a/n Sedikit author's note di awal, ini agak sedikit nyambung dengan fic saya yang judulnya 'Trust You', terutama di bagian akhir chapter terakhir. :) So, Enjoy this…
.
—All I want is You—
Author: Rin
Chapter: 1/2
Disclaimer: All casts is belong to themselves.
Rated: T
Pair: KiHae (Kibum x Donghae), slight YeKyu
Genre: Romance – Friendship
.
Warning: AU, Crack Pair, Shonen-ai, OOC untuk keperluan cerita, dll.
.
.
DON'T LIKE DON'T READ
.
Note: judulnya nyolong dari lagu FT Island, jadi jangan protes, 'kay? -_-d
.
.
Donghae tersenyum lebar menatap ponselnya. Tak sia-sia ia mengikuti kedua orang itu hingga ke tempat ini. Setidaknya ia jadi melihat sebuah pemandangan indah. Adegan ciuman antara hyung yang paling ia sayangi dengan hoobae kurang ajar itu sudah terekam sempurna dalam ponselnya—dan tentu saja bisa digunakan sekali-sekali untuk mengancam keduanya.
Ia tersenyum lebar—sangat lebar. Hingga tak disadarinya seseorang lewat di dekatnya.
"Manis..."
Donghae diam. Ia menoleh ke asal suara bass yang terdengar berat itu. Dilihatnya seorang namja berwajah putih dengan kacamata berframe hitam yang tengah memegang buku tengah tersenyum padanya. Ia melongo. Bukan karena ia tidak mengenalnya. Oh, ayolah, bagaimana mungkin ia tidak mengenal seorang namja yang seharusnya masih duduk di kelas satu itu—tapi kini berada di kelas dua—dan selalu berada di peringkat pertama untuk satu angkatan bernama Kim Kibum itu?
Masalahnya adalah… yang ia tahu namja ini terkenal dingin dan… barusan ia tersenyum padanya? Tidak mungkin…
Tanpa disadarinya, rona merah mulai terlihat di wajahnya. Kibum berjalan mendekat. Seulas seringai terlihat di wajah stoicnya. Ia berbisik tepat di telinga Donghae dengan nada suara yang terdengar seduktif. "Mau jadi kekasihku, hyung~?"
Dan Donghae hanya bisa membatu mendengarnya. Kalau seperti ini, ia harus mengakui ucapan Kyuhyun. Ia memang cocok jadi uke.
.
.
Donghae mengetukkan jari-jarinya pada meja di hadapannya, sesekali mendesah frustasi. Benaknya saat ini sedang penuh hingga ia bahkan tidak menaruh perhatian pada keadaan di sekitarnya—yang kebetulannya memang tidak ada yang menarik untuk diperhatikan. Kantin saat ini sedang agak sepi. Hanya ada dirinya dan beberapa siswa yang ia ketahui adalah para sunbaenya. Ini memang bukan waktu istirahat siang sebenarnya karena jam dimana biasanya para siswa bertumpuk di tempat ini sudah berakhir satu jam yang lalu, dan ia tidak peduli kenapa para sunbaenya—yang harusnya lebih rajin masuk kelas karena ini sebenarnya tahun terakhir mereka bersekolah di tempat ini—berada di tempat ini. Jam kosong mungkin?
Ia tadinya hanya berniat mengikuti Kyuhyun—yang juga membuatnya sekaligus mengikuti Jongwoon dan berakhir dengan ia melihat bagaimana kedua namja itu merubah statusnya menjadi berpacaran—namun malah berakhir di tempat ini, yang sangat disyukurinya agak sepi.
Bukan. Bukan karena ia ketahuan karena—tidak sengaja—mengintip mereka dan malah berakhir dengan diancam hoobae kurang ajar itu, karena toh ia bisa membalasnya dengan sesuatu—foto lebih tepatnya—yang lebih ampuh untuk mengancamnya, sekaligus juga Jongwoon kalau itu memang benar-benar dibutuhkan. Tapi… err… yah, itu terlalu memalukan sebenarnya untuk diingat (dan ia sendiri juga tidak mau mengingatnya!). Sejak kapan seorang Kim Kibum—yang dikenal sebagai namja pendiam—tiba-tiba jadi seperti itu? Memintanya menjadi kekasihnya setelah sebelumnya orang itu mengatakan dirinya 'manis'? Mereka bahkan tidak pernah benar-benar berkenalan sebelum ini. Hanya sebatas saling mengetahui nama, itu pun karena Jongwoon yang pernah sekali mempertemukan mereka dulu ketika mereka masih di kelas satu dan Jongwoon di kelas dua.
Donghae mengacak rambutnya—kasar. Bukan frustasi sih, tapi galau… err… yah, hampir tidak ada bedanya sih, tapi... argh, sudahlah…
"Hae-ya? Apa kau sedang gila, sampai-sampai kau bertingkah aneh begini?"
Donghae tersentak. Ia mendongakkan kepala, satu detik setelah suara baritone rendah itu menginterupsi kegiatannya menggalau ria. "Y-yesung-hyung?"
Jongwoon mengerutkan alisnya. Terdengar gugup, ia tahu itu, namun ia lebih memilih untuk mengabaikannya. Ia menjatuhkan tubuhnya di salah satu bangku yang berhadapan dengan namja yang lebih muda satu tahun darinya itu. "Gwaenchana?"
"Mwo?" Donghae melongo. Bukan karena ia tidak bisa menjawabnya atau bagaimana, tapi merutuki kemampuan hyungnya ini yang selalu bisa menebak kalau dirinya sedang ada masalah (baiklah, ia akui kalau wajahnya kini sebenarnya memang sedang menunjukkan kalau ia punya masalah—orang bodoh pun bahkan mungkin bisa menebaknya dengan sangat mudah... tapi tetap saja...).
Jongwoon memberikan deathglarenya membuat Donghae hanya bisa nyengir. Namja bersuara emas itu tadinya hanya ingin menghabiskan satu jam pertama setelah istirahat ini di kantin. Masuk kelas pun tidak ada gunanya, toh ia sudah terlalu telat karena… yah… begitulah…
"Jadi?" Jongwoon kembali menatap Donghae, menuntut jawaban dari pertanyaan tadi.
Donghae menggigit bibirnya, kedua iris gelapnya menatap Jongwoon yang masih menatapnya—ingin tahu sekaligus khawatir juga. Biar bagaimana pun Donghae itu salah satu orang yang paling dekat dengannya di sekolah ini, wajar kalau ia agak khawatir juga.
"Wajahmu merah, sunbae."
Mwo?
Donghae mendongakkan kepalanya. Dilihatnya Cho Kyuhyun tengah tersenyum lebar—menyeringai mungkin lebih tepatnya, membuat Lee Donghae benar-benar ingin memukul kepalanya kalau ia sendiri tidak ingat dengan hal lain yang jauh lebih penting daripada mengurusi orang ini.
Donghae kembali menghadap Jongwoon, memilih mengabaikan sosok Kyuhyun yang kini mendudukkan dirinya di samping Jongwoon. "Hyung…"
"Nde?"
"Itu…"
Kini bukan hanya Jongwoon yang tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh Donghae, Kyuhyun mendongakkan kepalanya, fokus pada sunbaenya yang kelihatan ragu itu.
"Kalau… ada orang yang memintamu jadi kekasihnya, kau akan menjawab bagaimana?"
"Hah?" Jongwoon mengangkat sebelah alisnya.
"Mwo?" Kyuhyun mengerjapkan kedua matanya. "Ada yang menyatakan cinta padamu, hyung?" Lanjut Kyuhyun, to the point.
Donghae membulatkan kedua matanya. "Mwo?"
Ucapan Kyuhyun tidak salah sih, walau tidak sepenuhnya benar juga. Bukan menyatakan cinta, yang ada ia hanya diminta untuk jadi kekasih orang itu—entah dilandasi oleh cinta atau tidak.
Dan satu kalimat singkat yang diucapkan oleh Kyuhyun itu, sudah cukup untuk membuatnya ingat kejadian beberapa saat yang lalu—dimana seorang Kim Kibum entah kenapa terlihat… err… sedikit menggodanya…
Plak.
"Aww… Yaa! Apa yang kau lakukan, hyung?" Donghae memegang pipi kanannya yang baru saja menjadi korban tamparan tidak berperikemanusiaan dari seorang Kim Jongwoon.
"Kau sedang memikirkan apa sih, sunbae? Wajahmu itu kelihatan pervert, kau tahu?" Kyuhyun mengerutkan alisnya.
"Aish, sudahlah. Kelihatannya percuma saja bicara dengan kalian." Donghae beranjak dari tempatnya duduk, meninggalkan kedua namja tadi yang menatapnya bingung lalu saling berpandangan sebelum kemudian mengangkat kedua bahunya, memilih untuk mengabaikannya. Toh cepat atau lambat—berdasarkan pengamatan Jongwoon pada Donghae selama ini—anak itu akan mengatakan masalahnya padanya.
.
.
Kibum menyusuri koridor sekolahnya dengan seulas senyum—atau mungkin lebih tepatnya seringai—terlihat di wajah putih yang biasanya terlihat stoic. Ini bukan kebiasaannya sebenarnya untuk berjalan di koridor sepi, dimana seluruh siswa yang ada di sekolahnya ini sedang berada di dalam kelas karena ini memang bukan waktu istirahat ataupun jam kosong. Dan jelas, ia—yang katakanlah adalah murid yang paling rajin di sekolah ini (yang bahkan membenci sebuah situasi bernama jam kosong)—berada di luar kelas dimana seharusnya ia berada di dalam kelasnya, mendengarkan sang guru berceramah, adalah sebuah keajaiban, kalau tidak mau dikatakan bencana.
Namja berkacamata itu tadinya hanya memiliki sedikit urusan di perpustakaan, mengharuskannya sedikit terlambat ke kelas. Namun, sesuatu—seseorang lebih tepatnya—justru menarik perhatiannya.
Ia tersenyum semakin lebar. Beruntung tidak ada seorang pun yang berkeliaran di koridor, kalau tidak mungkin besok dirinya akan jadi headline di koran sekolah karena tersenyum lebar—yang tentu saja itu bukan merupakan trademarknya. Seorang Kim Kibum dengan senyum kelewat lebar bukan satu kesatuan yang bisa beriringan (walau Jongwoon mengatakan ia terlihat tampan ketika tersenyum).
Yah, membayangkan kejadian tadi—beberapa menit setelah bel istirahat berakhir berbunyi—cukup membuatnya merasa senang, terhibur. Meminta seseorang yang tidak dikenalnya dengan baik—bahkan lebih bisa dikatakan kalau mereka baru satu kali saling berkomunikasi, itu pun hanya sebatas saling berkenalan, menyebutkan nama dan setelah itu selesai sudah.
Itu yang terjadi sebenarnya—atau mungkin itu yang disangka baik oleh Jongwoon maupun orang itu sendiri. Karena mereka sebenarnya mungkin tidak pernah menyadari sesuatu yang lain, yang tumbuh dengan sendirinya tanpa ia bisa menghalangi ataupun menyangkal, sekuat apapun ia berusaha. Sesuatu yang mungkin kalau dikaitkan dengannya yang terlihat dingin adalah hal yang mustahil.
Tertarik. Itu awalnya. Siapa yang menyangka kalau itu akan mengarah ke hal lain yang jauh lebih dari sekedar kata tertarik? Bahkan ia sendiri sampai sekarang masih berusaha untuk tidak menghiraukannya, menganggap kalau itu akan hilang seiring waktu berlalu—dan itu jugalah yang menjadi alasan baginya untuk—berusaha—tidak pernah bertemu dengannya, walau mereka satu angkatan.
"Hufft..."
Kibum menarik nafasnya. Sekarang... kelihatannya ia merutuki permintaannya tadi pada orang itu. Memintanya untuk menjadi kekasihnya? Itu bahkan adalah kalimat tergila yang pernah diucapkannya. Dan orang itu malah kabur. Reaksi yang wajar. Orang normal pasti akan bereaksi seperti itu. Yah, kecuali mungkin para yeoja yang menjadi penggemarnya, mungkin. Tidak, tidak, ia tidak narsis. Ia juga tidak buta untuk tidak menyadari kalau sebenarnya dia cukup populer—walau ia lebih memilih untuk tidak mempedulikannya.
Namja berkulit putih itu menghentikan langkahnya. Kedua iris gelapnya kini beralih pada halaman belakang sekolahnya. Bangunan di seberangnya sama sepinya dengan bangunan tempat ia berada. Dan itu adalah tempat yang sama dimana ia melihat Jongwoon dan seorang namja yang tidak ia kenal berciuman—sekaligus juga tempat dimana insiden meminta orang itu menjadi kekasihnya terjadi.
Kedua alisnya berkerut, menyadari sesuatu. Detik berikutnya, ia langsung melangkahkan kakinya memasuki pekarangan yang sepi namun terawat dengan sangat baik itu.
.
.
Lee Donghae berkali-kali memukul kepalanya, berusaha meyakinkan dirinya kalau ini tidak nyata. Ini hanya satu dari sekian banyak hal mustahil yang tidak akan pernah terjadi padanya—terlepas dari Kim Kibum benar-benar memintanya menjadi kekasihnya atau hanya sekedar mempermainkannya.
Nyutt.
Donghae menghentikan langkahnya. Ia bersandar pada dinding di dekatnya. Entah kenapa, ketika kemungkinan kalau sebenarnya Kim Kibum mungkin hanya tengah mengerjainya terlintas di benaknya, ada sedikit rasa sakit dan kecewa yang tiba-tiba ia rasakan.
Ia menggelengkan kepalanya kuat. Tidak, tidak. Sekalipun memang orang itu adalah namja yang cukup populer di sekolah ini, walau kepopulerannya belum menyamai tingkat kepopuleran ketua OSIS sekolah ini, tetap saja... tidak mungkin kan kalau ia menaruh hati padanya? Mereka tidak pernah melakukan kontak lagi secara langsung setelah pertemuan pertama mereka dulu, selain karena kelas mereka yang berbeda, juga karena... yah... ia merasa kalau mereka mungkin tidak akan cocok satu sama lain.
Donghae mengacak rambutnya—kali ini lebih keras. Tubuhnya merosot hingga ia akhirnya terduduk dengan tubuh yang masih bersandar pada dinding. Beruntung tak ada guru yang lewat di dekat situ. Setidaknya ia akan terhindar dari kemungkinan ia kena hukuman karena berada di luar kelas tidak pada waktunya.
"Aigoo, apa yang harus kulakukan? Kenapa pikiranku malah jadi tidak jelas begini?" gumam Donghae, pelan.
Benar. Kenapa kerja otaknya jadi kacau begini sejak orang itu memintanya menjadi kekasihnya?
Donghae merogoh sakunya, mengambil ponselnya. Sejenak ia memandangi benda berbentuk persegi itu, sebelum kemudian menekan beberapa tombol yang cukup dihafalnya. Namun, sebelum ia menekan tombol panggilan, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku, diiringi desah nafas frustasi.
Ia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Jongwoon—walau ia tahu kalau namja itu adalah satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong untuk menghentikan kegalauannya. Dengan hoobae kurang ajar di dekatnya itu, membicarakan masalahnya ini hanya akan membuatnya semakin emosi saja.
Ia bangkit dari tempatnya duduk, kemudian melangkahkan kakinya menuju bagian belakang sekolah—taman belakang. Ini bukan waktu istirahat, dan penghuni tetap tempat itu—Jongwoon dan Kyuhyun—sedang berada di kantin, otomatis tempat itu pasti sepi sekarang. Kelihatannya diam di tempat itu selama beberapa saat bukan ide yang buruk.
.
.
"Gomawo, Kibummie..." ucap seorang namja manis—Kim Ryeowook. Kedua tangannya memegang tumpukan buku yang hampir menutupi seluruh tubuhnya.
"Cheonma, hyung. Kau yakin tidak ingin kubantu membawanya ke perpustakaan." Kibum sedikit tersenyum kecil ketika namja manis itu mempoutkan bibirnya.
"Sudah kubilang kan, jangan panggil aku hyung. Kita seusia, dan aku hanya lebih tua beberapa bulan darimu."
Kibum tertawa kecil. "Arraseo, akan kuingat—itu pun kalau aku tidak kelepasan."
Ryeowook semakin mempoutkan bibirnya. "Kau menyebalkan."
Senyum Kibum semakin lebar. "Haha… kau yakin kalau kau tidak mau kubantu? Kalau buku-buku itu jatuh lagi, bagaimana?"
"Aniyo. Kalau kau membantuku, aku yakin kau hanya akan semakin menggodaku."
Kibum mengacak rambut teman sekelasnya itu dengan agak semangat, membuatnya berantakan dan membuat si pemilik rambut menekuk wajahnya. Manis, menurut Kibum. Itulah sebabnya kenapa ia adakalanya senang menggodanya. Mungkin ini juga lah yang membuat Jongwoon sedikit menaruh hati pada anak ini. Namun melihat Jongwoon bersama namja jangkung yang tidak ia kenal, pada akhirnya kelihatannya bukan Kim Ryeowook yang benar-benar ia cintai. Yah, itu bukan urusannya…
Ah, dan ngomong-ngomong soal manis, ia kembali teringat Lee Donghae. Padahal ia menantikan jawabannya. Memang ucapannya itu terkesan main-main, tapi ia serius. Yah, berharap saja ia beruntung saat ini…
.
.
Donghae sedikit mengepalkan tangannya. Rasanya... ia kini sangat menyesali kenapa ia harus ke taman belakang sekolah kalau hanya untuk melihat pemandangan itu.
Selama ia bersekolah di tempat ini dan mengetahui ada seorang namja datar bernama Kim Kibum, ia tidak pernah—atau jarang—melihat orang itu tersenyum begitu lebar. Dan apa-apaan itu tadi tangannya? Mengelus rambutnya?
Kim Ryeowook.
Ia tahu namja itu memang menarik. Dulu Jongwoon sempat terpikat padanya—di saat ia mulai menyukai sang hyung, hingga ia pun akhirnya memilih untuk melupakan perasaannya itu dan mulai menganggap hubungan mereka sebatas hyung dan dongsaeng, dan kini sang hyung malah menjalin hubungan dengan hoobae kurang ajar itu. Lalu kini...
Aigoo, kenapa kehidupan cintanya menyedihkan begini?
Donghae tersentak. Mwo? Cinta? Bukannya itu malah jadi membuatnya harus mengakui kalau sebenarnya ie memang menaruh hati pada namja berwajah stoic itu?
Ah... sudahlah... kelihatannya menyadarinya sekarang atau kapanpun juga tidak ada gunanya. Orang itu ternyata memang hanya mempermainkannya... rasanya ia menyesal karena memikirkannya terlalu dalam...
Detik berikutnya, Lee Donghae pun memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Berharap Jongwoon masih ada di kantin. Ia benar-benar butuh seseorang untuk mendengarkan masalahnya saat ini.
Dan tanpa disadarinya, Kim Ryeowook menyadari kehadirannya, sebelum kemudian ia kembali menatap Kibum. Seulas senyum terlihat di wajahnya. Kelihatannya, sekali lagi, ia harus membantu kisah cinta orang lain.
.
—To Be Continued—
.
a/n Tadinya saya mau bikin ini setelah saya beres Ujikom aja, tapi otak saya pengen bikin ini. -.- jadi, kalau hasilnya mengecewakan, mian. :( Oke, ini buat yang minta sekuel dari Trust You soal KiHae yang emang saya bikin ngegantung di sana.
Daaaaaaannnnnnn... tadinya ini mau Oneshot, tapi… saya udah gak kuat ngetik. xD
Oke, RnR? :)
.
~Praise Youth and It will Prosper~
.
Best Regards
—RiN—
.
