Desclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Declaimer Momiji : Yoshiro no Yukki
Genre : Angst, little romance
Pair : Hinata Hyuga X Sasuke Uchiha
Mohon maaf jika tidak sesuai harapan kalian semua. Cerita ini banyak mengandung typos, kecacatan EYD atau kesalahan lainya.
Hinata POV
Tubuhku lagi-lagi mati rasa. Padahal aku ingin menggerakan kakiku untuk berjalan. Aku juga ingin terbebas dari kungkngan obat mengerikan. Tapi aku tidak bisa. Begitulah kenyataan pahit yang tengah ku derita.
Aku lalu memandangi mega dari balik jendela. Bermain kesana-kemari, dibantu hembusan angin yang mengibarkan korden biru laut di depan mata. Angin sejuk juga membelaiku seakan ingin bermain ria. Aku tersenyum bahagia.
Kriet
Begitulah suara pintu tua kamarku. Bagaikan alunan musik yang merdu. Menggerakan engsel yang mengalihkan atensiku, dia berjalan membawa makanan di nampan. Memposisikan bubur hangat yang mengepulkan asap di tangannya serta membantuku untuk terduduk lantas menyuapiku.
"Makanlah. Ini bubur yang dibuatkan temanmu."
Mataku yang sedari tadi mengamati iris amesthystnya yang bergetar. Aku alihkan melihat sesendok bubur putih dengan sedikit warna hijau di beberapa tempat di depan mulutku. Aku tersenyum lagi dan melahapnya.
"Ini enak bu, lain kali aku ingin makan lagi." Komentarku berharap. Ibu menganggukan kepalanya dan menyuapiku lagi hingga tandas setengahnya. Ibu mengambilkan segelas air dan membantuku meminumnya menggunakan sedotan.
"Bu, aku ingin melihat musim semi lagi. Kita akan melakukan Hanami bersama teman baru, bagaimana?" aku mengajaknya antusias sambil melahap bubur yang mulai dingin. Ibu diam, mata yang tadi bergetar kini memerah dan mengeluarkan air yang deras. Aku bingung.
"Kita akan melihatnya, Hinata. Kita akan piknik bersama. Nanti ibu akan buatkan Shiroikuma untukmu. Jadi... jadi... kamu harus menghabiskan bubur ini supaya sembuh."
Yang kulihat ibuku semakin sesenggukan dan memelukku erat. Aku membalasnya namun aku tidak menangis. Tapi, batinku lah yang berteriak.
"Tentu saja ibu, karena aku mencintaimu."
Aku mencintai ibuku, mencintaimu dan mencintai mimpiku. Mimpi taksa.
Baru saja ibuku keluar, aku tersenyum sumringah, seolah mendapat tenaga. Aku berusaha menggerakan kakiku agar tidak kaku lagi, tapi tetap saja aku tidak bisa. Dan salahku karena tidak mau menerima kenyataan bahwasanya aku lumpuh. Aku menghela napas. Menyeret tubuhku ke kepala ranjang agar bisa duduk dan menjangkau buku tebal yang agak lebar dengan cover coklat yang terekat daun momiji kecil di tengah. Aku bisa mengambilnya dengan napas terengah. Sangat lelah.
Aku membuka helaian pertama, kedua, ketiga dan... halaman yang belum ku isi coretan. Aku menulisnya lagi.
Dan cintaku tak berakhir meski pada saat aku lelah menerima kenyataan ini. Meski aku tak pernah melihat senyummu lagi. Dan untuk ibu, jangan menangis. Aku selalu di sampingmu, meskipun aku tak akan bisa untuk membawa ibu menemaniku di pelaminan.
Aku gagal bu, gagal mendapatkan impianku. Gagal untuk bisa bersamanya. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Tapi..
Suara hatiku terhenti utuk mengeluarkan semuanya. Karena tiba-tiba aku lemas. Bukunya terjatuh, berbunyi gedebuk di lantai. Aku mencoba membaringkan tubuhku yang terasa sangat sakit. Aku mengerang namun suaraku tercekat. Sekilas aku melihat bayangan hidupku selama ini.
Bayangan saat aku ditolak pemuda raven.
Bayangan saat aku terlambat sekolah.
Bayangan teman-temanku dan terakhir bayangan keluargaku.
Air mataku mengalir deras, rasa sakitnya juga menguras energi. Hingga pada akhirnya aku tak merasakan apapun. Ringan seperti daun momiji yang berguguran terbawa angin. Semuanya samar dan perlahan menggelap. Namun sepertinya aku tersenyum saat melihat bayangannya yang tersenyum, "Sasuke".
Hinata End POV
"Bi, Hinata sudah makan?"
"Iya nak. Mungkin sekarang sedang tertidur di kamarnya."
"Aku ingin menemuinya. Aku sangat merindukan Hinata. Bolehkah?"
"Masuklah. Aku tidak akan melarangmu."
Naruto memasuki ruangan biru laut. Ia melihat Hinata yang terbaring serta buku yang terjatuh di lantai kamarnya. Naruto mendudukan dirinya di samping Hinata serta menggenggam tangan gadis itu yang menurutnya semakin lama semakin dingin.
"Hinata, maafkanlah keterlambatanku. Jika saja kau mau ikut, kita bisa mengobatimu. Kau terlalu keras kepala, Nata."
Suara Naruto menjadi parau, sarat kesedihan. Buku yang jatuh ia ambil dan menutupnya lalu meletakan di pangkuannya. Ia memandangi wajah pucat temannya. "Kau terlalu baik hati. Aku ingin mengatakan kalu sekarang Sasuke akan menikah. Kumohon jangan menangis. Kenyataan ini memang pahit. Orang yang kau cintai akan menjadi milik orang lain. Tidakkah kau ingin melupakanya, Hinata?"
Naruto mengamati senyuman kaku di wajah gadis itu. Hinata diam. Ia tak kunjung membuka mata. Padahal Naruto sedang menceritakan tentang Sasuke yang akan menikah sekitar dua hari lagi.
"Tidakkah ingin kau menemuinya?" Naruto was-was saat tangan Hinata menjadi dingin dan kaku? Ia takut sekarang. Tubuh gadis itu ia guncangkan tapi Hinata tak kunjung bangun. Ia mengecek nadi di lengannya, tapi...
Ia lemas.
.
.
.
Undangan
.
.
.
Dalam sekejap pandangan si tunggal Namikaze itu kosong. Masih tak ingin membuka hati bahwa dia telah pergi. Setetes air bening melintasi pipi, mencurahkan segala kesedihan diri.
"Kumohon jangan pergi, Hinata." Pintanya yang mungkin tak berarti.
Tak lama ibu Hinata yang masuk ke kamar untuk melihat kondisi putri sulungnya nampak terkejut. Ia melihat Naruto yang bersimbah air mata serta Hinata-nya yang tak bernyawa. Kakinya perlahan mendekat dengan gemetar. Setelah jaraknya dekat, tanganya tergerak. Disertai isakan dan linangan pilu Hikari membelai wajah porselen putrinya yang dingin. Lalu jatuh bertumpu pada lututnya karena tak kuasa menahan emosi hati.
"Jangan tinggalkan ibu, Hinata. Bukannya kau ingin melihat Hanami? Kenapa kau pergi?"
Naruto memeluk tubuh Hikari, mencoba menenangkan diri. "Dia tidak pergi, bi. Hinata akan ikut perayaan Hanami nanti." Ucap Naruto meyakinkan. Tapi Hikari masih setia menangisi keadaan. Hingga ia pun tak sanggup untuk berpura-pura tegar.
Pemakaman telah usai beberapa menit yang lalu. Baik Hikari maupun Naruto sudah meninggalkan tempat itu. Tanah kubur yang masih segar itu diterpa angin yang membawa sehelai daun momiji yang jatuh diatas pusara. Seolah-olah mengantar kepergian salah seorang anak Hawa. Pemakaman itu tidak dihadiri banyak orang. Hanya segelintir orang saja yang diberitahu. Bahkan teman Hinata juga tak ada yang datang kecuali Naruto.
Naruto tengah melamun di kamar Hinata. Foto mereka berdua masih tertata apik di mejanya. Serta buku tebal berwarna coklat yang menarik atensinya. Tangannya menelisik membuka halaman depan buku itu, dan hanya tertulis nama 'Hinata Hyuga' saja. Lalu halaman selanjutnya ia buka, belum sempat ia membaca, sebuah suara bell dari luar mengurungkan aksinya. Ia bergegas pergi dan menuju ruang tamu dengan baju serba hitamnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" alis Naruto naik mendapati seorang dari Uchiha di depan pintu. Sasuke datang untuk apa? Batinnya.
"Kapan kau pulang? Kenapa berada disini?" dia, Sasuke menanyai keganjilan di hadapannya. "Apa kau tidak mengijinkanku masuk? Aku ingin bertemu Hinata!"
Seketika Naruto diam sambil membuka pintu, membuat Sasuke semakin bingung. Apa yang telah terjadi? Pikirnya kalut.
Ia duduk di sofa bersama Naruto. Tapi lelaki pirang itu masih diam. "Kau kenapa?".
Dan Naruto tersentak lalu menggelengkan kepalanya kuat. Tersenyum sedikit untuk menutupi pikirannya, ia menanyakan kedatangan Sasuke.
"Apa tujuanmu Sasuke? Tumben kau kemari."
"Aku hanya ingin mengantarkan undangan pernikahanku untuk Hinata, untukmu juga." Bagaikan dipukul gada, kepala naruto serasa pusing. Hatinya sakit. Dadanya bergemuruh yang semakin mencekiknya pada kepiluan. Tak sadarkah bahwa orang yang ia cari baru saja selesai dimakamkan. "Kenapa diam? Hinata mana? Apa dia menjauhiku? Dasar gadis itu!"dengus Sasuke pelan.
Naruto melotot tak terima, "Apa katamu? Jangan meremehkan Hinata, Sasuke. Aku tidak suka! Sini, mana undangannya, biar aku yang berikan. Dia sedang sibuk." Meski berat Naruto terpaksa berbohong. Naruto mengambil paksa undangan yang baru saja disodorkan.
Sedangkan Sasuke hanya mengangguk paham, ia mengucapkan salam dan pergi. Sementara itu, Naruto meratapi nasib. Sebagai sahabat Hinata, ia tidak ada dalam kesakitannya. Saat itu ia belajar di Tokyo. Sedangkan Hinata memilih di Hokkaido karena ingin tinggal bersama ibunya.
Hanabi juga tidak ikut prosesi, ia terlalu shock mendapati ketiadaan sang kakak baik hati. Mengurung diri di kamar dan menangis histeris.
Andai saja ia menyadari lebih cepat, mungkin ia akan memiliki banyak kenangan manis.
Karena yang ia tahu Hinata selalu baik-baik saja saat ditanya, padahal keadaan keluarganya sedang pelik. Keterbatasan ekonomi membuatnya semakin rumit. Setiap bantua yang diberikan Naruto akan selalu ditolak dengan halus oleh pemilik rambut indigo. Katanya Naruto tidak menghargai kerja kerasnya. Itulah mengapa ia tak memperhatikan si pemilik mata bulan, atau mungkin ia kurang peka.
Kembali Naruto menangis, sekarang ia menjadi cengeng untuk sesuatu yang tak bisa dilogika.
Persiapan sudah selesai. Lelaki pucat itu menatap cermin. Balutan Tuxedo di tubuhnya terlihat apik, menambah kesan sempurna pada dirinya. Hanya tinggal menunggu prosesi utama. Sumpah setia.
Lelaki itu tersenyum. Dan menunggu si suara merdu. Namun lama ia tak melihatnya. Apakah undanganya tidak sampai? Padahal dia sudah mengantarkanya langsung. Apa Naruto membuangnya? Ia menepis pemikiran konyolnya.
Sasuke berdiri kokoh sambil tersenyum untuk menunggu kedatangan Hinata. Sehelai momiji singgah di kepalanya. Tangannya tertarik untuk mengambil dan membuangnya. Momiji, dan Hinata. Ada guratan tipis ke atas di bibir Sasuke. Para tamu undangan semakin banyak tidak membuatnya beranjak dari halaman depan. Ia hanya ingin mengucapkan perpisahan, sebelum ia benar-benar dimiliki orang lain.
Mereka berdua adalah orang-orang yang berambisi di tengah susahnya ekonomi.
Tak tahukah Sasuke. Bahwa orang yang kau tunggu takkan pernah datang.
Angin membawa momiji kembali, beterbangan menghiasi tanah hijau yang lapang yang diisi dengan beratus-ratus kelopak mawar putih dan ratusan tamu dengan pakaian formal yang asik berbicara tentang pernikahan yang mereka hadiri.
Saya hanya ingin menyurahkan isi pikiran saya. Harap maklum, ini cerita pertama saya yang saya publish di . Mohon bimbinganya. Maaf jika idenya pasaran.
Mohon kritik dan saran,
Review kalian akan sangat membantu..
Salam kenal Shiro..
