Possessive Prison

Summary: "Itu salahmu karena memiliki hati yang terlalu baik." Sayang sekali, gadis manis berkerudung merah yang tak tahu apa-apa harus masuk dalam perangkap sang serigala./Implisit? Eksplisit? I don't know #plak!/ crossover [Akashi Seijuro x Hyuuga Hinata]/

Cast: Akashi Seijuro x Hyuuga Hinata

Gomenne... Rated-M

So, if you still under 18, push the BACK botton please...

Happy Reading! ^^

Hinata menatap rembulan itu dalam diam. Angin malam yang menerpakan dedaunan sekitar tak mampu menggoyahkan rasa dingin menusuk yang seharusnya bisa ia dirasakan. Awan bergumpal disertai kabut yang mulai menyerang membuat pandangan jelaga ungu itu terhalang dari pancaran cahaya rembulan. Tak ada suara hewan. Malam yang begitu tenang. Ingin rasanya ia menikmati malam seperti ini di rumahnya. Bersama sang adik dan ayah. Ah, tidak. Ayah...

Otou-san... sayang sekali beliau tidak bisa lagi menemani keseharian mereka. Mungkin karena terlalu merindukan ibunya, ia pergi lebih dulu meninggalkan anak-anaknya. Hanabi pasti kesepian. Tapi gadis itu bukanlah gadis lemah seperti kakaknya. Jika saja Neji masih hidup, anak bungsu Hyuuga itu tak akan memaksakan diri untuk tinggal di asrama. Jika saja waktu itu ayahnya dan Neji tak melupakan jalur yang dituju, mungkin mobil mereka tak akan tersesat dan berakhir di jurang.

Hinata terlalu terpukul untuk bisa hidup berdua saja. Ia masih tak tahu apa-apa. Dunia ini bagai lautan luas tak terjamah oleh gadis rumahan sepertinya. Ia tak tahu, harus memulai kehidupan barunya seperti apa. Walau keluarganya masih memiliki aset yang bisa ia gunakan, tak serta-merta hal itu dapat ia uangkan. Mereka ada;ah peninggalan keluarga yang berharga. Hinata hanya murid sekolah menengah atas seperti gadis kebanyakan. Yang bisa ia lakukan adalah bersabar dan mencoba hemat untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka masih hidup bahagia dalam kesederhanaan. Saling mengisi kesepian dengan ikatan saudara yang lebih erat. Hinata bersyukur Hanabi tidak lagi manja dan menuntut hal-hal yang tak mungkin bisa ia kabulkan sebelum ketiadaan ayahnya.

Hanya saja, tali yang mengikat mereka harus merenggang jauh di antara kebahagiaan baru yang mulai tercipta. Ia harus terpisah dengan adik yang sekaligus keluarga satu-satunya. Hinata tak mau hal ini, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Karena hal itu sendiri, Hanabi lah yang menyuruhnya membuat keputusan secara sepihak. Ia yang membuat Hinata seolah menjadi seorang kakak yang tidak berguna.

"Mungkin itu yang terbaik untuk nee-chan,"

Semburan angin yang terlampau kuat untuk menerbangkan gaun satin yang hinata kenakan. Malam hari di tempat ini serasa asing untuknya. Benar, jika mansion ini begitu megah dan menjanjikan segalanya. Tapi sebuah hal yang membuatnya kurang serasa memaksa Hinata untuk bisa tak melepaskan keringkihan yang tertahan sejak ayah dan kakaknya meninggal. Hinata harus kuat. Ia tak boleh menangis. Ia harus lebih kuat untuk Hanabi. Ia hanya boleh menangis dalam ruangan terkunci bertemankan kesunyian. Jangan sampai adiknya tahu. Tahu akan kesakitan dan sayatan pedih yang Hinata keluarkan ketika pemakaman itu tiba. Ia harus kuat. Ada hal yang lebih menyedihkan dari perpisahannya dengan Hanabi saat ini. Demi Hanabi.

"Kau belum tidur?"

"A-ah! Be-belum, sebentar lagi." Hinata terkejut melihat kehadiran pemuda di belakangnya.

"Lekas tidur dan tutup jendelanya. Angin malam tak baik untuk kesehatan,"

"H-hai', Akashi-san..." Hinata segera melaksanakan perintah itu. Pemuda di hadapannya adalah mutlak. Tak bisa dibantah. Sudah menjadi kewajiban Hinata untuk mematuhi perintahnya, karena itulah alasan Hinata berada di tempat ini. Meski ia sepantaran dengannya, Hinata perlu untuk tak membantah dan menentang. Demi Hanabi. Ia sudah rela membuat dirinya sendiri tinggal di asrama untuk membuat Hinata mau berada di tempat ini.

"Mungkin itu yang terbaik untuk nee-chan,"

"Kau hanya perlu tinggal di mansionku."

"Aku tahu. Aku ingin tetap bersama nee-chan,"

"Otou-sama jatuh sakit. Ia tidak akan bisa melarangku."

"Tapi, jika nee-chan pergi, kehidupan yang lebih sudah menunggu nee-chan!"

"Karena aku adalah penerus tunggal keluarga Akashi."

Pemuda itu masih berada di tempatnya semula. Berada di ambang pintu memperhatikan setiap gerak-gerik Hinata. Mungkin ia ingin memastikan perintahnya dilaksanakan atau malah diabaikan oleh gadis yang notabene adalah tunangannya.

###

Pagi yang cukup cerah untuk memulai hari di sekolah. Hinata berjalan pelan sambil menikmati sejuk udara bersih. Akashi berjalan jauh di depannya. Bersama anggota timnya yang tak sengaja bertemu di tikungan jalan. Mereka berangkat bersama. Sebenarnya mobil hitam mewah keluarga Akashi menampung dua muda-mudi itu dalam kursi penumpangnya. Hanya saja, Akashi minta diberhentikan di sebuah tempat yang lenggang agak jauh dari lokasi sekolah. Ia tak mau terlihat memalukan di hadapan murid lain. Setidaknya ia ingin bebas di waktu yang ingin ia miliki sendiri, meski sekarang kehidupannya lebih leluasa semenjak ayahnya berada di luar negeri untuk menjalani pengobatan.

Sebelumnya pula Hinata tak begitu tahu kehidupan pemuda berambut merah itu. Yang ia tahu sosoknya adalah maskot basket di Rakuzan. Digemari banyak siswi dengan kepribadian menakutkan, menurut Hinata. Berada di kelas khusus dengan anak-anak ber-IQ tertinggi di sekolah, dan menjadi ketua dewan sekolah selama tiga tahun berturut-turut. Ia tak tahu jika keseharian Akashi selalu dikelilingi oleh hal-hal mewah. Ia juga tak tahu bahwa pemuda bermata heterokrom itu adalah pewaris darah seorang bangsawan. Hingga sehari sebelum sekarang, dirinya telah membuat Hinata mengetahui sedikit potongan kehidupan Akashi.

Hinata terkejut, gadis yang cenderung tak begitu menonjol sepertinya tiba-tiba mendapat tawaran, atau lebih tepatnya paksaan untuk menjadi seorang tunangan darah tunggal bangsawan Akashi. Walau pemuda itu tak begitu peduli bahkan tak sedikit pun menunjukkan perhatiannya pada Hinata, tak dapat dipungkiri jika pemuda itu sendiri yang datang langsung ke kediaman Hyuuga dan membuat Hyuuga bersaudara yang tersisa menuruti 'mandatnya'. Akashi menjamin kehidupan ekonomi keluarga Hyuuga jika mereka mau menuruti permintaan –ralat- perintahnya.

"Turun,"

Setelah turun dari mobil, Hinata tak tahu harus bagaimana. Jika berjalan lebih dulu, mungkin ia dianggap tidak sopan. Tapi, kalau ia berusaha berjalan beriringan dengan Akashi, ia takut pemuda itu merasa malu berjalan dengan gadis sepertinya. Hinata hanya bisa berdiri diam, menunggu 'perintah' selanjutnya.

"Kau bisa berbuat sesukamu, asalkan itu masih dalam batas-batas yang seharusnya," tiba-tiba Akashi berkata. Hinata tak tahu apa maksudnya, tapi ia menuruti saja apa kata pemuda itu yang mulai berjalan lebih dulu meninggalkannya. Hinata berpikir Akashi menyuruhnya untuk berbuat dan bertingkah normal seperti biasa. Jadi ia mulai berjalan santai, tanpa harus mengimbangi langkah cepat yang sebenarnya hanya langkah yang biasa Akashi lakukan.

Sesampainya di kelas, Hinata mulai membaca-baca buku pelajaran hari ini. Kepindahan mendadak yang ia dan Hanabi lakukan hari minggu kemarin membuat Hinata harus sigap menyiapkan barang-barang yang musti dibawa. Buku pelajaran dan foto keluarga yang terpenting. Baju dan semua hal sekunder tak begitu Hinata utamakan. Toh, meski membawa baju yang sedikit, di tempat tinggal barunya Seijuro memberikan kamar dengan fasilitas yang lebih dari cukup. Hinata hanya khawatir dengan kekosongan rumahnya, meskipun Hanabi berjanji akan pulang dan membersihkan semuanya saat akhir pekan tiba. Adik Hinata itu resmi pindah sekolah di Kyoto, masih satu wilayah dengan Hinata dan rumah mereka. Cuma Akashi tak ingin memindahkan adik dari tunangannya itu di sekolah biasa. Kyoto Internasional High adalah sekolah elite dengan fasilitas asrama kelas atas. Hinata bersyukur Hanabi juga mendapatkan tempat yang lebih baik, dan sedikit khawatir jika Hanabi merasa kesepian disana.

Kriiiingg...!

Bel tanda masuk berbunyi. Saatnya duduk tenang di bangku masing-masing menunggu kedatangan guru tiba. Rakuzan adalah sekolah elite berbasis internasional. Disiplin ketat berisi murid-murid cerdas dan pilihan di seluruh jepang. Bahkan tak jarang di tiap kelas terdapat murid transfer dari luar negeri. Hinata sendiri bisa sekolah disini karena ia lumayan pintar. Ia menganggapnya lumayan, karena hanya beberapa pelajaran saja yang ia kuasai. Mungkin keberuntungan yang buatnya bisa masuk kesini, dengan peringkat mendekati paling bawah. Dulu saat ayahnya masih hidup, Hinata dan adiknya bisa bersekolah dengan normal. Tapi saat ayahnya tiada, Hinata dan Hanabi harus belajar ekstra keras untuk mengejar beasiswa. Syukurlah Seijuro datang dan meringankan beban mereka. Walaupun Hanabi mendapat biaya khusus dari tunangan kakaknya, Hinata yang sudah terlanjur menerima beasiswa menolak halus tawaran Seijuro. Baginya beasiswa itu sudah cukup untuk tidak membebani Seijuro lagi. Ia sungkan dengannya.

Meski pun status 'tunangan' terdeklarasi secara gamblang dari bibir Seijuro, Hinata tak begitu yakin dengan hubungan mereka. Baginya Seijuro adalah penyelamat yang begitu membantu kehidupan keluarganya. Ia sangat berterima kasih dan suatu saat berharap bisa membalas kebaikan yang ia lakukan. Hinata tak mengacuhkan kata-kata dinginnya yang mutlak. Hanya ingin melakukan hal yang pemuda itu suruh sebagai ungkapan balas budi. Toh, pemuda itu tak memperlakukannya terlalu buruk.

"Akashi!" seorang pemuda berambut pirang berlari ke arah rekan setim sekaligus kapten basketnya. Yang dipanggil membalikkan punggungnya dengan tatapan mata yang tenang.

"Kau terlambat, Koutaro,"

"Suman, heh... heh... aku berlari dari kantin menuju kesini, heh... hh..." nafasnya yang ngos-ngossan tak membuat Seijuro merasa kasihan sedikit pun.

"Kali ini kau harus mencetak angka lebih banyak dari yang lain. Aku tak suka jika perintahku dilanggar. Aku menyuruhmu datang tepat jam 13.00 siang, dan kau malah membuatnya telat dengan menambah beberapa digit angka di belakangnya. Jika kau tak bisa melakukannya, bola ini tak akan pernah sampai di tanganmu satu kuarter pun. Perintahku mutlak."

"Ch-chotto, Akashi... ada apa denganmu? Kau, berubah-"

"Hayama," Nebuya memperingatkan. Si rambut kuning menoleh dan terdiam seketika. Seijuro hanya melirik sebentar lalu berlalu pergi.

Semua tahu ada perubahan dalam tim mereka. Akashi yang dulu, berbeda dengan Akashi yang sekarang. Akashi yang sekarang kembali lagi menjadi Akashi sebelum pertandingan melawan Seirin di Winter Cup. Sisi lainnya yang sudah tertidur mulai bangun dan mengambil alih tubuhnya. Mata itu. Mata itu berubah lagi menjadi emperor eye yang mutlak. Sang kaisar telah kembali. Mereka yang disana hanya bisa pasrah dan kembali seperti dulu. Menjadi para 'budak' yang melayani kaisar.

"Nebuya, apakah kita akan menjadi kita yang dulu lagi?"

"Entahlah. Mata itu tiba-tiba berubah saat Leon-ni mengatakan protes tentang menu latihan hari ini. Aku juga terkejut. Semua yang ada disini juga terkejut. Akashi telah berubah. Monster yang ia tidurkan kembali terbangun dan mulai mendominasi."

"Souka... kuharap kita tidak seperti dulu lagi. Aku menyukai Akashi yang baik dan peduli pada timnya,"

"Aah, kuharap juga Leon-ni tak terlalu lama terpuruk akan ketakutan emperor eye Akashi yang telah terbangun setelah dua tahun ini,"

Koutaro dan Eichi menatap kasihan Reo yang tertunduk di bangku cadangan. Walau ini hanya latihan antar anggota klub, tetap saja tatapan mata heterokrom itu membuatnya ciut dan tak bisa menegakkan kakinya untuk berdiri. Akashi yang sekarang, jauh lebih mengerikan daripada Akashi yang memasuki zone untuk dirinya sendiri.

"Kalau kalian tak bisa lebih serius dan terus membuat kesalahan, lebih baik keluar dan potong jari kalian sendiri untuk membuatnya berfungsi sebagaimana mestinya. Menang adalah prioritas utama, buatlah hidungmu berdarah-darah hingga papan scor mencetak angka yang tak bisa dicetal lagi!"

Latihan keras Rakuzan sejak Akashi yang 'baru' berkuasa, akhirnya usai di petang hari. Semua anggota terkapar di lantai. Mereka bolos di jam-jam pelajaran terakhir demi latihan mempersiapkan pertandingan Inter High. Sampai-sampai tidak mengeluarkan suaranya untuk mengeluh. Tidak. Tepatnya mereka tidak bisa mengeluarkan keluhan mereka di hadapan sang kaisar.

"Cepat pulang dan siapkan tenaga kalian untuk latihan besok. Kalian anak kelas satu! Bersihkan aula dengan benar!"

"Hhh... h-hai'!" Seijuro melenggang keluar meninggalkan para anggota tim basket yang masih memulihkan energi mereka. Di hari yang hampir gelap ini Seijuro masih sempat-sempatnya memasuki tangga atas sekolah untuk mencari sesuatu. Tepatnya, menjempu seseorang.

Ketika pintu geser kelas terbuka, Hinata tersentak kaget mendapati sosok berambut merah yang mengisyaratkannya untuk berdiri walau tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengikuti Seijuro dengan kaki bergetar. Lorong sekolah sudah sangat lenggang dengan pencahayaan minim. Dirinya menunggu Seijuro hampir dua jam lamanya. Pemuda itu cuma memberikan sms singkat untuk menunggu di dalam kelas hingga Seijuro datang. Dalam kelas itu ia sendiri. Tanpa seorang pun dan keheningan yang membuat Hinata mau tak mau merasa tercekam. Sedikit takut, gadis berambut indigo itu menghabiskan waktunya dengan mengerjakan tugas yang diberikan siang tadi. Cahaya terang lampu kelas tak bisa membuat kekhawatirannya berkurang. Terlintas sebentar dugaan jika Seijuro berniat meninggalkannya.

Tapi syukurlah, pemuda itu datang dan segera mengeluarkannya dari keheningan suasana sekolah di petang hari.

Langkah cepat dan tenang pemuda itu Hinata imbangi dengan sedikit berlari kecil. Seragam basket masih melekat di tubuhnya yang berkeringat. Mungkin pemuda itu langsung menuju kemari setelah latihan selesai tanpa mengelap tubuhnya. Ia tahu Hinata gadis yang tegar. Ia sudah melalui hal yang memukul hati dan membuat hati itu harus menegarkan pendiriannya. Tapi, seorang Hinata, sebanyak kata berani yang keluar dari mulut mungilnya sekalipun, tak bisa memungkiri jika gadis itu memiliki rasa takut dan khawatir melebihi gadis lain,. Ia tahu Hinata gadis yang tegar. Ia sudah melalui hal yang memukul hati dan membuat hati itu harus menegarkan pendiriannya. Tapi, seorang Hinata, sebanyak kata berani yang keluar dari mulut mungilnya sekalipun, tak bisa memungkiri jika gadis itu memiliki rasa takut dan khawatir melebihi gadis lain.

Mereka melewati gerbang sekolah dan berjalan kaki menuju tempat 'jemputan'. Di saat seperti ini pun, Seijuro tak mau memanggil sopirnya sampai ke sekolah. Membuat ia dan Hinata harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai ke mobil yang telah menunggu mereka. Dari awal Akashi menjemputnya, tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir masing-masing. Bahkan, saat sudah berada dalam mobil, mereka masih saling terdiam. Hinata tak berani mengajak bicara dan Akashi bersikap tak acuh saja dengan mulai memainkan ponselnya.

Manison megah yang telah menanti mereka terletak pada tengah-tengah hutan hijau berudara sejuk. Sesampainya di depan teras rumah yang luas, mereka disambut oleh beberapa maid yang siap melayani majikannya, membawakan tas, menawari air hangat dan menu makan malam yang diinginkan. Seijuro sudah terbiasa akan hal itu, ia lewati saja mereka dengan beberapa patah kata singkat sebagai perintah. Sedang Hinata yang baru satu hari berada di 'rumah' barunya ini hanya bisa kaku, salah tingkah, berusaha bersikap sopan dengan menjawab hal yang menurutnya perlu.

Berlari kecil menuju lantai atas tempat kamarnya berada, gadis bermata ungu pucat bak mutiara itu memperhatikan Seijuro yang sedang menerima telepon di seberang sana. Wajahnya terlihat datar seperti biasa. Walau tak tahu apa yang sedang dibicarakan, kata 'Otou-sama' membuat langkah Hinata memendek dan berjalan hati-hati. Takut. Ia takut kenekatannya menerima tawaran Seijuro menjadi 'tunangannya' mendapat murka dari sang kepala keluarga Akashi. Meski berniat berlalu begitu saja, namun nyatanya ia berhenti dan berakhir dengan berdiri bagai patung di ujung tangga mencoba menyimak pembicaraan Seijuro.

"Kenapa kau berdiri disitu? Cepat mandi dan ganti bajumu,"

Hinata kaget, hampir terjungkal ke belakang.

"U-uhm... " secepat kilat langkah mungilnya melesat menuju kamarnya berada. Merasa heran karena seperti ada seseorang yang mengikuti, Hinata melirik sedikit dan membelalakkan matanya mendapati pemuda berambut merah yang mengekor di belakangnya. Ketika akan menutup pintu kamar, Hinata ragu. Ia membiarkan saja pemuda tadi masuk dan duduk dengan seenaknya di kasur empuk bersprei ungu muda. Hinata tak bisa protes ataupun tersinggung. Bagaimana pun juga, ini adalah rumahnya.

Pemuda itu bersidekap dan menyilangkan kakinya. Tatapannya yang tak bisa diprediksi semakin membuat gadis di depannya salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa.

"Hyuuga,"

"Hai'?" reflek, Hinata memfokuskan perhatiannya pada Seijuro.

"Masih ingat perkataanku tadi pagi?" Hinata mengedip-kedipkan matanya. Ia lupa.

"Tentang kau yang bebas melakukan segala hal sesukamu asal masih dalam batas,"

"O-oh... y-ya, aku ingat," sedikit menggigit bibir bawahnya –gugup-.

"Menyangkut urusan keluargaku, itu adalah bagian luar dari batasanmu." Jeda sejenak. Hinata mulai tahu maksud Seijuro. Pemuda itu tak mau mencampuri urusan keluarganya.

Melihat reaksi diam Hinata, Akashi menyimpulkan bahwa gadis itu paham apa yang ia katakan.

"Kita urusi kehidupan masing-masing." Akashi berdiri dan berjalan menuju pintu. Ia berhenti sejenak di samping Hinata, untuk mengucapkan beberapa kata.

"Ingat batasanmu, Hyuuga," lalu benar-benar lenyap dari pandangan mata pearl itu.

Hinata tak begitu tahu apa yang selalu Akashi bicarakan. Pemuda itu seolah memperingatkan hal yang seharusnya tak perlu. Hinata tahu itu. Ia sudah tahu diri. Melihat sikap Seijuro, pemuda itu seolah ingin mengekangnya.

Apapun yang Hinata rasakan, ia cuma bisa diam. Sedikit pun tak boleh ada kata penolakan. Ia tak boleh protes. Itu mutlak. Pandangan heterokrom itu seolah memperingatkannya. Hati kecil Hinata seolah melarangnya. Karena bagi Hinata, dirinya hanyalah seorang pelayan yang musti taat kepada majikannya.

TBC