Disclaimer : I don't own Naruto
Warning : OOC, fantasi, imaji.
LILAC
.
A link between Ink and Flower
.
Kisah tentang pelukis dan sebuah lukisan hasil karyanya. Sebenarnya apa... yang paling diinginkan Sai, sebagai seorang pelukis?
"Apakah kau Sai? Yang asli?"
Seorang gadis asing tiba-tiba saja bertanya demikian. Gadis itu kini sedang duduk berlutut di atas kasur milik Sai. Sepasang mata miliknya mengamati sang pemuda dengan penuh takjub.
Kaget, Sai meringsut mundur dan segera bangkit dari kasurnya. Ia masih syok karena tiba-tiba menemukan seorang gadis yang tidak dikenalnya telah terbangun bersamanya di pagi itu.
"Siapa kau?" tanya Sai waspada, semakin melebarkan jarak di antara keduanya.
Gadis berambut panjang di depannya malah tersenyum. "Aku sangat ingin bertemu denganmu, Sai."
Cantik sekali, gadis itu. Meski dalam keremangan ruangan, Sai dapat melihatnya dengan jelas, fisik sempurna milik sang gadis. Gadis asing yang tidak diketahui dari mana datangnya ini, namun entah mengapa Sai merasa sangat familiar dengan aura gadis itu.
"Bodoh. Aku tidak mengenalmu, nona," tepis Sai datar.
Padahal sebagian dirinya bergejolak mendapati kenyataan bahwa gadis cantik di depannya itu telah tidur disampingnya sepanjang malam. Bahkan, Sai masih dapat merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, kini sedang menyelimuti dirinya.
"Tidak mungkin..." Sang gadis merengut, merasa terluka. "Aku Ino, perwujudan dari karakter yang kau ciptakan lewat lukisanmu, Lilac. Kau seharusnya... mengenaliku."
Manik hitam Sai melebar. Bagaimana gadis itu bisa tahu mengenai sebuah coretan gambar, karya yang tidak pernah ia publikasikan? Sudah pasti gadis tersebut adalah serorang stalker profesional, pikir pemuda berambut raven itu kelewat negatif.
"Jangan bercanda. Kau dibantu siapa sampai bisa membututiku sejauh ini?" tanya Sai, suaranya sinis kentara menghina.
"Huh?" Gadis yang menyebut dirinya Ino itu menekuk alisnya dengan bingung sambil menelengkan kepala.
Sejenak terdiam, tak disangka gadis itu mendadak menuruni kasur dan berlari menjauhi tempat Sai. Sontak saja Sai bersiap, dipikirnya si gadis akan melakukan aksi anarkis yang biasa dilakukan seorang fans maniak di televisi.
Membawa pisau dan melemparkannya asal ke arah sang pemuda, misalnya. Namun alih-alih, yang dilihat Sai sekarang adalah Ino yang sedang berjalan mendekati jendela besar kamar itu, dan segera meraih gordennya.
"Aku tidak membuntutimu," ucap gadis itu. Ditariknya gorden tersebut, membiarkan sinar mentari memasuki ruangan dan membuat ruangan temaram tersebut sepenuhnya dipenuhi cahaya. "Lihat! Apa kau mengenaliku sekarang?"
Lengan Sai terangkat untuk melindungi matanya dari cahaya terang yang tiba-tiba datang. Lalu seketika itu, matanya langsung terfokus pada sosok gadis yang kini sedang bermandikan sinar.
Gadis bermanik aquamarine dengan rambut sewarna cahaya mentari pagi. Wajahnya sungguh elok dengan senyumnya yang lembut dan hangat, begitu juga tatapan teduhnya yang sekarang sedang ditujukan hanya kepada Sai.
Senyum sang gadis melebar menjadi tawa cerah, secerah lautan cahaya mentari di angkasa biru. "Aku, hidup!" jeritnya.
Sai terpana pada sosok bidadari yang tiba-tiba saja muncul dihadapannya itu. Dan lagi-lagi, matanya melebar karena syok.
"Ino Yamanaka?" ucap Sai pada akhirnya, tepat saat ia menyadari bahwa gadis yang mengaku sebagai Ino itu memang memiliki segala hal yang dimiliki oleh Ino, tokoh ciptaannya dalam lukisan Lilac.
"Yaa!" Ino kembali menjerit, kali ini sambil berlari ke arah Sai dan memeluk pemuda yang sedang tertegun itu. Meski dalam syoknya, Sai masih dapat merasakan lekuk tubuh Ino, memang sesuai dengan yang ia deskripsikan untuk fisik si gadis.
"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu," bisik Ino, terdengar sangat lembut di telinga Sai.
Masih melongo, Sai belum bereaksi kecuali mengedipkan matanya beberapa kali. Lelucon apa ini? Apa saat ini ia sedang melamun? Atau dirinya belum terbangun dari tidur dan masih berada dalam dunia mimpi?
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuat Sai melonjak.
"Tuan, apakah terjadi sesuatu?" tanya sebuah suara di sebrang sana.
Sai mendesah saat kesadarannya kembali kepada kenyataan, dan nalarnya mengatakan bahwa kejadian ini bukanlah imajinasinya belaka.
Baru saja Ino hendak berucap entah mau menyuarakan apa, satu tangan pucat Sai segera membekap mulut sang gadis.
"Tidak. Pergilah," ujar Sai datar kepada pelayannya di balik pintu.
"Apa Anda yakin? Saya mendengar keributan," suara pria paruh baya itu terdengar khawatir.
"Aku tidak mengulang perkataanku."
"Ah, baik. Maafkan atas kelancangan saya, Tuan." Dan suara itu pun pergi.
Hening.
Sai belum melepaskan Ino. Sementara sang gadis meronta-ronta dalam bekapannya. Sai menunduk untuk memperhatikan gadis yang kini sedang dikukungnya. Ino juga mendongak untuk meliriknya tanpa daya.
Ah, gadis ini nyata... pikir Sai, setelah beberapa saat memastikan tangannya meraba kulit dan daging manusia hidup.
Membuang napas singkat, tampaknya Sai harus memikirkan cara untuk menangani kejadian tak terduga ini.
. . .
—Lilac—
is a color that is a pale violet tone representing the average color of most lilac flowers (wikipedia)
—Lilac—
. . .
"Bagaimana bisa terjadi?" tanya Sai pada Ino tanpa basa-basi.
"Kau menginginkanku, makanya aku hidup," jawab Ino tegas dan penuh keyakinan, senyumnya masih merekah dan matanya masih menatap Sai dengan penuh kekaguman.
Sai balik memandang gadis di depannya tanpa ekspresi. "Bagaimana bisa sebuah lukisan memiliki perwujudan?"
Sai mengetahui legenda tentang wujud jiwa yang bersemayam di dalam sebuah karya seni. Namun kejadian semacam itu hanya akan terjadi ratusan tahun lalu, saat metode melukis masih sangat tradisional dan keyakinan terhadap spiritual masih sangat kuat.
Sebuah perwujudan karya yang berasal dari penciptaan akal manusia dipadukan dengan keindahan seni yang seolah dipenuhi magis... hanya terjadi pada karya yang benar-benar hebat. Saat seorang seniman memberikan jiwanya dan menaruh hatinya pada karya yang dibuat, seolah separuh daya hidup sang pelukis ditukar dengan sebuah perwujudan itu sendiri.
Sai tidak mempercayai fenomena semacam itu, terlebih pada zaman teknologi seperti sekarang saat dunia seni lukis sudah sangat modern.
"Tentu saja, Sai. Setiap lukisan mengandung sebuah kisah di baliknya, dan Kisah itu diciptakan. Para pelukis memutuskan bagaimana kisah yang hidup dalam karyanya, entah itu mengandung pepatah atau hanya torehan sederhana, penuh misteri bahkan magis, juga berakhir tragis atau bahagia, yang jelas semuanya mengandung arti," ungkap Ino. "Karena pada dasarnya kami hanyalah sebuah objek penciptaan, maka sampai sekarang... sepertinya masih banyak yang tidak memahami bahwa kami pun memiliki kehidupan, dalam kisah tersebut," sambung gadis cantik itu.
Sebutan seniman muda jenius bukan hanya sekedar julukan semata bagi Sai, karenanya ia bisa langsung memahami apa maksud perkataan Ino barusan.
"Penjelasanmu tidak rasional," tepisnya. "Aku melukis gambarmu dulu sekali, dan bahkan aku belum pernah menyelesaikannya. Terlebih karyaku tidak sehebat itu sehingga layak untuk memiliki perwujudan."
"Perwujudan dari sebuah karya bukan didasarkan pada kehebatan kisah di dalamnya, Sai. Tapi tergantung pada kesungguhan seorang pelukis saat menuangkan pikirannya pada objek gambar. Karena kau memberikan hatimu pada kisahku, maka aku memiliki jiwa. Dan aku bisa mewujud seperti ini karena kau, penciptaku, menginginkannya."
Pelipis pucat Sai berkedut. Oh, ini semakin konyol.
"Kau belum mempercayaiku kan, Sai?" Ino bertanya dengan penuh antisipasi.
"Tentu saja." Tanpa perlu lama Sai segera mengiyakan.
"Aku juga. Ini adalah keajaiban. Selama ini aku hanya bisa memperhatikanmu dari balik bingkai kanvas. Aku tidak percaya akan bisa berbicara denganmu seperti sekarang." Ino memandang Sai dengan senyum terpancar, namun sepasang aquanya memancarkan kesenduan. Kentara sekali ia rindu... bertemu penciptanya.
Sai memandang dalam mata sendu itu. Seorang gadis yang berada dalam benaknya selama ini, sekarang sedang berada di hadapannya. Apakah gadis ini muncul untuk menagih tanggung jawabnya agar menyelesaikan lukisannya?
Sai mendesah dalam. Pada akhirnya ia memutuskan untuk percaya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang, nona cantik?"
Mata Ino melebar penuh ekspetasi, ia bahkan tidak sempat untuk bersemu. "Aku ingin melihat dunia luar denganmu!" jeritnya.
. . .
—Lilac—
is a genus of 12 currently recognizedspecies of flowering woody plants in the olive family (Oleaceae), native to woodland and scrub from southeastern Europe to eastern Asia, and widely and commonly cultivated in temperate areas elsewhere (wikipedia)
—Lilac—
. . .
Hari itu Sai membatalkan semua jadwalnya, dan hengkang dari segala kesibukannya.
"Tak apa kau berjalan bebas tanpa penyamaran dan pengawasan seperti ini? Padahal kau kan sangatlah terkenal," tanya Ino, khawatir.
"Orang awam hanya mengenal namaku saja. Yang mengenali tampangku hanya sesama seniman terkenal dan orang-orang yang terlibat dalam publikasi lukisan, desain gambar, draft naskah atau pembuatan film," jelas Sai cuek.
Jangan salah, para seniman seni rupa di zaman ini sudah tidak lagi berpegang hanya pada cara kuno saja, namun juga telah merambah ke dalam dunia digital. Jadi, seringkali karya mereka kini telah lebih berkembang menjadi serangakaian cerita bergambar. Ehem, manga dan webtoon misalnya.
"Ah, benar juga. Kau menolak segala konsferensi pers. Pasti sulit jika masih muda sudah direpotkan dengan segala popularitas. Seolah kehidupan masa mudamu direnggut."
"Ya, sudah cukup sulit bagiku karena terkurung dalam kehidupan seorang seniman profesional. Seluruh rekan kerjaku hanyalah benda mati." Pengakuan Sai terdengar pahit, namun ia mengatakannya dengan wajah datar.
Ino merenung. Benar saja. Masih muda tapi sudah disejajarkan dengan para pelukis terkenal dan paling berpengaruh. Pelukis, desainer, author dan ilustrator bernama Sai Yamanaka, seorang jenius dan berbakat seperti dia pun harus dihadapkan dengan deadline, dipaksa untuk segera memikirkan ide cerita baru saat satu desain gambar atau draft naskah telah selesai.
Mengurung dirinya, menciptakan dinding yang membatasi dirinya dari dunia luar. Tidak pernah diperlakukan sebagai seorang anak kecil biasa karena bakatnya yang memang luar biasa, sehingga dari umur terbilang belia, Sai sudah terbiasa bekerja keras. Masa kecilnya dihapus paksa dari kehidupannya. Pembunuhan karakter. Pantas saja Sai jadi emotionless seperti ini.
Ino jadi bertanya-tanya apakah Sai merasa kesepian.
Seolah bisa membaca pikiran Ino, Sai kemudian berkata. "Kau tidak harus memikirkan kehidupan orang lain. Pikirkan saja apa yang ingin kau lakukan selama masih bisa berada di dunia ini."
Ucapan Sai seakan menyatakan bahwa hidup Ino tidak akan lama. Namun sang gadis tampak mengabaikannya. Ia sibuk memperhatikan sekitar, sementara lengannya mula meraih lengan Sai dan menguncinya dengan miliknya.
Sai sedikit terkesiap saat Ino mendadak menggandeng tangannya, dan berkedip ketika kehangatan tiba-tiba menjalarinya. Namun jujur pemuda itu tidak merasa terganggu, sehingga tetap membiarkan saja Ino menarik tangannya sesuka hati.
"Aku ingin melihat dunia bersamamu," gadis itu berbisik.
Kening Sai sempat berkerut karena heran. Tapi tak begitu lama kemudian, pemuda itu baru paham apa yang Ino sampaikan tadi.
Sai hampir merasa geli saat menyaksikan ekspresi dan reaksi Ino ketika melihat keramaian. Gadis berambut pirang platina itu terkejut saat mendengar seekor kucing mengeong, dan berteriak kegirangan saat melihat bayi yang sedang digendong. Begitulah dengan hal-hal kecil lain. Hal yang dianggap biasa dan sepele bagi orang lain, merupakan hal baru bagi Ino.
Sai terus memperhatikan. Cantik dan menarik sekali, gadis itu. Sai seolah sedang terhipnotis. Dari gayanya berjalan yang penuh semangat, juga cara bicara yang agak mendominasi dan memaksa... Semua orang bisa saja terkelabui oleh penampilan luarnya yang tampak begitu anggun namun terkesan angkuh.
Namun di mata Sai, sang gadis tampak begitu lugu, dan memang begitu adanya. Polos sekali, sepeti kertas putih yang belum terkotori oleh tinta. Sai takjub dengan kenaifan Ino yang dilihatnya secara langsung. Karena selama ini, ia hanya mendeskripsikan karakter dan sosok gadis itu dalam coretan draft lukisannya. Membayangkan wujudnya, memperhatikan gadis itu melalui torehan tinta dalam lukisan.
"Reaksimu berlebihan." Sai meledek.
Ino menoleh, lalu mengedikkan bahu.
"Biar saja," cueknya. "Kau kan tidak pernah mendeskripsikan seekor kucing dengan jelas di dalam naskah gambarku."
Mendengar itu, Sai sedikit merengut.
Benar kata Ino. Sai merasa tidak perlu menjelaskan secara detail segala hal, terutama hal kecil dalam cerita atau pun lukisan yang dibuatnya. Apa itu berpengaruh pada kelangsungan kehidupan dalam sebuah karya seni?
"Bagaimana keadaan kehidupanmu dalam lukisan?" Sai penasaran sehingga ia hanya bisa bertanya.
"Aku tidak tahu dengan yang lain, namun dalam kisahku semua hal terasa pudar dan kabur. Dan aku seperti berjalan tanpa adanya tujuan."
Sai terkesiap mendengarnya. Sebuah lukisan yang tidak diselesaikan bisa berdampak seperti demikian? Karya yang dibuat setengah jalan, sudah pasti berakhir gantung. Dan tentu saja hal itu berpengaruh pada kehidupan dalam lukisan. Meski gambar yang terlukis di sana hanya beberapa objek, namun sebuah lukisan dapat bercerita banyak jika terselesaikan. Orang dapat mengetahui makna dibaliknya dengan sekali pandang.
Jadi selama ini... Ino seolah terlontang lanting karena lukisannya tidak pernah terselesaikan.
"Tapi aku bahagia karena dapat diciptakan, olehmu." Syukur Ino, ia tersenyum tulus.
Hangat.
"Ngomong-ngomong, Sai, kenapa kau tidak lanjut menyelesaikan lukisanku?"
Sai menghela napas singkat. Ia memang sudah mengira jika Ino akan bertanya. Seperti sebuah cerita yang menuntut penyelesaian.
"Karena aku tidak tahu bagaimana kelanjutan ceritamu," jawab si pemuda enteng. Ucapannya menyiratkan kebingungan, namun Sai tetap memanage ekspresinya untuk tetap datar.
"Benarkah? Aku tidak mengira kalau pelukis jenius sepertimu bisa stuck juga."
Ino tidak terdengar seperti sedang mengejek dan sama sekali tidak terlihat kecewa, bahkan marah. Sai memang menjawab jujur, tapi jauh dalam hatinya Sai memang tidak menginginkan lukisan Ino selasai.
Tapi entah kenapa, pemuda itu jadi mendadak merasa bersalah.
"Dalam konsep awal, kau dikisahkan akan bertemu seseorang." Sai bicara juga pada akhirnya.
Ino tampak agak kaget karena Sai melanjutkan pembicaraan ini. "Siapa?" tanyanya, kentara penasaran.
"Pan,"
Dahi Ino yang semula mulus kini mulai mengkerut. "Siapa dia?"
"Konsep pria yang berkeinginan menjadi kekasihmu. Walaupun aku belum menentukan bagaimana wujud dan penampilannya, juga namanya," sahut Sai.
"Maksudmu? Bukankah Pan itu adalah sebuah nama orang?"
"Bukan. Pan hanyalah sebuah nama dari seorang Dewa Hutan dan Ladang, berasal dari sebuah legenda Yunani yang mendasari kisahmu."
Ino berkedip tidak paham, namun pemahaman lain mendatanginya. "Oh, karena itukah kau belum menentukan nama tokoh utama pria di dalam lukisanku, karena kau belum menentukan sosoknya?"
Entah kenapa Sai merasa jengkel saat topik ini diangkat. Dan pertanyaan gadis itu yang seakan penasaran terhadap tokoh pria yang akan menjadi kekasihnya memperburuk keadaan perasaan Sai. Sai melangkah perlahan mendekati Ino, jemarinya terangkat untuk meraih kepala gadis itu, sebelum mulai membelai rambut pirang sang gadis.
"Apakah lebih baik aku mengambil sosok itu, wujud asli Pan dalam legenda sebagai pasanganmu, seperti aku mengambil wujudmu dari perpaduan antara penampilan Nymph yang dicintai si pria dan khiasan dari nama peri bunga itu sendiri, Lilac?" bisik Sai tepat di telinga Ino.
Ino mengerjap. "Jadi sosokku terinspirasi dari wujud seorang peri bunga dalam legenda, kenapa?" takjubnya, akhirnya paham mengapa lukisannya diberi judul Lilac.
"Karena selain cantik dan indah, Lilac adalah wanita yang tegar dan penuh pendirian. Ia tak akan jatuh dan terlena pada godaan Pan, sama seperti bayanganku tentang sosokmu."
"Begitu ya..." Kali ini wajah Ino berhasil tersipu. Mendengar penuturan Sai, sang gadis terlihat sangat puas dan senang.
Sai kembali melangkah mundur sambil berkata. "Jika kau mau, aku bisa melanjutkan dan meyelesaikan ceritamu sekarang. Apa dengan begitu, kau bisa berhenti menghantuiku dan langsung kembali ke dalam lukisan?"
"Kenapa? Bukannya kau bilang kau tidak tahu kelanjutan ceritaku?" Ino bertanya kentara enggan.
"Ya, tapi ini akan menjadi mudah saja bila aku bertanya langsung pada tokoh utama, padamu, apa yang kau inginkan terjadi pada cerita dalam lukisanmu, kan?"
Ino mendengus. "I-itu..."
"Kau juga akan segera bertemu dengan kekasihmu, senang?" Sai menatap tajam mata Ino.
"Hmm..." Gadis itu menggeleng sambil bergumam tidak jelas. Lalu ia berjalan cepat melewati Sai. "Kau salah. Aku sudah menemukan pasanganku," ucapnya.
Sai mengernyitkan alis sambil menatap ke rambut pirang panjang gadis itu yang tergerai menutupi punggungnya.
Si pemuda berkedip ketika Ino menoleh lagi. "Boleh tidak... jika aku sendiri yang melanjutkan kisahku?"
Sang gadis menatap Sai penuh arti, sementara pemuda itu tak mengerti.
—TBC—
