Another Choice
Summary: Maylene mengira dirinya telah berhasil lari dari pekerjaan lamanya sebagai pembunuh profesional yang tidak mengenal belas kasihan. Namun ketika rekan-rekan pembunuhnya yang dulu mengejarnya, pilihan apa yang ia punya? / "Lari bukanlah pilihan, Maylene." / RnR please.
Pairing: Sebastian Michaelis x Maylene
Genre: Romance & Suspense
Disclaimer: all characters belong to Yana Toboso-sensei. I don't own the characters no matter how beautiful or handsome they are, except the OCs.
Warning: bahasa campur aduk; OC; OOC; author amatir, sedeng, baka, dan.. what the? Saya ngejelekin diri saya sendiri? ==
Happy Reading~
.
.
.
"Apa katamu, Peter? Salah satu agen pembunuh kita menghilang tanpa jejak?" geram sesosok yang berdiri menatap kejauhan lewat jendelanya. Orang yang dipanggil Peter mengangguk.
"Ya... Dalam kurun waktu dua tahun ini, semua orang sudah dikerahkan untuk mencarinya karena gadis tersebut termasuk salah satu sniper andalan kita." Peter menghela napas dan melanjutkan. "Kami masih belum tahu kenapa ia menghilang, namun dinilai dari situasi pos terakhirnya, kelihatannya ia dibawa paksa, Tuan."
Sosok tersebut mengernyitkan dahi. "Aku mau kalian melacaknya. Jadikan kegiatan ini sebagai prioritas utama sementara kita. Ia terlalu banyak tahu dan akan berbahaya. Kalau bisa, bawa dia kembali hidup-hidup. Kalau ia melawan... tembakkan pelurumu tepat menembus jantungnya."
Peter mendengarkan dengan cermat kemudian membungkuk. "Anda bisa mengandalkan saya."
-x-
Maylene mengelapi porselen yang tak ternilai harganya dengan ekstra hati-hati. Ia memastikan tak ada noda tersisa di permukaan benda yang kini mengilap tersebut. Semuanya harus sempurna. Setelah yakin piring hias itu sudah bersih, ia tersenyum memandang bayangannya sendiri di piring tersebut. Kemudian, ia menyimpan benda itu kembali di lemari.
Hari-hari damai terlewati di Phantomhive Manor. Maylene sangat menyukainya; kehidupan ini seratus kali lebih baik dari pada yang dijalaninya sebelum ia dibawa ke sini. Ia mengingat kali pertama ia dibawa—lebih tepatnya, diseret—oleh Sebastian, butler keluarga Phantomhive, ke Manor, dan ia bersyukur karenanya.
Sebastian, astaga.
Kalau saja ia tidak harus berakting bodoh karena diperintah oleh Sebastian, ia akan lebih menyukai kehidupannya. Namun ia tidak boleh menimbulkan kecurigaan musuh-musuh yang mengincar majikannya, Ciel Phantomhive. Karena itu, untuk melindunginya, ia harus menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya.
Tapi ia tidak suka terus berpura-pura bodoh. Terkadang itu membuatnya merasa dirinya sendiri sudah menjadi bodoh. Dan kenapa ia juga harus berpura-pura jatuh cinta dengan butler sialan itu?
Ia menghela napas lalu mengambil vas untuk dilap. Tiba-tiba...
"Maylene—"
"KYAAA!"
BRAKK!
Ia terjatuh dari kursi dan menjatuhkan piringnya. Sebastian baru membuka pintu secara tiba-tiba dan mengejutkannya. Sebastian melebarkan mata begitu melihat keadaan kacau ini, kemudian menghela napas dan membantu Maylene berdiri.
"Maylene, harus berapa kali kukatakan, jika sedang melakukan sesuatu fokuslah pada pekerjaan itu," tegur Sebastian. Maylene paling benci saat-saat seperti ini, ketika dimarahi oleh Sebastian. Atau Ciel. Karena ia harus merendahkan martabatnya sebagai maid dan terus-terusan meminta maaf. Maksudnya, dulu ia adalah pembunuh yang tidak berperasaan dan pantas ditakuti, kenapa ia harus mengambil peran sebagai maid bodoh yang ceroboh dan dianggap remeh semua orang?
Ia menelan harga dirinya bulat-bulat dan meminta maaf. "Maafkan aku, Sebastian."
Sebastian menatapnya dengan senyum kosong. Seandainya ia tidak membutuhkan maid satu ini untuk menjaga mansion, ia pasti sudah membunuhnya dari dulu. Ia paham, kecerobohan adalah salah satu hal yang tidak dapat diubahnya dari gadis itu selain kebodohannya. Namun ia tak bisa berhenti berharap ia merekrut maid yang lebih tidak ceroboh dan bisa diandalkan.
"Bagus. Tuan Lau dan Nona Ran Mao sedang bertemu dengan Tuan Muda di ruang tamu. Aku sudah menyiapkan makanan dan minuman di troli. Waktu makan malam nanti, kuharap kaulah yang menuangkan wine di gelas mereka, dan jangan sampai ada insiden yang terjadi," Sebastian memberi instruksi kepada Maylene yang mendengarkan dengan setengah hati. Maylene mengangguk lalu keluar, sebelum kembali tersandung karena pintu.
Sebastian memastikan Maylene pergi cukup jauh, kemudian ia memunguti pecahan vas dan melemparnya keluar jendela. "Kenapa aku harus memperkerjakan maid sebodoh dia?" gumamnya sebal lalu menepuk-nepukkan kedua tangannya dan berjalan untuk mengambil jas hitamnya. Kemudian ia berjalan menuju ruang makan dan membuka pintunya.
Ia menghidangkan makanan tersebut dengan senyum di wajahnya dan berhati-hati supaya semua berjalan sempurna. Ia melihat Bard, Finny, dan Tanaka di pojok, berdiri dengan tegak dan diam. Yang merupakan hal yang bijaksana untuk dilakukan, karena kalau mereka mengakibatkan kekacauan, Sebastian akan menelan mereka hidup-hidup. Sebastian melirik Maylene yang berdiri di belakang troli, puas karena kecerobohannya sedang tidak muncul.
"Lau, kupikir kau akan pergi setelah makan malam?" tanya Ciel sambil melirik Lau yang dengan santai memainkan garpunya.
"Ya, tentu saja. Masih ada urusan yang harus kulakukan dan aku akan mendahulukannya. Atau sang Earl membutuhkanku lebih lama?"
Ciel menatap Lau dan Ran Mao dengan sebal. Ia tidak suka melihat pakaian Ran Mao yang terlalu menonjolkan tubuhnya dan Lau yang sering mengelus paha gadis itu. Ia tidak paham kenapa Lau menganggapnya adik.
"Tentu saja tidak."
Sebastian kembali berdiri di samping Maylene dan mengumumkan, "Malam ini, saya telah mempersiapkan sebotol wine khusus yang sesuai dengan menu utama." Sebastian tersenyum lalu membungkuk dan berbisik, "Maylene, sekarang jangan kecewakan aku dan tuang wine di gelas Tuan Lau dan Nona Ran Mao."
Maylene mengangguk. Tubuhnya gemetar menahan amarah karena mendengar nada suara Sebastian yang meremehkan. Ia menghela napas, tersenyum, lalu berjalan ke depan untuk menuangkan wine tersebut. Namun, tanpa disengaja, ia salah memperkirakan jarak kemudian tersandung dan menumpahkan wine tersebut ke lantai. Maylene terkejut pada dirinya sendiri, ia tidak memaksudkan untuk berpura-pura ceroboh, tadi, kenapa insiden tersebut terjadi?
Apakah sifat bodoh telah menjadi kepribadian asli dari dirinya?
"Oh, maafkan aku, Tuan Muda! Maafkan aku, Sebastian!" ucap Maylene cepat-cepat. Wajahnya memerah karena malu.
"Tidak apa-apa," sela Ciel sebelum Sebastian sempat memarahi maid tersebut. Senyum Sebastian mulai terlihat lebih mengerikan. "Lebih berhati-hatilah dan tuangkan wine-nya."
Maylene menatap tangannya dengan gugup. Kali ini, ia tidak boleh jatuh ataupun tersandung lagi. Ia berjalan dengan hati-hati ke arah Lau dan menuangkan wine itu di gelasnya. Ia menghela napas kemudian berbalik, namun sebelum sempat mencapai tempat asalnya, Sebastian menegur.
"Gelas milik Nona Ran Mao belum terisi, Maylene."
Maylene menahan napas dan membungkuk. "Maafkan saya."
Ia berbalik dan berjalan menuju Ran Mao. Karena kelewat lega, ia berjalan dengan cepat dan kembali TERSANDUNG tali sepatunya sendiri. Sebelum ia jatuh, pitcher berisi wine yang dipegangnya melayang ke arah kepala Ran Mao. Dengan tangkas Ran Mao menangkapnya, namun wine membasahi kepalanya. Maylene menutup mata karena ia akan jatuh, hidungnya tinggal lima senti dari tanah sebelum ia sadar Sebastian menolongnya.
Kedua mata Ciel melebar. Ia tahu Sebastian akan memarahi Maylene habis-habisan karena ini, namun ia tak dapat mencegahnya. Maylene memang sudah melewati batas.
"Maylene," Sebastian memulai sambil menyuruhnya berdiri. "Aku takut kecerobohanmu telah melewati batas hari ini. Kau telah mempermalukan Tuan Muda di depan Tuan Lau dan Nona Ran Mao. Apa kau sadar kalau saja Nona Ran Mao tidak mencegah pitcher tersebut mendarat di kepalanya, kau pasti sudah membuatnya terbunuh?"
Maylene terdiam. Air mata menggenangi pelupuk matanya.
Untuk kali ini, ia bersyukur ia menggunakan kacamata.
"Maylene, hari ini kau dibebastugaskan," Ciel berkata, mencegah Sebastian mengatakan hal yang lebih buruk. Ia melihat tubuh Maylene bergetar. Maylene membungkuk kemudian berjalan meninggalkan ruang makan. Ia berjalan ke luar Manor dan menarik napas.
Ia membuka kacamatanya dan mencoba menghitung bintang-bintang di langit untuk mengatur napasnya, namun itu tidak berhasil seperti biasanya. Kecewa, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
-x-
Peter tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Ia mencari dengan teliti agen mereka yang melarikan diri di seluruh Inggris, dan ketika ia tengah kelelahan dan berhenti di depan pintu pagar sebuah Mansion yang dikenalinya sebagai milik keluarga Phantomhive yang terkenal, ia melihat sesosok orang yang sedang dicarinya keluar dari pintu dan menatap langit seperti kebingungan.
Ia mengenali rambut merah panjang itu. Walau dulu rambut merah tersebut diurai dan tidak terurus, sekarang rambutnya diikat dua ke atas yang sama sekali asing baginya, itu tidak dapat mengecohnya. Gadis itulah agen yang dicarinya selama ini. Sebuah senyum mengerikan tersemat di bibir Peter, dan ia pun meraih walkie-talkie-nya.
"Tuan... saya telah menemukan target kita."
-x-
Setelah yakin pintunya tertutup rapat, Maylene berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia menutup pintu kamarnya kemudian berhenti dan melepaskan kacamatanya. Ia menarik napas, kemudian menangis tanpa suara. Bukan salahnya jika ia menjadi seceroboh ini. Bukan salahnya jika ia jadi sebodoh ini.
Tapi kenapa harus ia yang dipermalukan?
Terbersit di pikirannya kalau ia harus meninggalkan Phantomhive Manor. Ia ingin pulang ke rumahnya dan menjalani hidup lain yang tidak menurunkan martabatnya.
Namun dia sudah di rumah. Phantomhive Manor adalah rumahnya. Ciel, Sebastian, Bard, Finny, dan Tanaka adalah keluarganya.
Hidupku jauh lebih baik di sini. Aku takkan pernah mau melarikan diri, batin Maylene berulang kali. Ia berusaha menenangkan dirinya dan mengingat hal-hal baik yang ditemukannya di sini, walau ia tak bisa menghapus wajah Sebastian yang marah dan kata-katanya yang menusuk dari benaknya. Ia menggelengkan kepala, berusaha berpikir jernih. Ia direkrut di sini untuk melindungi Ciel, bukan untuk memikirkan Sebastian bodoh itu. Ia tersenyum membayangkan kalau ia dan Sebastian bertukar tempat, dan Sebastian-lah yang harus berakting sebagai maid bodoh. Kemudian ia menghela napas dan mengusap air matanya, lalu memakai kacamatanya kembali.
Ia memandang bulan lewat jendelanya. Namun sesuatu mengejutkannya dan tubuhnya serasa membeku. Kemudian ia berbalik, mengunci pintu, dan berjalan cepat menuju ruang makan. Jantungnya berdegup kencang. Ia berniat melapor kepada Sebastian tentang apa yang baru dialaminya.
Ia yakin ia melihat ada orang yang tengah mengawasi kamarnya lewat jendela.
-x-
"Dah, Tuan Lau! Dah, Nona Ran Mao!" seru Finny riang sembari melambaikan tangannya ke arah kereta kuda yang membawa Lau dan Ran Mao. Bard mendengus.
"Yah, kurasa sekarang waktunya untuk masuk," ujarnya. Menyadari Sebastian tidak merespon, ia bertanya, "Ada apa, Sebastian? Ada yang salah?"
Sebastian menatap kegelapan malam lalu menggerakkan bibirnya sesedikit mungkin. "Aku merasa ada sesuatu yang salah. Panggil Maylene dan bersiaplah bertiga, aku akan mencoba mengamankan Tuan Muda."
Bard dan Finny menatapnya serius kemudian mengangguk.
-x-
Jantung Maylene berdegup begitu kencang sampai ia sendiri heran kenapa jantungnya tidak meninggalkan rongga dadanya. Ia menyadari bahwa semua orang sudah meninggalkan ruang makan. Sewaktu ia berjalan, ia mendengar langkah kaki lain yang mengikutinya. Ia menaikkan kacamatanya dan meraih kedua pistolnya untuk berjaga-jaga. Sedikit lagi ia sampai di jalan keluar pelayan, tempat pasti Sebastian, Bard, Finny, dan Tanaka masih di sana karena mengantar kepergian Lau dan Ran Mao. Begitu ia meletakkan tangannya di kenop pintu, seseorang meraih tubuhnya dan membekap mulutnya.
Ia terkejut dan berusaha memberontak. Ia menendang-nendang ke segala arah. Namun orang yang menyanderanya hanya tersenyum dan berbisik halus di telinganya. "Maylene, apakah pantas kau memberi hadiah tendangan bagi kawan lamamu yang sudah lama tidak berjumpa?"
Maylene membeku. Ia mengenali suara itu, suara partnernya dulu, sebelum ia datang ke Phantomhive Mansion.
Suara Peter.
Baru saja Maylene berusaha membuka mulutnya, pintu pelayan terbuka lebar lalu Bard dan Finny masuk. Bard terkejut melihat posisi Maylene yang dalam keadaan tidak berdaya. Butuh sedetik sebelum ia benar-benar menyadari kalau Maylene dalam bahaya. Finny mengambil payung yang tersimpan di kotak di sebelah pintu dan melemparkannya ke arah Peter, namun pria itu menunduk. Maylene melepaskan bekapan Peter dalam waktu sepersekian detik kemudian melompat dan menghantamkan lututnya ke kepala Peter, mematahkan hidungnya dan membuat kepalanya terhantam ke lantai. Darah muncrat ke mana-mana.
Maylene menunggu sampai Peter tidak bergerak lagi, kemudian menghela napas dan menempelkan jari di nadinya. Ia tidak dapat mempercayai indranya, hanya dengan hantaman singkat tersebut pria itu tewas. Sambil menepukkan tangannya, ia berkata, "Dia sudah tewas. Kurasa aku mematahkan hidungnya dan meretakkan tengkoraknya."
Bard menggelengkan kepala, bertanya-tanya apakah bijaksana bekerja sama dengan gadis yang dapat membunuh lawannya dengan satu hantaman. Maylene menatap Finny dan tersenyum penuh terima kasih kepadanya.
"Terima kasih karena telah mengalihkan perhatiannya, Finny."
"Sama-sama," Finny membalas senyumnya kemudian mengalihkan perhatiannya ke mayat Peter yang berada di lantai. "Siapa dia sebenarnya? Sepertinya kau mengenalnya."
Maylene menyilangkan lengannya. "Dia Peter, partnerku sewaktu masih bekerja sebagai pembunuh. Kurasa ia disuruh bosku dulu untuk mengambilku kembali," ucapnya suram. Ia menatap Peter lebih lama kemudian menghela napas. "Kurasa aku harus pergi dari sini."
"Pergi?" sela Bard tajam. "Apa maksudmu dengan pergi?"
"Aku harus pergi dari sini, karena aku telah membunuh salah satu agen yang mereka kirim ke sini. Mereka, kelompok pengejarku, pasti akan menyadari ada yang tidak beres dan mengambil kesimpulan bahwa aku berada di sini. Dan siapa tahu kalau Peter ternyata sudah memberitahu mereka sebelumnya," jelas Maylene kemudian berbalik menatap Finny dan Bard. "Ini demi Tuan Muda juga. Aku tidak ingin melibatkannya ke dalam kegiatan berbahaya ini. Karena itu aku harus pergi."
"Tapi—ini gila! Kau tidak bisa pergi, Maylene!"
"Itu benar. Kau tidak bisa pergi."
Sebuah suara mengejutkan mereka bertiga dan Maylene pun berbalik. Itu tadi adalah ucapan majikannya, Ciel Phantomhive. Di sampingnya berdiri Sebastian dengan ekspresi yang tak bisa ditebak. Maylene membuka mulutnya namun Ciel mengangkat tangannya, mencegah Maylene berbicara, kemudian berkata, "Jika kau pergi, ada kemungkinan mereka akan kembali dan tetap menyerang tempat ini meskipun tahu kalau kau pergi. Maka alasan pergi untuk melindungiku akan sia-sia saja. Juga, walaupun kau berhasil kabur dan mansion ini tidak diserang, pada akhirnya lari tidak akan membawamu ke mana-mana. Kau akan dipaksa menghadapi musuh-musuhmu dan kesempatanmu menang menjadi nol karena kau sendirian. Siapa yang tahu pasti kalau mereka akan membawa sepasukan khusus hanya untuk membawamu kembali?"
Maylene tidak dapat memungkiri kebenaran kata-kata Ciel. Ia mendesah. "Saya memang dipekerjakan di sini untuk melindungi Anda dan mansion. Namun Anda juga harus mengerti, orang ini" –Maylene menunjuk Peter— "hanyalah satu contoh dari kelompok orang yang mengejar saya. Lebih banyak orang akan datang, mereka akan mengincar saya, dan beberapa di antara mereka bukanlah manusia. Situasi ini terlalu berbahaya untuk dilewati oleh orang seperti Anda."
Mata Sebastian melebar mendengar kata-kata Maylene. "Apa maksudmu mereka bukan manusia?"
"Saya tidak tahu, saya tidak tahu," Maylene mencengkeram rambutnya risau. "Mereka tidak bisa mati hanya dengan peluru atau pisau. Dan terkadang mata mereka memancarkan sinar merah yang mengerikan."
Ciel dan Sebastian saling memandang, keterkejutan tampak di wajah Ciel. Kemudian ia berhasil mengontrol diri.
"Baiklah, aku mengerti situasinya," Ciel berkata perlahan. "Sudah kuputuskan, kau tak boleh pergi, Maylene. Kita semua akan menghadapi mereka bersama-sama. Sekarang, kau, Bard, dan Finny kembalilah ke kamar kalian masing-masing, kita akan membicarakan hal ini dengan lanjut esok hari."
Maylene, Bard, dan Finny terdiam sebentar sebelum pada akhirnya membungkuk. Maylene membantu Bard dan Finny membuang mayat Peter. Ciel menatap Sebastian yang ekspresinya masih tidak dapat ditebak.
"Bagaimana menurutmu?"
"Menurut saya, my Lord, keputusan yang Anda ambil cukup bijaksana walaupun bodoh." Sebastian berhenti sebelum melanjutkan dengan nada skeptis. "Apa Anda yakin akan membantu Maylene dalam urusan ini? Anda mendengar penuturannya sejelas yang saya dengar. Beberapa di antara mereka bukan manusia."
"Bukan sifatmu untuk menjadi sepengecut ini," cemooh Ciel sembari berbalik dan membiarkan Sebastian mengikutinya. "Kalau aku sudah memutuskan sesuatu, tak ada yang dapat mengubahnya. Maylene sudah jadi bagian dari keluarga kecil Phantomhive kita, dan aku bersedia melindunginya seperti ia bersedia melindungiku. Apa kau mengerti?"
"Seperti biasa, saya tidak mengerti dan tidak mau mengerti hal bodoh apapun tentang kemanusiaan. Lagi pula, ia hanya seorang pelayan."
"Kau juga seorang pelayan, sekarang, Sebastian. Dan, kurasa kau harus agak melunakkan sikapmu terhadapnya." Ciel berhenti kemudian berkata, "Awasi dia."
Sebastian terdiam kemudian membungkuk dan tersenyum. "Terserah Anda, my Lord."
-x-
"Apa kau yakin kau tidak apa-apa, Maylene?" tanya Finny khawatir ketika ia, Bard, dan Maylene telah sampai di kamar maid itu. Maylene mengangguk sembari tersenyum.
"Tenang saja, Finny. Aku bisa menjaga diri."
"Tentu saja. Kau lihat tadi, kan, Finny? Berapa banyak wanita di dunia ini yang bisa mengatasi masalah sehebat Maylene?" Bard terkekeh sambil menepuk kepala Finny. "Jujur saja, saat Maylene menghantam kepala bangsat itu ke lantai, aku mulai ragu apakah keputusanku untuk menganggap Maylene orang yang rapuh itu benar."
Maylene tersenyum mendengar pujian Bard. "Yah, kurasa sekarang waktunya tidur. Aku yakin aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Dan kau tahu, Maylene? Kita semua akan menjagamu," ujar Finny ceria.
"Ya, aku—"
Tenggorokan Maylene tercekat ketika ia menatap Bard dan Finny dan menyadari bahwa mereka berada di sini hanya untuk menghiburnya. Rupanya mereka berpikir itu tidak aneh, dan Bard menepuk kepala Maylene lalu mengikuti Finny kembali ke kamar mereka.
-x-
Maylene menatap pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin. Ia terlihat lelah dan rambutnya agak berantakan. Ia berusaha tidak acuh dan membuka ikatan rambutnya lalu menyikatnya supaya agak rapi. Tidak ada gunanya.
Ia memikirkan kata-kata Ciel tentang melarikan diri. Ia memikirkan betapa baik Ciel kepadanya. Ia menyentuh kacamata yang bertengger di atas kepalanya. Seragam maidnya, kacamatanya, dan tempat tinggalnya, semua diberikan oleh Ciel. Ia ngeri membayangkan bahwa Ciel bisa tewas karenanya. Baginya, sekarang, Ciel-lah orang yang paling berharga.
Ia tidak dapat membiarkan pengejarnya membunuh Ciel hanya karena Ciel terlibat dengannya.
Ia membulatkan tekad lalu melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia menggantinya dengan pakaiannya yang dulu; pakaiannya sebagai pembunuh. Kemudian, ia meletakkan kacamatanya di meja dan mengambil dua buah shotgun lalu menyimpannya. Ia menatap seisi kamarnya, menatapnya untuk yang terakhir kalinya, kemudian ia mendesah.
Ia membuka pintu dan keluar dari kamarnya tanpa menimbulkan suara sama sekali. Ia berjingkat lalu berjalan keluar dari mansion. Baru saja ia membuka pintu untuk keluar, sebuah tangan bersarung meraih tangannya dan menghentikannya. Ia menahan napas karena terkejut kemudian berbalik untuk menghadapi penahannya.
Sebuah seringaian terpasang di wajah tampan dan memesona Sebastian Michaelis.
"Lari bukanlah pilihan, Maylene."
~To Be Continued~
A/n
Halo~
Aku cuma numpang di akun ini lho~ Onee-channya Nezumi tercinteh *tebar bunga*
Sejujurnya, ini fanfict Kuroshitsuji dalam bahasa Indonesia pertamaku. Selama ini aku selalu mengetik fanfict Kuro dalam bahasa Inggris walaupun aku orang Indonesia. =w= (Problem?)
Aku suka pairing Sebastian x Ciel, Ciel x Lizzy, dan Sebastian x Maylene. Sayangnya, yang populer di sini hanya pairing SebCiel dan CielLizzy W(TATw) *kemudian menerjunkan diri*
*dead*
*bangkit dari kubur buat iklan bentar*
Karena ini FANfiction, sudah sewajarnya dibuat oleh fans. Bila kalian tidak suka, jangan ngeflame. Just get outta here~
Sekian dan terima kasih. *tepar*
Review please!
