Konoha, 20 Mei 2016
"Apa?"
Ino—wanita berusia tiga puluh enam tahun itu menggaruk lehernya bingung. Lantas mengibaskan surai pirang sepunggungnya dengan gaya elegan. Deheman singkat terkesan kalem miliknya menghentikan aksi canggung yang Ino buat sendiri."Kau mengatakan bagaimana aku bertemu dengannya?" Ia nampak berpikir keras.
"Kami bertetangga seingatku." Sosoknya terdiam sebentar. " Yah, kami bertetangga dan sudah mengenal sejak kecil. Itu saja yang kuingat." Ia nampak mengangguk yakin.
Sedetik kemudian, seorang pria yang nampak seperti suami—datang menghampiri perempuan cantik itu. Duduk di sebelah putri tunggal Yamanaka sebelum keduanya saling menatap dengan pandangan bertanya.
"Apa?" tanya sang lelaki yang hanya dibalas dengan gelengan oleh Ino.
"Dia menanyakan bagaimana kita bertemu." Ino menunjuk ke arah kamera di depannya dengan ekspresi inosen. "Kau masih ingat bagaimana saat pertama kali kita bertemu, Suamiku?"
"Kita teman kecil?" Jawab suami Ino tak yakin. "Kita memang teman sejak kecil, dan menikah ketika dewasa. Sudah."
Ino dengan tiba-tiba memukul dahi sang suami dengan keras. Membuat sang pemilik kening itu mengaduh seketika—untuk kemudian memandang Ino dengan pandangan bertanya. "Suami macam apa kau? Tidak romantis sama sekali! Mati saja sana!" Ino mulai aksi pura-pura ngambeknya.
"Kau marah?" lagi-lagi suami Ino bertanya dengan ekspresi tak berdosa.
"Tidak! Aku sangat senang hingga rasanya ingin menggunduli kepalamu!" Jawaban yandere Ino tentu saja membuat sang suami kicep seketika. Kalau sudah begini, memang lebih baik diam saja.
"Aku tidak apa-apa. Dia memang seperti itu."
Chapter 1 : Prolog
.
.
.
.
.
Ayam Rusa mempersembahkan
Sebuah coretan akibat menjadi korban gagal mupon dari drama kesayangan
Answer Me (Reply)
Fiksi dedikasi untuk para penyuka genre friendship(zone) di luar sana
Warning! Ini merupakan versi Naruto dari Reply 1988. Beberapa adegan merupakan pengembangan saya pribadi
Waspada! Lautan tipo dan bahasa semau saya digunakan dalam tulisan ini!
Ino Y. — Naruto U. — Sasuke U. — Sai
.
.
.
.
.
Konoha, 20 Mei 1998
"Naruto! Cepat ambilkan selimutnya, bodoh!"
"Ambilkan juga untukku."
"Naruto, biar aku bantu."
"Tidak usah!" Teriak dua orang bersamaan.
Kali ini, mereka berdua tengah berada di kediaman Naruto—pemuda yang sedari tadi diteriaki dengan tak manusiawi oleh dua insan lain. Sementara Naruto yang menggerutu seraya mengambil selimut juga menyalakan penghangat ruangan, ketiga temannya yang lain justru sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Pertama, pemuda berambut pirang jabrik dengan iris safir cerah bernama Naruto Namikaze. Adalah putra dari pasangan sensasional Minato Namikaze dan Kushina Uzumaki. Terkadang bahkan orang lain dibuat heran. Ayah Naruto ketampanannya tanpa tahu terima kasih, sementara sang ibu populer sebagai salah seorang wanita tercantik di Konoha. Sedangkan Naruto sendiri ... sudahlah, mungkin memang belum saatnya Naruto tampan.
Kedua, laki-laki paling populer di kompleks ini—atau bahkan di angkatannya juga. Dengan potongan rambut yang tiada duanya, dirinya merupakan bungsu dari keluarga Uchiha yang ternama, Sasuke Uchiha. Tampangnya tampan, tapi sayangnya—
"Naruto-teme! Kau mau mati?"
—mulutnya seperti tak pernah disekolahkan. Dan jangan pernah salah, di balik wajah sedatar kisah cintanya itu, Sasuke menyimpan beribu sikap yang sangat menyimpang. Begitulah hidup memang ...
"Naruto, biar aku bantu saja."
Pemuda terakhir yang berada di ruangan ini adalah Sai Namikaze—lebih tepatnya saudara angkat Naruto. Merupakan pemuda paling kalem, polos nan lugu (lugu dan bodoh itu berbeda tipis bagi Ino) serta pendiam di antara yang lain. Tetapi karena terlalu kalem, terkadang apa yang keluar dari mulutnya itu semacam lemparan cabai di musim panas. Pedas.
"Kalian kenapa berisik sekali! Ah, aku tak mendengar dengan jelas siapa namanya tadi."
Dan yang terakhir, satu-satunya gadis yang berada di ruangan ini. Si cantik Ino Yamanaka. Putri tunggal keluarga Yamanaka. Gadis berambut pirang cerah dengan manik sejernih lautan dalam yang tengah heboh dengan tokoh yang berada di balik layar televisi. Manik lentiknya menatap Naruto dan Sasuke yang tengah heboh, sedangkan Sai malah menatap Naruto dan Sasuke dengan pandangan tak berdosanya.
Yah, beginilah kehidupan remaja delapan belas tahun di blok rumah dinas pejabat di Konoha.
—Answer Me—
Kegiatan rutin pagi hari Ino adalah membuka gerai bunga miliknya yang berada beberapa blok dari rumahnya. Begitu pun saat Ino masih berada di sekolah, ayahnya yang akan membuka gerai untuk kemudian dijaga oleh para pegawai. Hidup dengan sang ayah membuat Ino yakin jika dirinya harus berperan sebagai seorang anak sekaligus teman. Belum lagi pekerjaan sang ayah—Inoichi di bagian divisi informasi yang memaksanya pulang hingga petang.
Dan Ino merasa sangat beruntung karena di sini ia sama sekali tak kesepian.
Meski Sai pendiam, ia selalu bisa menebak suasana hati sang Yamanaka. Belum lagi tingkah konyol Naruto atau perilaku nista Sasuke yang begitu menghibur. Walau mereka berempat bukan dalam lingkup sekolah yang sama, Ino tetap bisa menghabiskan setengah harinya dengan gembira. Toh, saat di sekolah pun, Ino merupakan siswa yang punya banyak teman.
Setelah menggulung tirai yang menutupi kaca jendela, Ino memutuskan untuk menyirami bunga-bunganya. Di saat teman-temannya sibuk menghabiskan waktu untuk berkencan, mungkin hanya dirinya yang lebih memilih menyibukkan diri di sini.
KLING!
"Ah, selamat datang!"
Sosok itu tersenyum singkat, "Selamat pagi."
Ino mengerjap, "Sai! Kenapa pagi-pagi sekali?"
Sai mengangkat buku sketsa yang berada di tangannya, "Mencari inspirasi di pagi hari?"
Ino menghentikan kegiatannya menyirami bunga. "Duduklah, akan kubuatkan minuman."
"Tidak perlu." Sai mendudukan dirinya di salah satu bangku yang tak jauh dari kasir. "Lanjutkan saja kegiatanmu." Kemudian dengan diam ia mulai menggoreskan sesuatu ke atas buku sketsanya.
Si pirang elok—yang berada di balik meja kasir—memutuskan untuk mengamati Sai yang tengah menggambar dalam diam. Jemari Sai dengan terampi menari di atas sketsa. Terkadang berpindah secara acak, terkadang memoles begitu lembut.
"Sai?" panggil Ino kemudian.
"Hm?" Sai masih sibuk dengan sketsanya.
"Kapan kau pergi lagi?" Ino masih tak mengalihkan pandangannya.
"Ke mana?" kali ini Sai mengalihkan pandangannya. Pemuda berkulit pucat itu menatap Ino dengan pandangan polos.
"Aku dengar kau akan menghadiri festivasl musik dunia di Austria. Kapan kau berangkat?"
"Oh," Sai kembali meneruskan sketsanya. Tadinya, Sai berpikir apa yang Ino katakan akan lebih baik dari itu. "Lusa mungkin?"
"Pulangnya?"
Sai terdiam. Kemudian kedua oniksnya menatap Ino dengan pandangan tak terbaca. "Kau berniat menungguku pulang?"
"Eh?" Ino mengerjap ragu. Terlihat sekali jika ia mulai salah tingkah. "Ti-tidak juga. Hanya bertanya. Jika kau pulang, jangan lupa traktir aku dan yang lain makanan. Kali ini yang mahal!"
"Hm, pasti." Sai menyunggingkan senyuman tipis yang membuat Ino berdehem (sok) kalem.
KLING!
"Selamat datang!" Ino kembali menyapa ramah calon pembeli pertamanya hari ini. "Eh, Itachi-nii?"
Itachi Uchiha, dua puluh tiga tahun, sulung Uchiha. Pemuda yang baru saja meraih gelar master sekaligus pewaris utama seluruh kekayaan Uchiha itu nampak santai dengan celana tiga perempat serta kaus polos berwarna putih. Dengan wajah seperti itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia merupakan sosok berusia kepala tiga—nyatanya tidak. Salahkan saja kerutan yang menggelambir dengan sempurna di wajah tampan itu.
"Bunga untuk hiasan di meja makan, Ino."
Ino mengangguk. "Silahkan tunggu sebentar."
Dengan terampil, Ino merangkai beberapa bunga dengan posisi berjongkok. Bibirnya bersenandung kecil. Tubuhnya teredam beberapa bunga. Tanpa menyadari jika ada dua pasang mata yang sibuk memerhatikan Ino dengan saksama.
"Nah, selesai." Serunya riang—yang langsung menghentikan atensi dua pemuda ke pada gadis pirang itu.
"Berapa, Ino?" Itachi sudah bersiap membuka dompet (super) tebalnya—yang langsung buyar dengan kalimat lembut Ino Yamanaka.
"Tak usah, Itachi-nii. Katakan saja pada Mikoto-baasan aku akan makan malam di sana hari ini. Otousan sedang pergi dinas beberapa hari." Lengkap dengan senyuman manis.
"Baiklah." Itachi mengacak surai Ino. "Terima kasih untuk bunganya."
"Hm. Hati-hati!"
KRAK!
Ino menoleh, menatap Sai yang juga menatapnya dengan pandangan tak berdosa, "Punya rautan?"
.
.
.
.
.
"Naruto! Cepat! Kita akan tertinggal bus!"
Terdengar sangkakala yang meraung melewati pita suara Ino Yamanaka. Gadis pirang itu menengok jam tangan yang baru dibelikan Naruto beberapa hari lalu dengan pandangan bengis—sama bengisnya ketika pemuda jabrik itu keluar rumah dengan pakaian yang bisa dibilang tak layak.
"Astaga! Cepat, bodoh!"
Dan dengan langkah lebarnya, Ino menyeret Naruto menghampiri Sasuke yang masih terlihat tenang. Bahkan beberapa kali Naruto harus tersandung tali sepatunya sendiri yang belum terikat. Dasinya pun entah berbentuk macam apa.
Untuk satu ini, siapakah yang Naruto tiru? Kushina? Atau malah Minato?
"Kita bisa tertinggal bus karenamu, Naruto!"
Naruto yang memang bersalah, hanya bisa menyunggingkan senyum minta maaf. Lain lagi dengan Sasuke yang terlihat (lagi-lagi) begitu santai. Kepala bokong ayam miliknya nampak menoleh ke arah jalan—seperti memastikan sesuatu. Kemudian melirik jam tangannya. Lalu kembali menoleh ke arah jalan raya.
"Hoi, Sas, kau sebenarnya mencari apa?"
Sasuke tak berniat menggubris pertanyaan Naruto. Wajah tripleknya mengulas senyuman tipis begitu sebuah mobil hitam melintas dan berhenti tepat di depan halte bus. Ino dan Naruto bingung, tentu saja. Sementara si bungsu Uchiha nampak menatap sang pengemudi dengan pandangan cepat-keluar-atau-kau-kutendang.
"Mobil siapa?"
Namun pertanyaan Ino tak membutuhkan jawaban ketika mendapati siapa yang keluar dari balik supir kemudi. Sasuke nampak bangga dengan ekspresi kedua temannya, punggungnya menyender ke mobil seraya melipat tangan di dada.
Oke, Uchiha memang keluarga elit.
"Sas, jangan bilang—"
"Kau bisa berjalan kaki 'kan, Niisan?"
Jika Itachi lupa apa itu sedarah, mungkin Sasuke akan menggelempang dengan damai ke tengah jalan sekarang juga.
Tanpa babibu, si rambut bokong ayam itu bergegas memasuki mobil, membiarkan kedua karibnya melongo dengan ekspresi bodoh.
"Kalian akan berangkat atau ingin terlambat?" ujarnya dengan nada bicara datar.
"Sasuke, jangan bilang kau yang menyetir?"
"Cerewet."
Mengabaikan air muka Itachi yang begitu masam (membuatnya lima belas tahun terlihat lebih tua), Sasuke segera menyalakan mesin mobil. Sedetik setelah Ino dan Naruto masuk, mobil mengkilap dengan angka plat tujuh puluh tujuh itu telah membelah jalanan Konoha dengan kecepatan tak main-main.
Bagaimanapun, Itachi Uchiha paham adiknya masih berada dalam ambang kelabilan bocah dan remaja.
—Answer Me—
Karena kecepatan berkendara Sasuke yang tidak main-main menggunakan kendaraan pribadi yang begitu nyaman, Ino sampai di sekolahan tanpa rambut kusut, baju tak rapi, ataupun keringat yang berhamburan seperti layaknya ia naik bus umum. Maklum saja, akses angkutan umum di Konoha masih terbilang jarang.
Tidak hanya itu, saat turun dari mobil pun, ia menjadi bulan-bulanan tatapan karena menyempatkan diri berbincang pada Sasuke yang masih berada di balik setir kemudi. Setelah menurunkan kaca jendela hitam, Ino menyempatkan diri untuk bertanya mengenai acara mereka sepulang sekolah.
Dan saat mobil itu kembali melesat, semua tatapan pada Ino berubah menjadi pertanyaan.
"Ino Yamanaka pacaran dengan Sasuke Uchiha?"
"Tidak-tidak, mereka bertetangga."
"Kenapa Sasuke Uchiha membawa mobil sendiri? Bukankah dia juga masih delapan belas tahun?"
"Kau tahu hukum alam? Orang tampan sering menang."
"Ah, aku juga ingin."
"Dia bersahabat dengan Sai yang menjadi suami ideal para gadis, diantar si pangeran Sasuke, dan duduk bersama Naruto sang putra Hokage. Bukankah Ino menang lebih banyak?"
Oh, rasanya telinga Ino berdengung kencang mendengar bisikan demi bisikan—yang siyal-sesiyal-siyalnya masih terdengar dengan jelas di telinganya. Mereka berniat menggosip, memuji atau memberitakan sebenarnya?
Tapi ... karena ini adalah seorang Ino Yamanaka, maka seberapa besar pujian untuk dirinya, sebesar itulah ia merasa pantas mendapatkannya. Meskipun dari sekian banyak pujian itu, mereka tak mengetahui seberapa bodohnya Sai, seberapa nistanya Sasuke dan seberapa hinanya Naruto ketika mereka sedang berkumpul bersama.
Drrtt ... Drrtt
"Sai?" Ino membeo.
"Halo?"
"Ino, halo? Ini aku, Sai." Tanpa diberitahu aku sudah tahu, kesal Ino dalam hati.
"Hm, begini ... hari ini seharusnya aku pergi ke Austria bersama rombongan klubku."
"Ya, lalu?"
Terbiasa datang nyaris terlambat membuat Ino merasa aneh ketika datang seperempat jam sebelum bel pelajaran dibunyikan.
"Aku berniat naik taksi ke bandara karena Okaasan dan Otousan sudah pergi."
Ino mengangguk malas. "Oh."
"Tapi, begini, Ino ..."
Ino melambaikan tangannya ke arah Sakura yang nampak baru datang dengan napas terengah. "Apa, Sai?"
"Aku tidak menemukan taksi, jadi aku naik bus kota."
Ino melambaikan tangannya ke arah Sakura—untuk meminta gadis itu supaya menunggu sebentar. "Iya, lalu?"
"Jika ingin ke bandara, aku turun di mana? Supir bus bilang, dia tidak bisa mengantarkanku ke bandara."
.
.
.
.
.
To be Continue
.
.
.
.
.
INI APA TOLONG!
PADAHAL YHA ITU EPEP YANG ITU NTUH (nggak mau sebut merek). IYA YANG NTUH! NTUH LANJUTANNYA BELON DI POST XD. Rencananya nunggu setahunan dulu sih (apaan coba). Dan ini malah udah ngetik tulisan nista yang baru T_T. Ampunilah saya :3
OKE. JADI GINI YA SODARA-SODARA /caps kegenjet roti sobek mz jimin
SAYA KORBAN GAGAL MUPON REPLY 1988. DRAMA INI DRAMA KOREYAH. YANG BELON NONTON, NONTON DULU SANAH! KARENA JADI KORBAN GAGAL MUPON ITU LEBIH MENYESAKKAN DARIPADA KORBAN BISA MUPON, SAYA JADI NGETIK INI TULISAN NISTA BIN ABSURD INI *seketika hening
DAN TERERET TRET TREEET~
Bagi siapa satu orang yang bisa nebak siapa yang jadi suami Ino (sambil tunjuk paragraf paling awal), saya kasih hadiah berupa kelanjutan chapter langsung di tempat. Inget, satu orang loh ya. Kalo yang jawabannya bener lebih dari satu ya batal /tawa nista :v
Dan karena saya kapok ngepehapein riders sekaligus kena pehape juga, ini fanfiksi chapternya nggak bakal lebih dari enam. Otak saya nggak kuat buat mikir lebih lanjut, pemirsah. Oh, jangan kira endingnya bakal semengecewakan dramanya, karena versi fanfictionnya bakal jauh lebih mengecewakan. Hahaha :v
Yang jelas endingnya bakal sama sekali berbeda dengan drama XD
Silahkan tunggu klu-klu mengenai suami Ino di chapter-chapter selanjutnya, ya~
/bungkuk dalam
