Disclaimer © Mashima Hiro. No commercial profit taken.
Warning sudut pandang orang pertama/Gray's side, bahasa gaul sebagai percakapan sehari-hari, cliché, kesamaan ide harap dimaklumi.
Dibangunkan ketika kau sedang enaknya bermimpi indah pada khayalan tak tergapai, dengan guling berada dalam pelukanmu dan selimut yang sukses melindungimu dari kejamnya suhu ketika malam memainkan perannya—itu adalah surga.
Kenikmatan yang menggiurkan dan patut disyukuri.
Setidaknya itulah yang kupikirkan—
Beep. Beep.
—... sampai pintu neraka mencoba memanggiku lewat perantara iblisnya.
Beep. Beep. Beep.
Bzzzzt.
Iblis kecil pembawa kematian. Ia yang bernama jam weker.
"..."
Benda mungil yang dapat menghadirkan keuntungan dan kerugian bagi para pemiliknya.
Yah, dilihat dari pandangan sebagian orang, benda sialan itu dibuat agar pemiliknya nanti dapat melakukan tiap kegiatannya dengan lancar tanpa ada hambatan karena tidak akan terkejar waktu (misalnya bangun terlambat, atau apa) saat mengistirahatkan diri yang penuh peluh diatas ranjang yang empuk. Atau pun juga, mengingatkannya pada suatu agenda yang akan ia kerjakan bila sewaktu-waktu ia lupa.
Tapi, bagiku—opiniku sendiri yang sungguh bertolak belakang pada sebagian orang umumnya.
Benda sialan itu melimpahkan musibah bagiku.
Mengacaukan segala rencana tipu muslihatku menggunakan kesempatan emas kala mentari datang berkunjung untuk beristirahat dibalik bungkusan selimut yang hangat sejenak.
Suara bising yang gunanya hanya untuk memekakan telinga—berdengung dengan jelas pada kedua lubang telingaku. Menghancurkan indera pendengarku sampai ke akar-akarnya. Menganggu kesenangan manusia untuk menyelinap dibalik selimut untuk menghindari peraliran waktu yang kian berjalan.
"Sialan."
Aku menghempaskan tanganku kasar ke arah pucuk jam—ironis memang, tapi itu kenyataan—berbentuk bulat merah dengan kedua lingkaran hitam pada sisi kanan dan kiri sebagai aksesoris. Sebuah karakter yang tak asing dilihat—jangan tanya aku, kalian pasti tau siapa tanpa aku sebutkan—yang merupakan salah satu maskot di acara kartun tertentu di televisi terpajang dengan sempurna sebagai latar belakang, dimana kedua jarum jam kian bergerak menghitung percepatan waktu.
Dan jangan pernah kalian berpikiran jikalau aku hanya akan menatap karakter favorit anak-anak yang hanya berbalut celana merah itu dalam diam selagi memuja kehadirannya yang rajin membangunkanku tiap hari—sungguh, aku nggak belok. Walaupun harga diri ini masih dengan nekatnya memajang status lajang pada tiap akun sosial medianya—Aku masih lurus kok. Aku masih menyukai seorang gadis.
"Udah bangun, ya? Baru saja aku ingin membangunkanmu."
"..."
Gorden nila bercorak motif bunga—jangan tanya aku, bukan aku yang memilih—disingkap secara kasar, memperlihatkan sebuah jendela hasil pahatan kayu sebagai pembungkus kaca dengan cat air putih sebagai pewarna.
Mentari yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya memantulkan sinar andalannya pada kaca jendela dengan sempurna. Sukses membuatku yang masih layu untuk bangun dari ranjang spontan menyilangkan tangan di depan wajah—melindungi kedua bola mataku yang berharga dari sengatannya yang mematikan.
Ah.
Pagi hari bukanlah waktu yang baik untuk memulai segala aktivitas.
"Sengaja agar aku tidak dapat melihat, Ultear?"
Usai dari kegiatan lindungi-matamu-atau-kau-buta-!, aku melirik tajam ke arah si pelaku.
Sesosok gadis cantik jelita—maaf saja, kriterianya masih lebih jauh dari standarku—dengan untaian rambutnya yang panjang menemui punggung. Kedua kaki jenjangnya berdiri dengan angkuh di samping tempat perkara terjadi. Kedua tangannya yang terlipat tepat di depan dada itu semakin membuatku jengkel.
Jujur.
Jika saja aku tidak pernah mengenalnya. Jika saja gadis ini tidak menjalin hubungan darah denganku.
Mungkin aku akan bahagia kala mendapati gadis cantik nan manis membangunkanku untuk menyambut pagi hari yang cerah. Mungkin aku tidak akan merutuki kesialannya pagi hari karena mengganggu bunga tidurku.
Apalagi jika ia adalah seorang gadis dengan perilaku (sangat) feminim—aku pasti sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tapi kenyataannya...
... aku terlalu kenal gadis ini.
Dan yang lebih parahnya lagi, gadis ini menganut aliran darah yang sama denganku. Saudara—tidak, kakak malah. Kakak sulung lebih tepatnya.
Belum lagi sifatnya yang barbaran membuatku ragu akan jenis kelaminnya.
Terkadang aku heran kenapa dia bisa punya pacar dengan sifatnya yang sebelas dua belas dengan iblis itu.
Dia pakai dukun kali, ya...?
"Ayolah! Berhenti melamun dan segera bangun, Gray!"
Aku memijit pangkal hidungku geram. Hadeh, ini kenapa aku nggak suka dengan makhluk bernama cewek. Apalagi yang jejadian. Idih, ogah.
"Memangnya kenapa? Ini hari Minggu! Setidaknya biarkan aku bersantai dulu pada hari kemerdekaan ini."
Berbicara dengan Ultear hanya akan membuat kepalaku pusing. Lebih baik aku selesaikan ini secara sepihak secepatnya. Bantal tercintaku masih setia menanti. Aku tidak mau membuatnya menunggu lebih lama lagi.
"Tung—Gray...! Bangun dulu, bangun! Jangan males gini kenapa!"
"Udah, ah! Sekali-sekali males itu ga papa. Malas itu sebagian dari iman."
"Jangan sok keren deh di saat seperti ini! Banguuunnn—!"
"... Iya, iya."
Aku bangun dengan tak rela dari ranjang kesayanganku, bermula dari posisi baring menjadi duduk.
"—... tapi, ntar pas mentari udah pulang ke kampung halamannya deh." Dan aku pun merebahkan diri kembali sekaligus membungkus seluruh tubuhku dengan selimut tercinta.
Mengabaikan kemurkaan sang kakak yang tak lama lagi akan bangkit sepenuhnya.
"..."
"G... G-GRAAAYY—!"
— [i] —
Mendapatkan tonjokan maut di pipi pada pagi yang cemerlang itu tidak pernah ku prediksi. Lebih tepatnya, aku tak pernah menginginkannya.
Lagian, siapa juga yang mau ditonjok? Bagian pipi pula!
Untung aja letak gigiku masih berdiri dengan kokoh pada lekatan gusi. Jikalau ada salah satu yang pergi meninggalkan cangkangnya, aku tidak akan segan untuk memanggil utusan hakim agar memenjarakan saudari biadab itu atas nama kekerasan di dalam keluarga!
Kalau bisa, aku aja yang jadi hakimnya! Biar greget.
"Makanya. Kalau aku bilang bangun, ya bangun! Jangan jadi kerbau di pagi hari! Busuk tau."
"Iya, iya."
Cih.
Perasaan si Lyon keparat itu deng yang paling susah dibangunin!
Dihajar sampai pipinya bonyok aja masih tak bergeming sama sekali. Disiramin air comberan dari tetangga sebelah juga masih ga mau bangun-bangun.
Apa kelima inderanya udah gak berfungsi lagi, ya?
Maksudku—well, orang normal macam apa yang masih dapat tidur dengan nyenyak, padahal dirinya udah dinodai oleh err,... sesuatu yang menjijikan. Urgh, aku tidak ingin membayangkannya kembali.
Nggak kerasa? Nggak kecium?
Terkadang, aku jijik sendiri mengingatnya.
"Kalau urusan Lyon, kamu nggak perlu risau. Ia bangun lebih awal daripadamu—err... dua puluh menit yang lalu."
... hah?
"Entah kenapa hari ini dia semangat banget. Baru aja aku mau masuk ke kamarnya, dia udah selesai mandi malah. Lengkap dengan parfumnya yang bikin aku mual. Urgh..."
WTF.
"Maka dari itu Gray. Pas di meja makan nanti... tahan aja, ya."
"..."
Seusai mengucapkan hal tersebut, Ultear segera berjalan menuruni tangga, meninggalkan adik bungsunya tercinta yang masih membatu di tempat. Mencoba untuk menelaah kembali ucapan kakaknya, jika sewaktu-waktu indera pendengarnya lagi error atau apa.
Sungguh.
Apanya yang spesial hari ini...?
— [i] —
Persis apa yang Ultear bicarakan padaku.
Semuanya terlihat nyata kala sosok itu tertangkap di mata.
"Oh, hei, Gray! Kusut banget tuh muka?"
Yang pertama kali menyapaku adalah Lyon, lengkap dengan setelan kemeja putih dan cardigan hitam yang melekat sempurna pada tubuhnya.
Tak seperti hari-hari sebelumnya, wajah Lyon seperti habis dicuci pakai sabun tujuh hari tujuh malam. Terlalu mengkilap untuk dilihat. Aku serasa melihat kepala Jura-sensei untuk kedua kalinya.
"Yah, terserah. Lo sendiri, seneng banget keliatannya."
Aku menarik kursi kosong yang tersisa, menempatkan diri dengan nyaman sembari menunggu waktunya si koki handal menghidangkan makanan.
"Haha, keliatan, ya?"
Lyon tertawa hambar. Ia mengibaskan tangannya berulang kali di udara, sementara tangannya yang lain sedang berusaha menopang dagu.
Aku meliriknya malas. "Keliatan banget."
"Ah, masa? Haha."
"Udah, lo jangan sok baik deh ke gue. Pasti ada maunya, lo kan?"
Sekali tembak langsung kena.
Lyon langsung terdiam seketika. Mulutnya yang sering mengoceh panjang lebar dan tak jelas itu terkatup rapat. Seolah-olah aku telah menginjak ranjau yang tepat.
"Kenapa lo? Memangnya ada yang istimewa ya, hari ini?"
Lyon menautkan kedua alisnya. Dengan dahi yang berkerut layaknya orang lansia, ia menatapku penuh kebingungan.
Aku hanya bisa menaikkan sebelah alis untuk membalas.
"Lo... lupa, Gray?"
"Apanya?"
Untuk kedua kalinya, Lyon menautkan kedua alisnya lagi. Lebih rapat dari yang tadi. Lebih sok cakep dari yang sebelumnya.
Berhasil untuk membuatku hampir bangkit dari kursi hanya untuk mencari kantong muntah terdekat.
"... beneran lo gak inget?"
"Ya, gue tanya apaan?"
"Ya, yang itu... beneran lo gak ingat apa-apa?"
"Kalau gue inget, ya gak mungkin gue nanya ama lo kan!"
Lama-lama risih juga ngomong dengan si Lyon kampret.
Andai aja dia bukan saudaraku yang lebih tua (aku nggak sudi nyebut dia dengan panggilan kakak, cuih.), mungkin sekarang ini aku sudah menjadikannya samsak sementara di kamar.
Lumayan buat latihan. Lumayan buat hiburan.
Alias kata; it's fun.
"Hoo, ada apa nih pada ngobrol bareng? Kok nggak ngajak-ngajak sih?"
Datang tak diundang membawa malapetaka.
Ultear si sialan menghampiri panggung. Lengkap dengan senyuman bak pelangi penuh gula imitasi miliknya.
"Urusan cowok. Lo mah pergi aja sana. Telpon gebetan lo si Zeref, Jellal, atau siapa gitu."
Baru saja ingin menarik kursi kosong yang berhadapan denganku, Ultear menghentikan tangannya. Wajahnya menunduk ke bawah, membuat untaian rambutnya turun mengikuti arah gravitasi.
"..."
"G-Gray... sebaiknya lo jangan nyebutin nama itu lagi deh—"
"Hah? Memangnya kenapa?"
Apa yang salah dengan cowok-cowok sok gentle di depan muka itu? Perasaan mereka dulunya kan gebetan Ultear semua.
Kalau nggak salah juga, mereka semua masih pada jomblo, kok. Masih bisa digaet. Masih bisa jadi target tebar pesona.
Tapi, itu juga...
—... Dulunya sih.
Nggak tau—dan nggak mau tau—kalau sekarang.
"Gray... apa maksud lo tadi, hm?"
Selagi aku menunggu balasan dari saudara sok cakep di depan meja, si iblis berperawakan manusia itu kembali mengamuk. Meja tua tak terawat di hadapannya itu telah menjadi korban pertama yang tumbang.
"..."
Ultear menggebrak meja dengan telapak tangannya. Kedua bola matanya berkilatan merah, menatapku tajam penuh kebencian.
Uh-oh.
Lagi-lagi aku menginjak ranjau yang tepat.
"..."
"Su... Sudahlah, Kak Ultear! Gray tadi hanya ingin membicarakan tentang agenda hari ini aja kok!"
Alibi yang bagus, Lyon. Pantas saja kau dijuluki sebagai "Sang Pangeran" di klub drama. Wajah memelasmu itu sungguh membuatku mual.
"... Agenda?"
Begitu kelopak matanya mengerjap beberapa kali, sekelebat aura gelap yang menyelimuti tubuh Ultear pudar seketika. Menguap kala sanggahan sang adik mendengung di telinganya.
"Memangnya kenapa? Salah ya kalau aku bertanya."
Aku memutar bola mataku malas.
Selagi si iblis itu menempatkan diri di kursi, aku merogoh gadget yang terselip di saku baju. Mengecek hal-hal terbaru yang telah aku lewatkan sejak berlayar di kasur semalaman.
"Kau... tidak mendapat pemberitahuan dari grupmu?"
"Hah? Grup apa?"
"Grup ya, grup lah. Chat group, bodoh."
"Itu pun aku juga tahu! Maksudnya grup yang mana?"
Sialan. Dasar kedua kakak bedebah memang.
Kerjaannya ngeselin orang mulu. Seneng banget nyari dosa.
"Itu lho, guild yang kamu masuki itu. Apa namanya? Yang di game The Mage of Fiore."
Aku mengeryitkan dahi.
"The Mage of Fiore? Fairy Tail?"
Ultear langung menjetikkan jarinya. "Nah iya, itu!"
Lyon hanya terkekeh pelan di seberang sana. Menatap tingkah laku kakak tertua yang tak tahu malu di sebelahnya.
"Sebenarnya Gray, setiap guild di The Mage of Fiore sedang berencana untuk melaksanakan acara kopi darat. Mereka memilih ibu kota, Tokyo, sebagai acuannya. Ya, mungkin saja kebanyakan dari mereka tinggal disana."
Aku hanya mengangguk pelan. Mencermati penjelasan Lyon sembari melihat-lihat pemberitahuan unread messages di WhatsApp yang sudah menumpuk hingga ribuan.
Pantas saja Lyon jadi super duper rapi hari ini. Kalau tidak ada acara seperti itu, aku taruhan ia pasti masih kencan dengan gulingnya di kasur sampai menjelang petang.
"Guild kami, Crime Sorciere dan Lamia Scale, juga turut serta mengikuti acara tersebut. Makanya aku dan Lyon sudah bersiap-siap sedaritadi. Toh, lokasinya tidak terlalu jauh dari sini kok. Jadi—"
"Tunggu, tunggu, tunggu!"
Aku meletakkan telapak tanganku di atas udara—tepat menghadap ke wajah Ultear. Memberikannya sinyal untuk beberapa jeda waktu.
Ultear menautkan kedua alisnya. Walau bibir ranumnya yang dipoles lipgloss tipis itu melengkung tipis ke atas, tak dapat dipungkiri kalau ia sudah kesal setengah mati saat ini.
Untung saja ia memiliki prinsip untuk menjadi seorang gadis yang feminim. Jika tidak, mungkin saja aku sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat saat ini juga.
"Kau masuk ke guild Crime Sorciere?"
Ultear mengangguk.
"Sejak kapan—!?"
Aku segera bangkit dari kursi, menghantam meja makan yang sudah berusia lama itu dengan kedua telapak tanganku.
"..."
"Sejak kapan lo masuk guild baru lagi!? Perasaan kemarin lo masih di Grimoire Heart, deng!"
Seingatku, karakter yang Ultear gunakan masih menyandang status sebagai salah satu anggota guild yang masuk ke dua puluh besar; yaitu Grimoire Heart.
Aku masih mengingat dengan jelas sewaktu mengambil misi bersama dengannya semalam. Saat itu, ia masih berstatus anggota tetap Grimoire Heart. Ia bahkan mendapat kepercayaan sebagai wakil ketua Guild.
Ada hal apa sampai ntuh anak pindah guild dalam sekejap.
Aku memicingkan mata, menatap Ultear penuh selidik. "Kapan lo pindah guild?"
Tanpa merasa ragu, Ultear menjawab pertanyaanku dengan lantang dan jelas.
"Kemarin. Ada beberapa konflik yang muncul di Grimoire Heart. Awalnya sih tidak terlalu besar amat, tapi semuanya melebih-lebihkannya sehingga terjadi perselisihan antar anggota. Karena sudah merasa tidak nyaman lagi berada di guild, semuanya memutuskan untuk membubarkannya."
"Lalu?"
Ada beberapa jeda sejenak sebelum ia kembali melanjutkan.
"Di saat semuanya bubar, aku dan Meredy berniat untuk berkelana bersama. Kami pindah ke Kota Hargeon dan mencari penginapan. Di saat kami berniat untuk mengalahkan beberapa monster di dalam perjalanan, kami berdua bertemu dengan Jellal."
"... Jellal?"
"Iya, Jellal. Jellal Fernandes."
Aku mengeryitkan dahi. "Yakin Jellal? Bukan ilusi lo atau semacamnya?"
PLAK!
"Po-Pokoknya! Usai aku bertemu dengan Jellal, ia—"
"—Aku? Bukannya tadi kami, ya?"
JDUAK!
"YA, APAPUN LAH ITU, YA TUHAN!"
Aku meringis pelan selagi mengusap pucuk kepala yang sudah menjadi korban tangan Ultear untuk yang kedua kalinya.
Sial. Aku jadi malas untuk mengerjainya lagi.
Kenapa cewek yang sedang PMS itu sungguh menyebalkan?
(Btw, aku tahu Ultear lagi dapet bulan ini sewaktu ngeliat dia yang lagi bocor pas main gadget di sofa. Dia mainnya sambil baring-baringan lagi, ya ampun. Sungguh greget sekali. Cuman beritahu itu aja, aku langsung dihajar bolak-balik)
"Jadi, apa lagi?" Tanyaku sembari mengerucutkan bibir.
Ultear mendengus pelan, lalu kembali bersuara. "Ia hanya bertanya tentang Grimoire Heart. Aku dan Meredy menjelaskan kejadiannya, dan tiba-tiba ia mengajakku dan Meredy untuk membuat sebuah guild."
"Dan, guild itu... Crime Sorciere?"
"Ya, begitulah. Awalnya hanya bertiga, tapi sekarang kami sudah mendapatkan empat anggota yang cukup kuat dan sudah menempatkan diri pada peringkat 31 se-Fiore."
"31? Hanya tujuh orang?"
Aku hampir membelalakkan mata mendengarnya. Siapapun mereka itu, Jellal merupakan pria yang sungguh menyeramkan. Otaknya memang bukan main-main karena sudah meneliti dan bahkan merekrut anggota-anggota yang tak kalah jauh menyeramkannya dari dia sendiri.
Ia bukanlah pria yang boleh dipandang sebelah mata.
"Yep. Begitulah ceritanya."
Ultear menyandarkan dirinya pada bantalan kursi, lalu mulai meneguk minumannya—entahlah, mungkin teh darjeeling seperti biasa atau apa—dengan kata anggun.
"Walaupun begitu, Lamia Scale juga tidak akan kalah dari kakak. Kami juga sudah berjuang selama ini. Akan lebih baik jika kalian tidak meremehkan kami."
Di sebelah kursi, Lyon tak kalah anggunnya dengan si kakak. Sembari mengunyah beberapa potong daging di mulut, kedua tangannya tak mau mengalah untuk melayani si pemilik. Sendok yang digenggam tangan kanannya menangkup beberapa nasi, sedangkan garpu di sebelahnya menahan potongan daging yang dilumeri saus. Saling menahan diri untuk tak memasukkan keduanya bersamaan ke dalam mulut.
Eh, sial!
Udah selesai masak, ya? Aku nggak nyadar sama sekali.
Aku segera melempar pandang ke arah bawah, menatap tatanan makananku yang sudah tersaji rapi di atas meja.
Aku tersenyum kecil.
Makasih tuan koki! Kau yang terbaik~!
Tak kuasa menahan lapar, aku segera menyambar sendok perak di samping piring dan memulai acara sarapan pagi dengan hikmat. Menyantap berbagai macam lauk pauk yang tertera—dan bahkan sempat bersaing dengan Lyon hanya karena kekurangan jatah makanan.
Di sela-sela makan, Ultear bersuara, menganggu acara makanku yang tertunda.
"Jadi, Gray? Bagaimana dengan guildmu?"
Aku terdiam. Cukup lama hingga aku meletakkan kembali sendok di genggaman tangan ke atas piring.
"Ya... sepertinya."
"Huh?"
Aku mendengus pelan. Aku melirik ke arah gadget yang terletak tak jauh di samping piring, bersinar cukup terang karena aku lupa menutup locknya tadi.
Layar yang terbuka masih menampilkan kumpulan chat absurd nan gaje dari guild aneh yang kumasuki. Baloon pojok bawah yang masih tetap tak bergeming di tempatnya menarik perhatianku.
Aku tersenyum tipis. "Mereka ikut. Berarti aku juga ikut."
"Benarkah?"
Ultear nampaknya antusias mendengarnya. Ia menatapku penuh binaran, memastikan jawaban yang akan kukeluarkan saat itu juga.
"Ya, begitulah." Ujarku sembari mengalihkan perhatian.
Aku kembali melirik layar gadget tadi. Membaca pesan terakhir yang dikirim oleh pemuda paling idiot yang pernah kutemui.
Dragonfly / Natsu
Minna! Jangan lupa, hari ini ya!
Jam sembilan pagi, di Le Café, Tokyo! XD
sent 07.12
A/N:
Well, hello there, fandom FT.
Udah lama nggak main kesini lagi jadi kangen-/nak Walau pas dulu itu seringnya ngejelajahin fanfic english wkwk.
Yah, salam kenal buat semuanya yang ada di fandom FT indo.
Saya harap anda mau menerima saya yang newbie ini(?) Dih, ngejer anime FT 2014 sampai ngebaca manganya sampai update yang sekarang itu memang sungguh sengsara, wkwk.
Jadi nyesel dulu karena pernah break(?) sama FT dulu pas naik kelas sembilan X'D
Oh iya, ini bukan bashing chara kok. Tenang aja.
Gray Fullboxer(?) cuma ditindas sama dinistakan aja(?) Nggak macam2-/ditendang
Oh iya, saya mau nanya pendapat readers nih.
Bagusnya, game MMORPG kayak biasa, atau ngikutin trend sekarang—yang lagi asik2nya ngikutin gaya game VR MMORPG? (Btw, bagi yg nggak tau bedanya mereka berdua, VR MMORPG kelebihannya itu kayak SAO sih. Main gamenya sesuka hati—secara virtual.)
Ya... sekian dari saya.
Mohon kritik dan sarannya dari kalian semua:)
Signed,
blueesnow
