Futari no Waltz
Aqua Rain
Disclaimer: The site is named fanfiction, so VOCALOID is absolutely not mine.
Futari no Waltz I: Prologue of the Two
Gelap, gelap sekali di sini! Ah, seseorang tolonglah aku, tolonglah aku agar aku dapat melihat apa yang terjadi dalam kegelapan ini! Hey, aku bilang tolonglah aku!
Hey…
Apakah kalian tidak dapat mendengarkan suaraku?
Aku terjaga dari tidurku. Aku kembali memimpikan hal yang sama. Mimpi itu seperti mimpi buruk, namun aku sendiri tidak yakin akan hal itu, karena aku tidak pernah mengingat mimpi tersebut ketika aku terbangun. Aku menoleh ke arah jendela dan mendapati kelopak-kelopak bunga sakura berguguran, menandakan musim semi telah tiba.
Dengan segera, aku beranjak dari tempat tidurku dan bergegas menuju dapur. Kulirik kalender yang berada disudut ruangan dengan teliti. Ah, lusa adalah hari pertama di tahun ajaran baru. Kuambil sehelai roti dan kuoleskan mentega serta selai, lalu kulahap dengan perlahan sambil berjalan menuju pintu depan, memeriksa kotak posku yang sudah penuh oleh brosur atau pamphlet dari restoran lokal ataupun sekedar layanan antar pizza.
Diriku terhenyak ketika melihat amplop tebal memenuhi kotak pos apartemenku. Dengan cepatan aku segera meraih amplop itu dan mencari nama pengirimnya. Aku tertegun sejenak. Nama ayah tertulis sebagai nama pengirim amplop tebal tersebut. Aku langsung membuka amplop tersebut, dan menemukan dokumen-dokumen yang aku sendiri tak tahu apa isinya terdapat dalam amplop tersebut. Kebingungan, aku mencari-cari sesuatu yang dapat kumengerti, mungkin saja ayah meninggalkan sepucuk surat.
Begitu aku menemukan sepucuk surat yang dibubuhi oleh tulisan khas ayah, aku langsung membacanya:
Berlin, 27 Februari 20xx
Len, bagaimana kabarmu di Tokyo?
Ayah baik-baik saja di sini. Sebenarnya ayah ingin sekali menemuimu secara langsung, namun pekerjaan di sini sama sekali tidak bisa ditinggalkan hingga ayah sendiripun tidak bisa kembali ke Tokyo.
Mungkin kamu bingung dengan dokumen-dokumen yang ayah lampirkan bersama surat ini, dokumen-dokumen tersebut adalah milik anak sahabat ayah. Ayah sengaja mengirimkannya kepadamu agar kamu bisa mendaftarkan anak sahabat ayah itu di sekolahmu. Ayah sangat membutuhkan kerjasamamu untuk hal ini.
Salam hangat,
Ayah
Februari? Hey, sekarang sudah penghujung bulan Maret! Setidaknya surat ini harusnya sudah sampai sejak awal Maret meskipun dikirim dari Berlin. Aku memang malas memeriksa kotak pos, tapi tidak kusangka karena kemalasanku, aku sendiri tidak dapat melihat amplop coklat besar yang bertengger di pintu apartemenku sendiri. Aku segera membawa masuk semua isi amplop coklat dan mulai memeriksanya, meski berujung percuma karena aku tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam dokumen-dokumen tersebut kecuali semua dokumen tersebut beratasnamakan Rin Akita atau kalau disusun berdasarkan sistem penamaan Jepang menjadi Akita Rin. Kemudian aku memeriksa kembali surat dari ayah dan menemukan nomor telepon berkode negara Jepang atas nama Akita.
Akupun mengambil ponselku dan memijat tombolnya sesuai dengan nomor telepon yang tertera di surat tersebut. Tak lama berselang, panggilanku dijawab.
"Halo, saya Kagamine, apakah benar ini rumah keluarga Akita?" Sapaku memulai pembicaraan.
"Ya, benar di sini adalah rumah keluarga Akita. Ada yang bisa saya bantu?" Suara wanita diseberang sana membalas pertanyaanku.
"Saya Kagamine Len, soal dokumen beratasnamakan Akita Rin yang dikirimkan kepada saya…"
"Oh, jadi kau anak paman ya! Pantas saja aku pernah mendengar namamu! Oh, aku Neru, Akita Neru. Dokumen yang kamu maksud itu untuk pendaftaran Rin kan? Baiklah, aku akan datang bersama Rin nanti siang! Ah, sarapanku dan Rin akan matang sebentar lagi, sudah dulu ya!" Panggilanku diputus. Hey, sopan sekali dia! Sudah memotong pembicaraanku, dan dia memutuskan panggilan teleponku secara sepihak!
Dengan malas, aku kembali melihat-lihat dokumen tersebut. Dari namanya, anak yang bernama Akita Rin ini pasti perempuan. Yah, siapa tahu saja terdapat fotonya, dan mungkin saja dia adalah tipeku. Dengan teliti aku mencarinya, namun hasilnya nihil, yang ada hanyalah dokumen-dokumen berbahasa asing. Putus asa, aku meletakkan kepalaku di atas meja, dan menunduk ke bawah. Terlihat sehelai foto berwajah seorang anak perempuan yang tidak kukenali di bawah meja, Ah mungkin saja, anak ini yang bernama Rin. Kuambil foto itu, dan kuperiksa bagian belakangnya yang tertulis 'Rin Akita' yang ditulis menggunakan tulisan romawi. Aku perhatikan potret wajah anak perempuan yang bernama Rin itu. Penampilannya mirip sekali denganku! Rambutnya pirang dan matanya berwarna biru laut, persis denganku. Tentu saja aku dan dia berbeda, wajahnya lebih bulat dan kekanakan dibanding denganku. Hidungnya kecil dan matanya yang agak bulat membuat wajahnya terlihat manis, sayangnya dia tidak tersenyum di foto ini.
Aku meneliti ruanganku, sepertinya ada yang harus aku lakukan… Ah, aku harus membereskan apartemenku! Kalau Rin dan anak perempuan yang bernama Neru itu datang dan melihat apartemenku yang sudah seperti kapal pecah ini, bisa-bisa mereka tidak jadi bertamu dan aku akan diomeli ayah! Dengan tergesa-gesa aku merapikan dokumen terse but dan segera menuju pintu depan dan meraup semua brosur serta pamphlet yang ada di kotak pos juga yang berceceran di genkan. Setelah itu, aku memasukkan sepatu-sepatuku ke dalam rak. Semoga aku mampu membereskan seluruh isi apartemen sebelum siang….
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur setelah selesai membereskan seluruh isi apartemen. Tercium bau tidak sedap di ruangan ini, aku mencari-cari sumbernya namun tidak berhasil menemukannya. Lalu, kucoba mencium tubuhku sendiri, dan ternyata benar dugaanku kalau sumber bau tidak sedap itu berasal dari tubuhku, Ini pasti karena membereskan apartemen. Aku segera menuju ke kamar mandi, setidaknya shower akan membuat tubuhku segar dan bebas dari bau tidak sedap.
Selesai mandi, aku dengan sabar menunggu tamu-tamuku sambil menyiapkan hidangan-hidangan ringan untuk menyambut mereka. Setidaknya ohagi bisa di makan saat musim semi sebagai teman minum teh. Tidak lama kemudian, aku mendengar suara bel pintu apartemenku berbunyi, sepertinya mereka sudah datang. Aku berjalan menuju pintu depan dan segera memmbukakan pintu untuk mereka.
"Permisi, aku Akita Neru yang menjawab teleponmu tadi pagi!" Seorang perempuan berambut pirang dan memiliki pupil mata berwarna kuning membungkuk kepadaku dan menyapaku dengan riang. Jadi, ternyata dia yang kelakuannya di telepon tadi sangat tidak sopan. Aku mencuri pandang ke belakang Akita, dan menemukan anak perempuan yang sepertinya adalah Rin.
"Salam kenal, aku Len, Kagamine Len. Silahkan masuk," balasku seraya membungkuk juga dan mempersilakan mereka untuk masuk.
Aku mempersilakan mereka untuk duduk di ruang tengah, dan menghidangkan teh serta ohagi untuk mereka.
"Maaf, aku baru bisa menghubungi kalian, sebelumnya aku sangat sibuk jadinya tidak sempat," ujarku seraya membuka percakapan.
"Hee, tidak... tidak apa-apa. Rin juga baru tiba dari Berlin kemarin lusa, justru aku sendiri yang akan repot kalau kau menghubungiku pada awal bulan," Neru berkata.
"Oh, kau pasti Rin ya?" Tanyaku kepada anak perempuan yang sama sekali tidak berbicara yang duduk di sebelah Akita Neru, yang kuyakini bernama Rin.
Dia menatapku sebentar kemudian mengangguk, mengiyakan pertanyaanku barusan.
"Hey Rin, ayo perkenalkan dirimu dengan sopan!" Ujar Neru dengan nada sedikit memaksa. Kulihat ekspresi Rin menunjukan rasa keberatan namun ia sedikit menunduk,
"A...Akita... Rin," ujarnya dengan canggung.
"Kagamine Len," jawabku sambil membungkukan badan.
Aku berbincang dengan Neru tentang sekolahku, reputasinya dan prestasinya. Rin tetap diam, ia hanya melihat-lihat seisi ruangan ini dengan matanya.
"Oh iya, sebaiknya kita mendaftarkan Rin hari ini. Lusa tahun ajaran baru sudah dimulai," ujarku. Neru mengangguk dan mengiyakan usulku. Akhirnya kami bertiga pergi menuju sekolahku, Jinkōsei Kōkō atau yang sering disingkat menjadi Jinkōkō, sebuah sekolah swasta yang sangat populer di distrik tempat tinggalku.
Gerbang sekolah ditutup. Tentu saja, pasti sekolah sedang menyiapkan upacara penyambutan siswa baru! Akhirnya aku terpaksa mengutarakan maksud kedatangan kami kepada penjaga dan sekolah, dan kamipun diperbolehkan masuk. Kami bertiga langsung ditemani oleh penjaga sekolah untuk menghadap kepala sekolah.
"Ah, ada perlu apa kau datang ke sini, Kagamine?" Tanya kepala sekolah kepadaku. Kalian tanya kenapa kepala sekolah mengenalku? Tentu saja karena aku adalah wakil siswa baru tahun lalu, yang berarti aku adalah siswa yang berhasil meraih skor tertinggi pada penerimaan siswa baru tahun lalu!
"Umm... begini, ada siswi yang hendak mendaftar untuk masuk di sekolah ini," jawabku.
"Hmm, siswi baru? Suruh dia masuk kalau begitu," perintahnya. Aku segera menoleh dan mendapati Neru sedang mengintip kami. Kemudian kulambaikan tanganku, menyuruh mereka masuk.
"Permisi," sapa Neru dengan sopan, berbeda sekali ketika menyapaku tadi.
"Kau kah anak yang ingin mendaftar di sini?" Kepala sekolah bertanya kepada Neru.
"Bu-bukan! Yang akan mendaftar adalah adik saya, Rin," sanggahnya.
"Aku tidak mempermasalahkan siapa yang akan masuk, yang penting kau tahu standar sekolah ini, kan?" Tanya kepala sekolah.
"Ya, saya sudah mendengarnya dari Kagamine-kun," jawab Neru dengan sopan. Kemudian ia menyodorkan dokumen-dokumen Rin kepada kepala sekolah. "Mohon untuk dilihat sebagai bahan pertimbangan," ujarnya.
Kepala sekolah kemudian melihat-lihat isi dokumen tersebut. Memangnya ia mengerti bahasa yang tertulis di dokumen itu? Batinku.
"Akita Rin... lahir dan besar di Jerman, juga mendapat pendidikan Jerman ya?" ujar kepala sekolah sambil memeriksa dokumennya. Heh, ternyata dia mengerti!
"Benar," Neru mengiyakan.
"Kalau melihat dari data yang ada dalam dokumen ini, Rin hanya bisa didaftarkan pada kelas internasional karena ia mendapat pendidikan asing, bagaimana?" Kepala sekolah berkata. Kelas internasional? Hey, berarti dia akan sekelas denganku.
"Tentu saja saya tidak berkeberatan," Neru menjawab, tapi orang yang dibicarakan seakan tidak peduli.
"Kalau begitu isi formulir ini dan Rin, datanglah ke sekolah lusa menggunakan seragam sekolah yang bisa kamu beli di toko ini," ujar kepala sekolah seraya memberikan secarik kertas bertuliskan 'Shimodafuku' yang ditulis menggunakan kanji dan tersenyum kepada Rin. Rin membungkuk dan mengambil kertas itu, sementara Neru mengisi formulir pendaftaran.
Selesai mendaftar, kami bertiga segera bergegas menuju Shimodafuku untuk membeli seragam untuk Rin. Rin terus menatap kertas bertuliskan nama toko tersebut dan bergumam,
"...ta...?"
Neru mendengar suara Rin tersebut dan melihat kertas yang dipegang Rin tersebut.
"Shi-mo-da-fu-ku!" Ujar Neru seraya mengejakannya kepada Rin. Rin membelalakan matanya, terkejut dengan ucapan Neru yang tiba-tiba.
"Shi...mo...da...fuku...?" Gumam Rin mengulang ejaan yang diucapkan oleh Neru barusan.
"Sepertinya, kamu memang harus belajar kanji ya!" Neru berkata sambil mengacak-acak rambut Rin.
Sesampainya di Shimodafuku, Rin langsung diukur tubuhnya sementara aku hanya melihat-lihat seragam sekolahku dan beberapa sekolah lain yang juga mempercayakan pembuatan seragamnya di toko ini. Setelah selesai diukur, Neru mengambil dua stel seragam, dua stel seragam musim panas, dan satu coat untuk musim dingin, lalu segera menuju kasir, membayar belanjaannya.
Dalam perjalanan sehabis dari Shimodafuku, aku dan Neru berbincang tentang banyak hal, termasuk Neru yang mendapat beasiswa di Kyoto Notre Dame dan mengharuskan ia untuk tinggal di asrama sampai ia lulus.
"Rin baru tiba di Jepang kemarin lusa, jadi meninggalkan dia untuk hidup sendiri hanya akan menyulitkan, makanya aku dan ayah memutuskan Rin untuk tinggal dengan kerabat," kata Neru sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.
"Hee... kalian memiliki kerabat di sini?" Kataku sekenanya. Neru kemudian membelalakan matanya, terkejut.
"Rin akan tinggal di apartemenmu! Memangnya paman tidak bilang ya? Tadi barang Rin sudah dikirim ke apartemenmu, harusnya sekarang sudah sampai," ujar Neru. Mulutku menganga, tak percaya pada apa yang baru saja aku dengar. Memang, ada satu kamar kosong di apartemenku.
Wow, tinggal berdua bersama anak perempuan manis seperti Rin adalah hal baru bagiku.
Semoga akan menyenangkan.
Begitu sampai di depan pintu apartemenku, benar saja banyak sekali paket yang atas nama Rin yang ditujukan ke alamatku dan beberapa karyawan dari jasa pindahan. Akhirnya kami bertiga... maksudku aku dan Neru serta karyawan jasa pindahan tersebut membawa paket-paket tersebut ke dalam. Rin membuka paket yang berukuran kecil dan mengeluarkan isinya, sebuah boneka kelinci berwarna putih dengan mata biru dan pita kuning. Boneka yang mirip dengannya. Kemudian ia duduk di sofa dan memainkan bonekanya, sementara aku dan Neru membereskan barang-barangnya.
"Maafkan Rin ya dan sudah merepotkanmu, aku jadi merasa tidak enak," Neru berkata, meminta maaf atas kelakuan Rin.
"Tidak, tidak apa-apa," ujarku sekenanya. Rin masih memainkan bonekanya, tidak peduli pada sekitarnya. Dia benar-benar tidak peduli pada kami.
Hari sudah gelap ketika kami berdua selesai merapikan kamar yang akan digunakan oleh Rin. Ya, Rin sama sekali tidak membantu kami berdua. Aku menemukan Rin yang tertidur di atas sofa sambil memeluk boneka kelincinya, wajahnya manis sekali. Neru kemudian berjalan menghampiriku dan Rin.
"Pasti dia kelelahan ya?" Ucap Neru sambil tersenyum. Kelelahan? Padahal membantu kami saja tidak.
"Wah, tidak kusangka sekarang sudah pukul 7 malam," kataku seraya melihat ke arah jam dinding.
"Eh? Aku harus pulang kalau begitu, aku juga harus berangkat ke Kyoto besok!" Kata Neru. Ia kemudian menyibakkan helaian rambut Rin yang menutup wajah adiknya itu.
"Rin," panggilnya dengan lembut.
"...Onee-chan...?" Rin membalas panggilan Neru.
"Jaga dirimu baik-baik ya," Neru menasihati Rin seraya tersenyum. Rin kemudian mengangguk dan kembali tertidur. Neru mengecup kening Rin.
"Terima kasih untuk hari ini Len! Kalau ada apa-apa dengan Rin, tolong kabari aku ya!" Neru berkata sambil beranjak dari sofa dan memberikanku sehelai kertas bertuliskan nomor ponsel dan alamat e-mailnya. Kemudian ia pulang, meninggalkan aku dan Rin.
Aku menatap sosok Rin yang kini sedang tertidur di sofa ruang tengah. Sebenarnya aku ingin membangunkannya dan menyuruhnya untuk tidur di kamarnya, namun wajahnya yang tertidur bagaikan malaikat membuatku tidak sampai hati untuk membangunkannya. Akhirnya aku pergi menuju dapur, membuatkan sesuatu untuk makan malamku dan Rin.
Aku mulai membuat kari, makanan yang resepnya aku kuasai dengan baik. Tiba-tiba, seseorang menarikbajuku, dan ketika aku menoleh orang itu ternyata adalah Rin. Sepertinya dia terbangun karena mencium bau kari yang cukup menusuk hidung.
"Pe...das...?" Tanyanya. Suaranya lemah sekali, aku hampir tidak bisa mendengarnya.
"Iya. Ada apa? Kamu tidak suka pedas ya?" Aku balik bertanya. Rin kemudian mengangguk. Aku tersenyum melihat sifatnya yang sangat pendiam dan pemalu, persis seperti anak SD yang tidak terbiasa bermain dengan teman sebayanya.
"Khusus buatmu, akan kubuatkan yang tidak pedas ya?" Kataku seraya tersenyum kepadanya. Raut wajahnya tidak berubah, namun ia mengangguk.
Aku dan Rin menikmati makan malam tanpa berbicara sepatah kata pun. Rin sama sekali tidak mengomentari masakanku. Aku sendiri hanya diam, merasa canggung untuk membuka percakapan dengan Rin, mengingat daritadi aku sama sekali tidak berbicara dengan Rin, malahan malah berbicara dengan Neru, karena Neru lebih mudah untuk diajak bicara dibandingkan dengan Rin. Padahal, aku harus bisa akrab dengan Rin karena ia kini tinggal bersamaku. Akhirnya aku mengumpulkan keberanianku untuk membuka percakapan dengannya.
"Bagaimana masakanku, Rin?" Tanyaku. Rin menengadahkan kepalanya dan menatapku dengan sendok masih berada di mulutnya. Arrgh, imut sekali!
"...Enak..." kata Rin yang terdengar seperti bisikkan di telingaku. Aku terdiam, tak tahan melihat wajahnya yang begitu manis menatapku.
Dua puluh menit selanjutnya, aku dan Rin sama sekali tidak berbicara. Rin berbaik hati untuk membereskan makan malam kami berdua dan mencuci piringnya, kontras dengan sikapnya ketika Neru masih bersama kami. Setelah selesai mencuci piring, Rin pun pergi ke kamarnya sedangkan aku menonton televisi. Wajah Rin yang begitu manis tidak bisa hilang dari pikiranku, termasuk ketika aku sedang menonton televisi. Mau bagaimana lagi? Rin memang benar-benar manis!
Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Sebaiknya aku segera tidur karena besok aku masih harus membereskan kamar Rin. Ya, kamar Rin belum sepenuhnya beres, masih ada beberapa barang seperti buku-buku dan PC milik Rin yang belum sempat dibereskan karena membutuhkan waktu yang lama. Aku kemudian mengecek saluran gas, memeriksa semua jendela dan pintu untuk memastikan bahwa semua sudah terkunci, dan mematikan lampu.
Sebelum masuk ke kamar, aku mencoba membuka pintu kamar Rin. Ternyata pintunya tidak terkunci. Di dalam kamar, aku melihat Rin yang tertidur di meja tulisnya. Aku ambil sebuah selimut tipis dan kuselimutkan dia, mencegahnya agar tidak masuk angin. Di atas mejanya terlihat kertas-kertas catatan hiragana dan katakana serta beberapa kanji dasar. Kulihat juga buku percakapan dasar Inggris-Jepang, kamus, dan catatan yang ditulis dalam bahasa Jerman dan Inggris yang sepertinya ia tulis sendiri. Jangan katakan kalau Rin tidak bisa membaca huruf Jepang. Dengan kata lain dia tidak akan bisa kemana pun sendirian, dan aku sebagai 'kerabat'-nya harus terus menemaninya...
Jangan bercanda!
A/N: Setelah sekian lama tidak menulis cerita, akhirnya kesampaian juga. Ini kali pertama saya menulis untuk fandom Vocaloid. Ini juga baru kali pertama saya bikin fic dengan bahasa Indonesia. Maaf ya kalau bahasanya terkesan kaku, karena saya belum biasa menulis cerita dalam bahasa Indonesia. ;_;
Anyhow, a review won't hurt ya, rite? So, gimme one and I'll try to update this story ASAP!
Listening to:Sphere (Spring is here Album), Shimamiya Eiko (Higurashi no Naku Koro ni, Naraku no Hana, Super scription of data), Ayane (DOLPHIN JET), VOCALOID2 (Adolescence, Kokoro, Promise Fuyu no Fantasy), Toyosaki Aki (Nijiiro Splash!, Dill), Shimoda Asami (Prism Cover Album), Okui Masami (Rondo –revolution, Toki ni Ai wa..., truth –cover-), Chihara Minori (Rondo –revolution -cover-), Akino (Sousei no Aquarion)
