebagai wakil ketua, Deidara sebagai sekretaris, Sasori sebagai bendahara dan Rock lee sebagai maskot dengan baju hijau ketat, hanya bisa menurut dengan apa yang diperintahkan oleh sang ketua.
Tetapi—entah dapat ilham dari mana, sampai-sampai Naruto menunjuk Rock lee yang bercita-cita memiliki tubuh seperti ade ray disuruh berpakaian ketat hijau sambil menebar pesona di sepanjang koridor.
Bukannya kagum, setiap orang yang melihat makhluk hijau menjijikan itu hanya bisa epilepsi di lantai dengan mulut berbusa.
Horryshiet—
—Itu penampakan paling 'horor' di Konoha Gakuen, melebihi sosok Guy-sensei telanjang dada dengan bulu ketek berkibar indah. Ditambah sound effect klepek—klepek—klepek
Trauma!
.
"Jadi—" Sai yang pertama kali membuka suara, memecah suasana hening di ruang sempit itu, "—kau dihajar Sakura kemudian di ancam oleh Sasuke?"
Naruto mengerang pelan, "Si brengsek itu mengganggu inspirasi seni yang kumiliki."
Sai hanya tersenyum tanpa ekspresi, tangannya sibuk menorehkan tinta di atas kanvas putihnya, "Begitukah? Seni seperti apa, Naruto?"
Naruto menyeringai senang sambil berdiri angkuh diatas meja. Mengangkat kakinya satu, menunjuk suatu titik di cakrawala, kemudian berteriak kencang, "TENTU SAJA DADA DAN CELANA DALAM CEWEK!" Dan latar belakang pun berubah menjadi cahaya dewa layaknya sinar dewi kwang in.
"Hentikan omong kosongmu itu!" Kali ini Deidara mendelik sewot ke arah ketua klub nya. Tangannya sibuk menuangkan suatu cairan ke tabung reaksi, "—seni itu adalah ledakan!"
KABOOOMM!—Tepat setelah omongannya, cairan yang dipegangnya langsung meledak keras. Deidara ketawa setan melihat hasil bom yang dibuatnya. Sedangkan Naruto sudah terpelanting ke lantai terkena imbas ledakan tadi.
"Seni yang sebenarnya itu adalah model gundam serta boneka-boneka barbie." Sasori berguman seraya terseyum kecil melihat koleksi bonekanya di dalam lemari kaca yang entah kenapa tidak pecah walaupun terkena ledakan Deidara.
"KALIAN SEMUA SALAH!" Naruto meraung keras. Seraya menunjuk Deidara dan Sasori bergantian. Mirip ibu-ibu arisan yang tahu anak gadisnya main serong sama monyet tetangga, "—Seni yang sebenarnya itu adalah dada cewek dan celana dalam bewarna pink. ITULAH SENI SEBENARNYA!"
Sai hanya tersenyum dingin, ia memilih melanjutkan melukis pemandangan daripada mendengar celotehan—tidak penting—pemuda pirang itu. Di lain pihak, Naruto masih ngotot debat pendapat dengan dua orang 'seniman' lainnya.
Rock lee yang berada di sana, sibuk melatih ototnya di depan cermin besar, sesekali menyeringai menjijikan, "Seni itu adalah memiliki otot seperti Guy-sensei."
Celetukan Rock lee membuat Naruto mual seketika, ia masih trauma mengingat Guy-sensei yang berlari di lorong koridor, sambil berteriak, "MASA MUDA YANG PENUH SEMANGAT!" seraya memamerkan kibaran ketek yang tak kalah indahnya. Klepek—klepek—klepek—
Oh God Gay—please—itu lebih menjijikan dari wajah Rock lee. Batin Naruto horor.
"Naruto—" Panggilan dari Sai membuat pemuda pirang itu menoleh. Melupakan hasrat ingin muntahnya.
"Ada apa?" Tanya Naruto lagi.
Sai tersenyum, "Aku baru ingat kalau Sasuke menyuruhku untuk memberikan ini padamu." Jelasnya lagi sambil menyerahkan selembar kertas.
Naruto mendekat kemudian mengambil secarik kertas tadi dengan cepat dan membacanya secara cermat.
"A—Apa Ini?!" Suara Naruto tercekat setelah selesai membaca surat 'cinta' dari Sasuke itu.
Sai kembali tersenyum tanpa ekspresi, "Itu surat pemberhentian klub seni kita, Naruto."
"AKU TAHU MAKSUD DARI SURAT INI! TETAPI YANG AKU BINGUNGKAN ADALAH KENAPA KLUB SENI KITA HARUS DIHENTIKAN?!" Teriak Naruto seraya melempar surat tadi ke lantai. Menginjak-injaknya dengan ganas.
Sai mengedikkan bahu, "Sasuke bilang klub seni kita hanyalah klub hentai yang tidak berguna." Ia menegaskan kata 'hentai' dengan mengutip dua jarinya, "—Jadi dia menyerahkan surat pemberhentian klub."
"Si teme brengsek itu." Naruto menggeram marah, penuh emosi. "Akan ku beri dia pelajaran." Desis Naruto seraya melangkah keluar ruangan.
.
.
.
Di tempat lain. Tepatnya di sebuah ruangan bergaya Eropa-Modern dengan sofa merah berukir emas dan meja porselin antik yang langsung didatangkan dari China, membuat ruangan itu melebihi istana kenegaraan Inggris.
Sasuke sebagai president council disana, duduk manis di balik meja seraya menyesap teh darjeeling nya.
"Laporan bulan ini sudah selesai." Neji, sang sekretaris menyerahkan beberapa lembaran dokumen ke arah Sasuke.
"Bagaimana dengan laporan 'black list' di sekolah kita?" Sasuke melirik Neji. Belum sempat Neji menjawab, suara seorang gadis menginterupsi pembicaraan mereka.
"Aku sudah membuatnya." Potong gadis tadi yang ber'name tag' Hinata."—Uhm, untuk black list, kenakalan siswa masih seperti tahun kemarin, tidak ada pengurangan sama sekali." Katanya lembut.
Sasuke membolak-balik lembar dokumen tadi kemudian mengangguk paham, "Baiklah, masukkan pada laporan guru. Selanjutnya—" Mata onyx nya bergerak ke arah seorang cowok yang tertidur malas di sofa.
"—Shikamaru, laporan keuangan." Tegas Sasuke. Pemuda yang dipanggil hanya menguap.
"Belum dibuat." Sahutnya santai.
Sasuke memijat keningnya yang berdenyut sakit, "Cepat buat laporannya. Kau menunggak laporan sudah 2 bulan. Para guru meminta dokumennya minggu depan."
Shikamaru mendelik dengan satu mata yang terbuka, "Akan kubuat—" Ia berbalik badan untuk posisi tidur yang lebih enak, "—nanti."
Sasuke hanya bisa menghela napas. Sabar—sabar—Orang sabar pantatnya lebar.
.
BRAK!—
"TEMEEEE!" Teriakan Naruto di ambang pintu membuat seluruh mata tertuju padanya. Tepatnya pada daun pintu berukiran emas yang hancur di dobrak oleh pemuda kelebihan hormon itu.
"Seratus ribu yen." Sasuke berbicara santai tanpa melepas matanya dari lembaran dokumen.
Naruto terdiam, "A—Apa?"
"Aku bilang harga pintu itu seratus ribu yen." Tunjuk Sasuke pada onggokan kayu mahal di lantai.
Naruto mendecih kemudian berjalan ke arah pemuda stoic itu, "Dengar ya—" Ia menarik kerah baju Sasuke, "—aku ingin kau mencabut surat pemberhentian klub seni kami." Desis Naruto tajam.
Sasuke menepis tangan Naruto kasar, "Aku tidak bisa."
"Kenapa Tidak Bisa?!" Raung Naruto yang hampir menampar pemuda dihadapannya ini bolak-balik.
"Itu perintah Tsunade, kepala sekolah Konoha Gakuen. Ia bilang klub senimu sama sekali tidak membuahkan hasil. Jadi percuma diteruskan." Kata Sasuke dingin.
Naruto mengerang, "Ta—tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian, Dobe. Kalau kau ingin mempertahankan klub senimu, kau harus meningkatkan prestasi klubmu. Seperti mengikuti lomba dan sejenisnya."
"Ta—Tapi—" Naruto menatap Sasuke dengan pandangan memelas, "—kau pasti bisa bernegoisasi dengan nenek itu kan? Aku mohon Sasuke, bantu klub kami."
"Tidak bisa." Tegas Sasuke lagi.
"Apa kau tega melihat cowok tampan dan menawan sepertiku menderita?"
"Ap—" Sasuke melirik Naruto sinis. Dimana nya yang tampan dan menawan itu?! Teriak Sasuke dalam hati.
"Ayolah Sasuke—kau tidak boleh melakukan hal kejam begitu padaku." Sekali lagi Naruto merayu dengan suara cempreng kuadratnya. Dan sepertinya rayuan pulau kelapa Naruto berhasil pada Sasuke, sebab pemuda raven itu menghela napas pelan sembari mengangguk.
"Baiklah. Akan kucoba." Ucap Sasuke akhirnya. Membuat Naruto bersorak riang menggaruk-garuk lantai.
"Teme, kau menakjubkan!" Naruto menerjang Sasuke dan memeluknya erat.
"Lepaskan aku, Idiot!" Jerit Sasuke layaknya banci yang digrepe-grepe om mesum.
"Serius Sasuke! Kalau kau cewek, pasti sudah kucium penuh romantisme berkelas tinggi." Ucap Naruto lagi, mengeluarkan kata-kata pujian yang ada di otak mesumnya.
"Tidak perlu—" Sasuke mendorong tubuh Naruto, menepisnya kasar, "—aku tidak butuh ciumanmu. Lagipula kalau aku cewek, aku lebih memilih Rock lee daripada kau yang mesum." Sinis pemuda stoic itu sembari merapikan jas seragamnya.
Naruto hanya cengir mendengar nada sarkasme dari sang Uchiha, perasaan senang kembali menguasai hatinya karena berhasil mempertahankan 'Hentai Club' miliknya—yang diselubungi nama Klub Seni.
"Terima kasih, Teme! Bye—" Seru Naruto riang sembari keluar dari ruangan itu dengan meloncat indah. Meninggalkan Sasuke yang mendengus kesal.
Dibelakang Sasuke, Hinata hanya mengulum senyum, "Kau yakin lebih memilih mencium Rock lee, Sasuke?"
"Diamlah, Hinata." Desis pemuda itu.
Hinata terkesiap kaget karena gertakan Sasuke, Ia cepat-cepat membungkuk minta maaf.
Neji menengahi suasana canggung itu, "Tapi serius, seandainya kau jadi cewek. Siapa yang kau pilih diantara Rock lee dan Naruto?"
Sasuke mendengus, "Tentu saja Rock lee. Matanya lebih eksotis."
—Dan untuk kedua kalinya Hinata mengulum senyum. Sedangkan Neji sudah bergetar di lantai menahan tawanya.
.
.
.
"Jadi Naruto? Bagaimana?" Pertanyaan Deidara langsung membombardir Naruto saat pemuda itu memasuki ruang klub nya. Seluruh tatapan mata langsung mengarah pada Naruto, menunggu jawaban sang ketua klub.
Naruto melangkah sumringah, ia duduk dikursi dengan kedua kakinya yang tertumpu di atas meja, "Aku berhasil—klub kita tidak jadi ditutup."
Spontan perkataan Naruto membuat dua orang 'seniman eksotis seperti Deidara dan Sasori' langsung bersorak girang. Sedangkan Rock lee memilih tetap setia dengan cermin belahan jiwanya tanpa terganggu dengan euphoria yang terjadi.
"Naruto—" Panggilan Sai menghentikan sorak sorai yang terjadi. Sang ketua klub berbalik dengan sumringah.
"Ada apa, Sai?"
"Aku hanya heran, bagaimana bisa kau mengubah pikiran sang president council?" Tanya Sai lugu tanpa melirik Naruto yang sudah berkacak pinggang sambil tertawa.
Pertanyaan Sai diikuti oleh rasa penasaran ketiga anggota lainnya.
"Benar sekali, aku juga penasaran." Celetukkan Deidara membuat Sasori mengangguk.
"Padahal aku pikir Sasuke itu orangnya sangat keras." Ujar Rock lee sembari berpikir.
Naruto memperlihatkan cengirannya, "Si brengsek itu memang sangat keras. Aku harus menghajarnya dulu supaya mau menuruti perintahku." Bohongnya lagi seraya duduk angkuh.
Sai yang terlihat tidak tertarik mulai melebarkan bola matanya mendengar pernyataan 'palsu' sang ketua klub, "Kau—menghajarnya?"
Naruto terkekeh sambil menyeka hidungnya yang kembang kempis, "Ya!—aku masuk ke ruangannya kemudian menggebrak mejanya dengan brutal." Ucap Naruto seraya memperagakan mimiknya yang marah.
Deidara menontonnya dengan kagum, "Lalu? Apa yang dikatakan Sasuke?"
Naruto mengibaskan tangannya dengan gaya angkuh, "Sabar, sabar—setelah aku menggebrak meja, Sasuke tentu saja tidak takut, dia balas mendelikku tajam. Kemudian meneriakiku 'bodoh' dan sejenisnya."
"Lalu kau menghajarnya?" Tebak Sasori yang ikut-ikutan tertarik menatap tingkah sang ketua klub.
"Tentu saja!—" Naruto berdiri di atas meja dan mulai memperagakan karatenya yang abal-abal, "—aku memukul wajahnya, menghajar badannya dan menendang bokongnya." Pemuda pirang itu terlihat menendang udara kosong, dan berputar dengan gerakan sempoyongan.
"Pokoknya—" Naruto menghentikan gerakan karatenya, karena kelelahan, "—si teme itu sudah kuhajar. Dan ia bersujud di kakiku dengan memohon ampun. Ia juga memanggilku 'Naruto-sama'." Pemuda itu mengakhiri ceritanya seraya berkacak pinggang.
Deidara dan Sasori bertepuk tangan, Rock lee bersiul takjub sedangkan Sai hanya diam membisu.
Mata hitam Sai lebih tertarik menatap ke arah ambang pintu yang menampilkan sosok Sasuke berkedut marah.
"Uhm—Naruto—itu—" Telunjuk Sai mengarah takut-takut pada sosok Sasuke yang bersender malas di pintu sejak dua menit yang lalu.
Naruto terdiam beku ketika aura aneh menguar dari balik belakangnya.
"Ja—jangan bilang kalau Sasuke dibelakangku." Kata sang ketua klub merinding.
Deidara, Sasori dan Rock lee mengangguk barengan.
—Horryshiet!
Rasanya Naruto ingin sekali terjun dari jendela klubnya sambil berteriak 'ADIOS AMIGOS!' kemudian mati dengan pose seksi saat jatuh nanti.
Tapi tidak—Naruto masih ingin mengintip rok cewek-cewek cantik. Masih ingin ketawa mesum sambil lihat majalah porno. Atau dengerin lagu Justin BL-eber yang judulnya babi-babi-ohhh.
"Jadi, kau bilang, kalau kau menghajarku, begitu?" Suara dingin Sasuke menusuk sukma Naruto. Membuat pemuda pirang itu bergidik ngeri.
"Ti—tidak begitu, aku hanya—"
"Diam—" Sasuke melangkah masuk ke ruang klub Naruto. Duduk disalah satu kursi dengan gaya angkuh. "—aku sudah bernegoisasi dengan Tsunade-san. Ia mengatakan akan mempertahankan klubmu kalau kau bisa mengikuti lomba nasional dan memenangkannya." Ucap Sasuke lagi sembari menyodorkan pamflet penting yang bertuliskan 'Lomba Bakat Tingkat Nasional'.
Naruto meneguk liurnya, "Lomba?—Tingkat nasional?"
"Hn." Sahut Sasuke malas.
Sai berdiri dari tempat duduknya, "Kalau begitu aku yang akan mengikuti lomba—"
"Tidak bisa." Sasuke memotong perkataan Sai cepat. "—yang harus ikut perlombaan adalah Naruto. Dan ia harus menang." Lanjutnya lagi dengan penekanan pada kata 'harus'.
"Kenapa aku?" Potong Naruto dengan suara cicitan tikus.
Sasuke mendeliknya tajam, "Karena kau 'ketua klub' nya."
"Ta—tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian. Lombanya satu minggu lagi, persiapkan dirimu." Ucap Sasuke santai. Ia beranjak dari tempat duduk dan melangkah keluar.
"—Oh aku lupa mengatakan sesuatu." Kata Sasuke sembari menoleh sebentar, "—yang memohon sambil bersujud itu Naruto, bukan aku." Sambungnya dengan seringai kecil. Kemudian berlenggang pergi.
Deidara, Sasori dan Rock lee melirik Naruto dengan picingan mata.
"Jadi, karate yang kau katakan itu bohongan?" Tegas Rock lee.
"Kau bahkan tidak menendang bokong Sasuke." ketus Deidara.
Naruto tertawa hambar, "Kau tahu—aku hanya sedikit menambah 'bumbu' cerita." Belanya lagi sembari membentuk gestur telunjuk dan jempol menampilkan lingkaran 'kecil'.
"Bukan hanya sedikit, kau pembohong besar." Desis Sasori dingin.
"Hei—" Sai mengiterupsi, "—hentikan pertengkaran kalian. Ada yang lebih penting dibandingkan 'cerita bohong' itu." Tandasnya lagi seraya menoleh pada Naruto.
"—kau harus mengikuti perlombaan itu, Naruto." Ucap Sai sambil mencengkram pundak sang ketua klub.
"Tapi aku sama sekali tidak mempunyai bakat, selain memegang dada dan mengintip celana dalam cewek!" Tukas Naruto geram.
"Tidak ada pilihan lain, aku akan mengajarimu melukis." Sahut Sai akhirnya.
"Yeah—" Deidara kembali membuka suara, "—dan aku akan mengajarimu sains."
"Aku akan mengajarimu ventriloquis." Ucap Sasori seraya menggerakkan bonekanya dan mengeluarkan suara perut.
"Kalau aku—" Rock lee terlihat berpikir, "—bela diri?" Ragunya lagi.
"Lupakan Rock lee. Kau fokuslah pada bakat yang kami ajarkan." Tegas Sai dengan mimik serius.
Naruto pucat pasi, dan perutnya melilit nyeri. Sekarang ia berada di situasi—Hidup segan, mati sakit-sakitan.
—Demi banci jalanan, bagaimana bisa Naruto memiliki bakat dalam waktu satu minggu!
Sepertinya ini akhir dari hidup Naruto. Ia yakin tidak akan bisa memiliki pacar seumur hidup, atau lebih parahnya tidak bisa mendengarkan lagu dari Justin BL-eber lagi.
Selamat tinggal dunia.
Selamat tinggal dada.
Aku akan mati saja.
.
.
.
Sasuke terlihat sibuk membolak-balik dokumen di ruangannya. Matanya tetap fokus pada lembaran kertas tanpa mempedulikan Neji yang terus menatapnya.
"Ada sesuatu diwajahku?" Ucap Sasuke akhirnya setelah jengah melihat tingkah aneh salah satu anggotanya.
"Tidak ada. Kau sempurna." Ucap Neji ambigu. Sasuke tidak terlalu mempedulikan perkataan pemuda rambut panjang itu, matanya lebih memilih menatap luar jendela.
"Hinata bersama Naruto." Ucap Sasuke ketika melihat sosok pemuda pirang itu sedang berbincang dengan sang Hyuuga muda.
Neji bergerak menuju jendela, melongokkan kepalanya, "Ya, mau bagaimana lagi, dari dulu Hinata suka pada pemuda bodoh itu."
"Hinata suka pada Naruto?" Tanya Sasuke bingung.
Neji mengedikkan bahu, "Begitulah—kurasa. Dia selalu membicarakan Naruto setiap saat."
Sasuke diam, ia tidak menjawab dan hanya mendengus kecil, "Apa bagusnya si mesum itu."
"Ha? Maksudmu Naruto?" Terang Neji lagi.
"Tentu saja." Sasuke menutup jendela dengan gerakan kasar, "—ia membuatku kesal."
"Aku juga tidak tahu. Aku rasa wanita selalu tidak bisa ditebak." Ucap Neji sembari melirik Sasuke, "—Apa kau suka pada Hinata? Maksudku kau terlihat cemburu."
"Ha?—" Sasuke men-death glare galak, "—aku tidak menyukai adikmu. Dia sudah kuanggap adik sendiri. Tidak lebih." Ketusnya lagi.
"Syukurlah—" Hela Neji sedikit lega. Sebuah sunggingan kecil terlihat di bibir pemuda itu selama beberapa detik.
"—Jadi, siapa yang kau suka?" Tanya Neji setelah berhasil mengendalikan mimiknya lagi menjadi tanpa ekspresi.
"Yang kusuka?" Sasuke terlihat berpikir kemudian menggeleng, "—tidak ada."
Sekali lagi, mimik Neji berubah menjadi kecewa. Hanya secuil desah berat dari napasnya.
"Hei—" Shikamaru bangkit dari sofa, "—bisa kalian hentikan obrolan 'romantisme' kalian? Itu membuatku geli."
Neji mendelik tajam ke arah Shikamaru, "Bukan urusanmu, Shitty head."
"Ghk—" Shikamaru menoleh sinis, "—kau menyebalkan."
"Kalian berdua, berhentilah bertengkar." Desis Sasuke jengah. Bola matanya berputar malas.
Belum sempat Neji dan Shikamaru adu argumentasi lagi, suara seseorang membuat perhatian mereka teralihkan.
Di ambang pintu berdiri Orochimaru dengan jas laboratorium sembari membawa tabung reaksi berisi cairan hijau, "Sasuke, bisa kau membantuku?" Ucapnya serak.
Sasuke mendelik diam, "Kali ini apalagi, Sensei?"
Orochimaru terlihat berpikir, "Ramuanku. Aku ingin kau mencobanya." Sodornya lagi pada sebotol cairan hijau yang ada ditangannya.
Sasuke bergidik jijik melihat cairan tadi meletup-letup dengan suara 'plop' kecil. Sedikit lengket dan kental.
"Entahlah, Sensei—" Sasuke menolak halus, "—Itu terlihat tidak aman."
"Ini aman." Potong Orochimaru lagi, "—cepat bantu aku di laboratorium." Desaknya dingin.
Sedikit terpaksa dan helaan napas berat, Sasuke mengikuti langkah Orochimaru keluar dari ruangan. Meninggalkan Neji dan Shikamaru yag meneruskan pertengkaran mereka.
"Aku ragu, apakah ramuan itu berhasil kali ini?" Ujar Neji pelan.
Shikamaru menggaruk rambutnya, "Terakhir kali Sasuke meminum ramuan Orochimaru-sensei, rambutnya langsung berdiri seperti sapu."
Neji mendengus, "Dia tetap terlihat manis daripada kau, kepala nanas."
"Urgh—kau membuatku kesal, bocah angkuh." Balas Shikamaru yang mendelik galak.
Ketika mereka bersiap untuk pertarungan ronde kedua, gerakan mereka terhenti saat Hinata masuk ke ruangan dengan cepat.
"Apa yang kalian lakukan? Bertengkar lagi?" Tebak Hinata.
Neji mendengus dan Shikamaru menguap malas.
"Kalian selalu begitu, berhentilah bersikap kekanakan." Ucap Hinata lembut.
"Daripada kami, sebaiknya kau juga jangan terlalu dekat dengan Naruto. Dia mesum."
"Neji-niisan, jangan mengatakan begitu. Naruto baik." Bela Hinata.
"Huff—kau benar-benar tidak menurut." Kata Neji sembari mengelus puncak kepala gadis itu. "—kau menyukainya kan?" Lanjut Neji yang membuat Hinata hilang kata-kata.
Gadis bermata indigo itu terlihat gelisah dengan rona merah di pipi. Tanpa menebak pun Neji sudah mengetahui bahwa adiknya menyukai Naruto.
Yah—mau bagaimana lagi, selama Naruto tidak melukai adiknya, Neji akan membiarkan Hinata menyukai pemuda mesum itu. Lagipula hanya pada Hinata saja Naruto tidak pernah melancarkan 'aksi' mesumnya. Neji tidak tahu alasannya apa, tetapi Naruto sangat baik pada adiknya.
"Aku bisa melindungi diriku sendiri, Nii-san." Ucap Hinata akhirnya.
Neji tersenyum kecil mendengar pernyataan spontan yang terlontar dari mulut adiknya, ia mengacak rambut gadis itu lembut.
"Hn. Aku percaya padamu."—yang tidak ku percaya adalah pemuda pirang 'mesum' itu.
.
.
.
Ditempat lain, Sasuke tengah berdiri tidak nyaman di hadapan Orochimaru-sensei, segelas cairan hijau terlihat menggelegak di tabung reaksi yang dipegangnya. Pemuda raven itu meneguk liurnya panik.
"Telan." Desisan Orochimaru-sensei membuat Sasuke menatapnya panik.
"Ma—maksud sensei, meminum cairan ini?"
"Iya, cepat telan." Kata sang guru dengan suara kaku.
"Tapi, ini terlihat tidak aman." Tolak Sasuke yang benar-benar ingin muntah melihat cairan hijau itu meletup-letup kecil.
"Jangan bodoh." Orochimaru-sensei terlihat mengibas-ngibaskan tangannya, kesal, "—itu aman. Jadi cepat telan."
Sasuke memutar otaknya sekali lagi, ia harus membuat pernyataan pintar agar terhindar dari meminum 'ramuan' aneh ini.
Berpikir Sasuke—berpikir! Teriaknya dalam hati.
"Bagaimana kalau ada efek samping dari obat ini? Maksudku, bagaimana kalau ternyata setelah kuminum, aku langsung mati?" Pemikiran pintar Sasuke—pemuda raven itu tersenyum dalam hati dengan perkataan cerdasnya itu.
Orochimaru-sensei terdiam, ia mengelus dagunya berpikir, "Benar juga, aku tidak memperhitungkan hal itu."
"Benar kan? Terlalu bahaya." Ucap Sasuke setengah lega.
"Tapi kita tidak akan tahu sebelum mencoba—" Lanjut Orochimaru-sensei seraya berbalik menghadap Sasuke, "—minum sekarang."
"Eh? Anda serius?"
"Sangat serius. Cepat telan." Desak sang sensei tidak sabaran.
Sekali lagi Sasuke harus meneguk air liurnya panik. Ia tidak bisa kabur sekarang. Mau tidak mau, suka tidak suka, cairan menjijikan itu harus diminumnya.
—sial!
Sedikit gemetaran, Sasuke meneguk cairan tadi dengan cepat. Rasa terbakar langsung menggerogoti kerongkongannya ketika ia meminum cairan hijau tadi, dilanjutkan dengan aroma busuk hingga membuatnya mual seketika.
Astaga—Naga—Gajah—Duduk—Pakai—Sarung, ramuan ini benar-benar menjijikan luar binasa.
Orochimaru-sensei menyeringai tipis, matanya melirik arloji di tangan kirinya, "Hmm—" Ia bergumam sebentar, "—aneh, seharusnya reaksinya sudah kelihatan sekarang, tetapi belum ada tanda-tanda akan muncul."
Sasuke menggelinjang dan merinding ketika ia sudah menelan keseluruhan cairan 'memuakkan' tadi, "Sensei, bolehkah aku keluar?" Mohonnya seraya menahan muntah.
Orochimaru melirik sedikit, "Baiklah, sepertinya ramuanku juga gagal." Tandasnya lagi seraya mengibaskan tangannya menyuruh Sasuke cepat pergi.
Pemuda onyx tadi membungkuk hormat lalu bergegas terbirit-birit keluar ruangan, sekarang yang ada di otak Sasuke hanya satu.
—Sialan! Toilet terdekat dimana sih?!
.
.
.
Ruang klub seni terlihat kosong tanpa tanda kehidupan, hanya Sai saja yang masih setia menunggui ruangan sempit itu. Matanya selalu terfokus pada kanvas dengan lukisan abstrak miliknya.
Konsentrasinya teralihkan selama beberapa detik ketika suara langkah kaki bergema di koridor. Ia melirik sekilas dan menangkap sosok Sasuke sedang tengah berlari menahan mual. Sai tebak, pemuda onyx itu sibuk mencari toilet.
"Pasti gara-gara Orochimaru-sensei." Gumam Sai pelan. Ia menggeleng perlahan kemudian melanjutkan kesibukannya lagi.
"Sai—" Panggilan Naruto dari arah pintu mengalihkan perhatian pemuda pelukis itu.
"Ya, Naruto?"
"Kau tidak pulang?" Naruto melirik arlojinya, "—sekarang sudah jam 3 sore."
"Aku belum menyelesaikan lukisanku." Sahut Sai sambil melempar senyum tanpa ekspresinya.
Naruto menggaruk tengkuk lehernya malas, "Ayolah, aku sudah capek menunggumu sejak tadi. Untung saja ada Hinata yang bisa ku ajak bicara."
"Hinata?" Sai menghentikan gerakan melukisnya dan terlihat berpikir sebentar, "—kalian mengobrol?"
"Ya, begitulah." Sahut Naruto enteng.
Sai kembali melirik Naruto penuh tanda tanya, "Kau—menyukai Hinata?"
"Ha?" Otak pemuda pirang itu merespon sepuluh detik lebih lama, kemudian menggeleng cepat, "—Hell No! Aku hanya menganggapnya sebagai 'adik'. Makanya aku tidak ingin bersikap 'mesum' padanya. Apalagi naksir padanya, itu tidak mungkin." Jelas Naruto lagi.
Sai mengangguk paham, ia tersenyum lagi, "Syukurlah." Tangannya kembali menorehkan tinta pada kanvasnya, "—ngomong-ngomong, Sasuke tadi berlari terburu-buru ke toilet. Aku rasa, dia disuruh meminum cairan Orochimaru-sensei lagi."
Naruto menoleh ke arah Sai dengan pandangan tertarik, "Kau melihat Sasuke?"
"Ya—" Sai menunjuk ke luar ruangan, "—ia berlari cepat di koridor, dan kurasa dia mencari toilet."
Naruto menyeringai jahil, "Khekhekhe, aku ingin lihat bagaimana penderitaannya." Desisnya sambil menggosok kedua telapak tangan layaknya psikopat yang siap mencincang korbannya.
Sai lagi-lagi hanya tersenyum menanggapi tingkah kekanakan Naruto, "Kalau kau berencana mengerjai Sasuke, lakukan dengan cepat. Kalau tidak, dia akan keburu kabur." Kata pemuda tanpa ekspresi itu.
Naruto menampilkan cengiran lebarnya, "Siap, Komandan!" Serunya semangat sembari bergerak cepat keluar dari ruang klubnya. Meninggalkan Sai yang tertawa hambar.
.
.
.
Di dalam toilet, Sasuke langsung menerjang kabin terdekat, kemudian memuntahkan cairan hijau yang diminumnya beberapa menit lalu ke closet. Suara Sasuke terdengar seperti gabungan antara rintihan gajah yang melahirkan dan jerapah yang tercekik mati.
—Horryshiet!
Ramuan Orochimaru-sensei itu sukses membuat image cool Sasuke hancur berantakan dalam waktu kurang dari setengah hari. Sang Uchiha bungsu bersumpah akan mengacak-acak rambut 'iklan shampo' sensei nya itu. Kalau perlu ia akan meludahinya hingga kiamat berakhir.
"Sa—Su—Ke—" Panggilan mendayu-dayu dari Naruto membuat bulu kuduk Sasuke tiba-tiba berdiri, termasuk bulu kaki dan bulu ketek.
Kenapa Naruto harus datang sekarang?! Terkutuklah si muka mesum bejat itu.
Sasuke langsung menutup pintu kabin toilet dengan cepat, menguncinya sebelum Naruto mengetahui keberadaannya. Pemuda onyx itu berusaha bersembunyi tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
"Sa—Su—Ke—dimana kau?" Panggil Naruto lagi seraya terkekeh jahat. Layaknya peran antagonis ibu tiri.
Tangan pemuda pirang itu menggapai kenop kabin dan memutarnya pelan, "Kau disini?" Ucapnya sembari membuka toilet didepannya.
Kabin dihadapannya kosong. "Ah—bukan disini rupanya, mungkin di kabin lain." Bisik Naruto dalam hati seraya melihat lima kabin disebelahnya.
Sasuke yang berada di kabin terakhir hanya terdiam panik. Rasa mual kembali mendera lambungnya.
Jangan muntah sekarang, ughhbb, batin Sasuke. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Tetapi gerakannya langsung terhenti ketika surai rambut hitam miliknya menyentuh bahu dan punggungnya.
Sedikit kaget, Sasuke menyentuh rambutnya pelan, "Sejak kapan rambutku sepanjang ini?" Bisiknya dengan sangat pelan.
Belum sempat Sasuke menganalisis keadaannya sekarang, sebuah fenomena aneh muncul kembali, kali ini dadanya yang terlihat membesar perlahan demi perlahan, menyaingi besarnya milik Tsunade.
Sasuke memekik kecil ketika gravitasi membuatnya terdorong kedepan karena 'dada' baru yang dimilikinya. Tetapi ada yang lebih membuatnya kaget, yaitu ketika tangannya menyentuh selangkangan miliknya, 'benda' yang seharusnya berada disana lenyap di telan bumi.
Sekali lagi rasa horor menyergapi perasaan dan wajah Sasuke, ia ingin menjerit banci seraya mencabuti rambut Orochimaru satu persatu sembari berteriak, 'KEMBALIKAN KEJANTANANKU LAGI, YA TUHAN!'
Sekarang ia sama sekali tidak bisa keluar dari kabin toilet dan berhadapan dengan Naruto. Apa nanti kata pemuda mesum itu ketika melihat dirinya sekarang? Sasuke yakin, ia bakal di tertawakan habis-habisan.
"Aku tidak bisa keluar." Bisik Sasuke pelan, dengan suara tinggi layaknya anak perempuan.
—Oh, Sial! Suaraku berubah juga. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Apakah aku berubah jadi cewek? Kalau sampai itu terjadi, aku tidak segan-segan menguliti guru 'ular' itu, sumpah Sasuke dalam hati.
"Sa—Su—Ke—" Suara Naruto kembali membuat pemuda onyx itu terdiam beku. Suara dobrakan dari pintu kabin sebelah membuat hati Sasuke semakin mencelos takut. Ia berkomat-kamit dalam hati agar Naruto cepat mati.
"Sa—Su—Ke—ayo keluar." Suara Naruto semakin menjadi-jadi, ia sudah menyeringai karena yakin Sasuke berada di kabin toilet terakhir. Tangan tan nya menyentuh kenop pintu kabin, memutarnya perlahan seperti efek dramatis di film-film horor pasaran, dilanjutkan sound effect gitar picisan.
Krieet—Pintu kabin toilet terbuka inchi demi inchi. Sasuke gemetaran, duduk diatas closet, ia bahkan menutupi dadanya dengan kedua tangan, berharap tidak langsung di 'grepe' Naruto di tempat.
—Matilah aku! Rutuk Sasuke dalam hati.
—Ya tuhan, kalau pun aku harus diperkosa hari ini, setidaknya aku lebih memilih Rock lee yang memperkosaku, Tuhan. Amin.
Entah karena doa Sasuke yang ampuh, atau keberuntungan semata, pintu kabin tidak jadi terbuka karena perhatian Naruto teralihkan pada Sai yang tiba-tiba berada di belakangnya.
"Kau sedang apa disini?" Ucap Naruto bingung.
"Aku mau buang air kecil." Sahut Sai datar, mendorong Naruto menjauh dari depan pintu toilet, seraya masuk ke kabin terakhir, tempat Sasuke berada.
Naruto memiringkan kepalanya bingung saat Sai terlihat tenang masuk ke kabin yang dikira Naruto adalah wilayah persembunyian Sasuke.
"Sepertinya si teme itu tidak ada disini? Jangan-jangan sudah pulang? Gawat." Desis Naruto yang langsung berlari keluar toilet dengan terburu-buru.
Di dalam kabin toilet, mata Sai melirik melalui celah pintu menatap Naruto yang sudah menjauh, sedangkan tangannya menutup mulut Sasuke yang hampir memekik kaget karena Sai tiba-tiba masuk ke tempat persembunyiannya.
Setelah aman, Sai melepaskan tangannya dari mulut sang onyx.
"Untuk apa kau kesini?!" Bisik Sasuke emosi.
Sai meliriknya dingin, "Membantumu bersembunyi dari Naruto."
"Aku tidak butuh bantuanmu! Lagipula kenapa kau membantuku?" Desis Sasuke tajam, sembari melemparkan death glare.
Sai bersender malas di dinding kabin, "Kalau aku tidak membantumu, mungkin sekarang kau sudah diperkosa oleh Naruto."
Ah—Sasuke baru ingat akan hal itu.
Ia hanya mendecih sembari mendorong Sai menjauh, "Apa kau sudah tahu, kalau aku akan berubah jadi cewek?" Tanya Sasuke lagi.
Sai mengedikkan bahu, "Tidak tahu. Aku hanya penasaran karena melihatmu berlari panik di koridor, dan aku tebak kau habis 'dikerjai' oleh Orochimaru-sensei. Tetapi aku tidak menyangka kau bakal berubah menjadi seorang gadis." Ujarnya sambil melihat Sasuke dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Sang onyx mendengus kecil, "Akan ku hajar si guru brengsek itu. Ia harus memberikanku ramuan penawarnya." Gerutu Sasuke sembari melangkah keluar toilet, meninggalkan Sai yang hanya menggeleng lelah.
.
.
.
Di luar toilet, tepatnya di lorong koridor, Naruto terdiam membeku ketika melihat sosok seorang gadis berambut hitam panjang keluar dari toilet pria. Padahal awalnya Naruto hanya ingin mengadu pada Sai kalau dia tidak menemukan Sasuke, tetapi sekarang mata birunya terbelalak kagum pada kecantikan gadis itu. Untungnya saja, gadis itu tidak melihat Naruto, sebab pemuda pirang itu dengan lihai bersembunyi, merapat ke balik tembok.
Sapphire nya terus mengikuti sosok gadis tadi hingga berbelok ke tikungan, Naruto mendecak kesal karena tidak sempat berkenalan, tetapi di lain pihak, otak Naruto seakan melihat pemandangan ganjil dari sosok perempuan tadi.
"Dia cantik, manis, putih—" Naruto berpikir sembari menghitung jarinya, "—rambut hitam panjang, dan terkesan misterius, tetapi ada sedikit yang mengganjal." Pemuda pirang itu terus berpikir keras, sampai sebuah batu imajiner menghantam kepalanya.
"—Astaga! Cewek tadi memakai seragam cowok!" Teriak Naruto kaget tetapi langsung menutup mulutnya cepat.
"—Tetapi kenapa dia memakai seragam cowok? Jangan-jangan cewek tadi sebenarnya—" Naruto lagi-lagi berpikir keras sampai otaknya berasap.
Memori otaknya yang berkarat mencoba memutar ulang kejadian beberapa menit lalu.
—Ia mengejar Sasuke di toilet.
—Sai datang dan bilang ingin buang air kecil.
—Begitu kembali, malah ada seorang gadis yang keluar dari toilet cowok, dengan berpakaian seragam laki-laki.
—Jangan-jangan...
Naruto terdiam beku sesaat, pipinya memerah dengan wajah memanas.
"Sai—ternyata seorang cewek! Oh My Gay!" Naruto menutup mulutnya dengan ekspresi kaget namun senang.
"Ternyata selama ini Sai adalah seorang cewek!" Naruto mulai berimajinasi liar, senyum najis sudah terpasang di bibirnya, "—Pantas saja dia tidak tertarik dengan 'hentai' dan 'cewek'." Lanjutnya lagi seraya meninju-ninju tembok kegirangan, karena berhasil mengetahui rahasia terbesar seorang Sai.
"—Kalau Sai secantik itu, aku rela jadi homo-homo dikit." Eh? Sekarang kan Sai jadi cewek, berarti aku normal. Batin Naruto seraya berlutut di lantai sembari bersyukur dalam hati 'Terima Kasih Tuhan!'.
Naruto meloncat-loncat girang, menari-nari autis di tengah koridor sambil membayangkan dirinya dan 'Sai versi cewek' asyik bermesraan di bawah pohon pinus.
"—Nyahahaha, aduh Sai, kau manis sekali." Bisik Naruto pada dinding didepan wajahnya, sembari memonyong-monyongkan bibir.
Sai yang baru keluar dari toilet hanya melirik Naruto keheranan, sepertinya pemuda pirang itu tidak melihat Sai, karena sang ketua klub sibuk berdisko patah-patah di tengah koridor sembari berteriak "Kau Cantik Sekali Sai!"
Sai lagi-lagi hanya bisa tersenyum dingin, ia memilih kabur dari tempat kejadian perkara daripada harus melihat hal abnormal sang Uzumaki.
"Aku rasa Naruto sudah gila karena tidak berhasil menemukan Sasuke. Kasihan." Bisik Sai pelan sambil terus melangkah pergi.
.
—Dan kesalahpahaman pun terus berlanjut.
.
.
.
TBC
.
.
Siapa yang pesan NaruFemSasu? Angkat tangan! #plak XD huehehe...
Baiklah, CrowCakes membawa Fic baru lagi *tebar-tebar bunga*... Fic nya memang agak ambigu, tapi tetep ini fic Sho-ai, hohoho
Dan mungkin update nya agak lama... :(
Aku harap kalian suka :D
RnR please!
