Sebuah legenda bercerita, jauh sebelum manusia lahir para dewa dan pari dewi bernyanyi untuk kedamaian bumi. Para manusia terlahir dari nyanyian mereka, dan hidup dari nyanyian mereka.

Perlahan berkat keegoisan manusia nyanyian itu kian meredam, para dewa dan dewi perlahan mulai turun dan menjelma menjadi manusia. Dengan suara yang merdu mereka terlahir di tengah manusia, mereka menjadi salah satu suku yang cukup langka. Suku manusia dengan suara yang merdu, penampilan yang menarik dan diberkati kecepatan dan keakuratan untuk berburu.

Ditengah ketamakan manusia, tak banyak dari mereka yang diburu dan di bunuh oleh manusia karena mereka merasa iri dengan kelebihan suku 'chanter'. Suara merdu yang membawa kedamaian itu, dianggap sebagai nyanyian iblis yang menghipnotis manusia. Perlahan para dewa dan dewi diburu oleh ketamakan manusia yang ingin menguasai bumi.

"This silent is mine..."

sebuah lagu yang ter urai dari bibir para dewa dan dewi, lagu dengan sebuah pengharapan, dimana suatu hari nanti manusia akan hidup dengan tenang dan damai tanpa ada iri, kesombongan dan kemarahan.


"This Silence is mine: Lotus"


Disclamer:
Shingeki no Kyojin itu punya Isayama-san. Sedangkan lagu 'This Silent is Mine' dan 'Growing Wings' punyanya Drakengard-nya Square Enix. Suku Chanter itu punya Aion Online

Warning:
AU, Songster!Eren, Prince!Rivaille, RiRen, OOC (Buat jaga jaga), Geje, Abal, Panjang yang nggak karuan, Typo (buat jaga jaga), Alur kecepetan Dan Kawan Kawan yang sejenisnya.


Sore itu tak setenang hari yang lainnya, matahari yang sebentar lagi akan tertidur dan digantikan oleh bulan itu menemani suara jeritan manusia yang sedang berburu. Mereka memanglah tidak memburu hewan, tapi mereka memburu para 'chanter' sebuah suku yang menjadi perbebatan manusia. Suku dengan suara emas yang dipercayai sebagai nyanyian iblis yang akan menghipnotis manusia. Jauh di dalam hutan mereka bersembunyi, tetapi sayangnya sang Dewi Fortuna sedang tak ingin berpihak pada mereka. Mereka hanya memiliki kekuatan yang terbatas tak seperti dahulu saat mereka masih bersayap.

"Ibu… Kau sudah pulang bu?"

Tanya seorang anak berumur 12 tahun pada ibunya yang sekarang berdiri di depan pintu, sang ibu nampak panik seakan ia dikejar. Nafasnya menderu keras matanya tampak sendu, ia menahan air matanya yang tak akan lama lagi akan mengalir keluar membasahi pipinya. Ia menatap anaknya yang masih berumur 12 tahun, sang ibu berusaha untuk menahan tangisnya dan tersenyum manis pada anaknya

"Eren… Tolong ikuti nasehat ibu kali ini yaaa…"

"Ada ibu?"

"Eren… Setelah ini, apapun yang terjadi kau harus bertahan… Kau harus bersembunyi, jangan mudah percaya kepada siapapun… Lalu yang paling penting ingat ya Eren… Ibu selalu sayang padamu…"

"Tapi kenapa ma?"

Sang ibu sudah tak dapat menahan tangisnya, ia meneteskan setitik air matanya, membasahi pipinya. Selagi ia memeluk anak tunggalnya yang sekarang menatapnya dengan heran. Ia mengacak rambutnya, seakan setelah ini sang ibu akan kembali berpulang.

"Eren… Jadilah seperti sebuah bunga yang cantik walah ia berada di tempat yang gelap dan suram sekalipun dan bertahan di tempat yang kotor dan berlumpur… Ibu ingin kau dapat terus bertahan dalam kejamnya dunia dan tetaplah kuat Eren…"

Sang ibu segera mengecup dahi anaknya yang bersurai coklat itu dengan cepat, mata nya yang sehijau batu permata itu mulai terasa panas. Sang ibu menghela nafasnya sambil memegang gagang pintunya

"Ibu?"

"Sampai jumpa Eren… Ibu akan pulang secepatnya, Eren"

Jawab sang Ibu, selagi ia melempar senyum simpulnya dan pergi keluar. Ia hanya bisa terdiam menatap punggung ibunya yang pergi, ditelan oleh cahaya yang bersinar. Eren hanya bisa mendengar suara deruan dan jeritan di balik pintu, tanpa menyadari apa yang terjadi di luar sana.

Sambil menangis ia pergi meninggalkan rumahnya. Berlari keluar melewati deretan mayat yang berhasil dibantai manusia, menyaksikan darah yang berceceran di tanah, membuat pakaiannya yang berwarna putih itu dinodai dengan bercak darah. Berlari dari kehidupannya sebagai 'chanter' menutup rapat mulutnya. Melupakan nyanyian yang selalu dinyanyikan ibunya 'This Silent is Mine', memulai segalanya dari awal. Hidup ditengah kerumunan manusia, tanpa pernah bernyanyi lagi. Menjadi salah satu 'chanter' yang terakhir.


"The Gap of the noise, the cradle

No One can reach this flower

The Gap of the noise, the cradle, the sign of fire

Distant, too, is the preview, this heart beat

In absolute silent

Where's my Dream?

Where are my Stance?

Where is heart beat?

This silence I mine"

Nyanyian itu kembali terdengar, walau hanya sayup sayup belaka. Hanya gumaman dari seorang pemuda, yang berharap dalam kepedihannya. Ia berjalan menelusuri hutan, rambut coklatnya yang pendek diterpa hembusan angina, rambutnya sedikit lebih panjang. Tubuhnya sedikit lebih tinggi, semenjak ia terakhir kali melewati hutan itu sekitar 3 tahun yang lalu, hutan dimana ia bersembunyi 3 tahun silam dengan keadaan yang sangat tragis, hanya bertahan hidup dari air di danau kecil, memakan rerumputan dan bertahan dari kejamnya hewan di sekitarnya.

Dalam nyanyiannya ia kembali merasakan perasaan yang menyakitkan, perasaan setelah 3 tahun menyaksikan pembantaian para dewa yang ia saksikan sendiri. Perasaan yang mencekam saat ia berjalan melewati bangkai yang berserakan di jalan, menelusuri hutan dan mencoba untuk menemukan seperti apa besok, menunggu masa depan yang tak pasti. Mencoba untuk kembali tersenyum dan berbaur dengan manusia yang telah membunuh semua orang yang dia kasihi.

Kini ia telah hidup ditengah manusia, menjadi salah satu diantara mereka. Ia melipat sayapnya, membungkam mulutnya dan menutup matanya dan hatinya dari perasaan ketakukan. Tersenyum dengan rasa sakit yang tak tertahankan, menyaksikan manusia yang semakin hari menjadi semakin tamak dan rakus, saling bersaing untuk hal yang fana. Memburu sesamanya karena perasaan cemburu dan iri hati, mulutnya selalu menahan nyanyiannya. Membuatnya menjadi gumaman kecil setiap kali ia melewati hutan yang gelap, berharap dengan gumaman itu dapat mengurangi perasaan rindunya pada sosok ibunya yang ia kasihi.

"ERENNN…"

Suara itu memanggilnya dengan lembut, yang merasa namanya dipanggil segera mengangkat wajahnya yang tertunduk, menghentikan gumamannya dan mencari sumber suara yang mencarinya. Dalam cahaya hutan yang mulai menampakkan cahayan orange dan hangat yang mulai menjalar di dalam sana sosok lelaki dengan tubuh yang ramping itu muncul, rambutnya yang pirang memantulkan cahaya orange yang berhasil menembus dedaunan.

"Ah, Armin?"

Ia memanggil nama pemuda itu, nama pemuda yang menemukannya dalam pelariannya 3 tahun lalu, menjadi orang pertama yang menganggapnya sebagai manusia. Orang pertama yang tidak melihatnya sebagai 'Chanter' dengan nyanyian yang merdu dan sayap yang indah, atau dengan tatapan yang mencekam seakan ingin membunuhnya. Orang yang menyaksikan Eren bangkit dari hari harinya yang dipenuhi dengan mimpi mimpi buruk dan orang pertama yang menganggapnya sebagai manusia, walau jauh didalam hatinya Eren masih merasakan ketakutan. Ketakutan dimana suatu hari nanti nyanyiannya akan kembali terdengar dan semua mimpi buruknya menjadi sebuah kenyataan yang mengejarnya dan memusnahkan dirinya sendiri. Sekarang ia telah berhasil membuat sebuah topeng fana dengan senyuman cantiknya, dan pemuda itu dapat menerima senyuman Eren dan bahkan ia membalasnya dengan tulus.

"Eren, Kemana saja kau? Aku mencarimu dari tadi…"

"Eheheheh… Maafkan aku Armin…"

Eren tertawa pahit, ia memang sering menyendiri dan membutuhkan waktu utuk menenangkan dirinya. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, Eren mungkin berhasil hidup ditengah manusia tapi hatinya masih belum berhasil untuk menyimpan kepedihan di masa lalunya. Terkadang ia akan terbangun di tengah malam dan bermimpi mengenai hari dimana ia harus berlari ditengah pengejaran manusia yang memburu-nya, seakan suatu hari nanti tabir rahasianya akan kembali terbuka, mengorek luka lama yang telah lama ia pendam menjadi déjà vu yang menghantuinya selama ini.

"Kau ini… Kalau ada masalah cerita dong… Kita kan sudah lama kenal…"

"Iya Armin…"

Ia tak menatap mata secerah permata biru yang sedang menatapnya dengan khawatir, mata hijaunya menatap rumput hijau di kakinya. Menyaksikan matahari yang menyinari rumput yang ia pijak, ia memang merasa kasihan pada Armin yang peduli padanya. Sayangnya saat ia ingin membuka mulutnya, bibirnya terasa seperti terasa berat. 'Eren, jangan mudah percaya pada siapapun…' Kata kata sang ibu masihlah mendengung di telinganya, diiringi dengan suara jeritan dan tangisan yang menghantuinya.

"Ayo Eren… Kita pulang sebelum para pemburu memburu kita…"

Armin segera menarik lengan Eren dan pergi melangkah meninggalkan hutan yang bermandikan cahaya. Eren menutup matanya, seakan memori nya bangkit, setiap malam ia selalu mendengar suara para tentara yang mencari para 'chanter' yang tersisa. Mereka sering berkeliling pada malam hari, untuk menemukan memusnahkan suku ini tanpa sisa, tak jarang mereka akan membunuh manusia, kawan mereka sendiri. Ia mulai berpikir, mungkin suatu hari tabirnya akan terbuka. Bola mata dengan warna hijau, menatap luasnya hutan, telinganya menangkap suara gemercik air, ia menghela nafasnya dan tersenyum kecil selagi ia berjalan dan menatap punggung manusia dengan rambut pirang yang berjalan di depannya. 'Aku rindu dengan tempat yang damai dan tenang… Kolam kecil di sana…' bisiknya dalam hati mengenang kolam kecil tempat ia dulu bertahan hidup disana selagi ia berjalan meninggalkan hutan.

"Eren?"

Mendengar namanya disebut dari bibir pemuda yang ada di hadapannya, ia segera terbangun dari lamunannya, lagi lagi ia kembali tersenyum seolah ia tak merasakan kepedihan sedikitpun. Ia menggeleng dan tersenyum ramah, seperti biasanya. Armin hanya membalasnya dengan anggukan dan kembali berjalan keluar menelusuri hutan, keluar dari dalam sunyinya hutan, kembali memasuki kota yang sudah mulai bermandikan dengan cahaya lilin yang menjadi penerangan di masanya, suara gemuruh manusia lalu lalang berjalan mengelilingi kota. Mereka tak mempedulikan sekelilingnya berjalan masuk kedalam kerumunan disana, Eren menghela nafasnya. Ia masih merasa ketakutan berjalan dalam kerumunan manusia yang telah membantai seluruh desanya, menahan pedih di hatinya, menahan air matanya, dan mulutnya yang hendak berteriak, segalanya terasa sangatlah berat baginya. Hanya kedamaian dalam kamarnya lah yang dapat membuatnya merasa damai dan tenang. Ia kembali menatap Armin yang berjalan di hadapannya, kali ini mereka tak lagi melewati jalan yang ramai, keramaian itu nampak berkurang, menunjukkan bahwa tempat tujuan mereka semakin dekat.

Sebuah rumah yang cukup besar berwarna putih dengan cat yang nampak sedikit usang, pilar pilarnya masih nampak berdiri dengan kokoh menjadi pertanda kekuatan dari rumah kuno ini. Pintunya nampak sedikit tua dan rapuh. Eren masih tetap merasa asing dengan rumahnya, walau ia sudah 3 tahun ada disana hidup bersama dengan Armin. Ia kembali menatap rumput yang sudah mulai kehilangan hijaunya, pencahayaan yang berkurang itu membuat rumput rumput nampak sangatlah hitam, ia kembali mengarahkan pandangannya pada Armin.

"Kita kembali…"

Sambut Armin membukakan pintu rumahnya, Eren tersenyum simpul mengikuti Armin memijakkan kakinya kedalam rumahnya. 'Iya… Aku kembali, tapi sangat rindu dengan rumah…' kata Eren dalam hati menahan rasa rindunya.


Hembusan angin menerpa rambut coklatnya, manik mata berwarna hijau itu menatap langit. Langit sudah tak sebiru pagi tadi, sang penguasa malam telah menunjukkan tahtanya memancarkan kegelapannya di malam hari ditemani dengan cahaya minim yang membuat suasana makin sunyi. Dari jendela kamarnya ia hanya bisa bergumam lagi, menggumamkan lagu kenangannya akan desanya.

"Where's my Dream?

Where are my Stance?

Where is heart beat?

This silence I mine"

Gumamnya pelan penuh dengan perasaan pilu dan sedih, ia tak ingin membuat Armin khawatir padanya. Eren hanya bisa mengulang lagu itu tanpa henti sambil memutar kenangan kenangan manisnya dalam memorinya. Ia tak ingin ada orang yang mendengarkan gumamannya ia menatap kamarnya dengan tatapan kosong, kerinduannya akan rumahnya membuatnya ingin meninggalkan Armin. Tapi hal bodoh seperti itu tak akan ia lakukan bukan? Yang ia butuhkan sebenarnya hanyalah ketenangan. Ia menghela nafasnya, meraih jubah coklatnya dan membawa lilinnya.

Sambil memakai jubahnya, ia berjalan menelusuri koridor rumahnya yang besar. Ia ingin pergi meninggalkan rumahnya, ingin mengenang tempat dimana dulu ia dapat menemukan ketenangannya dalam sebuah kolam jauh di dalam hutan yang mungkin sekarang sudah gelap gulita. Lagi lagi ia tersenyum simpul mengingat hari harinya disana, bersama dengan gelap dan dinginnya malam. 'Mungkin mengungjungi tempat itu sesekali tak apa kan Armin?' Pikirnya sambil melewati kamar milik Armin yang sudah nampak ditelan kegelapan pertanda bahwa sang pemilik kamar telah berangkat kedalam dunia mimpi. 'sampai jumpa besok pagi, Armin' pikirnya seraya ia berjalan keluar dari rumahnya menuju hutan.

Dalam pekatnya malam, ia hanya membawa penerangan di tangannya, menelusuri jalan jalan yang sudah sepi. Ia hanya bisa mendengar suara langkah kakinya yang berjalan perlahan menelusuri kota, ditemani dengan suara lolongan hewan malam yang memberikan suasana mencekam. Yah, mungkin hal ini tidaklah mencekam bagi dirinya yang pernah tinggal di dalam hutan, hal seperti ini menjadi hal biasa baginya. Tanpa terasa, pencahayaan sudah semakin berkurang pertanda bahwa cahaya dari pemukiman di kota semakin berkurang. Tanda bahwa sebentar lagi ia akan mendekati hutannya. Hutan yang menyimpan kenangannya.

'aku pulang…' Katanya dalam hati seraya hutan itu seakan menyambutnya dengan dedaunan dan hembusan angin yang menyambutnya bersama gelapnya malam. Hanya di tempat inilah dia bisa merasakan sedikit perasaan rumah yang bisa dia rasakan, dengan lilinnya ia memulai perjalanannya menuju tempat yang sejak siang tadi ia rindukan. Menggunakan indra pendengarannya ia mencari suara gemercik air dan berjalan menelusuri gelapnya hutan yang mungkin bagi sebagian orang, hal ini akan terlihat sangat gila dan tidak baginya.

Kunang kunang yang bertebaran, suara gemercik air, dedaunan yang berguguran dan bertaburan diatas air, menciptakan percikan kecil pada air yang tenang, terbawa arus air terjun kecil disela bebatuan yang bersembunyi di balik batan pepohonan raksasa yang mengapit sungai kecil yang melintas melalui hutan itu menuju kota. Ia mulai menutup matanya dan menghela nafasnya pelan, merentangkan kedua tangannya dan membaringkan tubuhnya di rerumputan luas yang menyerupai karpet hijau dibawah gelapnya malam. Ia merindukan perasaan ini, dimana 3 tahun lalu ia suka melakukan hal ini lalu berguling di rerumputan itu diiringi oleh sinar matahari.

Ia mengalihkan pandangan matanya, melihat tempat favoritnya, dan menemukan sesuatu yang asing. Perlahan ia mendekati benda yang berhasil ia temukan, sebilah busur dan beberapa anak panah yang berserakan, dengan heran ia melihat ke sekelilingnya. Menemukan sosok dengan surai hitam, matanya tertutup rapat, menyembunyikan bola matanya, wajahnya nampak damai, nafasnya teratur dan tampak seperti tertidur. Sayangnya kulit putihnya nampak kotor, berlumuran dengan darah di daerah kepalanya dan beberapa bagian lainnya. Wajahnya cukup tampan, membuat jantungnya berdetak dengan cepat, desiran nadinya mengalir dengan cepat dan wajahnya merona, menyampaikan perasaan lama yang sudah lama tak ia rasakan. Perasaan untuk melindungi seseorang, menerima seseorang dan menjaganya, sebuah perasaan yang bernama cinta sekarang telah bangkit dari dalam hatinya.

Eren tersenyum dengan lembut dan sedikit kasihan pada sosok yang terkulai di hadapannya, sementara hatinya merasa iba suara yang ia rindukan kembali terdengar di telinganya 'Eren, jangan mudah percaya pada siapapun…' Suaranya membuatnya kembali berpikir selagi ia mencoba membersihkan darah yang mengalir di dahi pemuda bersurai hitam yang ada di hadapannya. 'Ibu? Apakah menolong orang itu salah? Aku ingin mencoba membantu orang ini… Apa boleh? Aku rindu pada orang orang yang dulu mencintaiku… Aku ingin kembali bisa tersenyum, bukan dengan topeng kebahagiaan… Tapi biarkan kali ini aku tersenyum dengan tulus karena aku sudah berbuat baik…'

Perlahan Eren memulai untuk menghela nafasnya, merobek kain dari jubahnya dan membasahinya dengan air dari sungai kecil. Ia membersihkan noda darah pemuda bersurai hitam yang terkulai lemas di hadapannya, ia memperhatikan sosok yang terkulai dan tertidur di hadapannya. Garis wajahnya yang tegas, tubuhnya yang nampak lebih kecil darinya, tapi ia nampak kuat dan tegas. Tanpa ia sadari iris mata dengan warna kelabu itu mulai bersinar, menatapnya dengan tatapan sedikit lelah, menggerakkan jarinya perlahan. Membuatnya sedikit terkejut dan menarik tangannya yang sedari tadi membersihkan lukanya.

Iris kelabu itu bertemu dengan iris hijau yang menatapnya dengan sedikit ketakutan, bagi Eren sudah lama ia tak menatap orang dengan jarak dekat ia masih merasa sedikit aneh dan segera memalingkan matanya dari pandangan iris kelabu yang menatapnya dengan tatapan yang sedikit lelah. Berusaha membuka mata kirinya yang terasa sakit ia menahan rasa perihnya dengan sorotan matanya yang kuat, sayangnya Eren mengerti rasa sakit yang menjalar di tubuh pemuda bersurai hitam itu sedikit tampak di balik topengnya yang memasang wajah datarnya. Eren masih menahan keinginannya untuk melanjutkan tujuannya yang mulia.

"Kenapa? Apa kau takut padaku?"

Suaranya terdengar agak berat dan sedikit serak. Suara dengan baritone yang lebih berat darinya membuat tenggorokannya tercekat, bisu seakan pita suara menguncinya tertahan dan menatap dengan lekat sosok yang duduk di hadapannya. Iris matanya masih menyampaikan perasaan takutnya walau sekarang ia nampak sedikit lega, mengetahui sosok yang sedari tadi tertidur di hadapannya telah membuka matanya menandakan bahwa ia masih bernyawa.

"Tentu saja tidak…"

Jawabnya dengan suaranya yang memiliki nada yang lebih manis, yang merupakan sisa suara dari para dewa dan dewi, suara yang sudah cukup lama terbungkam dalam kesunyian dimana suara indahnya hanya diperdengarkan pada indahnya alam dan Armin. Sang pemilik surai hitam segera menyentuh mata kirinya yang terasa sakit, pandangannya seperti menghilang menyisakan separuh dari berkas cahaya yang dapat ia lihat. Eren mencoba mendekati pemuda yang ada di hadapannya, menyentuh tangan kirinya yang menutupi matanya menyampaikan sebuah senyum lembut yang terlukiskan di bibirnya.

"Biar aku mengobati matamu… Tapi berjanjilah padaku untuk tidak membukanya sampai besok pagi…"

Eren tersenyum dengan lembut menyentuh bola mata kirinya yang berwarna hijau bagai permata, ia menutup mata pemuda yang ada di hadapannya dengan kedua tangannya meneteskan sedikit air mata ia merindukan untuk melakukan hal ini lagi, sebuah hal lama yang sudah lama tidak ia lakukan. Sihir, sebuah hal yang mungkin terlihat sangat aneh di mata para manusia sebuah sihir yang mereka lakukan tidaklah semudah yang kita bayangkan, mereka harus mengorbankan sesuatu untuk bayarannya bahkan tak jarang mereka harus mengorbankan nyawanya untuk bayarannya. Kali ini ia akan mengorbankan bola mata hijaunya untuk pemuda yang sekarang terbaring di hadapannya.

'Pakailah bola mataku… Gunakanlah dengan baik wahai manusia, aku harap kau akan mengerti perasaan cinta dari para dewa yang ada di hadapanmu ini… Mungkin kita hanya akan bertemu sebentar… Tapi ingatlah, kau bisa melihatku dan mengingatku dari mata kirimu…'

Air matanya mengalir semakin deras, ketika ia memejamkan mata kirinya. Mulai sekarang ia hanya memiliki mata kanannya pemuda di hadapannya akan memiliki manik hijau seperti bola matanya dan manik berwarna kelabu 2 bola mata dengan warna yang berbeda. Dalam tangisnya ia tersenyum dan membalut mata kiri pemuda yang sekaragn ada di hadapannya, tersenyum dengan lembut dan menyentuh mata kirinya yang sekarang telah kosong. Perlahan ia ingin pergi dan meninggalkannya, tetapi suara dengan baritone yang berat itu kembali memanggilnya membangunkannya dari kesakitannya.

"Hei… Siapa namamu? Kau telah menolongku… Paling tidak, sebutkanlah namamu…"

"Namaku Eren…"

Jawabnya dengan lirih, ia mengigit bibirnya pelan menyaksikan pemuda yang ada di hadapannya, ia masihlah terduduk dan menyentuh mata kirinya. Eren memanglah sengaja menutup matanya agar ia tidak mengetahui kalau Eren telah memberikan matanya dan agar ia sendiri dapat menahan dirinya agar tak menangis menyaksikan pemuda yang ia temui ini dengan mata kirinya. Ia mulai membuka mulutnya dan merangkai kata untuk mengucapkan salam perpisahan mereka.

"Eh… Ka…"

"Rivaille… Panggil aku Rivaille…"

"Baiklah… Rivaille… Sampai jumpa besok…"

"Hmmm… Besok temui aku disini…"

Ia menjawabnya hanya dengan anggukan sementara ia segera mengerahkan tenaganya untuk keluar dari gelapnya hutan. Dengan cayaha dari sebuah lilin yang menemaninya sedari tadi. Air matanya masih mengalir di pipinya, ia merindukan perasaan dimana ia melakukan sesuatu yang menyenangkannya. Menemukan seberkas kecil rasa cintanya pada pemuda yang ia temui sesaat yang lalu. 'Cukup dengan sebuah pertemuan, kau akan mencintai seseorang. Cukup dengan sekali menatap kau akan selalu ada di benakku…' Sebuah puisi dan sajak kuno itu terlintas di pikirannya menemaninya berjalan dalam gelapnya hutan dan kembali ke rumahnya. Ya, sekarang ia akan kembali, kembali pada rumahnya. Kembali berjumpa dengan Armin dan menjalani kembali kehidupannya sebagai manusia kembali menutup topengnya sebagai seorang dewa.


"I call out these prayers to the sky, heavy with thought, see your face

I carry these memories inside, thoughts of a soul colored by love

See me grow wings and fly high, passions will die down below

I burn in a basin of fire, watchers look on as they dance in their merciless sky

Watching me, watching you"

Sebuah lagu kembali terurai dari bibirnya, cahaya matahari telah memberikan tanda bahwa ia telah siap untuk kembali menjalankan tugasnya untuk menerangi dunia. Angin kembali tertiup ditemani suara burung yang berkicau menyambut tibanya sang matahari yang akan membimbing para manusia untuk kembali memulai harinya. Matanya menatap jendela kamarnya yang besar ia terduduk di ranjangnya, menyaksikan datangnya cahaya yang berhasil menembus jendela kamarnya dan kelambu di ranjangnya merasakan hangatnya pagi. Menyanyikan lagunya dengan pelan, masih berharap tak ada yang mendengarkannya. Pikirannya kembali melayang dan ia kembali menyentuh mata kirinya yang sekarang telah kehilangan kekuatannya, memeluk dirinya sendiri dalam lembutnya jubahnya yang sejak semalam belum ia tanggalkan.

"Rivaille…"

Nama itu keluar dari bibirnya membayangkan sosok yang masih ia ingat dengan kuat. Sorot mata kelabunya yang tajam namun lembut dan menghanyutkan, wajahnya yang berlumuran darah namun ia tak nampak menyeramkan. Sehari saja, ia merindukan sosok itu. Perasaan yang aneh bukan? Perasaan aneh yang sudah lama ia rindukan, sebuah perasaan untuk mencintai seseorang. Dalam lamunannya ia mendengar namanya kembali disebud, mungkin ia berharap nama itu akan terucap dari bibir Rivaille namun sayangnya bukan dari bibir Rivaille tentunya, tapi sosok sang pemilik rumah.

"EREN? Kau sudah bangun? Ayo kita sarapan!"

"Ahhh… Baiklah Armin… Aku akan segera keluar…."

Eren segera beranjak turun dari ranjangnya, berjalan menuju sebuah kaca yang besar yang tergantung tepat di depan ranjangnya. Ia menatap sosok bayangannya dan menangkap bayangan barunya, sebuah bayangan yang sedikit berbeda dari biasanya. Mata kirinya sekarang telah tiada, tapi seseuatu yang aneh muncul disana, sesuatu yang kecil, menyerupai bunga. Bunga yang masih kecil, kelopaknya mungkin hanya sebesar 1 ruas jari. Ia menyentuh bunga kecil itu dan menangis menatap bayangannya selagi ia berlutut menatap kaca yang ada di hadapannya.

'Jagalah dengan baik, Rivaille'

Ia meraih sebuah perban yang cukup panjang dan mulai untuk menutup matanya yang ditumbuhi sebuah bunga. Eren merasa sedikit bingung dan ia memandang bayangannya sendiri selagi ia menutup lukanya sendiri, ia tak tau akan berkata apa kepada Armin. Ia akan merasa bersalah jikalau ia harus membohongi temannya yang telah membantunya selama 3 tahun ini, tapi ia membulatkan tekadnya demi identitasnya. Ia masih belum bisa membuka sayapnya dan menunjukkannya pada Armin, walau setelah 3 tahun mereka bersama, ia masih merasa takut untuk dikhianati.

Begitu ia selesai menutup matanya dan menanggalkan jubah yang ia kenakan semalam, ia segera memakai kemejanya yang barunya, mencoba untuk memasang senyumnya lagi untuk menemui Armin yang sudah menunggunya di ruang makan. Dengan langkah yang pasti ia pergi meninggalkan tempat amannya menuju ruangan makan berharap ia akan menemui hal yang baru.

Ruangan luas dengan meja makan yang panjang serta interior kayu dan lampu besar yang menggantung di tengah menyambutnya seperti biasanya, ditemani dengan aroma makanan yang menggoda perutnya bahkan bola matanya untuk setidaknya mengalihkan pandangannya pada meja makan. Ia kembali menyentuh mata kirinya mencoba untuk membiasakan diri dengan matanya yang baru, hanya dengan separuh cahaya yang bisa dia dapatkan. Suara langkah kaki membuatnya mengalihkan bola matanya untuk menemui sosok dengan bola mata biru yang menyampaikan tatapan lembut yang menyapanya dengan bibir yang tersenyum manis, seperti setiap pagi.

"Selamat Pagi Eren… Bagaimana dengan tidurmu semalam? Kau tidur dengan nyenyak?"

Armin meletakkan makanan yang ia masak dan mengatur masakannya diatas meja, Pancake dengan madu, darjeling tea yang masih hangat terlihat dari uap yang mengepul keluar dari ujung teko, beberapa roti yang berbaris dengan rapi diatas piring diikuti dengan barisan selai yang akan menemani roti tersebud. Eren tersenyum kecil menatap makanan yang sudah berbari di hadapannya, dan mengalihkan pandangannya untuk bertemu dengan mata biru milik Armin

"Selamat Pagi Armin… Tentu saja nyenyak… Bagaimana denganmu hari ini?"

"Hmmm… Hari ini aku ingin pergi ke kota, aku ingin bertemu dengan Jean… Kau mau ikut Eren?"

Eren menggelengkan kepalanya dan menatap masakan yang sudah tertata dengan rapi di hadapannya tapi berbeda dengan Armin yang sekarang menatapnya dengan sedikit bingung, menyipitkan sedikit matanya memfokuskan manik birunya pada sesuatu yang nampak janggal di kepala Eren. Sebuah perban yang mengikat bagian mata Eren membuatnya merasa penasaran pada apa yang dilakukan oleh pemuda yang sekarang mulai mengambil makanan yang ia sajikan diatas meja.

"Eren? Kau dapat luka itu dari mana?"

Eren terhenti melakukan kegiatannya, mengalihkan pandangannya dan menemukan manik dengan warna biru yang menatapnya dengan sedikit khawatir. Armin memanglah baik, tapi Eren masih belum bisa membuka mulutnya untuk bercerita mengenai pengorbanan matanya untuk Rivaille bukan? Atau juga memberi tahukan mengenai 'chanter' ia masih merasa was was dengan Armin, rasa ketakutan masihlah mengikuti hari harinya. Hari hari dimana ia berjalan di tengah kerumunan mayat yang mengotori baju putihnya dengan bercak darah di pakaiannya, berlari meninggalkan kepedihannya. Pikirannya yang melayang membuat Armin semakin cemas padanya, Armin begitu menyayanginya seperti keluarga sayangnya terkadang ia menutup dirinya dari perasaan yang diberikan sahabatnya.

"Eren? Kau tak apa kah? Luka itu tak membuatmu sakit kan? Apa kau ingin kembali ke kamar dan beristirahat?"

Eren kembali menggelengkan kepalanya dan membuat Armin semakin khawatir padanya. Ia kembali tersenyum dengan sedikit ceria seakan masalah tak mendatanginya, dan mulai menyantap roti yang telah ia beri selai coklat dengan lahap dan tersenyum dengan manis sementara bibirnya sedikit berlumuran selai coklat. Armin tersenyum melihat temannya yang mulai sedikit menyampaikan wajahnya yang mulai bersinar, pada nyatanya ia masih khawatir padanya. Eren kembali membuka mulutnya yang berlumuran selai coklat dan membalas pertanyaan yang sedari tadi sedikit menggangunya

"Hmmm… Aku tak apa kok Armin… Kemarin mataku sakit dan ada bekas lukanya, jadi aku perban saja… Lagipula aku sudah baikan kok…"

"Baguslah kalau begitu Eren… Oh iya… Kau akan pergi kemana hari ini?"

"Entahlah… Mungkin aku akan istirahat di rumah, sampai mungkin nanti mataku sembuh…"

Eren memejamkan matanya sebentar menyentuh mata kirinya dan tersenyum dengan manis. 'Tunggu aku Rivaille… Aku akan menemuimu setelah ini'.


Langkahnya menderu dibawah sinar matahari berbeda dengan keadaan malam yang mencekam, rumput hijau yang bermandikan cahaya seakan memantulkan cahaya matahari yang berhasil menembus kegelapan hutan yang semalam nampak menakutkan. Telinganya mencoba mencari keheningan suara gemercik air, dalam balutan jubah coklat yang semalam ia kenakan ia mulai berjalan menelusuri jalan kecil yang menuntunnya pada tempat yang ia cari. Sosok yang sejak malam tadi ia rindukan terduduk disana, terduduk diatas sebongkah batu besar dan menatap bayangannya pada air.

Rivaille menatap dirinya yang baru, manik matanya hijau dan kelabu. Ia masih merasa terkejut dengan mata baru yang ia peroleh dari Eren, sayangnya ia masih belum menyadarinya. Jauh dibelakangnya Eren telah berdiri dan menyentuh matanya dan tersenyum kecil. 'Semoga kau senang dengan pemberianku Rivaille…'. Eren mulai berjalan, mempersempit jarak diantara mereka dan mencoba untuk menyentu bahu Rivaille yang terduduk dan menatap bayangan transparan yang dipantulkan aliran Air yang mengalir dengan tenang di sisi kolam, ia bisa melihat bayangan seseorang muncul di belakangnya. Ia segera mengalihkan pandangan matanya menemui sosok yang sedikit asing di hadapannya namun Eren tersenyum lembut dan membuat pemuda dengan surai hitam ini sedikit heran padanya.

"Rivaille? Bagaimana matamu? Sudah sedikit baikan?"

Suara merdu dari bibir itu membangkitkan ingatan Rivaille pada kejadian semalam. Suara yang membantunya untuk menutupi luka di matanya, selagi keadaannya melemah. Rivaille segera menatap dengan dekat sosok yang ada di hadapannya dan memperhatikan pemuda dengan surai coklat yang jauh lebih tinggi darinya, setidaknya ia ingin mengucapkan kata terima kasih karena telah mengobati matanya. Mungkin ia belum sadar kalau mata kirinya adalah mata pemuda yang sekarang berdiri tepat di hadapannya, tetapi ia segera menepis perasaan asing yang ada di dalam hatinya. Ia segera membuka bibirnya dan merangkai kata katanya.

"Eren? Terima kasih telah menolongku semalam…"

"Iya tak masalah…"

Jawabnya dengan perlahan, berusaha menghindari tatapan mata Rivaille, ia merasa sedikit takut kalau Rivaille akan menemukan dari mana asal manik hijau yang sekarang tertanam di dalam matanya itu berasal dari mata milik pemuda yang sekarang ada di hadapannya. Ketakutan terbesarnya adalah ketika Rivaille menyadari bahwa dirinya bukan manusia, ia tak ingin orang ia cintai mengerti mengenai rahasia terbesarnya. Sesungguhnya sekarang ia berharap ia tak pernah terlahir menjadi seorang 'chanter' ia hanya ingin hidup menjadi seorang manusia biasa tanpa dihantui perasaan ketakutan seperti sekarang. Walau ia memiliki suara seperti seorang dewi yang lembut dan dapat mendamaikan dunia ini, kecepatan yang diatas rata rata, kecantikan bagai seorang dewi, sayap indah, kekuatan sihir yang hebat dan segala kelebihan lainnya, tapi ia merasa bahwa ia tak berarti jikalau ia harus terus hidup dalam kebohongan akan siapa dirinya.

"Eren… Kemarilah dan lihatlah kemari…"

Suara baritone Rivaille menggema di telinganya, memanggilnya dengan lembut membuat darah di jantungnya terpompa dengan cepat dan berdesir dengan cepat, ia segera memalingkan wajahnya. Ia masih menolak kontak mata dengan Rivaille bukan karena ia membenci Rivaille atau tidak menyukainya tapi justru sebaliknya, ia menyukainya sayangnya yang sebenarnya ia takutkan adalah jika Rivaille menyadari siapa pemilik bola mata dengan iris emerald yang tertanam di dalam matanya.

"Kau kenapa Eren?"

"Ah, tidak apa…"

"Mengapa kau menghindariku?"

Seolah mulutnya terkunci dengan rapat, terbungkam dan terdiam untuk mencoba merangkai kata kata yang akan ia keluarkan dari bibirnya. Sayangnya taka da yang bia keluar dari bibirnya, yang bisa ia lakukan masihlah membuang tatapan matanya dan mengalihkan pandangannya dari Rivaille dan berpikir untuk menemukan sebuah alasan yang tepat untuk melarikan diri dari tatapan mata dari sang pemuda bersurai hitam. Sayangnya ia terlambat, Rivaille menarik lengannya dan membuatnya terkejut dan menatap pemuda yang sudah sedari tadi menunggunya untuk bereaksi. Rivaille terasa serperti tercekat, menemukan iris hijau, sehijau matanya yang tertanam di sebelah kiri matanya. Ia kehabisan kata kata untuk mulai bicara padanya, dan memperhatikan mata kiri Eren yang udah terbungkus dengan perban.

"Kau… Jangan bilang mata kirimu?"

Terdiam dan hening diliputi rasa ketakutan yang kembali menyelimuti dirinya sendiri, berusaha untuk berlari dari kenyataan dan mencari sebuah alasan yang tepat untuk berbohong. Tapi berbohong pada orang yang ia cintai? Ia merasa ragu, nyaris seluruh kehidupannya dipenuhi dengan kebohongan demi keselamatnnya sendiri. Eren segera menghela nafas dan membuka bibirnya berusaha untuk memperdengarkan suaranya, sayangnya

"Coba kau buka perban di mata kirimu…"

"Tidak mau…"

"Bukalah… Apa kau percaya padaku? Sudahlah, aku akan menolongmu…"

Perlahan ia memejamkan matanya, mempersiapkan hatinya dan perasaannya yang sudah semakin kacau. Berusaha untuk mempercayai pemuda di hadapannya, meraih mata kirinya yang sudah tertutup dengan perban dan melepasnya selagi ia berharap Rivaille akan menjadi orang yang bisa ia percaya. Begitu belitan perban semakin menipis Eren segera berusaha menutup mata kirinya, berharap Rivaille tak akan melihat bunga yang tumbuh di matanya. Hingga suara dengan baritone yang tegas itu kembali terdengar.

"Hei… Kau percaya padaku kan?"

Ujarnya lirih meraih tangan Eren menyingkirkannya dari mata kirinya, dan menemukan sebuah kejanggalan yang cukup untuk membuatnya melebarkan pandangan matanya dan jantung yang seakan berhenti sejenak. 'Tunggu… Apa itu? Bunga? Apa anak ini memberikan bola matanya padaku?'Dengan tatapan yang datar dan tenang ia kembali membuka mulutnya, selagi ia menatap iris hijau yang ada di hadapannya sudah tertutup rapat karena rasa ketakutan yang menjalar ke tubuhnya dan membuatnya bergetar karena tak kuat menahan perasannya.

"Kau? Seorang Chanter?"

TBC

Author note:

Hai Semuanya~ #melambai ga jelas Aku ini nulis apaan to ya… Kok aneh bin geje kayak gini… Tata bahasa author jadi kacau berantakan, udah lamaaa banget… udah lama nggak nulis pake bahasa yang sastra gini (Dulu authornya ini anak sastra sih…) Jadi maafkan kisah nista ini yaaa~

Cerita ini berkisah awal dari lahirnya bunga Lotus, tapi banyak hal yang sudah aku modifikasi dari cerita ini, ada beberapa kisah tentang bunga Lotus sendiri salah satunya kalau bunga ini lahir dari jalan yang sering dilalui oleh Buddha lalu ditumbuhi bunga lotus. Tapi di ceritaku ini aku ngambil cerita dari game Drakengard 3, yang ceritanya tokoh utamanya itu buta dan dari matanya tumbuh bunga, dan sisanya banyak cerita yang aku gabungkan dari cerita game ini sendiri sama cerita legenda aslinya sih… Jadi maafkan aku kalo cerita ini nampak sangat geje dan nggak jelas ya… Ah Iya... Cerita ini maunya aku bikin 2 shoot sih~ semoga saja ceritaku nggak membosankan yaaa... Selain itu buat pemilihan bahasa, ini pertama kalianya aku pake diksi yang rada sastra gini. Karena biasanya aku pake bahasa 'lo – gue - end' plus ini panjang dan geje banget #mojok. Soalnya belakangan ini authornya lagi kangen pake bahasa sastra sih… Terus buat lagu lagu yang aku pake di cerita ini aku ngambil dari game sih #malu 'This Silent is Mine' sama 'Growing Wings' itu soundtrack-nya Drakengard 3 buat yang mau dengerin coba cari deh, author ga bisa berhenti dengerin lagu ini soalnya. Terus juga ide ini dateng dari lagu 'The Vector to The Heaven', 'Chaos Legion: Drama Digest' sama lagu 'Missing You' 3 lagu ini cukup sedih sih… Ini buat ngedukung biar dapet suasana sedihnya juga sih #dilempar. Okeh~ Sekian dulu ajah~

Salam Cintah dari Author yang koplak:

Ayano Sayaka OwO