Title : Like I'm Gonna Lose You
Author : Justmine Lilzy Rewolf
Genre : Romance, Angst, School Life, Married Life, GenderSwitch.
Rated : T
Length : Harusnya Oneshoot, karena kepanjangan jadi Twoshoot
Main Cast : Park Chanyeol x Byun Baekhyun GS. CHANBAEK
Disclaimer : Story is mine. Terinspirasi dari lagunya Meghan Trainor ft John Legend dengan judul yang sama, dan sebuah ff yg pernah saya baca.
.
Summary :
No, we're not promised tomorrow. So I'm gonna love you, like I'm gonna lose you. I'm gonna hold you, like I'm saying goodbye. Wherever we're standing. I won't take you for granted, cause we'll never know when we'll run out of the time...
*iya tau, ini lirik lagu :D
.
.
.
.
.
.
Like I'm Gonna Lose You
A ChanBaek Fanfiction
By Justmine Lilzy Rewolf
.
PART I
.
Namaku Byun Baekhyun.
Untuk saat ini aku sangat ingin mengatakan pada seluruh dunia bahwa hidupku bahagia. Aku bahagia, sangat bahagia.
Ya, dia, seseorang yang selalu memanggilku dengan panggilan Boo-nya, telah membuatku dilingkupi berjuta kebahagiaanhingga rasanya aku telah menjadi gadis paling bahagia di dunia.
Namanya Park Chanyeol, pemuda paling tampan yang pernah kukenal, dan dia adalah kekasihku. Dia pemuda yang sangat baik, aku mengenalnya sejak kami masuk SMA yang sama, dan Chanyeol membantuku saat kami berdua masih di masa orientasi.
Aku menyukainya. Ah tidak, aku mencintainya. Sangat mencintainya hingga tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.
Tubuhnya tinggi, jauh lebih tinggi daripada aku hingga aku harus mendongak saat menatapnya. Matanya bulat, tampak begitu kontras dengan milikku. Dan dia adalah tipe pemuda dengan beribu keceriaan yang akan selalu dia bagi untuk semua orang, khususnya untukku. Senyumnya sangat indah, dengan deretan gigi rapinya yang selalu terlihat berseri. Dia pembawa kebahagiaan bagi semua orang.
Dia selalu ada untukku, menceritakan lelucon yang akan membuatku terpingkal, memuji kecantikanku, atau bahkan menggodaku dengan gombalannya. Tapi aku suka, dia membuatku tak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum bahkan saat mengingatnya.
Chanyeol menjagaku, melindungiku, dan mencintaiku. Aku merasakan banyak cinta darinya. Dia adalah sumber kebahagiaanku, atau... Apa terdengar berlebihan jika aku mengatakan dia sumber kehidupanku?
Aku mencintainya, dan Chanyeol mencintaiku.
Hari itu, adalah hari ulang tahunku yang ke-18. Chanyeol memberiku hadiah berupa sebuah earphone yang aku impikan. Memang hanya sebuah earphone, tapi rasanya berbeda saat Chanyeol yang memberinya. Dia tau aku suka mendengarkan musik, dan earphoneku rusak sejak dua minggu yang lalu.
Aku bahagia, karena Chanyeol memberi kejutan ulang tahun di sekolah. Sekali lagi aku terlalu bahagia, hingga terus memakai earphone itu bahkan saat pulang sekolah.
Kami memang selalu pulang bersama, bukankah sudah kukatakan Chanyeol selalu melindungiku? Rumahku tidak berdekatan dengan rumahnya, namun Chanyeol akan tetap menemaniku berjalan hingga aku sampai di depan rumah. Kadang aku berpikir dia sedikit overprotektif.
Ada sebuah hal yang kupelajari dari peristiwa tersebut. "Jangan terlalu berlarut dengan kebahagiaan yang kau dapat, karena tidak ada kebahagiaan yang akan bertahan selamanya."
Aku menyesal karena saat itu aku terlalu larut dalam bahagia. Benar, aku menyesal. Hari itu aku terlalu senang dengan earphone baru pemberian Chanyeol, hingga terus memakainya bahkan saat melewati penyebrangan.
Aku sama sekali tidak mendengar, saat Chanyeol meneriakkan namaku dan bunyi sebuah klakson yang datang dari sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Aku tidak melihat jelas apa yang terjadi, namun dalam waktu sepernano detik aku sudah merasakan tubuhku ditarik dengan kuat oleh Chanyeol hingga earphoneku terlepas dan aku terpelanting ke trotoar.
Tapi bukan itu masalahnya.
Bersamaan dengan hal tersebut, terdengar suara 'brakk' dengan sangat keras dan beberapa orang yang ada disana menjerit keras. Aku menyentakkan kepala, dan mendapati Chanyeol...
Chanyeolku...
Dia sudah terkapar di tengah jalan. Darah segar mengalir dari kepalanya. Aku menatapnya samar karena pandanganku mulai terhalang oleh air mata, namun aku bisa melihat saat Chanyeol menatapku lemah, dan bibirnya bergerak menyebut namaku sebelum ia kehilangan kesadarannya. Kepalaku terasa kebas, tubuhku bergetar tanpa bisa kukendalikan.
Chanyeol, dia baru saja mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan hidupku. Dia menarik tubuhku untuk menghindari mobil sedangkan ia tidak memikirkan dirinya sendiri yang malah tertabrak oleh mobil itu. Sekali lagi dia melindungiku, tapi kali ini aku tidak bahagia.
Aku mengerahkan seluruh tenaga yang kumiliki untuk bangkit dan menghampirinya. Belum ada satupun orang yang berani mendekat, tapi aku langsung berlutut sambil mencoba membangunkannya. Aku menangis memanggilnya, tidak, aku histeris.
"Chanyeol! Chanyeol-ah kau dengar aku? Chan bangunlah, jangan buat aku takut!"
"CHANYEOL!"
Aku membawanya kedalam sebuah pelukan, membiarkan darah turut membasahi seragam yang kupakai. Berkali-kali aku berharap dia akan bangun dan menertawakanku, mengatakan bahwa itu adalah ide jahilnya untuk kejutan ulang tahunku.
Tapi dia tak kunjung bangun.
Wajah itu, aku tak mampu melihatnya. Darah terus bersumber dari kening sebelah kirinya, dan rautnya tampak begitu lemah tak berdaya. Aku tidak mau, dimana Chanyeolku? Dimana Chanyeol yang biasanya selalu menebarkan keceriaan, dimana senyumnya? Aku menangis sambil terus memeluknya. Orang-orang mulai berdatangan dan mencoba untuk menolong.
Aku meraih lengan seorang ahjussi yang paling dekat denganku. "Ahjussi tolong selamatkan Chanyeolku, tolong bantu dia," pintaku sambil berteriak histeris. Lalu diapun memanggilkan ambulans untuk segera membawa Chanyeol ke rumah sakit.
Aku menelpon orang tua Chanyeol. Mereka langsung datang beberapa menit setelahnya, dan tanpa kuduga, ibunya bahkan tampak lebih menghawatirkan daripada aku. Aku pun bertanya-tanya, apa Chanyeol separah itu?
Dan saat itulah ibunya bercerita, "Chanyeol memiliki gangguan pada jantungnya sejak kecil, dan kejadian ini membuat penyakitnya kembali kambuh."
Bak disambar petir, tubuhku melemas seketika. Aku, aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu. Bagaimana bisa aku bahkan tidak mengetahui fakta seperti ini tentang Chanyeol. Dia tak pernah mengatakannya padaku.
Chanyeol...
Aku jadi semakin merasa bersalah. Selama ini aku selalu meminta ini itu padanya, aku menuntutnya untuk selalu ada padaku. Chanyeol berkelahi dengan anak lain demi membelaku tanpa memperhatikan kesehatannya. Aku memarahinya saat dia tidak masuk sekolah tanpa mengabariku, tanpa mengetahui bahwa saat itu dia masuk rumah sakit lagi.
Ada kalanya ketika ia tiba-tiba memegang dadanya, lalu aku akan bertanya apa dia baik-baik saja? Dan dia hanya akan menunjukkan senyuman idiotnya yang membuatku ingin memukulnya, dia akan bilang bahwa dia tengah menggodaku dan aku akan tersenyum sesaat setelah dia kembali menggombaliku. Aku tidak tahu kalau dia benar-benar sakit. Dan setelah aku mengetahui semuanya, ini benar-benar menyakitkan.
Chanyeol ternyata sudah berkali-kali keluar masuk rumah sakit. Dia bahkan pernah melakukan operasi karena penyakitnya saat masih kecil agar dia bisa bertahan hidup hingga sekarang.
Aku jadi merasa malu. Aku malu pada Chanyeol. Aku malu karena tidak pernah memperhatikan namja itu, dan hanya memintanya untuk memperhatikanku. Aku adalah penyebab dari kecelakaan ini. Andai saja aku tidak bersikap ceroboh. Andai aku lebih berhati-hati. Andai aku mendengarkan perintah Chanyeol untuk menggandeng tangannya hari itu. Semua ini mungkin tidak akan terjadi. Aku sepenuhnya menyalahkan diriku atas kejadian ini.
Dan aku tidak cukup berani untuk bertemu dengannya atau bahkan hanya untuk berbicara dengannya. Sudah tiga hari, Chanyeol tidak masuk sekolah. Dan sudah tiga hari pula aku tidak bertemu dengannya. Aku merindukannya, namun aku sangat malu hanya untuk melihatnya. Aku sama sekali tidak pergi kerumah sakit setelah hari itu, dan hanya mengurung diri di kamar seharian menangisi dosaku padanya. Aku merasa bersalah, dan aku tak akan pernah memaafkan diriku jika terjadi apa-apa padanya.
.
Aku pulang sekolah sendirian, tanpa Chanyeol yang biasa menemaniku. Aku memutar melewati jalan yang sebenarnya hanya akan membuat jaraknya terasa lebih jauh, namun aku hanya tidak sanggup jika harus melewati tempat itu lagi. Tempat dimana Chanyeol terkapar tidak berdaya dengan penuh darah, aku tidak sanggup mengingatnya.
Aku mendapati sebuah mobil asing terparkir di depan rumahku. Aku mengabaikannya, mungkin milik teman orang tuaku yang tengah berkunjung. Namun langkahku terhenti saat melihat ibu Chanyeol tengah berada di ruang tamu dan berbicara dengan ibuku. Aku jadi paranoid, ada apa dengan Chanyeol? Mengapa ibunya sampai mendatangi rumahku?
Kusempatkan diri untuk menyapanya. Dia menatapku sendu, lantas menggenggam kedua tanganku erat hingga membuatku terkejut. "Baekhyun-ah, aku mohon jika anakku memiliki kesalahan padamu, maafkanlah dia."
"E-Eommoni, a-ada apa dengan Chanyeol? Jangan seperti ini."
Aku melepaskan cekalan tangannya dan memeluknya. Air mata sudah memenuhi kelopak mata wanita paruh baya tersebut. Kakiku sudah bergetar membayangkan hal yang macam-macam tentang Chanyeol.
"Apa kau marah dengan anakku?" tanyanya setelah melepaskan pelukannya dariku.
"T-tidak, kami baik-baik saja." Aku menatapnya tidak mengerti.
"Lantas kenapa kau tidak pernah datang?"
"I-itu..." Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. "Aku, merasa bersalah pada Chanyeol. Dia seperti itu karena aku, dan aku rasa aku bukanlah gadis yang baik untuknya," jawabku lirih.
"Jangan pernah berkata seperti itu Baekhyun, Chanyeol membutuhkanmu, bisakah kau datang untuknya?"
Aku kembali menatapnya mengisyaratkan bahwa aku tidak mengerti.
"Chanyeol tidak mau makan apapun, dia hanya ingin bertemu denganmu, dia menanyakan keadaanmu setiap saat, dia takut kau marah padanya."
Air mataku menetes saat mendengarnya. Chanyeol bahkan masih menanyakan keadaanku ketika dirinya sendiri tidak baik-baik saja. Dia terlalu baik untukku.
Aku datang ke rumah sakit setelahnya. Meski hatiku tidak sanggup melihatnya, tapi aku tidak ingin dia terus-menerus menyiksa dirinya sendiri karena aku. Aku tidak langsung masuk saat berada di depan kamarnya. Aku melihatnya dibalik kaca kecil yang ada di pintu. Dia tengah beristirahat, baru tiga hari aku tidak menemuinya namun tubuh jangkungnya itu sudah tampak lebih kurus. Berbagai macam alat menempel pada tubuhnya. Aku tau dia tidak tidur, dia hanya rebahan di atas bangkar dengan wajahnya yang tampak sangat kusut. Aku tahu ini pasti sangat sulit baginya.
Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menguatkan diri sebelum membuka pintu tersebut, lalu aku pun memasukinya. Chanyeol menoleh padaku, dan rautnya langsung berubah 180 derajat. Dia langsung tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi putihnya, yang entah kenapa malah ingin membuatku menangis. Aku tidak meyambut senyumannya, dan hanya mendekat lantas duduk di kursi sebelah bangkarnya.
Senyumnya pudar secara perlahan melihat ekspresi datarku, lalu dia pun bertanya, "Boo apa kau marah padaku?"
Aku menggelengkan kepala, kuraih kedua telapak tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku sama sekali tidak marah padamu Chanyeol."
"Lalu kenapa kau tidak pernah datang?"
Aku menggigit bibir dalamku, "Aku hanya, aku merasa bersalah padamu, aku yang membuatmu jadi seperti ini," ujarku sambil melihat perban yang masih melekat di kepalanya. Dia kembali menunjukkan senyuman lebarnya, yang kali ini membuat sebutir air mata lolos dari mataku.
"Kau tidak perlu merasa bersalah, aku melakukannya atas kehendakku sendiri, jadi jangan menangis." Chanyeol menyentuh pipiku dan mengusap air mataku dengan ibu jarinya. Jujur saja ini semakin membuatku ingin menangisinya setiap saat, dia punya penyakit seperti itu namun tetap mengorbankan dirinya untukku. Apa dia tidak takut mati? "Oh ya, kau baik-baik saja kan? Apa ada yang terluka?" Dia memeriksa seluruh tubuhku memastikan bahwa aku baik-baik saja.
"Kau tidak perlu khawatir, aku baik Chanyeol. Kau seharusnya lebih mengkhawatirkan keadaanmu sendiri, kenapa kau tidak mau makan eoh?!"
Dia nyengir mendengar pertanyaanku, "Aku cuma mau makan kalau kau yang menyuapiku," katanya. Aku mendesis, lantas mengambilkan makanan dan menyuapinya. Dia makan dengan begitu lahap sambil terus memandang wajahku intens. Aku merasa tidak nyaman dengan pandangannya, dan ketika aku bertanya padanya, dia menjawab, "Kenapa kau begitu cantik Byun Baekhyun?"
Selalu saja seperti itu, dia tak pernah bosan untuk memuji kelebihanku yang entah kenapa membuatku serasa dilambungkan ke awang-awang.
Aku datang ke rumah sakit setiap hari, pagi-siang-malam untuk menyuapi Chanyeol karena dia hanya mau makan denganku.
Aku senang karena semakin kesini keadaan Chanyeol sudah semakin membaik, perban di kepalanya bahkan sudah dilepas. Menurutku mungkin beberapa hari lagi Chanyeol sudah boleh pulang. Aku menutup pintu kamarnya pelan setelah memastikan dia sudah tertidur dengan lelap, dan ketika itu ibu Chanyeol memanggilku. Dia membawaku ke tempat yang agak jauh dari sana, lantas menyuruhku duduk untuk berbicara dengannya.
Dia menatapku sendu, aku tidak mengerti mengapa dia menunjukkan raut seperti itu di depanku. Lantas air matanya jatuh begitu saja. Aku terkejut, karena setelahnya dia bukan hanya meneteskan air mata tetapi dia menangis tersedu-sedu. Aku langsung memeluknya erat. Hatiku resah, ada apa? Mengapa seperti ini? Apa ada hubungannya dengan Chanyeol? "Eommoni kenapa? Ada apa?"
Dia melepaskan pelukannya dariku lantas menatapku dalam, masih dengar air mata yang terus mengalir dari matanya. "Baekhyun-ah, bolehkah aku meminta suatu permintaan padamu?"
"T-tentu saja, aku akan melakukannya selama aku bisa."
"Baekhyun~" Bibirnya bergetar saat menyebut namaku, membuat hatiku semakin merasa gelisah. "Tolong buat Chanyeol bahagia." Dia berbicara sembari berlutut di depanku. Aku langsung berusaha untuk menariknya kembali bangkit namun dia terus menangis di depanku. Aku tidak mengerti, ada apa dengan Chanyeol, bukankah keadaannya sudah mulai membaik. "Tolong buat anakku bahagia Baekhyun, karena..." Dia menggigit bibirnya sendiri tampak kesusahan untuk bicara. "Karena, hidupnya sudah tidak lama lagi."
Degg..
"Eommoni apa yang kau bicarakan?!" Aku menyangkalnya dengan cepat, persetan dengan nada bicaraku yang tidak sopan. Aku tidak bisa menerima apa yang barusan dia katakan.
"Tolong bantu anakku Baekhyun, hanya kau yang bisa membuat dia tersenyum secerah itu," ujarnya masih dengan posisi berlutut di hadapanku.
"Ini tidak mungkin, Chanyeol baik-baik saja Eommoni, dia bilang dia baik-baik saja." Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja, namun tubuhku terlanjur lemas. Aku berhenti untuk menarik ibu Chanyeol dan menghempaskan tubuhku pada sandaran kursi. Aku tidak tau kalau Chanyeol separah itu, padahal dia terlihat baik-baik saja didepanku.
Entah, pandanganku bunar oleh air mata. Aku menangis, dan ibu Chanyeol memelukku, aku hanya bisa menangis tanpa bisa melakukan apa-apa untuknya. Ini menyakitkan.
Dan ternyata, kenyataan tak mengingkari perkataan ibu Chanyeol waktu itu. Dia menjadi lebih sering keluar-masuk rumah sakit, Chanyeol bahkan keluar dari sekolah dan lebih fokus pada pengobatannya meski itu sama sekali tidak bisa membuatnya sembuh. Tapi aku berharap setidaknya itu bisa membuatnya hidup lebih lama. Aku selalu ada di sisinya, membuatnya tetap ceria agar sejenak melupakan penyakitnya. Aku mencoba untuk tetap tegar di depannya, namun aku tak bisa menyangkal bahwa aku selalu menangis tiap melihatnya tertidur dengan damai. Aku tidak habis pikir jika suatu saat aku tidak akan bisa lagi melihatnya.
.
Saat itu, aku tengah menemaninya di rumah sakit. Ya, dia kembali masuk rumah sakit sejak lima hari yang lalu. Dia memintaku untuk menemaninya keluar mencari udara segar, dan aku menurutinya. Aku mendorongnya yang berada di kursi roda menuju taman di samping rumah sakit yang cukup rindang. Aku mendorong kursi roda Chanyeol mendekati sebuah tempat duduk di tengah taman tersebut.
"Aku benci harus membuatmu mendorongku seperti ini," ujarnya kesal dan aku yakin dia tengah mempoutkan bibirnya saat ini.
"Yah! Kau sedang sakit, jangan berpikiran seperti itu." Aku mengomelnya masih dengan posisi berdiri di belakangnya.
Dia diam sejenak, lantas kembali berbicara dengan nada yang lebih serius, "Aku akan segera sembuh Boo, agar kau tidak perlu terus-menerus mendorongku seperti ini."
Hatiku serasa diremas dengan kuat, sebutir air menetes begitu saja dari kelopak mataku, namun aku langsung menyekanya dengan kasar dan mencoba untuk tetap terlihat ceria. "Jja, kita duduk disini saja," ujarku mengalihkan pembicaraan. Aku duduk di bangku taman membuat posisiku menjadi sejajar dengan Chanyeol.
"Boo~"
"Eum?"
"Bisakah kau mengambilkan bunga itu untukku?" pintanya sambil menunjuk sebuah bunga berwarna merah cerah di tengah taman. Aku bangkit untuk memetik bunga tersebut dan menyerahkannya pada Chanyeol. Dia terkekeh sambil meraih bunga itu dariku. "Ini memalukan," ujarnya. Aku hanya tersenyum membalasnya lantas kembali duduk di bangku sebelah Chanyeol. "Kemarilah..."
Aku mengernyitkan keningku tidak mengerti, lantas dia menarikku mendekat. Chanyeol menyelipkan bunga tersebut di telingaku lalu kembali tersenyum cerah. "Apa kau tahu nama dari bunga ini?"
"Tidak," seruku sambil menggelengkan kepala.
"Namanya bunga Aster."
"Uuh~, sejak kapan kau hafal nama-nama bunga?" Aku terkekeh.
"Aster lebih dikenal juga dengan sebutan bunga Daisy, dia telah lama dihargai karena keindahannya yang sederhana." Chanyeol berbicara dengan nada yang cukup serius saat itu, aku cukup terkejut dia bisa mengucapkan kalimat semacam itu. Dia mulai mengarahkan pandangannya menerawang lurus ke depan, "Dulu, gadis-gadis mengenakan bunga daisy untuk menghias rambut mereka yang melambangkan kesederhanaan dan kepolosan, juga sebagai tanda kasih sayang dan sikap terhormat. Sering kali bunga daisy juga diberikan kepada seorang ibu baru untuk menyambut bayi yang baru lahir karena memiliki arti sebuah kemurnian, kepercayaan, dan cinta abadi." Lalu Chanyeol menoleh ke arahku dan berkata, "Maka dari itu aku memberikan bunga itu untukmu karena kau indah dengan caramu yang sederhana, dan aku ingin menunjukkan bahwa aku mencintaimu, abadi, untuk selamanya."
"Woah, apa kepalamu baru saja terbentur sesuatu hingga membuatmu jadi lebih puitis hanya dalam waktu sekejap?" Aku tertawa kecil hingga mataku menyipit.
Chanyeol masih terus menatapku, lantas dia ikut tersenyum, "Yah Byun Baekhyun."
"Ne Park Chanyeol." Aku menahan senyumku mendengar dia memanggil nama lengkapku seperti itu.
"Aku tidak tau untuk keberapa kalinya aku mengatakan ini, tapi kau begitu cantik Boo."
"Aku sudah bosan mendengar kalimatmu yang satu itu," timpalku sambil mempoutkan bibir.
"Tapi kau suka 'kan?" Chanyeol menatapku dengan senyuman tampannya, membuatku merasa tersipu dan pipiku terasa memanas. Ah sial, senyuman manis Chanyeol memang yang terbaik. "Dan kau jadi lebih cantik saat tersipu seperti itu."
"Apa sih?!" Aku memukul bahunya karena merasa malu. Namun tanpa kuduga dia langsung menyentuh dadanya dan wajahnya berubah menjadi tampak tengah menahan sakit. Napasnya terdengar lebih berat dan aku langsung panik.
Aku meraih tubuhnya mencoba membuatnya melihatku namun dia tetap menundukkan kepalanya sambil menyentuh dadanya. "C-chanyeol-ah gwechanha? M-mianhae, mianhae~" Bibirku bergetar saat berbicara dengannya, aku ingin menangis, takut kalau penyakitnya kambuh lagi. Aku tidak mau kehilangan Chanyeol.
Lalu tak lama setelahnya dia mengangkat kepalanya dan aku baru menyadari dia tengah tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi rapinya. "Kau khawatir?" tanyanya dengan nada geli. Sial.
"Apa-apaan kau!" Sebutir air mata menetes begitu saja dari kelopak mataku, aku tidak tahu apa aku harus marah atau tersenyum lega karena Chanyeol baik-baik saja. Tapi aku tetap tidak suka caranya bermain-main seperti itu. "Kau membuatku mau mati!" tambahku dengan nada kasar sambil menyeka air mata dengan kasar dan kembali duduk tanpa menghiraukannya yang masih menertawakanku. Dia sama sekali tidak tahu betapa aku takut kehilangannya, rasanya setiap detik bersamanya sangatlah berharga bagiku. Bahkan aku ingin terus memeluknya agar dia tidak memiliki kesempatan untuk pergi. Tapi aku tidak bisa.
"Hey jangan menangis, aku hanya bercanda." Chanyeol menyentuh pipiku dan aku menyentakkan kepala mencoba menghindarinya.
"Itu tidak lucu!"
"Maafkan aku," ujarnya dengan nada penuh penyesalan tapi aku tetap tidak meresponnya. "Boomaafkan aku~, aku tidak akan melakukannya lagi, eoh?" Aku menolehkan kepala untuk menatapnya, dan entah kenapa saat mataku terarah tepat pada mata bulatnya itu butiran bening kembali memenuhi kelopak mataku. Yeah, mata itu yang selalu dipenuhi oleh keceriaan, tanpa pernah aku ketahui bahwa dibaliknya ia tengah menanggung beban seberat itu tanpa sepengetahuanku selama ini. "Boo~, aku minta maaf."
"Baiklah tapi jangan diulangi lagi," ujarku lirih. Aku merasakan gumpalan pahit terasa bersarang di tenggorokanku, dan itu membuatku ingin menangis. "Aku tidak mau kau sakit Chanyeol, aku takut," ujarku dengan suara tercekat hingga hanya terdengar serupa sebuah bisikan. Air mataku kembali jatuh begitu saja, dan aku langsung memeluknya erat menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya.
Aku terisak disana, dan Chanyeol balas memelukku sambil mengusap punggungku pelan. Aku berusaha sebisa mungkin untuk berhenti menangis tapi rasanya sangat susah. Aku bisa merasakan Chanyeol mengecup puncak kepalaku, cukup lama, lalu dia berkata, "Aku tidak akan membuatmu takut lagi Boo, tidak akan."
Satu-satunya hal yang saat ini ingin aku lakukan saat itu hanyalah terus memeluk Chanyeol, tanpa berniat untuk melepaskannya. Aku ingin merasakan kehangatan darinya lebih lama lagi, sebelum aku tidak bisa lagi merasakannya. Aku tidak peduli pada air mataku yang membasahi baju rumah sakit yang tengah ia kenakan. Aku hanya ingin mengungkapkan segalanya, namun pertanyaan Chanyeol selanjutnya membuatku mau tidak mau melepaskan pelukan hangatnya.
"Baekhyun-ah, apa kau mencintaiku?"
Tidak biasanya Chanyeol memanggilku dengan namaku, dia hanya melakukannya saat ia tengah benar-benar membicarakan hal yang serius. Dan dia telah membuatku berkeringat dingin bahkan sebelum mengerti maksudnya. "T-tentu saja, kenapa kau bertanya seperti itu?"
Dia tampak murung sejenak, "Apa kau tidak keberatan dengan keadaanku yang seperti ini?"
Entah kenapa aku merasa sedikit tidak suka ketika dia menanyakan pertanyaan semacam itu padaku. "Chanyeol-ah! Aku tidak pernah mempermasalahkan tentang apa yang ada padamu. Aku mencintaimu, tidak peduli bagaimanapun keadaanmu, aku akan tetap mencintaimu," jawabku tegas.
Dia terdiam sejenak, tampak ragu untuk mengucapkan kalimat selanjutnya, namun akhirnya dia kembali membuka suara. "Kalau begitu maukah kau menikah denganku?"
"Mwo?!" Aku langsung menatapnya penuh tanya, namun dia hanya bersikap tenang sambil menatapku menunggu jawaban. Apa maksudnya? Aku bahkan belum menyelesaikan sekolahku, kenapa dia sampai membicarakan tentang pernikahan padaku? "Yah! Kau jangan bercanda, apa kau mau aku dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan menikah?" Aku tertawa dibuat-buat yang hanya mendapat tatapan datar dari Chanyeol. Dan itu membuat tawaku lenyap seketika, "Apa kau serius?" tanyaku setelah berhenti tertawa.
"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?" tanyanya serius. Dia menatapku intens, membuatku ikut larut dalam suasana yang ia buat. Aku hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. "Aku ingin menikah denganmu selagi masih memiliki waktu Baek."
Selagi masih memiliki waktu?
Kau masih punya banyak waktu Chan, kau harus bertahan untuk waktu yang sangat lama. Jangan meninggalkanku.
Apa Chanyeol benar akan segera pergi? Apa namja itu sudah menyerah dengan penyakitnya? Aku cukup terkejut karena setahuku Chanyeol tidak mengetahui kenyataan tentang itu, ibu Chanyeol pernah berkata padaku bahwa dia tidak memberi tahu Chanyeol dan aku juga tidak boleh memberitahunya agar ia tidak merasa terpuruk. Namun ternyata namja itu sudah tahu. Aku tidak mengerti bagaimana Chanyeol bisa tetap ceria menjalani harinya ketika ia sudah tahu kalau dia tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi.
"Chanyeol, apa maksudmu?" tanyaku dengan suara bergetar.
Dia menghela napas, menggigit bibirnya sejenak lantas mengalihkan pandangannya dariku. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Eomma."
Mataku membulat, aku langsung menutup bibirku dengan kedua tangan karena terkejut. Chanyeol sudah tahu dan air mataku kembali menetes sambil menatapnya tidak percaya.
"Kenapa kau menangis?" tanyanya dengan nada yang sama sekali tidak menyiratkan kesedihan, lalu dia mengusap air mataku dengan ibu jarinya. "Apa kau tidak mau menikah denganku?"
Aku menggeleng dengan kuat, "Jika itu maumu aku akan menikah denganmu Chanyeol, aku pasti akan menikah denganmu." Aku menggenggam tangannya yang masih berada di pipiku. "Karena aku sangat mencintaimu."
Dia tersenyum, "Aku lebih mencintaimu Boo." Lantas dia menarikku mendekat dan menempelkan bibirnya pada bibirku. Melumatnya lembut dan aku memejamkan mata, aku tidak membalasnya, hatiku terasa begitu sesak hingga rasanya oksigen tidak mampu untuk masuk ke dalam paru-paruku. Aku masih menangis sambil merasakan sentuhan Chanyeol yang membuatku semakin tidak ingin kehilangan dirinya.
.
Dan akhirnya, hari itu pun tiba. Seminggu setelah kelulusanku, aku menikah dengan Chanyeol. Hanya sebuah pernikahan sederhana yang didatangi oleh kerabat dekat dan beberapa teman kami. Aku tidak tahu lagi bagaimana perasaanku saat itu, lalu Ibu Chanyeol mendatangiku saat masih berada di meja rias. Dia bertanya, "Apa kau yakin akan menikah dengan Chanyeol? Kau tahu kan kalau dia..." Ibu Chanyeol berhenti sejenak, tampak tidak sanggup untuk meneruskan kalimatnya. "Aku hanya tidak ingin kau menyesal nantinya Baekhyun," tambahnya lirih.
"Aku mencintainya Eommoni, aku akan melakukan apapun untuknya. Aku akan berada disisinya sampai akhir."
Dia menitihkan air mata dan langsung memelukku. "Terima kasih Baek, terima kasih..."
.
"Aku... Bersedia."
Suara tepuk tangan bergemuruh setelah aku mengucapkan kalimat tersebut. Kami sudah sah menjadi suami istri, lantas setelah bertukar cincin, kami dipersilahkan untuk saling berciuman. Aku menatap Chanyeol, namja itu tersenyum lebar padaku. Tak ada kepalsuan dalam senyumnya, dia bahagia. Sangat bahagia.
Namun entah kenapa kebahagiaan Chanyeol itu malah terasa seperti sebuah tamparan bagiku, aku tidak tahu sampai kapan kebahagiaan itu akan bertahan. Kalaupun aku masih memiliki sisa kebahagiaan, akan kuberikan seluruhnya pada Chanyeol. Aku mencintainya, aku ingin terus menyaksikan senyuman itu melekat pada bibirnya. Aku sangat ingin mengatakan padanya bahwa aku tidak ingin kehilangan dirinya, aku ingin dia berjanji padaku untuk selamanya berada di sisiku. Menjalani mimpi berdua, hidup layaknya pasangan seperti pada umumnya. Tapi aku tidak bisa...
Keadaan membuat segalanya terasa sulit. Aku bahkan tidak sempat untuk berpikir tentang mimpi-mimpi indah di masa depan bersama Chanyeol. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana aku menjalani hari esok, menjalani tiap detik berharga yang masih bisa kulalui bersamanya. Dan aku berjanji akan terus berusaha membuatnya bahagia, semampuku.
Chanyeol meraih pinggulku, dia menarikku mendekat masih dengan senyuman lebar yang terus menghiasi bibirnya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum, namun entah kenapa bibirku malah bergetar. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menangkup pipiku, membuatku sedikit mendongak dan dia mengusap pipiku pelan dengan ibu jari lantas mengarahkan pandangannya pada bibirku.
Dia mulai memiringkan kepalanya, mendekatkan kepalanya kepadaku. Dan sebelum dia menutup jarak kami dengan sempurna, dia berkata, "Aku mencintaimu Boo."
"Nado," jawabku yang hanya berupa sebuah gerakan bibir.
Dia kembali tersenyum dan semakin menarikku mendekat. Tubuhku bergerak sendiri. Aku refleks memejamkan mata saat merasaakan hembusan napas hangat Chanyeol menerpa wajahku, dan tanganku yang tadinya hanya berada di pundak Chanyeol kini mulai melingkar pada leher namja itu.
Dan untuk kesekian kalinya, air mataku kembali jatuh tepat saat aku merasakan bibir hangat Chanyeol menyentuhku. Melumatnya perlahan membuatku terbuai. Merasa tidak cukup dengan hal itu, sebelah tangan Chanyeol yang tadi masih berada di pipiku kini sudah beralih tempat menjadi berada di tengkukku. Sedikit menekannya hingga membuat ciuman kami semakin dalam.
Ciumannya semakin panas, namun tetap berusaha selembut mungkin dalam memperlakukanku. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan saat aku membuka bibirku hingga lidahnya mulai bermain dengan lidahku. Kami berpagutan cukup lama.
Aku tahu Chanyeol sempat tersenyum dalam ciumannya, namun aku terus menitikkan air mata. Ibu Chanyeol, ibuku, ayahku, ayah Chanyeol, dan semua undangan yang hadir saat itu turut menitikkan air mata haru. Hal yang harusnya menjadi moment paling bahagia tersebut dibanjiri oleh air mata. Begitu khidmad. Membiarkan kami berdua saling mengutarakan perasaan lewat ciuman tersebut.
Lalu Chanyeol melepasnya, dia menatapku dengan senyuman yang masih setia menghiasi wajahnya. Tangannya terangkat untuk mengusap air mata di pipiku, "Jangan menangis, aku disini, aku milikmu Boo~"
Aku langsung memeluk tubuhnya erat. Aku terkekeh namun air mataku kembali tumpah membasahi pakaian Chanyeol. "Aku hanya bahagia Chanyeol, aku sangat bahagia." Dan suara tepuk tangan riuh terdengar dari barisan tamu undangan.
Kurang lebih begitulah suasana upacara pernikahan kami. Upacara terpenting yang pernah terjadi dalam hidupku. Dan aku tidak akan pernah melupakannya, apapun yang terjadi.
Mulai saat itu aku pindah ke rumah Chanyeol karena sudah menjadi istrinya. Aku masih tidak percaya dengan semua ini, rasanya seperti baru kemarin aku berkenalan dengannya dan sekarang aku sudah tidur disampingnya dengan status sebagai istri Chanyeol. Jika setiap orang akan berharap banyak tentang malam pertama, aku sama sekali tidak terlalu memikirkannya. Bagiku menikah dan bersama dengan Chanyeol adalah segalanya. Aku tidak apa, asal Chanyeol baik-baik saja.
Tapi sepertinya ini akan berbeda bagi Chanyeol. Aku sudah berkata padanya bahwa tidak apa jika ia ingin istirahat saja karena hari ini memang cukup menguras tenaga, aku tidak mau Chanyeol kelelahan lalu sakit. Aku sangat tidak mau hal itu terjadi. Namun tetap saja disinilah aku berakhir, dibawah kungkungan tubuhnya dengan ciuman panas yang kami lakukan, dengan hatiku yang sedikit khawatir akan keadaan Chanyeol.
Terlepas dari semua itu aku tetap menikmatinya. Tentu saja. Aku mencintainya, dan jujur saja aku juga menginginkan hal tersebut bersama Chanyeol. Dia memperlakukanku dengan sangat baik, kami berpagutan cukup lama hingga aku tiba-tiba merasa kehilangan hangat dari bibirnya. Chanyeol tampak kembali merasa kesakitan dan aku dibuat panik olehnya.
"C-Chanyeol-ah, kau tidak apa-apa?" dia masih tidak merespon pertanyaanku. "S-sudah ku bilang tidak usah, a-aku tidak apa Chanyeol, kau istirahat saja," tambahku dengan suara yang semakin tercekat. Aku ingin menangis. Terserah jika ada yang bilang aku cengeng atau apa, mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berada di posisiku dimana aku bisa kehilangan Chanyeol kapanpun. Dan aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika hal tersebut benar-benar terjadi karena kelalaianku.
Sebelah tanganku terangkat untuk menangkup pipinya, lalu dia kembali membuka matanya perlahan dan menatapku. Dia tersenyum, tidak, lebih tepatnya dia memaksakan sebuah senyuman. "Aku tidak apa-apa Boo, selama bersamamu aku akan baik-baik saja."
Aku menggelengkan kepalaku cepat, "Tidak, kau lebih baik beristirahat saja, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."
"Tapi aku menginginkanmu Boo, apa kau tidak menginginkanku?"
"Bukan begitu..." Aku mengalihkan pandanganku dari Chanyeol diikuti dengan air mataku yang menetes.
Chanyeol mengusap air mataku dan tersenyum, "Percaya padaku, biarkan aku melakukan apa yang harus kulakukan padamu."
Aku menatapnya, mencoba memohon agar dia tak memaksakan kehendaknya, namun dia hanya menganggukkan kepalanya meyakinkanku, hingga aku tak bisa berbuat banyak. Aku membiarkan Chanyeol melanjutkan kegiatannya, hingga malam panas itu terasa berlangsung cukup lama. Saling bergerak dalam diam. Aku melepaskan segalanya, entah dalam bentuk tangisan ataupun senyuman. Kami saling meluapkan rasa cinta masing-masing dalam setiap sentuhan yang diberikan, hingga kami sama-sama terbaring lemas setelah menyelesaikannya.
Chanyeol menoleh padaku dan bertanya "Apa kau lelah?"
"Uhm..." jawabku masih dengan memejamkan mata karena rasa kantuk yang sudah terlalu sulit untuk ditahan.
"Tidurlah, selamat malam Baekhyunku sayang~" ujarnya sambil meraih pinggangku dan memeluk tubuhku erat, dia juga sempat membenarkan posisi selimutku agar tubuhku tidak kedinginan. Aku baru tahu, ternyata menyenangkan memiliki seseorang yang akan memeluk dan mengatakan selamat malam sebelum tidur. Rasanya seperti aku benar-benar tengah dilindungi, dan aku berharap hal seperti ini bisa bertahan selamanya. Ya, selamanya, bukankah itu adalah waktu yang sangat lama?
.
.
3 bulan kemudian…
"Channie~ waktunya makan."
Chanyeol yang tadinya masih menutup mata kini mulai membukanya. Harum rumah sakit begitu kental disana hingga membuat siapapun merasa nafsu makannya dikurangi menjadi tersisa hanya separuhnya saja. Begitu juga dengan Chanyeol, ia tak pernah suka makanan rumah sakit apalagi ditambah dengan kondisi tubuhnya yang tak nafsu pasti tidak akan mudah.
"Tak ada penolakan okay, tubuhmu itu juga perlu energi," bujukku sambil membantu menegakkan tubuhnya dari posisi berbaring.
"Aku sudah makan kemarin Boo, apa itu tidak cukup?" rajuknya yang membuatku terkekeh geli.
"Yah! Manusia makan setiap hari eoh! Bukan setiap minggu, tak ada alasan lagi untuk menolaknya!"
Aku mulai menyodorkan suap demi suap makanan kepada Chanyeol, meski dia menerimanya dengan malas tapi Chanyeol tidak banyak membatah dan hanya menelannya. Jadwal makannya cukupberantakan. Dulu Chanyeol selalu mau untuk makan jika ada aku yang menyuapi, namun entah kenapa sekarang dia lebih sering menolak dengan alasan tidak selera.
Ayolah, tubuhnya bahkan sudah semakin kurus saja. Sudah hampir sepuluh hari dia berada di rumah sakit, dan selama itu pulalah dia sering menolak makanan. Aku khawatir padanya, kesehatannya sering menurun secara tiba-tiba dan aku tak ingin jika penyakitnya kambuh lebih sering dari biasanya.
Kantung mata juga selalu setia untuk menghiasi mata bundar indahnya. Aku tak tahu apa alasannya, tapi akhir-akhir ini Chanyeol sering terkena insomnia.
Aku tak bertanya, karena bagaimanapun dia akan berkata bahwa dia baik-baik saja lalu akan menyuruhku tidur kembali. Tapi aku bisa merasakannya, ia selalu terjaga hingga tengah malam. Dia hanya akan memandangiku yang selalu tidur di sampingnya, lalu dia akan mengecupi setiap inchi wajahku sambil membisikkan kalimat-kalimat sayangnya. Aku tak tahu kenapa, tapi mendengar ungkapan hatinya selalu berhasil membuatku menangis dalam hati.
Chanyeol mencintaiku, sebegitu besar. Dan aku tak bisa berhenti bersyukur karenanya, aku benar-benar telah beruntung memiliki sosok sepertinya.
"Eungg~" gumamnya dengan mulut penuh sambil menggelengkan kepala. Baru juga suapan kelima, dia sudah mulai menolaknya.
"Satu lagi eoh, aku berjanji ini yang terakhir."
"Perutku sudah penuh Boo, jika kau terus menjejalinya aku bisa mengeluarkannya kembali."
"Itu hanya perasaanmu saja, kau tidak makan dari kemarin, satu suapan lagi, buka mulutmu!" paksaku sambil menyodorkan suapan terakhir padanya.
Diapun mengalah, tak lupa sambil mengerucutkan bibirnya yang makin membuat tampangnya itu jadi menggemaskan. Ah, meski wajahnya begitu pucat ia sama sekali tak pernah kehilangan ketampanannya. Aku sampai tak habis pikir bagaimana ia bisa melakukanya.
Setelah menyelesaikan makannya, ia kembali mengistirahatkan tubuhnya dan aku berniat untuk membersihkan sisa makanan ketika dia menarik tanganku kala aku berniat meninggalkannya.
"Kenapa? Kau butuh sesuatu?"
"Temani aku tidur siang, sebentar saja," pintanya tanpa melepas cekalan tangannya pada tanganku.
"Baiklah, tapi aku membersihkan makanan ini dulu ya."
"Boo, sebentar saja," pintanya sekali lagi sambil menatapku lemah.
Aku menyerah, jika Chanyeol sudah meminta aku tak akan pernah bisa menolaknya. Aku tersenyum, kutaruh tempat makan tersebut terlebih dulu lantas mendudukkan diri di sampingnya. Kusibak rambutnya yang menutupi dahi agar tidak merasa panas setelah selesai makan. Tangannya tak pernah melepaskan genggamannya dariku, dan aku tersenyum menyadari hal itu. Matanya mulai terpejam dengan damai dan aku hanya memandanginya sambil bersenandung kecil dan menepuk-nepukkan tanganku pada punggung tangannya. Chanyeol bilang dia menyukai suaraku ketika aku bernyanyi, padahal kurasa aku tidak begitu bagus dalam hal tersebut.
Hanya hening yang menguasai suasana saat itu, sedangkan aku tak bisa mengenyahkan pandanganku dari Chanyeol barang sedetikpun. Detik demi detik berlalu begitu cepat, dan aku baru menyadari bahwa jarum jam dinding hampir menunjukkan angka 10. Ibu Chanyeol pasti akan segera kemari, dan aku harus segera membersihkan kamar agar terlihat lebih rapi saat beliau datang.
Perlahan, aku bangkit dari posisi dudukku dan berniat untuk meninggalkan Chanyeol sebentar, namun meski dia tengah tertidur cekalan tangannya seakan tak mau melepaskanku. Aku berhenti di tempat, menarik pergelangan tanganku secara perlahan agat tidak mengusik tiduk lelapnya. Tapi detik berikutnya jantungku dibuat berpacu lebih cepat karena pria itu.
Chanyeol mengeluarkan suara seperti hampir tercekik dan itu mengundangku untuk kembali memfokuskan pandangan pada wajahnya. Matanya masih terpejam, tapi mulutnya sedikit terbuka. Dia bernapas dari sana. Napasnya semakin hilang seperti tak mampu meraih oksigen satupun dari udara bebas. Dan suara-suara itu kembali ketika ia mulai tercekat dengan dadanya yang kembang kempis.
Aku panik. Tubuhku bergetar dan hampir menangis, namun aku harus tetap rasional dan segera memilih untuk menekan tombol berkali-kali agar dokter segera datang. Chanyeol seperti kehabisan napas. Dia terlihat begitu kesakitan dan aku baru sadar tangannya meremas telapak tangannku dengan kuat.
"Chanyeol sadarlah!"
"Chan kau dengar aku! Chanyeol!" suaraku tenggalam entah kemana. Air mata sudah berderai cukup banyak dan Chanyeol tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan menjadi lebih baik.
Dokterpun datang bersama beberapa perawat di belakangnya. Mereka langsung menangani Chanyeol. Aku yang tak tahu apa-apa hanya bisa menangis, lalu salah satu dari perawat itu menyuruhku menunggu di luar. Mau tak mau akupun keluar, bagaimanapun aku takkan sanggup melihat Chanyeol seperti itu.
Tubuhku merosot sesaat setelah menutup kembali pintu ruang perawatan Chanyeol. Entah mengapa rasanya begitu lemas dan aku hanya bisa menangis sesenggukan disana. Lalu ibu Chanyeol datang sambil sedikit berlari, dia menanyaiku banyak hal tapi aku tak sanggup mengeluarkan suara bahkan sekedar untuk memberi tahu apa yang tengah terjadi pada putranya. Aku hanya menangis sambil memeluknya.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
.
.
A/N :
Hollaaa! Katanya hiatus? Iya, masih hiatus kok :v cerita ini udah lama aku tulis, tinggal finishing doang dan entah kenapa di tengah kesibukan ujian kok pengen ngelanjut ff ini, serius, hari ini aku UAS loh, tapi malah update ff :D Aslinya ini oneshoot, tapi seperti biasa imajinasi saya suka mampir-mampir, jadinya makin banyak deh :D
Chap selanjutnya/chap end bakal dipost minggu depan, ditunggu nee... Dan seperti biasa, REVIEW juseyoo… I miss you so much guys, oh iya, buat kaisoo shipper maaf kali ini aku nulisnya ChanBaek, gpp yaaa… Thanks for reading this story…
