Chanyeol membungkuk sopan kepada para petinggi disini yang mengucapkan banyak sekali rasa terima kasih yang di tujukannya atas ucapan selamat atas kenaikan jabatannya disini. Park Chanyeol namanya, berusia dua puluh enam tahun masih lajang dan sekarang sudah menduduki jabatan sebagai Direktur di sebuah bank asing di sini. Pencapaian yang perlu di acungin banyak sekali jempol, dan tatapan bangga.

Ponselnya berdering, menandakan sebuah panggilan masuk. Chanyeol merogoh saku kemeja jasnya mengambil sebuah ponsel bermerek dan keluaran terbaru tahun ini— yeah ia tidak boleh ketinggalan jaman, kan?

Terpampang sebuah kata yang tertulis ibu dengan emot hati merah terang menyala. Chanyeol tersenyum sumringah mendapatkan telfon dari sang ibunda. Ia lantas sedikit terburu-buru, berpamitan untuk mengangkat segera telfon dari sang bunda.

Chanyeol menekan tombol hijau dan segeran menggesernya ke arah kanan, dan meletakkan ponsel miliknya di telinga dengan senyum merekah sempurna. "Selamat siang, ibuku sayang." Sapanya lebih dulu dengan nada lembut, berbeda ketika ia dihadapkan dengan pekerjaan. Semua berubah menjadi sangat serius jika berada di tangannya.

"Chanyeol!" Pekik ibunya menahan senang dari sebrang sana. "Sungguh, Ibu tidak bisa berkata banyak selain mengucapkan beribu rasa syukur kepada Tuhan kau diberikan anugrah sebesar ini. Dan, untuk adikmu juga. Ibu tidak bisa berkata banyak, selain Ibu memang bangga terhadap kalian berdua, sungguh."

Chanyeol terkekeh. "Aku juga," jawabnya. "Aku juga bangga punya ibu sehebat dirimu." Ujarnya dengan tulus dan hangat, ia tahu perjuangan ibunya membesarkan dirinya dan adiknya dimana Ayahnya harus meninggal dunia di saat usia Chanyeol menginjak dua belas tahun. Ibu nya harus rela kerja dari pagi sampai malam untuk menghidupi mereka, di mulai dari berdagang sarapan di pagi hari, lalu malamnya tetap harus berjualan cemilan yang kadang membuat Chanyeol tak sampai hati mengingat perjuangan ibunya dulu. Baru lah ketika Chanyeol menginjak awal tahun sekolah menengah pertama, ia mulai melakukan kerja part time, lalu sering mengikuti kontes yang menghasilkan uang, dan uang itu di tabungnya untuk modal membuka usaha rumah makan.

Dan, ya. Disini lah ia, sudah sukses, mapan pula, dan itu semua tak luput dari usaha ibunya, dan beruntung usaha yang rintis dari sebuah rumah makan kecil sekarang sudah sangat besar dan memiliki banyak sekali cabang di beberapa kota besar. Percapaian yang patut dibanggakan.

"Bu, tidak perlu menangis begitu." Ucap Chanyeol terkekeh kecil ketika mendengar ibunya seperti tersedu-sedu.

Terdengar suara kekehan kecil. "Ini air mata bahagia tahu, betapa baiknya Tuhan kepada ibu yang di berikan dua anak laki-laki yang bisa mengangkat derajat ibunya." Ujar perempuan itu dengan bangga.

"Setidaknya doaku terkabul."

"Tapi... Chanyeol..."

"Ya, ibu?"

"Ada satu doa ibu yang belum terkabulkan oleh Tuhan..."

"Hmm?" Ujar Chanyeol.

"Keinginan ibu untuk kau menikah,"

Selalu saja mengacaukan suasana, Chanyeol jadi heran sendiri.

Chanyeol mendengus ini lagi. Ibunya selalu bisa mencari celah di setiap obrolan mereka dengan kata menikah. Bahkan ketika Chanyeol baru saja pulang dari kantor, ibunya sempat menelfon dan bertanya apakah pekerjaannya sudah siap, lalu Chanyeol menjawabnya sudah siap dari tadi. Dan ibunya langsung menyinggung soal menikah "dan, apakah kau sudah siap menikah?" Nah seperti itu.

"Bu..."

"Iya Chanyeol. Tapi, ibu sedang bertemu dengan teman ibu— "

"Aku menolaknya."

"Tapi lihat dulu."

"Bu, oke, ibu ingin aku menikah? Baiklah. Aku rasa memang ini waktu yang memang aku harus menikah," Yeah, sepertinya. Chanyeol sendiri tak yakin dengan apa yang ia katakan. "Tapi, tunggu sebentar lagi bisa kan bu? dulu ibu pernah bilang kan— bahwa ayah, ketika ia menikahi ibu saat itu hanya siap hati, namun tidak di segi ekonomi yang membuatnya menyesal membuat ibu tak bahagia secara lahir maupun batin. Dan aku disini, memang sudah siap untuk ekonomi kedepannya, namun hatiku belum mantap, bu. Aku ingin nanti pasanganku bahagia lahir maupun batinnya." Katanya. "Tunggu sebentar lagi, Chanyeol akan merasa yakin bisa menjadi suami yang bisa memiliki pasangan yang sudah aku siapkan hatiku secara utuh, secara lahir dan batin untuknya. Chanyeol janji sama ibu."


Dear, Chanyeol

.

.

Park Chanyeol dan Byun Baekhyun

.

.

.

.

"ini bukan tentang si brengsek yang jatuh cinta dengan si baik hati dan lugu, bukan.

Karna sepengetahuannya, orang baik akan bertemu dengan yang baik."


"Selamat pagi boss!" Sambutan pagi yang memenuhi tempat yang sekarang menjadi daerah atau wilayah kuasanya. Chanyeol melirik kecil, tersenyum ramah kepada sambutan pagi yang terdengar lucu yang di sampaikan oleh Jeon Jungkook, anak kebanggaan di wilayahnya ini, karna memang Jungkook adalah anak yang cekatan dan telaten makanya ia di usia yang masih muda, bisa menjabat menjadi salah satu asisten disini.

"Selamat pagi Jungkook." Balasnya.

"Sudah sarapan belum, boss?" Ujar Jungkook basa-basi.

"Sudah tadi."

"Sudah punya pacar belum, hyung?" Nah! Kalau ini jelas sekali si Jeon Jungkook ini memang sedang meledek Chanyeol. Kenapa Jungkook bisa se santai ini dengan Chanyeol yang memiliki jabatan tinggi? Jawabannya karna Jungkook adalah adik sepupunya, dan merupakan sekawanan dengan Sehun, adiknya.

"Palu dimana ya..." ujar Chanyeol dengan garingnya.

Lalu datang Park Jimin, nah ini juga sekawanan Sehun dan Jungkook. "Boss!" Ujarnya berada di sisi kira Chanyeol, sambil membawa berkas jadwal untuk Chanyeol. "Nanti pukul dua ada meeting, dan sekarang sekitar setengah jam lagi akan ada asisten pengganti sementara keruanganmu." Ujar Jimin.

Chanyeol memgangguk. "Ada lagi yang ingin diingatkan Jimin?" Ujarnya bertanya.

"Ada hyung,"

"Apa?"

"Bahwa— sekarang pukul 7 kurang 15 menit, di hari kamis, tanggal 30 November 2017 yang menjelang akhir tahun seorang Park Chanyeol masih saja sendiri."

Chanyeol sudah mengancang-ancang melempar Jimin dengan tas kerjanya, kalau saja bocah itu tidak lari duluan sebelum pergerakannya. Chanyeol sudah biasa di perlakukan begini, tentang dirinya yang single kadang memang di jadikan candaan hiburan karyawannya. Tak masalah, asal tidak mencoreng nama baiknya.

Sebenarnya bukannya Chanyeol tidak tertarik dengan berpacaran, ia dulu sangat mendambakan kisah romantis dirinya dengan pujaan hati. Tapi apalah daya ketika waktu kerja, kuliah menyita waktunya dan membuat dirinya tidak tertarik dan mulai melupakan dambaan tersebut.

Dan ketika umurnya dua puluh tiga, usia matang, dewasa dan itu justru membuatnya malas untuk berpacaran. Membuang waktu katanya. Dan Chanyeol menikmati sampai di usianya sekarang, namun malah menjadikan petaka karna sering kali di suruh-suruh untuk segera menikah.

Duh, siapa yang tidak mau menikah? Mau kok! Tapi calonnya itu mana!? Ingin Chanyeol berkata seperti itu, tapi nanti mungkin saja ibunya akan mendekatkan dengan orang yang aneh-aneh kepadanya.

Lagi pula Chanyeol itu selalu menanamkan pesan sang ayah yang masih diingatnya sampai sekarang. Jadi Chanyeol memutuskan untuk semakin menikmati kehidupannya yang di sibukkan dengan pekerjaannya, sampai nanti ketika ia bertemu dengan seseorang yang pas dan mengetuk hatinya.

Tak perlu berpacaran bagi Chanyeol, ketika ia dan pasangannya yakin satu sama lain tentu ia akan langsung menikahi pujaan hatinya.

Komitmen yang penting.

Chanyeol seperti teringat sesuatu. "Oh ya, lusa akan ada penyambutan rumah baruku. Tolong bilang pada Jimin. Sampaikan pada Taehyung dan Yoongi kekasih kalian. "Ujar Chanyeol mengendikkan bahunya. "Awas saja kalau kalian tidak datang." Ancam Chanyeol.

Jungkook mengangguk. "Siap boss, tentu saja kami akan datang!" Ujar Jungkook mengerling ke arah Chanyeol. "Oh— tunggu— katamu— rumah.. hyung?"

"Ya rumah." Jawabnya.

"Rumah yang mana?"

"Yang sedang aku bangun, sekitar satu tahun lebih lalu."

"Bangsat— maksudmu—istana, eh!?" Desis Jungkook dengan suara meninggi. Jungkook langsung menutup mulutnya ketika mengumpat di tengah-tengah ruangan, walaupun belum terlalu ramai disini. "Sudah jadi saja rumah gedongan mu itu? Gila— kau gila hyung. Berapa banyak uang yang kau hasilkan, heh?"

"Hahaha..." hanya tawa ringan yang Chanyeol lanturkan, karna Jungkook harusnya tahu bahwa Chanyeol banyak menginvestasikan uanganya untuk bisnis. Bahkan Chanyeol mempunyai bisnis properti yang sukses.

"Sudahlah hyung, mending rumahmu untukku saja bagaimana? Percuma rumahmu besar, tapi masih single saja."

"Hah," dengusnya. "Mau ku lempar dengan tas atau apa?" Dengus Chanyeol.

"Rumah sudah ada, yang menemaninya saja belum ya?" Jungkook tak memperdulikan ancaman Chanyeol. Ya mana mungkin Chanyeol tega, mungkin seperti itu yang ada di difikiran Jungkook.

"Jungkook, sama kembali bekerja!" Suaranya beratnya menggema di seluruh ruangan,membuat banyak pasang mata menatap ke arah mereka.

"Baik boss!" Ujar Jungkook kalang kabut dibuat Chanyeol.

.

.

.

Chanyeol menempati ruangan kerja barunya dengan suasana hati berbunga-bunga walaupun tadi sedikit di ganggu oleh kedua orang— mungkin bukan orang pikir Chanyeol. Lalu soal hatinya yang bunga-bunga adalah karna targetnya sudah tercapai untuk menduduki jabatan direktur. Omong-omong sebentar lagi akan ada asisten direktur baru, yang menggantikan yang dulu— sebenarnya jabatan Chanyeol tidak membutuhkan asisten direktur, karna ia masih berada dua tingkat di atas asistent direktur, karna jika berhubungan membahas soal pekerjaan ia bisa langsung menghadap deputi direktur langsung. Tapi, di karnakan Deputi direktur, Kim Jongdae sedang dalam pekerjaan di negara Indonesia mengharuskan seorang asisten direktur yang menggantikannya.

"Boss," Jimin membuka pintu ruangan dan berkata bahwa berkas sudah tersedia, dan asisten direkturpun sudah berada disini. Chanyeol mengangguk, mempersilahkan seseorang itu masuk.

Pemuda itu awalnya menunduk, masih fokus dengan macbook yang di pangku oleh satu tangannya. Ia mengenakan kaca mata bulat yang menjadi trend untuk tahun ini tapi Chanyeol tahu bahwa itu adalah kaca mata baca yang Chanyeol juga sering gunakan, kacamata tersebut sekarang tengah melorot sampai di ujung hidung pemuda tersebut. Ia menaikkan kepalanya, bersamaan dengan menaikkan letak kacamatanya.

Chanyeol fikir dia adalah murni pemuda Korea, tapi sepertinya ia salah ketika sepasang mata berwarna abu-abu gelap tersebut menatap Chanyeol, lalu ia tersenyum dan membungkuk sopan. Di detik pertama Chanyeol terpesona, di detik kedua ia terdiam, di detik ketiga jantungnya berdetak tidak normal, di detik keempat Chanyeol sadar bahwa ini bukan dirinya yang biasa.

Jimin sudah meninggalkan mereka berdua berada di ruangan tersebut, membuat privasi di antara keduanya. Chanyeol mendeham canggung, lalu menyilahkan Baekhyun duduk di sofa miliknya. "Terima kasih, pak." Ujarnya dengan bahasa korea lancar, dan tidak canggung.

"Woah, kau asli Korea?" Ujar Chanyeol sedikit tercengan dan malah membahas hal yang lain membuat pemuda yang di ajak berbicara sedikit bingung.

"Maaf?" Katanya bingung.

"Ah, aku kira kau mungkin keturunan jepang dan sedikit blasteran luar."

Pemuda itu tersenyum. "Byun Baekhyun," katanya memperkenalkan dirinya, dengan keduanya tangannya di perut dan membungkuk memperkenalkan diri. "Aku Korea, ayahku orang Korea dan tinggal di Jeju— dan ya, ibuku adalah seorang warna negara belanda." Ujarnya sedikit membocorkan tentang dirinya. "Dan ya... mungkin karna itu mataku abu-abu." Ujarnya tersenyum dengan eye smilenya.

"Chanyeol, Park Chanyeol..."

"Benar, saya sud—"

"Baru saja ulang tahun yang ke 26 tahun tiga hari yang lalu, masih hangat jangan dipanggil pak saya belum tua. Tadi saya sudah sarapan roti, kalau dirimu?"

"Pak— saya tidak bertanya, oke?"

Oh-oh! Chanyeol menggaruk tengguknya canggung. Lalu mengalihkan pembicaraan. "Dan kau asisten direktur yang baru?"

Baekhyun menggeleng. "Saya hanya sementara waktu menggantikan, untuk percobaan saya di pindahkan ke Korea."

"Jadi sebelumnya kau dimana?"

"Indonesia."

"Jauh sekali." Ujar Chanyeol sambil bergumam.

"Ya, saya sudah biasa di pindahkan kebeberapa negara."

"Wow pengalamanmu banyak juga."

"Sekiranya seperti itu lah," ujarnya tersenyum canggung. "Baiklah— pak. Bisa kita mulai sekarang?" Baekhyun membuat mereka kembali ke topik awal.

Tapi Chanyeol masih memiliki beribu pertanyaan yang bersarang, semuanya seolah bekerja tanpa di sadarinya dan tidak bisa tertahan oleh dirinya. "Apa pengalaman dalam hubungan cintamu juga banyak?" Pertanyaan itu luncur dan mulus keluar tanpa aba-aba.

"Maaf?" Baekhyun menyerngit, nadanya bicaraua sedikit meninggi.

"Berpac— maksudku berkomitmen?"

"Tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan bukan, pak?" Ujar Baekhyun tenang. "Saya tidak menerima pertanyaan yang menjerumus hal pribadi saat bekerja." Ujarnya mutlak, dan tak terbantah.

"Yasudah kalau begitu— tapi saya pernah ke Indonesia loh."

Apanya yang sudah? "Oh, ya?" Tapi Baekhyun malah kembali melontarkan pertanyaan.

"Iya! Saya pernah ke Bandung— kamu pernah rasa ketiprak ga!?" Tanya Chanyeol antusias, ketika mengungkit ketoprak. Oke, itu favoritenya.

"Mungkin maksudnya— ketoprak?" Ujar Baekhyun membenarkan kalimat melenceng yang diucapkan oleh Chanyeol.

"Oh— iya ketoprak! Enak kannnn? Udah pernah makan belum?"

"Udah, pak. Tidak terlalu suka sih. Saya lebih suka sate madura dan nasi padang kalau saya travel dengan teman saya."

"Kamu suka travel?"

"Suka."

"Saya juga suka,

Suka sama kamu kayaknya."

Hah. Baekhyun mendesah dalam hati, karna menurut pandangannya sekarang Chanyeol adalah sosok bocah yang terkurung dalam tubuh besar tersebut. Tidak ada cocok-cocok ga menjabat menjadi seorang direktur eksekutif disini, dan Baekhyun sepertinya berfikir ulang untuk menerima tawaran bekerja disini.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Line

Chanyeol : Ibu...

Ibu : iy,, knp,, yeol

Chanyeol : Chanyeol lagi ketemu sama orang yang sepertinya pas nih. Dia suka travel, terus Chanyeol suka sama dia...


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC.

Kalau banyak yang tertarik InshaAllah saya lanjutin hehe, sampai jumpa?

Jangan lupa fav, follow dan reviewnya~

[ ps : ini ga ada hubungannya sama cerita dear nathan, karna saya ga baca novelnya, ga nonton film bahkan sinetronnya. Cuman ambil judulnya aja karna kayaknya pas dengan alur cerita saya heheheh ^^ ]