Disclaimer: I do not own Durarara! and all its series. It all belongs to Ryohgo Narita & Satorigi Akiyo, Sweet Sacrifice is belongs to Evanescence
Warning(s): Semi-AU, Semi-drabble, May Sho-Ai contents, complicated plot and story line, read carefully! You've been warned!
Twisted, Involute
by: Kurofer_Aldred
Song lyrics; Sweet Sacrifice (c) Evanescence
.
.
"Ha-ah… ha-ah"
"Ahaha! Sesuatu yang jarang melihatmu kehabisan napas seperti ini, Shi-zu-chan!~"
"Berisik kau sialan! Mati saja sana!"
Shizuo pun segera melempar tong sampah terdekat yang dengan mudah dihindari Izaya hanya dengan melangkah ke samping.
"Hmph, kau tidak pernah belajar dari kesalahan yah?"
Izaya segera saja membalasnya dengan melempar pisau kantung miliknya yang berhasil menggores pinggir pakaian Shizuo. Mereka kembali berlarian saling mengejar dengan niat 'membunuh' dan perasaan yang mereka sebut 'benci' lebih besar daripada sebelumnya.
'Sebenarnya apa yang kulakukan ini?'
Dan tak lama kemudian hal itu terjadi.
It's true that we're all little insane
But it's so clear,
Now that I'm unchained
Siang hari yang cukup terik seperti biasa. Penduduk kota Ikebukuro menjalani kegiatan sehari-hari mereka seperti biasanya. Lihat saja Simon sang penjajak selebaran Russian Sushi yang masih dengan kokohnya berdiri di tengah kota padat manusia ini, tiga gadis centil yang masih saja berjalan dengan pedenya dengan riasan ketebalan mereka, dan geng-geng 'warna' lainnya yang masih saja beroperasi di jaman seperti ini
'Yah, manusiaku memang paling unik!~'
Pemuda berjaket hitam berbulu itu berjalan dengan santainya di pinggir trotoar. Sesekali ia bersiul sambil mengamati manusia-manusia tercintanya dengan wajah sumringah dan bahagia. Mungkin tingkahnya akan sangat terlihat seperti penderita kelainan mental kalau saja para penduduk di kota itu lebih peduli untuk memperhatikan sekitarnya.
'Ah, hari ini tidak ada klien yang menggangguku jadi kurasa aku akan berkeliling kota ini saja.'
Hari ini sang informan tidak ada janji dengan siapapun dan kebetulan hari ini dan malam kemarin tidak ada yang membuat janji dengannya. Maka ia memutuskan untuk menghibur dirinya dengan bertamasya ke kota.
"Hiks… hiks…"
Sang informan sontak saja menoleh ke asal suara. Ia mencari-cari sumber suara itu dan akhirnya menemukan seseorang dibalik truk box putih yang cukup besar.
"Ne?~ Apa yang dilakukan seoarang anak kecil di sini sendirian?"
Anak kecil pembuat suara itu yang saat itu tengah duduk dengan memeluk lututnya menolehkan kepalanya ke atas―ke arah Izaya. Saat itu Izaya dapat melihat mata anak itu sembab bekas air mata dan sedikit goresan serta lebam kecil di wajah anak itu.
Anak berambut coklat itu hanya diam sambil masih sedikit terisak. Ia berusaha menahan tangisnya di depan orang lain sepertinya.
"Hee~ anak sekecil dirimu sudah menjadi korban pembully-an, ne? Manusia memang sungguh menarik." ucap Izaya setelah melihat keadaan anak itu yang memang cukup berantakan sambil berjongkok agar dirinya sejajar dengan anak kecil yang kelihatan rapuh itu.
"Saa, kenapa kau tidak pulang, hm?~" tanya Izaya sambil mengelus kepala anak itu pelan.
Anak itu diam sesaat sambil mengamati Izaya dengan waspada. Matanya sudah bersih dari air mata tetapi kesedihannya belum hilang sepenuhnya.
"..."
"Jadi, kau masih belum mau bicara, ya? Ahaha, aku tidak akan menanyaimu macam-macam kalau begitu. Mau ikut denganku?" ajak Izaya dengan senyumnya yang biasa sambil kembali berdiri dan mengulurkan tangannya.
Anak itu sempat ragu dengan tawaran itu. Ia hanya bolak-balik menatap tangan dan wajah Izaya cukup lama sebelum kemudian meraih tangan itu. Ia sempat berjengit memejamkan mata sebelum kembali membuka mata dan melihat seseorang menggenggam tangannya tanpa ragu dan santai.
Hangat. Mereka berdua sama-sama merasa hangat dan damai seketika.
"Hem, jadi begini rasanya menjadi kakak, eh? Atau ayah? Hei Nak, berapa umurmu?"
"8." jawab anak itu singkat dengan wajah tertunduk sambil terus berjalan di samping Izaya.
"14 tahun kalau begitu. 14 tahun lagi kau akan menjadi orang dewasa seumurku dan mungkin memiliki pekerjaan yang hebat dan kehidupan yang bahagia."
"Eh?" Anak berambut cokelat itu menatap Izaya dengan tatapan bingung dan terkejut. Tak lama kemudian tatapan tersebut kembali menjadi sendu dan raut wajahnya kembali murung, seakan berkata hal itu tak akan pernah terjadi.
"Hee, nande? Anata wa suki janai ka?" tanya Izaya lagi begitu menyadari perubahan reaksi anak kecil di sampingnya ini.
Anak itu menggeleng pelan sambil terus memegang tangan Izaya.
"…Takut…"
"He? Nani? Apa yang kau takutkan? Menjadi dewasa itu menyenangkan!~ Kau bisa mengamati manusia-manusia di sekitarmu sesuka hatimu dan melihat tindakan-tindakan unik mereka!~"
Alis coklat anak itu naik sebelah ketika selesai mendengar ucapan aneh Izaya. Ia tidak begitu mempedulikannya dan terus saja berjalan dalam diam. Murung. Tidak ingin bercerita kepada siapapun tetapi sesak dan sedih tiap kali memikirkan masalahnya.
"Haha, tetapi memang masa kecillah yang paling bahagia. Nikmatilah masa mudamu!~ Yah, aku juga masih termasuk muda sih, tetapi masa kanak-kanak adalah masa bermain yang paling menyenangkan. Memang, tindakan kita masih sering dibatasi oleh banyak hal merepotkan tetapi manusia lebih mempercayai dan tidak mempedulikan anak kecil tak dikenal yang berada di sekitar mereka.~"
Izaya terus saja berbicara mengenai banyak hal secara acak dengan nada riang biasa. Anak kecil di sampingnya juga hanya memberi respon singkat seperti mengangguk, menggeleng, dan berkata 'ya' atau 'tidak'. Izaya hampir terlihat seperti sedang bermonolog kalau saja orang-orang tidak melihat bahwa ia menggandeng anak kecil yang lebih terlihat seperti adiknya.
Hari itu mereka bertamasya keliling kota hingga sore. Mereka sekarang berakhir di taman kota yang cukup sepi. Sang informan serba hitam dan anak kecil berambut cokelat itu duduk di bangku taman sambil memegang es krim cone masing-masing.
"Hmm, aku heran mengapa hari ini begitu damai! Yah, tapi baguslah monster itu tidak ada!~" ujar Izaya santai sambil menjilat lelehan es krim di cone-nya.
"?" Anak itu memberikan tatapan bingung yang dapat dengan mudah dimengerti Izaya.
"Yah, kau tahu orang yang selalu berpakaian ala bartender? Hati-hati saja kalau bertemu dengannya!~" ucap Izaya lagi santai sambil terus memberikan doktrin anehnya kepada anak kecil innocent itu.
Anak itu hanya mengangguk pelan sambil melahap es krimnya. Sebenarnya ia tidak terlalu mengerti tetapi seperti yang sebelum-sebelumnya, ia tak terlalu memikirkan kata-kata aneh Izaya. Anak yang cukup aneh, memang.
"Jadi? Dimana rumahmu, eh? Biar aku antar ke orangtuamu yang saat ini pasti sedang panik mendapati putra mereka tak ada. Hehehe, aku jadi ingin melihat wajah terkejut mereka begitu kau pulang nanti!~"
Anak itu hanya terdiam kemudian menatap Izaya sambil menggelengkan kepalanya. Izaya yang melihat reaksi anak itu kini berbalik memberikan ekspresi tanda tanya dan anak itu mengerti. Anak itu kemudian mendesah singkat dan kemudian membuka mulutnya, bersiap menjawab pertanyaan tak terucap Izaya.
"…Aku hanya tinggal bersama saudara laki-lakiku. Ia mungkin baru pulang sekolah saat ini. Terima kasih Kuro-san sudah mau menemaniku seharian ini…"
Akhirnya Izaya mendengar anak di sampingnya itu berbicara cukup panjang dan anak itu menyebutnya Kuro karena dirinya berbusana serba hitam. Ia hanya tersenyum sambil terus menjilati es krimnya dan menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut anak itu.
"…Aku takut sendirian. Tapi, orang-orang malah semakin menjauhiku dan aku marah. Aku tidak mau mereka pergi dan takut sendirian lagi. Hanya saudara laki-lakiku yang selalu menemaniku main, tetapi saat dia pergi, lagi-lagi aku sendirian dan aku takut dan marah terhadap orang-orang yang menjauhiku hanya karena aku anak yatim dan…"
Anak itu sedikit tercekat dan ragu saat ingin mengucapkan lanjutan kalimatnya. Lebih tepatnya ia tidak mau mengucapkannya. Ia takut. Takut mungkin sang pemuda pecinta manusia di sampingnya itu akan pergi juga meninggalkan dirinya sendirian.
Izaya hanya diam tertegun sejenak mendengar semua kalimat yang keluar dari anak sekecil itu. Ia sedikit teringat akan versi kecil dirinya yang kala itu masih berumur 5 tahun dan anak-anak disekelilingnya menjauhinya sebab hobi aneh Izaya yang sering tersenyum aneh serta bermulut licin hingga anak-anak seusianya kurang menyukainya. Kendati demikian, hal itulah yang membuat Izaya semakin tertarik dengan manusia yang memiliki karakter berbeda-beda layaknya malaikat dan iblis. Izaya menyadari kekurangannya yang saat itu dijauhi manusianya dan berusaha mengubah sedikit sifatnya hingga menjadi seperti sekarang.
"Hm, aku tidak keberatan jika kau masih tidak mau bicara. Tapi selalu ingat ini, percayalah kepada dirimu sendiri. Percaya bahwa kau benar dan tidak salah. Yang kau butuhkan hanya percaya diri dan nanti kau akan melihat reaksi yang tak terduga dari orang-orang disekitarmu!~"
Anak itu terdiam. Izaya juga ikut terdiam. Mungkin sang informan sedikit terkejut akan ucapannya sendiri yang terdengar seperti ucapan bijak. Sungguh karena ia bukanlah orang yang suka memberi kata-kata bijak dan penghibur bagi manusia lainnya. Mungkin sang informan bisa berkata demikian karena ia pernah merasakan apa yang anak kecil di sampingnya ini rasakan. Mungkin karena itu ia bisa berbicara bebas dan santai di depan anak ini.
"…Terima kasih banyak Kuro-san sudah mau menemaniku selama ini. Aku senang… Dan kuharap Kuro-san tidak meninggalkanku karena keanehanku…" ucap anak itu pelan sambil sedikit menunduk dan melihat tangannya sendiri.
"Ne? Menurutku kau anak kecil yang keren kok!~ Kau mau saja berjalan dengan orang dewasa mencurigakan tak dikenal sepertiku. Biasanya anak kecil malah akan semakin takut, eh?~"
"Oh. Jika Kuro-san berbuat macam-macam terhadapku pasti Kuro-san sudah tidak bernapas di sini sekarang… Inilah yang membuatku dijauhi…" ujar anak itu lirih sambil menatap Izaya dengan sedikit ragu.
"Maksudmu?"
Anak kecil itu kemudian berdiri dari bangku taman dan memegang salah satu tiang lampu taman. Ekor mata Izaya hanya mengikuti anak itu dengan penasaran sampai iris kemerahannya membelalak tak percaya. Anak kecil itu baru saja meremas tiang besi lampu taman itu seperti meremas sedotan. Kemudian anak itu kembali meluruskan tiang itu agar tidak bengkok walaupun tiang itu tidak semulus yang sebelumnya.
Anak itu kemudian berjengit memejamkan mata. Takut kalau sang informan akan berlari pergi meninggalkannya atau malah mem-bullynya seperti orang-orang lainnya. Ia sudah bersiap menerima pukulan atau sesuatu memukul dirinya dan dirasakannya air mata mulai siap membanjiri kedua matanya ketika ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya.
Anak itu membuka matanya perlahan dan melihat sosok Izaya sedang berjongkok di depannya seperti pertama kali mereka bertemu. Pria itu tersenyum seperti biasa. Namun, kali ini sedikit berbeda dengan yang sebelumnya.
"Tak kusangka Shizu-chan mempunyai anak sebesar ini meninggalkannya sendirian. Apa monster itu tidak mau mengakuimu, eh? Kau tidaklah seaneh yang orang-orang sangka, kok!~" ucap Izaya sedikit bergetar. Entah karena apa, tetapi perkataan dan reaksi Izaya cukup membuat anak itu bernapas lega dan tersenyum hangat.
"Hmph… Terima kasih banyak, Kuro-san!~" Anak itu memekik senang tertahan sambil memeluk Izaya yang tengah berjongkok di depannya. Iris kemerahan Izaya sempat membola tentunya, namun sorot matanya berganti menjadi lembut, hangat. Izaya pun memeluk balik anak itu dan mengelus kepalanya perlahan.
"Boleh aku tau siapa nama Kuro-san?" ucap anak itu masih sambil memeluk Izaya.
"Kau boleh memanggilku Izaya!~ Kau sendiri pasti setidaknya punya nama, 'kan?" tanya Izaya balik sebab ia pikir sebenci-bencinya Shizuo dengan anaknya pasti diberi nama juga. Entah mengapa saat memikirkan itu ia merasa sesak hingga air matanya sendiri ingin keluar.
"Aku Shizuo. Shizuo Heiwajima."
Saat itu juga jantung sang informan seperti berhenti sesaat. Ia sontak melepas pelukannya dan kembali melihat wajah anak itu dengan horor dan tak percaya.
Anak itu pun sama syoknya dengan Izaya saat Izaya tiba-tiba menjauhkan diri dan melihatnya dengan tatapan aneh. Ia takut kalau Izaya akan pergi meninggalkannya juga seperti orang-orang lainnya.
Sementara bagi Izaya, ia mulai merasa pandangannya memudar. Ia memegang kedua pundak anak itu dengan tubuh bergetar.
"Hmph! Ternyata aku sedang bermimpi, eh?" gumam Izaya sambil berusaha menatap lurus wajah panik berurai air mata anak berambut coklat di hadapannya.
Fear is only in our minds, taking over all the time.
Fear is only in our mind, but it's taking over all the time.
You poor sweet innocent thing, dry your eyes and testify
You know you live to break me. Don't deny.
Sweet sacrifice.
つづく
A/N: Another Evanescence songfic! Does anyone know this awesome band? xD Maaf pendek, dan mungkin cuma berakhir 2-3 chapters. Judul dadakan dan tak bermakna -_-. Saya lagi berusaha ngilanging penyakit WB aka Writer's Block saya ._.
Saa, reviews are most appreciated!
Salam, Kurofer!
