Disklaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto. Tidak ada keuntungan apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini.

Peringatan: Light-Romance/Drama; SasuHina seperti biasa. Canon Setting.


GOING HOME

Sampel untuk History of SasuHina: Pulang

oleh Kentang Jamur


Negara Hujan, barangkali julukan itu tepat untuk mendefinisikannya.

Selalu hujan, setiap waktu, setiap hari, tak habis-habis seumpama cahaya matahari yang tak lelah memberi penerangan pada bumi—tapi, ada kalanya matahari tenggelam, seperti juga bulan terbit menggantikan posisi. Hujan tidak. Terus saja menghujam tanah bebatuan, rerumputan basah, sungai-sungai meluap, cat tembok rumah yang memudar, genting kehitaman, serta cerobong asap besar pengumpul energi dari air yang dihasilkan hujan—mengepul, tanda bahwa cerobong tersebut bekerja.

Muka basah, pakaian basah, kepala basah, kedua pipi memutih pucat, bibir bergetar kedinginan. Kedua tangan mencoba mendekap diri sendiri meski hawa menusuk itu tak kunjung pergi. Begitulah perempuan cantik berambut panjang itu terlihat di tepi sungai sewarna coklat akibat limbah-limbah sisa pembuangan pabrik-pabrik bercerobong asap. Menggigil dengan mata sayu, seperti mau mati. Lantas jatuh tak berdaya, nyaris terseret arus sungai andaikan dia tidak datang.

Barangkali perempuan itu tidak mengerti betul hukum alam Amegakure; hujan adalah musim seribu tahun, orang-orang sini menjulukinya demikian. Atau perempuan itu sudah tahu, tapi entah ketololan apa yang membuatnya terlunta-lunta di saat hujan turun begitu derasnya (biasanya tidak sederas hari itu, hanya gerimis saja, tapi gerimis tetaplah hujan).

Seharusnya ia abaikan saja si perempuan tanpa daya tersebut, membiarkan pingsan lantas terseret arus sungai dan mungkin bakal ditemukan dalam keadaan tewas. Hal itu bukan menjadi masalah baginya. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat ia bergerak tanpa berpikir banyak, meloncat dan menyelamatkan nyawa si perempuan, membaringkannya di tempat persembunyian, di tempat yang aman dari hujaman hujan. Hanya ada satu selimut dan selimut itu ia kenakan untuk si perempuan.

Ia mengenali perempuan itu; Hyuuga Hinata, salah satu kunoichi berbakat dari Desa Konoha.

Dan ketika terbangun, perempuan itu juga mengenalinya; Uchiha Sasuke, seorang ninja pelarian yang juga berasal dari Desa Konoha.

Tak ada kalimat terucap, namun keduanya sama-sama saling mengenal, mungkin hanya sekadar nama, tidak begitu mengenal yang benar-benar mengenal; mengetahui seluk-beluk keluarga, masalah, dan berbagai hal yang dirasa tidak begitu penting untuk diketahui—tidak ada manfaatnya mengetahui hal-hal demikian, atau mencari tahu. Keduanya sepakat diam, membiarkan suara tusukan hujan di atas genting menjadi bunyi yang terdengar, seperti nyanyian sedih tak ada habis, bersenandung setiap waktu pada dinding-dinding hati yang menjerit entah untuk apa. Mungkin menahan luka. Atau penderitaan sepanjang hidup; kematian keluarga, seluruh klan.

Sasuke memejamkan mata. Kobaran dendam masih membara, meluap-luap siap untuk menghanguskan sosok nyata di suatu tempat, di suatu waktu, menjajal kekuatan, membalaskan dendam, membinasakan. Barangkali dengan begitu penderitaannya akan sedikit berkurang—atau justru semakin banyak. Ia Cuma mau membalaskan segalanya, setelah semua itu terlaksana, mungkin ia bakal menjadi ninja pelarian yang berpindah-pindah ke berbagai negara, hidup mengelana, membunuh satu per satu penghalang, hidup dan hidup meski tanpa arti.

Sepasang matanya seketika berubah. Bola mata kebanggaan Uchiha. Semerah darah, sekental dendam serta amarah, sedingin musim hujan seribu tahun. Hinata bergeming, melangkah mendekat, kedua telapak tangan terbuka, mengumpulkan chakra. Kemudian chakra itu berkumpul di punggung Sasuke. Tanpa kata, perempuan itu tahu ia terluka. Tanpa kata, perempuan itu mengobatinya. Mendadak saja, matanya kembali seperti semula. Hitam kelam. Tetap dingin. Tapi ada sesuatu yang hangat. Barangkali aliran chakra yang mengaliri punggungnya. Atau sesuatu yang lain yang tidak ingin ia ketahui.

"Terima kasih."

Kata itu terucap dari bibir tipis si perempuan—bibir yang masih membiru kedinginan. Sasuke tak membalas apa pun. Ia diam. Membiarkan. Entah kenapa rasanya sungguh aneh mendengar seseorang berterima kasih. Kata-kata itu tampaknya begitu asing dan jauh.

"Setelah ini, aku akan pergi, Sasuke-kun."

Pergi dan memberi tahu keberadaannya kepada Naruto? Begitukah. Sasuke bergumam pendek. Ia tahu diam-diam Hinata tersenyum samar. Ia bisa merasakannya. Senyuman itu. Tidak secerah senyuman si pirang bodoh, tapi lebih lembut—lebih hangat. Seperti senyuman ibunya. Sasuke menyadari sesuatu; berada dekat dengan perempuan ini membuatnya mengingat banyak hal tak menyenangkan—kenangan yang seharusnya indah, tapi menyakitkan untuk diingat. Ia ingin Hinata segera pergi meninggalkannya. Dengan begitu ia bisa mengurusi dirinya sendiri, melanjutkan rencana, bergabung kembali dengan Tim Taka (entah ada di mana mereka bertiga, lenyap, saling terpisah, dengan tolol masuk jebakan musuh).

Suigetsu pasti sedang berulah, bermain-main dengan musuh mentang-mentang memiliki senjata andalan. Juugo merenung entah apa dan di mana—mungkin mengingat sahabat karibnya yang tewas dibunuh Gaara; Kimimaro. Karin … perempuan cantik namun agak sinting itu mungkin terkena jebakan, dijebloskan ke penjara dan menunggu teman-temannya untuk datang menyelamatkan. Teman-teman … Sasuke tertawa kecut. Mereka bukan teman; Suigetsu, Juugo, Karin serta dirinya. Mereka hanya sekumpulan orang-orang bertujuan sama.

Sasuke bertekad; ia tidak ingin memiliki hubungan khusus dengan siapapun. Teman, keluarga, atau apa pun. Ia tidak menginginkannya. Hubungan yang rapuh. Ia mau sendiri saja. Mengelana, membunuh sumber penderitaan, mencari sekeping jati diri. Hidup dalam tanda tanya. Tidak perlu bersedih atas kematian, tidak pula berbahagia atas kelahiran. Ia ingin sendiri, tidak mengapa meski harus diabaikan dunia. Mungkin begitulah jalan ninja yang akan dipijakinya. Perlahan-lahan.

"Kau tidak mau membunuhku?"

Kalimat tanya itu mendadak saja terdengar, membuat matanya agak membesar. Sasuke seketika merasa dirinya terdengar sungguh kejam (dari kalimat tanya yang polos itu, ia seakan menjadi pembunuh sadis yang membunuh siapa saja, siapa saja, tidak peduli laki-laki atau perempuan). Tapi memang seharusnya demikian. Selepas menyembuhkan luka di punggungnya, pemikiran untuk membunuh Hinata mestinya terlintas walau sekejap. Namun, kali ini tidak. Sama sekali. Bahkan tak terpikir olehnya. Dan pertanyaan itu membuatnya sadar bahwa ia memang seharusnya membunuh Hinata—ada atau tanpa alasan.

"Kau ingin mati?"

Perempuan itu tertawa. Aneh sekali. Padahal tidak ada yang lucu.

"Aku akan membunuhmu kalau kau ingin mati."

Hinata terdiam beberapa saat, tetapi chakra tetap mengaliri punggungnya, mengobati pelan-pelan hingga racun itu lenyap tanpa bekas. Perempuan itu lalu berkata, "Rasanya sungguh aneh, berbicara denganmu—dengan seorang Uchiha Sasuke. Ternyata kau tidak semengerikan seperti apa yang sering diucapkan orang-orang. Bahkan kudengar kau berhasil membunuh Orochimaru dan kabur bersama tawanan yang lain. Aku benar-benar tak mengira bahwa lelaki yang menyelamatkanku adalah kau. Sungguh-sungguh Uchiha Sasuke si ninja pelarian."

"Ternyata kau mengetahui banyak hal. Sepertinya aku memang harus membunuhmu."

Hinata tertawa lagi. "Kau tidak akan membunuhku."

"Aku akan membunuhmu."

"Tidak akan. Berani bertaruh."

Kali ini giliran Sasuke yang tertawa—terdengar samar, tidak begitu jelas, tapi itu tetap suara tawa.

"Aku tidak tahu apa yang membawamu ke Desa Hujan, tapi jangan kau ulangi lagi ketololanmu. Tidak akan ada yang mau menyelamatkan perempuan lemah sepertimu."

"Tapi kau menyelamatkanku."

"Tidak akan lagi."

"Kau mau pergi dari desa ini?"

"Ya."

"Kenapa kau tidak pulang saja?"

Sasuke membisu. Pulang. Kata itu tampak menyakitkan. Ke mana ia harus pulang? Rumah sudah tidak ada, keluarga mati tak bersisa—selain, tentu saja, si pengkhianat desa; Itachi. Ia hanya sendiri. Di mana pun, ia tetap sendiri dan akan tetap begitu. Suna, Kiri, Konoha … Sasuke tidak memiliki rumah untuk pulang. Lagi pula, apa yang membuatnya ingin pulang? Tidak ada. Tidak Naruto. Tidak siapa pun. Ia hidup untuk membalaskan dendam. Ia hanya bernapas untuk menuntaskan satu hal itu.

Aku tidak memiliki rumah untuk pulang.

Namun Sasuke mengatakan hal lain. "Tidak akan. Tidak mungkin."

Hinata mengerti. Suasana sudah kembali seperti sebelumnya; dingin. Tanpa kata, membisu saja. Seolah-olah menunggu hujan reda (padahal hujan tak pernah reda). Cahaya kebiruan masih menyala di kedua telapak tangan, mengalir ke punggung, melenyapkan rasa nyeri akibat luka dan racun. Sasuke diam. Hinata diam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing; mengenai keluarga yang habis dibantai, dendam, keinginan untuk menjadi lebih kuat, ingin diakui—tidak lagi dipandang lemah tak berguna, serta hujan yang katanya tak pernah berhenti selama seribu tahun lamanya.

.


.

Pulang.

Sasuke kembali berpikir. Lama. Ke mana? Ia tak punya sesiapa pun untuk menjadi tempat pulang. Rumah dan tanah kelahiran tak pernah terasa sebagai tempat berpulang. Berpulang kepada kematian terasa lebih baik daripada kembali ke Konoha. Itu neraka, bukan tempat untuk pulang.

Hinata membisu. Tak banyak berkomentar. Ia menatap punggung Sasuke. Ia tahu bahwa rencana bodoh yang ia lakukan untuk membawa Sasuke pulang tidak akan berhasil. Ya, bukan tanpa sebab Hinata berada di Amegakure, dirundung hujan sendirian. Niatnya membawa Sasuke pulang, misi yang diterimanya dari Hokage. Akan tetapi ia tak juga merasa mampu memaksa seseorang kembali ke tempat yang hanya berisi ingatan menyedihkan. Hinata tidak bisa.

Hinata mulai kehabisan waktu. Punggung Sasuke sudah membaik, Hinata tak akan memiliki alasan untuk tetap tinggal. Pemuda itu pun tak kunjung bicara, seolah menjadi bisu. Perempuan itu menarik napas.

"Ke mana aku harus pulang?"

Kalimat itu terdengar menyakitkan. Sasuke menutup kelopak mata, meresap ingatan buruk yang melekat jelas. Ia menggeram. Hinata ikut merasa pedih, ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia tidak mampu.

"Ke mana, Hyuuga? Katakanlah."

Hinata menghela napas, "Maaf."

Entah apa makna maaf yang Hinata utarakan. Entah untuk menyatakan rasa bersalahnya, atau untuk meminta maaf karena tak bisa memberikan apa yang Sasuke harapkan.

Hinata tidak bisa seenaknya mengatakan bahwa banyak yang menunggu Sasuke pulang, betapa teman-teman yang mengenal dirinya dan masa lalunya sangat merindukannya. Menanti kepulangannya. Hinata tak bisa mengesampingkan kenyataan Sasuke juga sosok yang telah menyebabkan banyak konflik. Sasuke sudah cukup terluka. Pulang pun bukan berarti Sasuke akan bahagia. Hinata merasa bersalah.

"Pulanglah ke mana hatimu berada, Sasuke-kun. Kau sendiri yang tahu, di mana tempat kau bisa pulang. Aku pun tak akan keberatan menjadi alasan kau pulang."

Hanya itu yang bisa Hinata tawarkan pada Sasuke. Tak lebih dan tak kurang. Sasuke tertegun. Tak ada yang pernah menjawab pertanyaan itu baginya, bahkan Sasuke sendiri tak pernah punya jawaban ke mana ia akan pulang. Selama ini pikirannya buntu pada kematian. Hinata memberikannya sesuatu yang berbeda.

Pemuda itu tak membalas. Hinata paham ini tidak mudah. Ia berbalik, melangkah menjauh. Waktunya sudah habis. Ia tak lagi bisa menetap lebih lama.

"Aku rasa, aku harus pulang."

Perempuan itu sendu. Tak bermaksud meninggalkan pemuda itu sendirian lagi namun ia pun tak bisa tinggal terlalu lama. Ia melangkah. Namun, langkahnya terhenti. Pemuda itu berdiri di belakangnya, menggenggam jemarinya. Dingin yang tersisa dari air hujan yang melekat tergantikan hangat. Hinata mendongak. Wajah pemuda itu tertutup rambut raven yang basah.

Keduanya berdiri berhadapan, agak lama. Hinata tak memaksa pemuda itu berbicara. Dia butuh waktu dan Hinata paham benar akan hal itu. Sasuke beberapa kali mencoba membuka mulutnya walau akhirnya kembali terkatup rapat.

"Sasuke-kun?"

Suara Hinata membuyarkan pikirannya yang larut terlalu dalam. Sasuke menggenggam jemarinya, enggan melepas.

"Aku akan kembali. Tapi tidak sekarang."

Kalimat itu terucap tanpa peringatan, tanpa tanda, seperti melihat bunga sakura tumbuh di musim dingin. Terdengar asing dan tak terduga. Hinata tertegun, tidak tahu bagaimana harus memberi jawaban. Ia Cuma bisa diam dan tersenyum hangat.

Pulang. Kembali. Ke suatu tempat yang nyaman lagi tenang (serta, tentu saja, hangat, penuh kehangatan, seumpama keluarga). Membangun keluarga. Tapi barangkali yang demikian itu terlalu muluk bagi Sasuke—terlalu mustahil dan sulit dijangkau. Tidak ada jaminan ia akan pulang dengan tenang atas segala dosa yang ia lakukan; pergi, menjadi pengkhianat desa, membunuh, membunuh, membunuh. Sasuke sadar ia pasti akan menerima akibat dari segala perbuatannya. Namun, baginya itu sudah bukan merupakan hal penting.

Sasuke menekankan sekali lagi.

Sekali lagi:

Ia hidup hanya untuk membalaskan dendam. Dan dendam telah menguras banyak waktunya. Ia tidak bisa tiba-tiba menginginkan keluarga yang bahagia di tengah-tengah tragedi. Tidak bisa, tidak mungkin, tidak terpikirkan pula. Tapi Hyuuga Hinata … entah bagaimana bisa, keraguan itu mendadak saja muncul, tak tahu apa dan bagaimana. Perasaan hangat yang selalu Sasuke hindari, selalu, selalu ingin ia binasakan dengan seluruh kekuatan.

Dan kalimat itu tiba-tiba terucap dari mulutnya. Sungguh lucu.

Kembali? Ke mana? Ke pangkuan perempuan itu? Memangnya perempuan itu siapa. Dia Cuma seorang Hyuuga—seorang Hyuuga yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dendam yang harus ia tuntaskan. Kata-katanya terdengar sembarangan. Membalaskan dendam saja belum usai, masih dalam perjalanan menuju ke sana, kenapa mendadak ia bicara seolah ia adalah ninja yang sedang diberi misi ke luar desa dan dinantikan kekasihnya untuk segera pulang. Sasuke tidak tahu apa yang harus ia sesali; apakah kata-katanya yang keluar tanpa terasa ataukah ketidak-mampuannya membunuh Hinata.

Seharusnya … seharusnya ia membunuh perempuan itu. Tidak perlu alasan. Tapi tidak bisa. Sulit. Mustahil. Terlebih mendengar kalimat si perempuan yang terasa begitu menenangkan jiwa—serta senyuman hangatnya, senyuman yang membuat ia ingat pada kenangan semasa kanak-kanak, pulang disambut Ibu, disambut gelak-tawa.

Hinata tidak keberatan menjadi alasan bagi Sasuke untuk pulang.

Tapi, tetap saja, tidak bisa. Tidak mungkin.

Hinata pergi meninggalkannya sendiri. Pergi, pulang, ke desa daun tersembunyi; Konoha. Barangkali perempuan itu mau memberi tahu di mana lokasinya agar Tim 7 bisa menyusul dan mengajaknya pulang. Pulang, pulang, pulang. Pulang! Sasuke segera pergi meninggalkan tempat persembunyian. Keduanya sama-sama pergi; untuk membalaskan dendam, untuk pulang.[]

{to be continued}


12:04 AM – 10 January 2017

A/N:

Kentang—Halo, Ether di sini :) kali ini kolab di tema canon, saya sendiri cukup asing dengan tema canon, tapi demi arsip SasuHina, semua tipe cerita kami terjang! /disepak/ semoga fanfic ini menghibur~

Jamur—Sulit. Bukan main. Meski ending bagian satu ini diubah berkali-kali, semoga tetap bisa menghibur siapapun yang membaca. Barangkali berkenan meninggalkan jejak karena jejak bagi kami merupakan tanda cinta, agar ke depannya kami bisa lebih baik lagi :)

[Eternal Dream Chowz dan Kenzeira]