standard disclimer applied – [remake from my oldie fanfiction]
senja datang dan menghilang
tapi sentuhanmu tetap terasa
walau kakimu tak bisa berlari mengikutiku
tapi karena itulah aku ada
membantumu menapak bumi yang serasa mengutuk kita
aku ingin selalu menyapamu, walau hanya lewat angin dan langit musim panas
dan berharap pertemuan ini bukan sekedar mimpi
terlalu cepat
namun, akal sehatku pun tak mampu mencegahnya
menyokongku
yang pada akhirnya
bumilah yang harus menerima dan memeluk jasadku
berharap hari ini dan seterusnya, hatiku lebih berwarna, tak hanya hitam mendominasinya
hanya kita, bersama
terima kasih karena kau tidak pernah lari dariku
terima kasih karena kau telah membiarkanku menjadi kakimu
terima kasih karena kau telah mencintaiku
|| 0068 || 779910 || 217 || 61412 || 9488 ||
Satu hari di awal musim semi di bulan Maret….
Pemuda dengan rubik's cube di tangannya itu ragu-ragu menatap bangunan di depannya. Bangunan berjuluk florist dengan aroma bunga yang menguar keluar itu seolah menjadi satu hal yang menakutkan baginya untuk masuk ke dalamnya. Sejenak ia terpaku dan seolah tengah mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya keputusan telah di ambilnya. Pemuda itu justru berbalik dan memilih pergi meninggalkan toko bunga di pinggir jalan itu. Sampai kapan pun ia tidak akan cocok dengan florist.
Pemuda itu tak menyadari bahwa ada sepasang mata di wajah seorang pemuda manis di dalam florist yang mengamati gerak-geriknya dari tadi.
"Kau tunggu di ini sebentar, KyungSoo-ya," pamit MinSeok pada pemuda yang membantunya menjaga toko bunga itu. Pemuda bernama KyungSoo yang tengah merapikan tumpukan Sweet Pea itu menoleh sejenak pada MinSeok yang tengah melepas apron yang di kenakannya.
"Kau mau ke mana, Hyung?"
"Keluar sebentar!" jawab MinSeok singkat seraya berjalan ke arah pintu masuk dan keluar tokonya.
KyungSoo hanya menatap heran pada sosok MinSeok yang telah pergi. Pemuda itu memilih tak peduli dan meneruskan kegiatannya pada bunga di tangannya.
"Kenapa kau tidak jadi masuk ke tokoku?" MinSeok melemparkan pertanyaan seraya duduk di ayunan yang kosong di taman. Satu ayunan yang berada di sisinya telah di duduki pemuda yang tengah menunduk menarikan jemarinya di atas rubik's cube-nya.
"Siapa?" Pemuda itu mendongak, menatap MinSeok menyelidik.
"Kim MinSeok imnida. Kau?"
"Min...Seok?"
MinSeok mengangguk. "Kau?"
"LuHan. LuHan imnida." Pemuda bernama LuHan itu melepas pandangannya dan memberi perhatian penuh pada MinSeok di sisinya.
"Jadi, kenapa kau tidak jadi memasuki tokoku, LuHan-sshi?" tanya MinSeok lagi.
LuHan menunduk. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika sampai ke dalam nanti." Senyum malu melengkung tidak sempurna di bibirnya.
Berbalik dengan senyum MinSeok yang terlihat manis dan lembut mendengar kejujuran pemuda bernama LuHan itu.
"Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan atau kau tidak tahu jenis-jenis bunga, eh?" goda MinSeok lagi.
"Ya, salah satu di antara dua pilihan itu ada yang benar."
MinSeok tertawa samar.
"Kau memang tidak bisa sembarangan memilih bunga. Karena setiap bunga memiliki arti khusus. Tapi kau bisa bertanya pada penjaga florist, LuHan-sshi," kata MinSeok bijak.
"Aku tidak tahu hal itu sebelumnya. Kupikir semua bunga sama saja."
MinSeok menatap pemuda itu prihatin. "Tentu saja memiliki arti. Kau tidak bisa begitu saja menyerahkan bunga. Misalnya karena bunga kamboja indah dan jasmine wangi. Kau menggabungkannya dan menyerahkannya untuk ulang tahun pacarmu. Kau tahu apa yang kau dapat?"
"Apa?"
"Makian kalau kau cukup beruntung. Dan tamparan kalau kau sedang sial," terang MinSeok renyah.
"Kenapa?"
"Jelas saja. Karena dua bunga itu adalah lambang duka cita dan dekat dengan kematian, arra?"
"Tapi aku tidak punya yeojachingu." LuHan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dan aku juga tidak suka bunga."
"Kenapa? Kau pernah disakiti dengan bunga, eh?" tebak MinSeok tepat sasaran.
"Hanya dalam masalaluku…" jawab LuHan getir.
"Aku mengerti. Tapi apa yang membuatmu kembali tertarik untuk membeli bunga? Kau dapat yeojachingu baru?"
LuHan menggeleng. "Aku tidak tertarik dengan yeoja."
"Maksudmu?" MinSeok menatap LuHan tajam, pura-pura tak paham dengan maksud kalimat LuHan.
"Terserah orangg menganggapku aneh. Tapi aku benar-benar tidak tertarik dengan yeoja."
"Tidak aneh kok. Hanya saja mungkin beberapa orang belum bisa menerimanya," hibur MinSeok seraya menggerakkan kakinya dan membuat ayunan bergerak pelan. "Lagipula aku juga sepertimu."
"Eh?" LuHan menatap pemuda itu tajam.
MinSeok tertawa. "Jadi kau ingin membeli bunga untuk siapa?"
"Umma…"
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Kajja. Aku akan menunjukkan bunga yang tepat untukmu!" MinSeok bangkit dengan penuh semangat.
Namun gerakannya terhenti melihat LuHan yang masih juga belum beranjak.
"Ada apa? Kau tunggu apalagi? Jangan biarkan Umma-mu menunggu kejutan dari putranya lebih lama!"
LuHan menatap langit musim semi yang membiru. "Hari ini, tepat perayaan seratus hari meninggalnya Umma. Aku ingin mengunjungi makamnya, dan aku tidak ingin membawa bunga yang salah."
Tawa mendadak hilang dari wajah Kim MinSeok.
"Mianhae. Aku tidak tahu," sesal MinSeok.
"Tidak apa-apa," ucap LuHan menenangkan. "Jadi, apa kau tetap akan membantuku memilihkan bunga yang pas untuk Umma?"
MinSeok mengangguk. Pemuda itu tersenyum dan meraih tangan pucat LuHan.
"Tentu. Kajja! Aku akan membantumu memilih bunga yang tepat."
...
MinSeok menatap LuHan yang kini berdiri dengan sebuket bunga di pelukannya.
"Terima kasih." LuHan membungkuk. "Apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu?"
"Mudah, LuHan-sshi." MinSeok tersenyum misterius. "Bawakan aku setangkai bunga—
Alis LuHan terangkat.
—yang kau pilih sendiri besok."
...
Florist tempat MinSeok bekerja baru saja buka ketika lonceng berbunyi pelan. Tanda ada pelanggan pertama yang datang.
"Selamat dat—LuHan-sshi!" sambut MinSeok ceria melihat yang datang adalah pemuda yang kemarin membeli bunga di tempatnya.
"Annyeong!" LuHan tersenyum lebar.
"Kau ingin membeli bunga lagi?" tanya MinSeok ramah.
"Sebenarnya aku datang untuk… ya membeli bunga. Ngg~ maksudku…" LuHan bingung dengan kalimatnya sendiri. "Kau kemarin menyuruhku ke sini untuk membawakan sesuatu sebagai tanda terima kasih, 'kan?"
"Ah. Aku senang kau mengingatnya. Lalu?" MinSeok bertanya dengan sedikit menggoda pemuda di depanya.
"Kau ingin aku memilih bunga pilihanku sendiri untukmu, 'kan?"
"Ya. Dan bunga itu dari tokoku, eh?" MinSeok menahan tawa yang sontak ingin meluap keluar melihat pemuda yang menatapnya dengan raut wajah lucu.
"Tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak. Pilih satu bunga untukku."
LuHan mengangguk singkat. Ragu-ragu pemuda itu mulai mengamati hamparan warna di depannya. Bermacam bunga membuatnya bingung. Sementara ia juga tak boleh salah memberikan bunga pada MinSeok, karena setiap bunga memiliki arti.
"Butuh bantuan?" tanya MinSeok dari meja tempatnya berada. Tangannya sibuk merangkai buket Baby's Breath, pesanan dari pelanggannya.
LuHan menggeleng. "Tidak."
Mata dari sosok yang masih belum bisa bersahabat dengan bunga itu tetap memandang lurus ke depan. Tadinya ia ingin mengambil bunga yang berwarna merah muda, melihat MinSeok yang sepertinya sangat cocok dengan warna cerah itu. Namun LuHan urungkan niatnya itu. MinSeok butuh sesuatu yang berbeda. Sesaat kemudian ragu-ragu ia bergerak menuju salah satu kumpulan bunga. Tangannya terjulur dan meraih satu tangkai bunga yang entah kenapa begitu terlihat begitu pas dan—
—indah.
MinSeok terdiam dan menghentikan kegiatannya merangkai buket. Mata pemuda itu membulat tak percaya pada bunga pilihan LuHan.
"Kau sungguh-sungguh memilihkan bunga ini untukku?" MinSeok menatap tangkai yang terlihat indah di hadapannya.
"Ya. K-kenapa? Apa artinya tidak baik?" tanya LuHan cemas.
MinSeok menggeleng. Semburat merah terlihat di wajah itu ketika tanganya meraih tangkai bunga dari genggaman LuHan.
"Kenapa kau memilih bunga ini, Lu?" MinSeok memanggil LuHan tanpa suffiks.
LuHan tertawa seraya mengusap tengkuknya. "Tidak tahu. Kupikir bunga itu indah dan kau akan menyukainya. Kau suka?"
"Tentu. Aku sangat menyukainya. Xie xie…" MinSeok menatap LuHan dengan wajah berseri-seri. Membuat kelebatan merah muda juga menghiasi wajah tampan pemuda itu. "Kau mau tahu arti dari bunga ini?"
LuHan mengangguk kuat.
"Bunga Arbutus. Bunga ini memiliki arti…" MinSeok menunduk menatap lantai florist yang dingin. Ada perasaan senang yang aneh mendadak merasuki hatinya."… 'Kamulah yang kucinta.'"
LuHan tercekat, ia tidak menyangka artinya akan sedalam itu.
"Kau tidak menyesal 'kan memberiku bunga dengan arti seperti ini?" tanya MinSeok pelan.
LuHan tersenyum sangat lembut.
"Tentu saja tidak."
Pemuda itu memajukan wajahnya dan mengecup bibir MinSeok singkat. Sementara tangannya tergerak meraih satu tangkai lagi tulip merah yang berada dalam jarak yang mampu diraihnya.
"Saranghae, Kim MinSeok! Ini bunga yang terakhir."
LuHan melesat keluar sebelum MinSeok sempat sadar bahwa ia baru saja kehilangan ciuman pertamanya.
"LuHan!" teriak MinSeok sia-sia. Karena kini LuHan tengah tertawa seraya berjalan pulang dengan tangan terlipat di belakang kepalanya. Pemuda itu meninggalkan MinSeok yang termenung menatap tangkai Arbutus di tangan kanannya serta tangkai tulip merah di tangan kirinya.
Tidakkah LuHan tahu?
Tulip merah berarti—
MinSeok beralih menatap pintu masuk florist-nya. Ada sosok yang baru saja memasuki hatinya. Dan ia merasa senang-senang saja dengan kehadirannya. Karena…
—'cinta tak tertahankan lagi'.
"Nado saranghae, LuHan…"
.
.
.
.
.
.
.
Satu hari di awal musim semi di bulan Maret, tahun yang berbeda...
"Kalau kau tidak mendengarkan kata-kataku, kau akan hidup begini terus!" Ahjusshi itu berteriak di depan MinSeok dengan suara yang mampu membuat LuHan akan memukulnya jika saja ia bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Namun LuHan melihat MinSeok memilih untuk menulikan telinganya.
"Aku tidak ingin meninggalkan LuHan! Apalagi membawanya ke panti sosial!"
'Plak.'
Sebuah tamparan diterima MinSeok sebagai jawaban. Pipi putih itu memerah. Nyeri ia rasakan saat wajahnya menunduk.
"Untuk apa kau merawat pemuda cacat seperti itu, Kim MinSeok?!"
"LuHan tanggung jawabku! Aku yang membuatnya jadi begitu! Dan aku tak akan meninggalkannya! Tidak akan pernah!"
"Dia hanya akan merepotkanmu! Kau seharusnya memikirkan keadaanmu sendiri! Pikirkan kebahagianmu!"
Kebahagiaan? Keadaanku?
Kebahagianku adalah jika aku bisa bersama LuHan. Selama ini kami baik-baik saja.
Lidah Minseok kelu. Ia tak mampu menjawab kata-kata pria di depannya.
...
"Kenapa kau sangat ingin pergi ke taman, Lu?" tanya MinSeok sembari tangannya tak berhenti menyisir rambut LuHan. Sementara pemuda depannya yang belum bisa berjalan tengah sibuk memainkan rubik's cube-nya. Kebiasaan favoritnya sebelum kecelakaan itu.
LuHan mendongak dan menatap MinSeok. "Kau biasanya membawaku dalam keadaan tidak sadar, Baozi. Aku ingin menikmati taman saat aku bisa berteriak bebas. Memaki jika ada orang yang menganggumu."
MinSeok tersenyum. Dijitaknya pemuda itu pelan, membuat sang korban meringis kesakitan.
"Appo, Baozi!"
MinSeok tak peduli. Pemuda itu segera meletakkan sisirnya dan meraih kursi roda LuHan. "Kajja!"
Didorongnya kursi roda itu ke arah taman, tempat mereka bisa bermain sebelum kecelakaan maupun setelah kecelakaan terjadi. Sebuah taman kecil yang menyenangkan. MinSeok mengambil tempat di dekat bangku, tepat di bawah pohon plump yang sedang tidak berbunga.
"Tempat ini menyenangkan…" ucap LuHan senang. Diliriknya MinSeok yang berdiri dengan wajah cerah di belakanganya.
"Baozi..."panggil LuHan tiba-tiba.
"Wae?" MinSeok menatap LuHan bertanya.
"Ada sesuatu di matamu…"
"Mwo?" MinSeok berusaha membersihkan—yang entah apa itu—dengan tangannya. Belum hilang.
"Biar kubersihkan," tawar LuHan. MinSeok menunduk. Mendekatkan wajahnya pada LuHan yang kini tersenyum jahil.
'Cup'
Kena!
Sebuah kecupan mendarat di bibir MinSeok.
MinSeok terbelalak menerima serangan tiba-tiba LuHan. MinSeok mencoba berkelit, gagal. Tangan LuHan menahan tengkuknya. Memaksanya untuk memperdalam ciuman mereka. Sebuah lumatan yang manis dan menuntut. Tanpa sadar MinSeok memejamkan matanya. Pemuda itu mulai terhanyut dalam permainan yang LuHan tawarkan. Ia sadar sudah berapa lama sejak ia mencium LuHan tanpa balasan.
"Kau menyukainya?" LuHan melepas ciuman mereka dan menatap pemudaitu jahil.
"Bodoh…" rutuk MinSeok pelan.
LuHan terkekeh.
MinSeok sangat merindukan tawa maupun senyum dari sosok kekasihnya ini. Sangat rindu.
"Saranghae…" MinSeok menunduk mengecup pucuk kepala LuHan. Membiarkan LuHan memeluk tangannya yang kini melingkar di tubuh LuHan.
"Nado. Nado saranghae…"
Keduanya terdiam menikmati angin yang bergerak tak terlihat di depan mereka hanya sesekali dedaunan dan rerumputan bergoyang mengirim tanda bahwa ia benar-benar ada, walau mata-mata manusia tak mampu melihatnya.
"Ah, ne! Aku nanti harus ke rumah sakit." MinSeok teringat sesuatu.
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk mengambil obatmu."
"Jangan lama-lama."
"Aniyo, Chagi…"
...
"Sebuah perkembangan yang sangat bagus, karena respon yang diberikan LuHan sangat positif."
MinSeok tesenyum di samping dokter yang tengah memperlihatkan foto scan tungkai kaki LuHan.
"Kesempatan LuHan untuk bisa berjalan lagi adalah seratus persen." Dokter itu menoleh dan menatap mata basah MinSeok. Senyum bahagia terbentuk di wajah itu.
"Terima kasih, Dokter." MinSeok berucap serak. "Terima kasih."
Setelah mengambil obat untuk LuHan dan mendapat kabar bahagia soal kesempatan LuHan untuk bisa berjalan lagi, MinSeok beranjak menuju tempat lain. Sebuah tempat yang beberapa tahun ini telah menjadi singgahannya. Pemuda itu duduk menunggu di luar ruangan. Merenung. Menatap nanar orang-orang yang bersliweran di depannya. Dan ingatan tentang beberapa tahun silam penyebab kelumpuhan LuHan pun merasuk kembali dalam memorinya.
Satu hal. Satu hal yang telah diputuskannya. Setelah keluar dari rumah sakit ini ia akan pergi…
Jauh meninggalkan LuHan-nya…
...
LuHan menatap jam tua yang tergantung di dinding apartment mereka. Waktu sudah pukul empat. Sudah lima jam lebih MinSeok pergi.
Pemuda itu gelisah. Dikayuhnya kursi roda itu bergerak ke sekitar ruang utama mereka sembari sesekali berhenti dan meremas tangannya. Pemuda itu begitu khawatir, terlihat dari raut wajahnya yang pucat. Berkali-kali ia melirik pintu masuk apartment mereka. Dan sosok MinSeok tak juga muncul. Berbagai pikirin buruk yang ia coba tepis mati-matian menghampiri pemuda itu. Semua tentang Kim MinSeok.
LuHan akhirnya menyerah. Ia mulai keluar menyusur dan mencari pemudaitu. Tertatih pemudatampan itu mengayuh kursi rodanya mengitari jalanan yang sepi dan berujung di taman. Karena sore sudah mulai turun. Ia sangat khawatir pada MinSeok yang belum pulang.
Untuk apa ke rumah sakit sampai lebih dari lima jam?
Biasanya ia tidak selama ini. Sekali lagi mata caramel LuHan menelusur taman yang suram dan akhirnya ia menemukannya. Menemukan pemuda yang tengah terduduk, meringkuk di sudut taman. Di atas sebuah bangku panjang.
"MinSeok?"
Seseorang memanggil namanya. MinSeok mendongak. Wajah chubby itu menemukan LuHan yang tersenyum ke arahnya. Lembut.
"Lu..."
"Kau terlihat sangat risau." LuHan berhenti di depan pemudaitu. Mencoba tidak menanyakan alasan langsung kepergian MinSeok. Walau ia sudah ingin marah dan meledak. Namun melihat pemuda itu seolah semua amarahnya luluh. "Aku khawatir."
MinSeok menunduk. "Maaf. Aku sedang banyak pikiran akhir-akhir ini."
"Kau bisa cerita padaku dan bukannya kabur seperti ini."
"Maaf, Lu. Aku hanya memikirkan tentang—!"
"—aku…" sambung LuHan pelan. "Kau memikirkanku?"
MinSeok menghela napas pelan sebelum pandangannya menerawang, mencoba menggali ke dalam memorinya dan berjalan ke masa lalu.
"Kau adalah pemuda yang baik. Kau, kuat, ceria, pantang menyerah, dan pintar. Dan saat itu, aku sedang ada acara, belum begitu pandai menyetir dan kau memaksa untuk menjemputku. Aku melarangmu. Tapi, karena alasan kasihan kau nekat berangkat sendiri. Dan akhirnya… apa yang kukhawatirkan terjadi… kau mengalami kecelakan dan kau…" MinSeok merasa berat melanjukan kalimatnya, "…kau lumpuh karena kecelakaan itu."
LuHan menahan napas. Ditatapnya pemuda itu dalam. Memori itu adalah memori paling mengerikan dalam hidupnya.
"Dan aku menyalahkan diriku sendiri aku atas semua itu …" MinSeok menunduk. "Seandainya saja aku lebih cepat datang dan meninggalkan acara konyol itu… Kau tidak…"
"…tidak akan lumpuh…" sambung LuHan pelan. Caramel-nya menerawang ke atas, menatap langit yang suram.
MinSeok menoleh. "Du bu qi, Lu. Aku membuatmu tidak nyaman."
LuHan tersenyum.
Perlahan LuHan bergerak dan –ragu-ragu— merengkuh MinSeok dari lembut. Tangannya memeluk erat pinggang MinSeok dan menyandarkan dagunya pada bahu MinSeok. Nyaman.
"Du bu qi," ucap MinSeok lirih. Ia membenamkan wajahnya dalam bahu pemuda itu.
LuHan melanjutkan kata-katanya, nyaris menyerupai bisikan, "Aku tidak menyesal dengan semua ini. Karena aku masih hidup. Aku masih bisa bersamamu. Yang aku sesali adalah jika aku tak bisa bersamamu. Aku tak bisa meninggalkanmu, Kim MinSeok."
MinSeok terisak tanpa suara mendengar kalimat LuHan. Ada satu hal yang seharusnya LuHan tahu. Bahwa semua lebih dari ini.
Lebih menyakitkan… LuHan seharusnya tahu.
"Aku sebentar lagi mati, Lu…"
...
MinSeok menatap namja berpakaian dokter di depannya dengan getir. Tubuh itu bergetar menerima setiap kalimat yang dilontarkan dokter di depannya. Kalimat-kalimat yang mampu meruntuhkan air matanya. Walau ia sosok yang sulit menangis sekalipun. Sesuatu yang ia dengar seolah membuat kebahagiaannya menguap begitu saja.
"Kanker otak Anda sudah mencapai stadium empat, MinSeok-sshi."
MinSeok tercekat. Sebuah vonis telak yang menghantamkan batu besar ke dalam hatinya.
"Sebaiknya Anda segera memberitahu kerabat Anda mengenai hal ini…"
"Apa… Apa aku akan segera… meninggal…?"
Dokter itu tersenyum getir.
"Kau telah melakukan yang terbaik…."
...
Tadi siang, MinSeok menerima hasil diagnosa yang menyatakan dirinya mengidap kanker otak stadium empat. Selama ini ia harus menjalani terapi bertahun-tahun. Tapi ia memutuskan untuk tak melakukannya karena itu berarti ia akan meninggalkan LuHan.
Ia tak ingin meninggalkan LuHan-nya. Tidak dalam kondisi apapun. Selama ia masih bernapas, ia akan selalu berada di sisi LuHan, menjaganya, melindunginya.
"Aku tidak ingin meninggalkanmu, Lu…" MinSeok memeluk LuHan erat. Menyembunyikan wajahnya yang basah dalam leher LuHan. Berharap bumi dan kematian tak menemukannya. "Tapi aku takut. Aku takut karena kematian bisa saja tiba-tiba menghampiriku…"
"Aku tidak peduli. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang diberikan takdir untuk kita." LuHan mendekap pemuda itu. Berharap sebagian sakit yang ditanggungnya berpindah padanya. Walau itu sia-sia.
"Aku hanya ingin bersamamu. Tak peduli siapa yang pergi lebih dulu. aku hanya ingin bersamamu, Kim MinSeok."
Ia tidak menyesal. Tak akan pernah. Karena ini adalah jalan hidup yang telah diambilnya, dan ia siap dengan semua risikonya. LuHan meraih surai hitam itu. Mencari mata yang kini memerah dengan air mata yag menderas di pipinya. Lembut LuHan mengusap air mata di pipi pemuda itu.
"Terima kasih karena kau telah mencintaiku."
Wajah itu mendekat. Mengecup kelopak mata kiri MinSeok yang terpejam.
"Terima kasih—
Kecupan itu beralih ke mata kanan. Lembut dan tak membiarkan air mata itu keluar untuk kesekian kalinya.
—karena kau tak meninggalkanku…"
Perlahan kecupan itu berakhir di bibir. Lembut. Selembut senja yang seolah enggan beranjak meninggalkan dua orang anak manusia yang terikat dalam satu takdir. Takdir yang membuat sang waktu malu dan memilih bergerak maju.
"Terima kasih karena kau telah lahir di dunia ini untukku… Kim MinSeok…"
...
"Mengundurkan diri?" KyungSoo menatap MinSeok dan LuHan yang berada di depannya. Ia baru saja membuka florist setelah menunggu MinSeok yang terlambat hampir satu jam. Saat KyungSoo tengah merapikan Carnation Red, MinSeok baru datang dengan LuHan. Lelaki yang tiga tahun ini telah menjalin hubungan dengan MinSeok. KyungSoo pun masih ingat hari di mana MinSeok dan LuHan bertemu untuk pertama kalinya—atau setidaknya begitulah menurut KyungSoo—hari itu LuHan ingin membeli bunga untuk mengenang seratus hari meninggalnya ibunya.
MinSeok tersenyum. "Aku ingin berkonsentrasi pada terapi LuHan."
KyungSoo menatap keduanya bergantian. Sedikit mengernyit, namun akhirnya ia mengangguk mengerti. "Ada yang ingin kuperlihatkan."
Alis MinSeok terangkat. Namun ia memilih mengikuti KyungSoo yang berjalan menuju taman di belakang florist, seraya mendorong kursi roda LuHan pelan.
Sebuah rumah kaca berukuran sedang terbangun di belakang florist. Sebuah rumah kaca tempat KyungSoo dan MinSeok berusaha mengembangkan bunga-bunga yang cukup langka—hanya tumbuh di musim-musim tertentu. Bunga-bunga itu diletakkan di kotak yang mirip kaca dengan suhu dan habitat yang dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Memasuki rumah kaca itu, seperti berada di sebuah ruangan dengan empat musim berbeda.
Bunga musim semi berada di depan pintu masuk. Warna-warna cerah memenuhi kotak kaca di sisi ruangan. Bunga musim panas menyusul selanjutnya. Sementara bunga musim gugur yang pucat berada di posisi ke tiga.
Langkah KyungSoo berhenti di musim dingin. Musim terakhir atau begitulah mereka menyebutnya. Ia menyentuh sebuah kotak kaca yang sisinya berwarna putih entah oleh kabut buatan atau—salju?
Di dalam kotak kaca itu terdapat kehidupan lain. Sebuah kehidupan yang memberi warna berbeda. Sekuntum bunga berkelopak putih bersih dengan daunnya yang hijau cerah.
MinSeok bergerak ke arah kotak kaca itu. Onyx-nya menatap bunga putih dalam kotak kaca di depannya. Mata itu membola sempurna.
"K-kau berhasil, KyungSoo-ya!" pekik MinSeok keras. Pemuda itu tertawa dan menatap KyungSoo yang tersenyum di sisinya.
"Kau yang berhasil, Hyung."
"Lihatlah, Lu!" MinSeok berbalik dan menarik kursi roda LuHan mendekat. "Ini adalah—,"
"—Snowdrop flower," ucap LuHan pelan.
MinSeok menunduk menatap pemuda itu heran. "Darimana kau tahu?"
LuHan tak menjawab. Jemari kurus itu bergerak mencoba menjangkau dan mengelus kotak kaca yang tertutup kabut putih di depannya. "Snowdrop... bunga yang hanya mekar seminggu di musim dingin. Bunga yang memiliki kelopak putih. Sebuah bunga yang berarti...harapan."
Harapan.
Sebuah harapan.
.
.
.
"...respon anda menunjukkan gejala negatif, MinSeok-sshi. Melihat kondisi ini, kami juga sudah tidak berani melakukan terapi."
"Berapa lama lagi...?"
.
.
.
Satu hari di pertengahan musim dingin di bulan Desember...
"Yah! Kau kenapa ingin merusak bunga indah itu?" Sebuah suara kecil nan merdu membuat sosok yang hendak memetik bunga berwarna putih itu menghentikan gerakannya. Sosok itu menoleh dan mencari sumber suara. Karamel dinginnya menemukan mata yang teduh dalam diri pemuda kecil yang tengah mendelik lucu ke arahnya. Pemuda itu terlihat imut dengan wajah bulatnya. Ditubuhnya melekat t-shirt biru muda yang dibungkus mantel musim dingin dengan warna sama.
"Bunga ini adalah bunga langka yang hanya mekar seminggu di musim dingin… karena itu kau tak boleh merusak keindahannya," sambung anak itu lagi. "Bunga ini bernama Snowdrop. Ibuku bilang bunga ini adalah lambang harapan'." Sekarang ia bergerak mendekat ke arah sosok itu dan ikut berdiri di samping bunga itu. Sosok itu menangkap satu pandangan lembut dari sosok namja aegyo itu pada bunga di bawahnya. Ia hanya mengamati tingkah namja itu dalam diam. Caramel-nya menyorot dingin, sedingin suhu di hutan ini.
"Namamu siapa?" tanya namja itu seraya menoleh ke arah sosok pertama.
"…"
"Aku MinSeok. Kim MinSeok imnida. Dan kau?" Pemuda mungil itu mengenalkan dirinya.
"Kau bertanya padaku?" tanya sosok pertama.
"Bodoh! Tentu saja aku bertanya padamu! Di sini 'kan memang hanya ada kita!" jawab MinSeok cemberut.
Sosok pertama itu tersenyum, tatapannya padanamja aegyo itu melembut.
"Namaku…"
"Tuan Muda MinSeok. Ayo segera pulang!"
"Wah gawat! Aku sudah dicari! Kapan-kapan kita ketemu lagi ya!"
Dan namja mungil bernama MinSeok itu pun berlari menjauh.
"Yah! Kau tidak ingin tahu namaku?!" teriak sosok pertama. Terlambat MinSeok tak mendengarnya.
"Namaku… LuHan…" ucap LuHan sia-sia.
Lalu, ia kembali menatap bunga berkelopak putih di depannya.
Snowdrop...bunga yang berarti harapan.
Harapan.
Sebuah harapan.
.
.
.
.
.
"LuHan ayo kita bermain."
"Bermain apa, Baozi? Kau tidak seharusnya membuat dirimu sendiri kelelahan."
"Ayolah, Lu."
"Baik-baik. Apa nama permainan itu?"
"Permainan ini aku namakan 'Count Down'."
"Namanya aneh...bagaimana cara bermainnya?"
"Kita akan menulis diary dan mimpi-mimpi kita untuk enam puluh hari ke depan."
"Tch! Hanya anak perempuan yang menulis diary, Baozi."
"Kumohon, Lu."
"Iya-iya. Lalu apa?"
"Lalu...pada hari ke enam puluh kita akan... Kita akan—saling bertukar catatan itu."
.
.
.
.
.
"Berapa lama...berapa lama lagi saya akan bertahan, Dokter?"
"...enam puluh hari lagi, MinSeok-sshi."
...
THE BEGINNING
( © AL, 2012-2013 )
