Sinopsis: Hidup memang berat bagi Shiho Miyano. Selain karena tak memiliki keluarga yang diharapkan, ia juga kesulitan mengembangkan diri justru karena dirinya sendiri. Namun akhirnya ketika bertemu kembali dengan teman lamanya Shinichi Kudo, mereka berdua sudah bertambah dewasa. Sore hari yang indah bersama teman lama, mengobrol hal-hal tentang kedewasaan yang memang sudah seharusnya mereka miliki. AU

Disclaimer: Detektif Conan punya Aoyama Gosho. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari penulisan fakfiksi ini.

.

.

SHIHO MIYANO. Penulis muda kenamaan Jepang yang baru saja meraih Nobel Sastra, dalam waktu dekat akan meluncurkan buku terbarunya.

.

"Saat ini kita sedang bersama Shiho Miyano di studio."

Gemuruh terdengar di studio TV tempat Shiho duduk diwawancara. Ia melempar senyum terbaiknya, dan orang-orang di depannya tersenyum juga, seakan terpesona dengan kecantikannya. Shiho Miyano yang tidak hanya cantik tapi juga berbakat. Siapa pula yang tak suka memandangnya.

"Beritahu kami, apa sih resepnya untuk jadi penulis berbakat hingga meraih banyak penghargaan dalam dan luar negeri?" tanya sang pembawa acara. "Apalagi di usia yang masih muda seperti ini."

Shiho tersenyum sekali lagi sebelum menjawab, "Resepnya—"

"—no!" tiba-tiba suara seorang laki-laki menginterupsinya. "—yano! Miyano! SHIHO MIYANO!"

Shiho terlonjak. Matanya jelalatan ke sana kemari mencari siapa orang kurang ajar yang sudah meneriakinya. Tapi penampakan studio perlahan berganti dan sebagai gantinya, ruang tengah rumah Profesor Agasa yang tertangkap matanya. Sosok Shinichi Kudo ada di sampingnya dengan tatapan heran campur kesal.

"Kau?" balas Shiho.

"Kau melamun apa, sih? Kau tidak tuli, kan?"

"Sembarangan!" Shiho menegakkan tubuhnya.

"Habisnya kau menatap layar komputermu seperti orang kehilangan jiwa!"

"Memangnya aku zombie?"

"Kau seperti zombie, bedanya kau zombie cantik."

Shiho harus menahan diri agar mukanya tidak memerah dan bibirnya membentuk senyuman lebar.

"Apa, sih?" sebagai gantinya Shiho berdiri dari duduknya, menepuk lengan Shinichi kelewat keras, dan berlalu dari pandangan pemuda itu. Apapun, agar ia tak kelihatan bodoh seperti saat ini.

Shinichi mengaduh sebentar sebelum tertawa. "Hei, mau jalan-jalan, tidak?"

Shiho berhenti berjalan. Kini setelah pemuda itu dipunggunginya, rona merah langsung menjalari wajah Shiho dan senyum lebar terlukis di wajahnya. Namun seperti biasa, ia menjawab Shinichi dengan nada semi ketus, "Apa, sih? Tumben ngajak keluar. Di mana pacarmu itu?"

Shinichi tertawa, tapi Shiho tentu saja tidak. Tiba-tiba ia merasa dongkol dengan gadis berambut panjang yang tadi ia maksud.

"Hei, aku bukan pacarnya!"

"Tapi kau menyukainya, kan?" balas Shiho sengit.

"Eh—ya—ya—" tergagap Shinichi berkata, tiba-tiba merasa malu dan heran sekaligus. Untuk apa gadis es itu sewot padanya? "Tapi, kau mau apa tidak?"

.

XxX

Shiho suka membaca dan ia ingin jadi penulis. Karena itu, ia tidak heran ketika Shinichi membawanya ke taman kota. Taman adalah latar yang sudah biasa dalam sebuah cerita ketika tokoh-tokoh dalam cerita itu jalan-jalan. Kalau tidak taman, pasti mall atau kafe. Itu sudah biasa dibacanya. Shiho membuang napas, teringat kembali dengan cerita-cerita yang jarang ia selesaikan. Ia tidak menyelesaikan apa yang telah ia mulai.

Setelah duduk, Shinichi membuka belanjaan kecilnya yang ia beli sebelum ini. Ia menyorongkan sekotak jus pada Shiho sedang ia sendiri membuka kaleng kopi dinginnya.

"Kopi dingin, ya? Tipikal dirimu sekali," kata Shiho, masih agak sinis. Sesuatu yang tidak ia kehendaki sebenarnya. Tapi entahlah, sinis terkadang adalah respon otomatisnya pada pemuda di sebelahnya itu.

"Hm?" Shinichi hanya bergumam sebab kopinya masih ada di mulutnya.

"Kau suka minum es kopi, kan? Itulah yang biasanya kau minum di Kafe Poirot."

Selesai meneguk kopinya, Shinichi berkata, "Kau sedang suntuk memang, makanya sinismu tidak hilang-hilang." Lalu Shinichi menertawakan gadis berambut cokelat itu.

"Katakan, ada tujuan apa kau membawaku kemari?" kata Shiho datar. Ia mulai mengeluarkan sedotan dari plastiknya. Namun sampai Shiho menusuk kotaknya dengan ujung sedotan, Shinchi masih saja belum bersuara. "Heh, katakan. Aku tidak punya banyak waktu."

"Waktu apa maksudmu? Waktu bersantai dan mengkhayal dan tidak melakukan apapun?" Shiho menoleh pada Shinichi dengan padangan sangarnya, tapi Shinichi tak terpengaruh. Ia melanjutkan, "Aku benar, kan?"

Shiho diam. Shinichi benar, dan itu kenapa ia merasa tertohok.

"Setidaknya aku bisa pulang ke rumah dan menjauh dari pemain bulu tangkis amatiran yang terlampau percaya diri sepertimu," kata Shiho lebih pelan namun tetap sinis.

"Hei, aku sudah pernah menjuarai beberapa pertandingan, lho! Aku memang berbakat!" sanggah Shinichi, rasa percaya dirinya muncul lagi begitu karakternya itu disebutkan. "Kau memang tidak banyak melihatku bertanding, tapi kau sudah melihat medali-medali dan piala-piala itu, kan?"

Shiho mengangguk sedikit sambil meminum jusnya. Ia memang lumayan sering ke rumah Shinichi yang terletak tepat di sebelah rumahnya tinggal. Penghargaan yang dimiliki Shinichi memang cukup banyak untuk ukuran anak enam belas tahun. Shinichi benar. Walau cuma dua kali melihat Shinichi bertanding, tapi penghargaan-penghargaan itu sudah cukup jadi bukti. Sudah cukup jadi bukti kalau prestasi yang sudah diraih Shinichi melampaui dua kali pertandingan yang ditontonnya.

"Coba kalau kau menonton dari awal karirku, kau akan tahu betapa hebatnya aku," kata Shinichi dengan seringai percaya dirinya.

"Huh, dalam mimpimu!" Lalu Shiho menjulurkan lidahnya. Tapi diam-diam ia mengulum senyum yang hampir ditunjukkannya. Benar, pasti Shinichi akan terlihat keren sekali dalam pertandingan-pertandingannya. Shiho hanya bisa menyaksikan dua pertandingan terakhir Shinichi sebab Shiho terhitung baru pindah ke kota ini. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan karena orang tuanya meninggal dan ia tidak punya kerabat. Baru ketika akan masuk SMA diketahui kalau ia masih punya kerabat bernama Hiroshi Agasa, seorang profesor tua yang tinggal di sebelah rumah keluarga Kudo.

Sejak diperkenalkan, Shinichi dan Shiho sering berangkat dan pulang sekolah bersama. Mereka pun satu kelas dan cepat akrab. Shinichi pemuda yang menarik. Tidak hanya wajahnya, namun sifatnya yang terlalu percaya diri itu juga menarik perhatian Shiho. Gadis yang seumur hidup nyaris tak mengenal orang tuanya itu diam-diam sering merasa pesimis. Dari awal kehidupan yang bahagia sudah tak berpihak padanya, lalu buat apa ia merasa optimis seperti Shinichi? Mereka berdua berbeda. Shinichi mendapatkan apa diinginkan semua anak di dunia: penampilan menarik, otak pintar, orang tua yang harmonis, keluarga utuh yang kaya…

"Hei, Miyano! Huh, melamun lagi kau," tegur Shinichi.

"Cepat katakan tujuanmu," kata Shiho cepat-cepat, malu karena ketahuan melamun lagi.

Shinichi menarik napas dalam sebelum mengatakan maksudnya. "Aku akan pindah ke Tokyo."

"Kenapa?" tanya Shiho pelan.

"Aku pikir aku akan lebih berkembang jika pindah ke sana. Tokyo punya klub bulu tangkis yang bagus. Kau tahu kan kalau aku ingin jadi atlet profesional?"

"Eh? Jadi kau serius?" suara Shiho meninggi.

"Huh? Jadi kaukira aku mengatakannya cuma main-main?" kata Shinichi setengah sebal. "Aku orang yang berkomitmen, tahu!"

"Lalu—lalu, sekolahmu bagaimana?" suara Shiho kembali memelan.

"Klub itu punya program sekolah sendiri. Aku di sana latihan sekaligus sekolah. Mereka punya asrama, jadi apapun tersedia. Makanan—"

Suara Shinichi mengecil di telinga Shiho. Gadis itu menatap kosong kotak jus di pangkuannya. Shinichi akan benar-benar pindah, dan mereka tak akan satu sekolah lagi? Ia sudah biasa tidak sering melihat Shinichi karena latihan dan turnamen, tapi kali ini Shinichi akan benar-benar pergi…

"—dan Tokyo adalah kota besar. Aku sudah lama ingin tinggal di kota besar!"

Shinichi selesai dengan monolog panjangnya. Kini ia benar-benar menatap Shiho lagi.

"Kau—bagaimana dengan keluargamu di sini? Mouri juga? Bukannya kau suka padanya?" Shiho seperti mencari alasan untuk Shinichi tetap di sini, tapi bahkan ia sendiri sadar rencana pindah Shinichi tentunya sudah dirancang dengan baik.

"Ayah berhasil dapat pekerjaan di sana. Dan soal Ran," kata Shinichi, tiba-tiba merasa kasihan dengan dirinya sendiri, "kudengar dia sedang dekat dengan Hakuba, si detektif tengil amatiran yang sok kaya dan sok ganteng itu. Daripada aku sedih melihat mereka, mendingan aku pergi dari sini saja sekalian."

Lalu apa kau tidak sedih tidak melihatku lagi? Ucap Shiho dalam hati.

.

.

.

Bersambung

Akhirnyaaaaa... bisa posting juga ff di fandom ini setelah sekian lama cuma nulis dan tak menyelesaikan satu cerita pun -_- (jadi serasa seperti Shiho!). Ini adalah ff ku di fandom ini yang kesekian tapi cuma ini yang berhasil kuselesaikan, sekaligus jadi ff pertamaku yang terbit di fandom ini. Teruntuk pembaca yang budiman, kiranya sudi meninggalkan jejak dalam bentuk apapun asal bukan flame agar diriku semangat hahaha