[CHAPTER 01 - ANGER AND CONFUSED]


"Loving someone is pleasure, as well as your made-own-hell."


Pria dengan surai hitam kecokelatan itu menatap dua orang yang kini tengah tersenyum kepada satu sama lain dengan manik hitam gelapnya yang tajam. Ia memaki dalam hati. Air mukanya masam, dan gerak-geriknya memperlihatkan bahwa ia bisa saja membunuh salah satu dari mereka. Sungguh, ia penasaran setengah mati dengan apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya, kalau dipikir lagi, tidak sesulit itu. Ia bisa saja melangkahkan kakinya dan dengan santai dan menyeruak di antara mereka. Tapi tidak. Tidak semudah itu. Tidak bagi seorang Park Chanyeol.

Salah satu pria yang kini tengah di tatapnya, pria pendek manis dengan mata bulat bekel dan senyum yang menawan—pria bernama Kyungsoo yang jelas-jelas ditaksirnya—sedang berbicara dengan pria jelek hitam pesek bernama Kai.

Pria bersurai hitam kecokelatan itu—Park Chanyeol—membencinya.

Bukan pria pendek itu. Tapi Kai. Itu jugalah yang menjadi alasan kenapa Chanyeol setengah mati mengutuk Kai dari dalam hatinya. Padahal sebenarnya, Kai tidak seburuk yang digambarkan Chanyeol. Kai lebih pendek dari Chanyeol namun tetap jauh lebih tinggi dari Kyungsoo, memiliki kulit gelap seperti perunggu, meski memang berhidung agak pesek namun tetap tampan dengan caranya sendiri. Bahkan sebagian—ralat, mungkin bisa jadi semua—gadis maupun lelaki di Seoul of Performing Arts memujanya dan berkata bahwa ia tipe cowok nakal yang seksi.

Chanyeol amat paham bahwa Kai tertarik dengan Kyungsoo, dan itu membuatnya frustasi. Ia cukup jeli untuk melihat gerak-gerik bocah dungu itu. Chanyeol sudah menyukai Kyungsoo hampir tiga tahun—tidak. Bahkan mungkin sudah empat tahun dia menahan perasaannya pada Kyungsoo, sejak mereka masih bersekolah di Seoul Of Performing Arts Junior di tahun kedua mereka.

Kyungsoo tertawa lepas di hadapan Kai, dan Kai membalasnya dengan sebuah senyuman lembut. Chanyeol mencibir dalam hati. Semudah itukah Kyungsoo tertawa hanya karena gurauan murahan Kai?

Sebenarnya, apa yang membuat Kyungsoo terlihat begitu nyaman bersama Kai?

Chanyeol jauh lebih tampan. Ia tinggi, piawai memainkan gitar maupun drum, bisa melakukan beatbox dan kualitas suaranya di atas rata-rata—Chanyeol tidak mau mengakuinya karena suara Kyungsoo jelas jauh lebih baik. Meski Kai baru pindah dari Beijing ke Seoul dan kemudian masuk ke SoPA sekitar tiga bulan yang lalu, sudah terdengar desas-desus heboh bahwa pria hitam itu bisa menari dengan baik. Gadis-gadis bahkan berteriak nyaring ketika ia mulai menggerakkan tubuhnya.

Pria itu bisa menari. Dengan sangat baik.

Salah satu kekurangan Chanyeol yang paling besar dan tidak mungkin bisa tertolong lagi. Menari.

Chanyeol menggeram rendah. Ia hampir bangkit dari kursinya untuk menarik Kyungsoo dari hadapan Kai ketika seorang pria menarik dan menekan bahunya hingga pantatnya kembali berciuman dengan kursi.

"Woah, calm the fuckin' down, Yang Mulia Park." Kata suara bergurau yang Chanyeol kenali sebagai suara Kris.

Chanyeol menoleh dan menatap tajam Kris. Di belakang Kris, tampaklah Sehun, pria tampan dengan surai kecokelatan dan Luhan, pria cantik dengan manik mata yang selalu tampak berbinar.

"Biarkan saja dia, Kris. Kau tidak lihat dia hampir meledak?" suara lembut Luhan membuat Sehun terkekeh. Pria itu mengalungkan lengannya yang kokoh di sekitar bahu sempit Luhan, sesekali mengecup ringan pipi atau telinganya. Belum lagi pipi Luhan yang jelas-jelas memerah karena tersipu. Chanyeol benci mengakuinya, tapi sahabatnya yang satu ini benar-benar sangat cantik untuk ukuran pria. Sangat cantik hingga gadis-gadis SoPA mendecih iri.

Sial. Melihat hal itu Chanyeol malah makin mendidih. Tak heran, Luhan dan Sehun adalah pasangan nomor satu di SoPA. Selain karena gaya pacaran mereka yang tidak tahu tempat, dan juga karena dua-duanya berwajah tampan, kaya, terlebih dengan segudang bakat yang mereka miliki—salah satu syarat penting agar kau bisa bersekolah di SoPA.

"Hyung," kata Chanyeol keras kepada Kris—dia lebih memilih untuk tidak memperdulikan pasangan yang tengah bermesraan ria di hadapannya—, "kalau kubiarkan Kyungsoo semenit lagi di sana, kurasa aku akan benar-benar meledak."

"Kau tidak boleh ke sana." Sahut Kris santai. Kelewat santai hingga cuping telinga Chanyeol yang mencuat layaknya telinga peri memerah lantaran marah. Kris, pria tinggi dengan wajah dingin, rambut pirang dan mata cokelat terang itu mengangkat kakinya ke atas meja dan menatap Chanyeol dengan senyum miringnya yang tampak begitu menawan. Ia menyeruput milkshake-nya pelan. "Apa kau bahkan sudah makan? Yang kau lakukan dari tadi hanyalah menatap Kyungsoo dan Kai yang sepertinya tengah berkencan di sana." Ia mengedikkan bahunya ke luar jendela, di mana Kai dan Kyungsoo sedang makan siang bersama.

Kris benar. Chanyeol bahkan tidak ingat lagi bahwa ia sedang di kafetaria. Ia hanya duduk di sana, tidak memesan makanan atau minuman. Namun sepertinya bukan itu yang membuat Chanyeol risau. "Mereka tidak sedang berkencan!" geramnya marah.

"Berhentilah menggodanya, Kris hyung. Mereka hanya makan siang bersama. Apanya yang istimewa?" ujar Sehun jengah. Ia menumpukan dagunya di bahu Luhan, sesekali membiarkan wajahnya terbenam di perpotongan leher kekasihnya itu.

Kris mempertahankan senyum miringnya, namun sesungguhnya ia mati-matian untuk tidak tertawa. Ia memang sedang menggoda Chanyeol. Dan menggoda seorang Park Chanyeol yang tengah marah seperti ini, jelas-jelas suatu hiburan menarik untuk pria berdarah Tionghoa itu.

Luhan yang paling normal di antara mereka. Ia memiliki sifat polos yang menarik—mungkin itu juga yang membuat Sehun jatuh cinta setengah mati kepadanya. Dengan wajah manis dan cantik, orang-orang kadang salah mengerti bahwa ia sebenarnya adalah seorang pria. "Tidak apa-apa, Chanyeol-ah. Kau tidak perlu mendengarkan Kris. Dia sedang bertengkar dengan Tao, makanya dia berusaha melampiaskan kekesalannya dengan cara menggodamu."

"Ya! Xi Luhan! Tutup mulutmu!" Kris menyalak marah.

Omong-omong, Luhan tidak berbohong. Kris dan Tao memang sedang bertengkar, meski ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Dan yang lebih parah, pria kelahiran Kanada namun berdarah Cina itu sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan Tao—Kris yang bersekolah di Seoul, dan Tao yang memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Cina, Qingdao.

Chanyeol bangkit dan menatap Kris kesal. "Semoga kau dan Tao akan segera berakhir, hyung." Katanya pelan, namun perkataan itu meresap ke dalam kepala Kris secepat spons menyerap air. Pria bersurai hitam kecokelatan itu melangkahkan kakinya yang panjang keluar dari kafetaria.

"Sialan kau Park Chanyeol!" Makinya marah lalu berdiri, sementara Luhan dan Sehun tertawa. Reaksi Kris ternyata cukup lamban karena Chanyeol telah terlebih dahulu keluar dari kafetaria.

Tentu saja Chanyeol tidak benar-benar berniat mengatakannya. Setidaknya membalas Kris dengan ucapan seperti itu, ia merasa mereka impas. Pria tinggi itu sungguh kesal sampai-sampai ia sendiri tidak berpikir terlebih dulu sebelum berbicara. Lagipula, Tao orang yang menyenangkan, dan Chanyeol menyukainya. Kris yang terkadang dingin namun memiliki sifat konyol yang tersembunyi, dan Tao yang selalu bertingkah manja—Chanyeol pikir mereka sempurna ketika bersama.

Chanyeol biasanya tidak pernah uring-uringan seperti ini. Ia tipe pria yang selalu dijuluki sebagai happy virus, karena sifat ceria, optimis dan positifnya yang seakan tidak pernah luntur. Namun lain lagi jika itu berhubungan dengan Kyungsoo. Emosinya seakan diaduk-aduk dan ia jadi mudah marah.

Mungkin sebenarnya bukan Kyungsoo. Senyum Kyungsoo yang manis tentu bisa membuatnya jauh lebih tenang. Plus mata bulat bekelnya yang membuat Chanyeol jatuh hati.

Mungkin sumber kemarahannya adalah pria yang kini sedang bercerita dengan sangat antusias kepada Kyungsoo. Chanyeol bahkan tidak sadar bahwa kakinya tengah melangkah ke arah bangku makan siang dengan payung besar berwarna merah di luar kafetaria.

Semakin jelas ia melihat wajah Kai, semakin besar pula kebenciannya.

Chanyeol telah menjaga dan menyayanginya selama hampir empat tahun. Dan kau, Kim Kai, bahkan belum genap empat bulan kemari dan kau berani-beraninya mendekati Kyungsoo? Kau benar-benar mencari petaka dengannya.

Chanyeol menggeram.

"Kyungsoo-ya! Ayo pergi!"

Kepala mungil itu menoleh mendengar suara bariton Chanyeol.

"Ah, Chanyeol-ah—"

"Ayo pergi!" Pria tinggi itu menarik lengan mungil Kyungsoo hingga tubuh mungilnya terangkat dari bangku seakan ia tidak memiliki bobot. Kyungsoo menatapnya tak mengerti. Mata bulat besarnya menyiratkan keheranan.

Sementara Kai langsung berdiri, menatap Chanyeol marah. "Apa-apaan kau?"

"Jangan kurang ajar, newbie. Aku seniormu." Geram Chanyeol rendah.

Pria berkulit perunggu itu menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Tersenyum mengejek. "Apa aku harus membungkuk 90 derajat di hadapanmu, sunbae-nim? Atau malah menyembahmu?" sebenarnya, itu bisa saja menjadi kalimat yang sopan kalau saja wajah Kai tidak menyiratkan kebengisan. Ia jelas sedang bermain api.

Chanyeol pun sepertinya mengerti bahwa mereka akan menjadi rival. Pria itu tertawa parau. "Kurasa kau harus."

"Dengar." Kata Kai malas, ia memutar bola matanya, "aku tidak peduli kau senior atau pemilik sekolah sekalipun, tapi kau sendiri harusnya sadar bahwa kau terlalu kasar. Apa kau tidak bisa melakukannya dengan lebih lembut?" pria itu menyentakkan tangan Chanyeol hingga terlepas dari pergelangan tangan Kyungsoo yang tadi tengah digenggamnya kuat-kuat. "Kau menyakitinya!" kata Kai lagi, menunjuk pergelangan tangan Kyungsoo yang memerah.

Barulah Chanyeol sadar bahwa mereka tidak hanya berdua di sana. Masih ada Kyungsoo, yang sesekali meringis kesakitan karena lengannya memerah. Pria bersurai kecokelatan itu bahkan tidak sadar bahwa ia meremas tangan Kyungsoo sedemikian kuatnya. Dan bukan hanya Kyungsoo yang berdiri melihat mereka dengan pandangan heran, namun juga beberapa orang yang tadinya tengah menikmati makan siang, kini menatap mereka antusias. Mereka mungkin mengharapkan sedikit baku hantam. Chanyeol juga mengharapkannya—kepalan tinjunya geram ingin mencium wajah Kai.

Dari jendela kaca kafetaria, mata Chanyeol menangkap Kris, Luhan dan Sehun yang kini menatapnya tegang. Takut-takut bahwa Chanyeol melepaskan semua kemarahannya tanpa berpikir dua kali.

"Benar-beraninya kau—"

"Chanyeol-ah, hentikan." Suara memelas Kyungsoo memenuhi indra pendengaran Chanyeol. Membuat kepalan tangannya menggantung di udara. Kedua tangan mungil Kyungsoo memegang lengannya lembut. Ketika pria tinggi itu menoleh, ia melihat manik hitam Kyungsoo tengah menatapnya cemas. Chanyeol menurunkan tangannya.

"Maafkan aku, Kyungsoo-ya." Bisik Chanyeol. "Apa kau baik-baik saja?" pria itu sigap menarik tangan mungil Kyungsoo ke dalam genggaman tangannya yang besar, memeriksa dan mengelus lembut pergelangan tangannya yang tadi memerah.

Kyungsoo tersenyum manis. Bibirnya yang berbentuk hati membuat dorongan yang sangat mendesak di dalam hati Chanyeol. Ia mengangguk pelan, sembari melepaskan tangannya dari genggaman Chanyeol. "Aku tidak apa-apa. Kau?"

Chanyeol mengangguk dan balas tersenyum sebagai jawabannya. Kai memutar bola matanya, kesal. Chanyeol mungkin menang kali ini. Kyungsoo menoleh ke arah Kai dan tersenyum meminta maaf. "Maafkan aku, Kai. Sepertinya Chanyeol memiliki urusan yang sangat mendesak denganku. Senang bisa makan siang bersamamu, sampai jumpa."

"Tentu, D.O. Semoga harimu menyenangkan." Kai menampilkan senyumnya yang paling manis di hadapan Kyungsoo.

Tunggu dulu. Apa itu? D.O? Siapa pula si D.O ini?

Meski mengusik pikirannya, Chanyeol tidak ingin berlama-lama memikirkannya.

Kyungsoo mengangguk dan tersenyum untuk yang terakir kali, kemudian ia berbalik dan menarik pelan lengan seragam SoPA Chanyeol yang berwarna kuning. Chanyeol tersenyum penuh kemenangan di hadapan pria hitam itu, menampakkan deret giginya yang putih cemerlang. Meski Kai tahu bahwa Kyungsoo melakukannya karena ia tidak ingin mereka saling beradu tinju di kafetaria sekolah.

"Kau tahu newbie? Kurasa ini belum berakhir." Bisik Chanyeol penuh peringatan, namun masih cukup jelas terdengar di telinga Kai.

Kai mengangkat bahunya acuh, sama sekali tidak termakan atau bahkan gentar oleh gertakan Chanyeol. "Kita lihat saja nanti, sunbae-nim."


"Chanyeol-ah."suara Kyungsoo membuyarkan lamunan Chanyeol.

Mereka sedang berjalan bersisian di koridor sekolah, namun sejak insiden tadi, baik Chanyeol maupun Kyungsoo tidak membuka mulutnya untuk berbicara. Padahal biasanya, ketika sedang bersama Kyungsoo, Chanyeol adalah orang yang selalu berbicara lebih dahulu, dan ketika sudah berbicara, seorang Park Chanyeol bisa menjadi begitu berisik.

"Hmm?"

"Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Kyungsoo.

Salah? Apa dia bercanda? "Tentu saja tidak." Balas Chanyeol. Ia memasukkan kedua telapak tangan yang kini tengah terkepal kuat ke dalam saku celananya.

"Syukurlah," pria mungil itu mendesah lega, "Aku tahu bahwa kau selalu bersikap protektif terhadapku—bahkan sejak kita masih berada di SoPA JHS dulu."

Chanyeol mengangkat bahunya dan tersenyum. Andai saja ia tahu bahwa sikap tadi lebih menjurus ke cemburu daripada protektif. Kyungsoo mungkin berpikir bahwa Chanyeol khawatir dan berusaha melindunginya. Sial. Chanyeol tengah membodohi dirinya sendiri saat ini.

Senyum cerah Kyungsoo kembali. "Tenang saja, Chanyeol. Aku tahu kau khawatir. Tapi Kai orang yang sangat baik. Terlebih dia sangat pandai menari—oh, kau harus melihatnya melakukan moonwalk! Jadi, kurasa kau tidak perlu khawatir lagi. Kai tidak akan menyakitiku."

Chanyeol benar-benar muak sekarang. Ia menggigit bibir dalamnya, menahan rasa jengah dan jengkelnya. Akhir-akhir ini Kyungsoo sering berkata seperti itu—Kai sangat baik bla bla bla ia juga orang yang menyenangkan bla bla sangat lucu bla bla kau harus melihatnya menari bla bla bla—membuat kadar kebencian Chanyeol kepada Kai semakin bertambah.

"Aku dengar Kai mengucapkan kata 'D.O'. Apa itu?" kata Chanyeol pelan dengan suara baritonnya. Pria itu menoleh ke arah pria pendek di sampingnya, menatapnya dengan manik hitamnya yang tajam.

"Ah!" semburat merah muncul ke permukaan kulit wajah Kyungsoo. "Kai memberikan panggilan itu untukku. Kau tahu kan, margaku Do. Suatu ketika ia bergurau dan memanggilku D.O, dan tiba-tiba saja dia selalu memanggilku seperti itu."

Chanyeol menaikkan sebelah alisnya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran pria di sampingnya ini. Terlebih ia tersipu hanya karena si hitam pesek itu memanggilnya D.O? Yang benar saja. "Dan kau membiarkannya memanggilmu seperti itu?" suara rendah Chanyeol terdengar berbahaya. Sepertinya tensi pria bersurai hitam kecoklatan itu akan kembali naik.

Kyungsoo mengangguk antusias, tampak seperti anak kecil yang sangat lucu. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan drastis ekspresi pria tinggi di sampingnya. "Menurutku itu sangat manis." Jawabnya langsung, membuat kerutan di dahi Chanyeol semakin dalam.

Kyungsoo mungkin terlalu polos. Kelewat polos hingga ia tidak menyadari aura gelap yang tengah menyelimuti Chanyeol saat ini.

Chanyeol memaksakan seulas senyum yang malah terlihat seperti anak kucing yang terbuang. Ia menyerah. Ia akan membiarkan Kyungsoo bahagia hari ini—hanya untuk hari ini—dan tidak akan mengusiknya. Ia akan menunggu, seperti bisanya. Seperti yang telah ia lakukan selama empat tahun terakhir. Itulah masalahnya. Chanyeol mungkin tampak seperti pria bahagia tanpa beban, dengan sifat periang dan pikiran positifnya. Namun tidak ada yang tahu bahwa ia hanyalah seorang pengecut.

Apa yang membuat Chanyeol menunggu begitu lama? Padahal ia bisa saja langsung mengatakan perasaannya kepada Kyungsoo. Jawabannya hanya satu. Karena ia takut. Ia terlalu pengecut akan hasilnya. Bagaimana jika Kyungsoo menolaknya, dan persahabatan yang telah mereka jalin sejak dulu hancur berantakan hanya karena perasaan egois Chanyeol?

Tidak. Chanyeol tidak mengiginkannya. Ia lebih memilih untuk tetap diam. Menyayangi Kyungsoo dalam bayang-bayang. Ia menguatkan hatinya dan berkata bahwa itu semua mungkin akan cukup. Meski hal itu tidak akan membuat Kyungsoo menjauh, dan tidak pula akan membuat Kyungsoo menjadi miliknya.

Seiring waktu, Chanyeol menyadari semua pasti akan berubah. Kyungsoo akan menemukan seseorang yang disukainya, dan Chanyeol hanya akan membusuk, dengan label 'seorang sahabat yang protektif' tanpa sempat mengutarakan apa yang dirasakannya.

Seperti sekarang.

"Kyungsoo."

"Ya?"

Chanyeol menghentikan langkahnya di hadapan Kyungsoo. Menatap intens maniknya yang kecokelatan. "Aku ..."

"Hm?"

"Aku ..." Chanyeol menggantung kalimatnya lama.

Chanyeol tersenyum lebar. Senyum seorang prankster. Senyum yang selalu ia tampilkan jika ia merasa sakit hati dan tertekan seperti saat ini.

"Ada apa, Chanyeol?"

Pria itu terdiam sebentar, masih dengan senyum prankster tampannya. Lalu, sejurus kemudian ia berteriak nyaring, "YANG TERAKHIR SAMPAI DI UJUNG KORIDOR HARUS MEMBELIKAN ES KRIM!" kemudian mulai berlari meninggalkan Kyungsoo sambil tertawa-tawa seperti orang idiot.

Itulah Chanyeol. Seorang pria yang menyembunyikan sifat pengecutnya di balik julukan happy virus-nya.

"YA! PARK CHANYEOL! KAU CURANG!" suara Kyungsoo menggema di sepanjang koridor, membuat orang-orang yang tadinya tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing terlonjak kaget.

Chanyeol masih tertawa-tawa seperti orang idiot sambil berlari menjauhi Kyungsoo, namun Kyungsoo tidak melihat ekspresi wajahnya yang sangat berkebalikan dengan tawa cerianya. Ekspresinya berubah drastis ketika ia memalingkan wajahnya dari hadapan Kyungsoo.

Tidak apa-apa, Chanyeol. Hanya untuk hari ini saja, tetaplah bertahan, seperti yang telah kau lakukan selama empat tahun terakhir.


Pria bertubuh mungil itu turun dari taksinya sembari mengusap butir peluh yang mengalir di pelipisnya. Rambutnya yang berwarna cokelat keunguan berkilau ditempa sinar matahari, membuat penampilannya tampak semakin manis. Pria mungil besurai cokelat keunguan itu kemudian mengeluarkan selembaran uang dan memberikannya kepada si supir taksi.

"Terima kasih," ujar si supir sambil membungkuk sedikit, lalu berjalan ke arah belakang mobil dan mulai mengeluarkan dua koper berukuran sedang.

Pria mungil itu menunggu sembari melihat pantulan wajahnya dari kaca taksi yang berfilm gelap. "Ah, aku harus menurunkan berat badanku." Kata pria itu, lalu menepuk pelan pipinya yang ditimbun banyak lemak.

"Ini koper Anda. Semoga hari Anda menyenangkan." Kata si supir lagi sambil meletakkan dua koper berukuran sedang di dekat pria mungil itu. Ia mengangguk dan tersenyum sebagai balasan. Ketika taksi itu telah berlalu, pria mungil itu meraba saku jinsnya dan mengeluarkan telepon genggam serta secarik kertas berisikan alamat rumah. Ia melihat nomor rumah di samping gerbang, dan tersenyum lega karena nomor rumah itu sama dengan nomor yang tertulis di kertasnya. Ia tidak mungkin sampai di rumah yang salah.

Mata sipitnya yang bermanik cokelat gelap memandangi gerbang bercat silver dengan tinggi hampir lima meter di hadapannya. Di balik gerbang itu, berdirilah rumah besar, mewah dan kokoh, dengan taman bunga yang dihiasi dengan patung dewa-dewi Yunani. Bahkan air mancur dengan bentuk yang aneh juga terlihat dari luar gerbang. Pria itu berpikir bahwa pemilik rumah ini pastilah seseorang yang menyukai karya seni.

Pria mungil itu mendesah. Ia mencoba menelpon seseorang, namun yang menjawab hanyalah seorang mesin wanita.

"Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Rekam pesan anda setelah nada berikut."

Kemudian, terdengar suara bip kecil, tanda bahwa rekaman suara telah mulai.

"Hai ayah. Ini aku, Baekhyun. Aku sudah sampai di kediaman keluarga Park. Aku akan melakukan semua yang ayah perintahkan, jadi ayah tidak perlu khawatir. Aku juga telah mendaftarkan diriku ke sekolah yang ayah minta, dan aku akan mulai bersekolah besok. Ayah, aku ..." pria bersurai cokelat keunguan itu menggantung kalimatnya di udara, menggigit bibir bawahnya pelan, merasa begitu takut dan marah, "aku tidak tahu dimana ayah sekarang, tapi kuharap ayah baik-baik saja."

Lalu ia mematikan teleponnya, menggengam benda itu kuat-kuat hingga buku jarinya memutih. Ia tidak ingin menangis, meski ia marah dan ia ingin memukul seseorang untuk meredakan ledakan hebat di dalam dirinya.

Namun, bukanlah Byun Baekhyun namanya jika ia tidak cepat berganti mood. Nyatanya, sejurus kemudian, rasa penasaran mengalahkan semua perasaan campur aduk yang ada di dalam dirinya. Baekhyun menyipitkan matanya yang dihiasi eyeliner tipis—tidak sulit untuk dilakukan lantaran matanya memang sudah sipit—kemudian keningnya berkerut samar. Retinanya melihat menembus pagar, dan menyadari bahwa rumah ini terlihat cukup ganjil.

Kemudian, otaknya memproses sesuatu.

Tidakkah rumah ini terlalu sepi? Apa rumah orang kaya selalu seperti ini?

"Mana sekuritinya?" gumam si mungil pelan, ketika ia melihat pos sekuriti di samping kiri bagian dalam pagar, namun tidak menemukan sesosok manusia pun di sana.

Baekhyun mengibaskan jaket jinsnya, bergumam sesuatu tentang betapa panasnya hari ini. Begitu kalimat itu meluncur dari bibir mungilnya, pria itu langsung membayangkan dirinya sedang berendam di dalam bath up, membilas tubuh dengan air dingin yang menyegarkan.

Sungguh. Ia rela menukar apapun saat ini asal ia bisa mandi dan melepaskan segala penat dan lelahnya.

Si mungil kemudian meraih kunci yang telah diikat dengan tali sepatu berwarna putih dari dalam ranselnya. Ia menggantung kunci itu tepat di depan mukanya, lalu melihatnya dengan tatapan menimbang. "Haruskah aku masuk saja?"

Kunci itu bergoyang-goyang manis di depan wajahnya, mengundangnya untuk melakukan sesuatu yang harusnya tidak ia lakukan. Baekhyun menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gaya yang sangat lucu, berusaha untuk mengusir pikiran jahat itu.

"Masuk?" katanya, lalu terdiam sebentar, "atau tidak?"

"Masuk saja." Katanya lagi. Namun belum beberapa detik, ia kembali berucap, "tidak, Byun Baekhyun. Kau akan mendapatkan masalah besar jika kau masuk—tapi aku sangat ingin mandi."

Ia merengek pada udara kosong. Keinginannya untuk berendam dalam bath up membuatnya menjadi setengah gila.

Baekhyun menggembungkan pipinya, salah satu mimik lucunya ketika ia sedang frustasi. Sesaat kemudian, ia menggigit bibirnya.

Ia akan mengikuti instingnya kali ini. Baekhyun membiarkan kakinya merangsek maju mendekati areal pagar. Ia tersenyum lebar ketika mendapati pagar itu tidak terkunci.

Kakinya melangkah melewati jalanan aspal yang kelilingi taman bunga dan air mancur, seakan kaki itu memiliki pikiran sendiri.

Dan ketika ia sampai di depan pintu besar yang dicat berwarna emas, pria mungil bersurai keunguan itu mengacungkan tangannya yang memegang kunci.

Dan tiba-tiba saja, kunci itu telah tertancap sempurna di lubang pintu.

Bunyi pelan itu terdengar, namun bergema dengan sangat jelas di telinga Baekhyun.

Klik.

Pintu terbuka.

Si mungil manis bersurai keunguan itu masuk tanpa peduli dengan kenyataan bahwa rumah itu bukanlah rumahnya.[]


A/N : Halo, aku suka nulis tapi ini adalah tulisan pertama yang berani aku post hehe. Chanbaek is damn cute isnt?! YASH BABY! Is this too much? Ato malah bikin kalian pusing banget bacanya? Anyway, thank you so much ya karena udah mau mampir^^ mmm, review, please?