Gue ngerti banget kalau kebloonan gue bakal jelas banget hari ini.
Di hadapan gue, ada cewek ayu pake banget bagai bidadari turun dari khayangan jembatan pelangi. Serius, sumpah, wajahnya cantik, kece, cerdas, pinter masak, jago nge-game, molek lagi (yang ini merusak iman banget—aish, goblok banget lu, Len. Sadar, geblek). Dia berdiri tegak, tangan bersedekap ala-ala cewek tsundere yang kesel-tapi-tetep-sayang-ama-cowoknya nungguin gue ngomong, dan gue—oke—berdiri cengo bak orang dongo karena super duper terpana akan kecantikan dirimu, wahai bidadari surga~
Shit, gue lebay banget, kampret!
Oke, kondisikan diri lu, njir. Jangan lupa kalo gini-gini lo masuk cowok paling kece di sekolah dan selebgram walau lo sebel pake banget kalau lo lebih banyak dicap cowok imut daripada cowok tampan. Lo itu Kagamine Len. Secinta mati apapun lo sama cewek ini, tetap bawa harga diri lu, anjir.
Cepat pasang tampang tampan badai merusak iman sebelum cewek ini nge-cap lo cowok mesum dari sekte tua-tua keladi—
"Jadi, mau ngomong apa?"
Nah, bener kan gue. Meiko-chwan sayangku ini udah nggak sabar nunggu. Cepet ngomong, bego. Ini chance terakhir gue.
"Maaf ya manggil kamu ke kelas sore-sore begini, Sakine-san."
Sip, akhirnya gue balik jadi orang bener lagi. Suaramu menyelamatkan otakku.
"Oke …" Ucapannya gantung. Jelas dia heran banget aku mendadak manggil dia lewat chat tadi siang, apalagi dia kayaknya nggak ada jadwal kuliah sore ini tapi tetap bela-belain datang demi gue—duh, cowok macam apa dah gue, Gusti? Nggak mungkin gue nggak klepek-klepek. Kayaknya bakal ada kupu-kupu terbang dari perut gue—
Buset, dah. Cepetan ngomong, bego.
"Hm … jadi gini …" Pelan-pelan ngomongnya. Jangan penuh nafsu. Lo ini cowok suci—gue patut ditampol, kayaknya. "Kita udah lama berteman ya sejak semester satu, walau kita nggak dekat-dekat amat …"
Terlalo bertele-tele nggak, sih? Seumur-umur belum pernah gue ngelakuin ini. Biasanya gue jadi pihak Meiko-nya.
"Tapi … dari dulu gue suka sama lo …"
Muka Meiko langsung berubah. Kaget, jantungan, terus pingsan—nggak, nggak segitunya. Pokoknya dia cukup kaget denger pernyataan cinta gue, like me saat gue ditembak cewek yang entah udah berapa kali.
"Lo mau nggak …" Duh, gue nggak bisa berhenti garuk rambut. Sumpah, gue mendadak bloon, dah. "… jadi pacar gue?"
Dan mendadak sunyi.
Kampret, gue udah melakukan prosedur yang bener, 'kan? Ini pernyataan cinta pertama gue. Bukannya gue nggak usaha buat Meiko klepek-klepek, tapi sumpah, cewek ini nggak pekanya ketulungan. Udah tiga tahun begini-begini terus, anjir. Makanya gue memutuskan tembak langsung. Afdol, dah, daripada dia direbut cowok lain.
Soalnya ada yang ngincer dia.
Ada suara napas ditarik. Sip, Meiko akan bicara.
Gusti, tolong kabulkan permintaan hamba-Mu yang rendah ini untuk mendapatkan hati suci dari bidadari pujaan.
"Pacaran itu nggak penting."
Hah?
Tampang gue cengo banget sekarang—udeh, nggak perlu ditanya lagi. Gue denger apaan barusan? Kayaknya kuping gue lagi budek, deh.
"Daripada kau pacaran terus jadi budak cinta …" Tampang Meiko sadis banget, anjay. Syok banget gue. "… Mending kau latihan tubuh dan jiwa buat jadi budak korporat."
.
.
.
Aku si Budak Cinta Disuruh Jadi Budak Korporat oleh Gebetanku
Vocaloid © Yamaha, Crypton Family, etc.
Warning: udahlah, kagak usah saya sebutkan. Tahulah ini fanfic sarat akan bahasa alay dan orang alay, plus umpatan kasar dan sedikit kata-kata menjurus.
Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini. Ini diperuntukkan hanya untuk hobi semata
.
.
.
Chapter 1: Tak apa bucin, sayangi gebetanmu
Happy reading!
.
.
.
Nggak ngerti lagi gue.
What the—oke, jangan sampai ngucapin ini, jangan. Entar gue beneran dikutuk masuk neraka. Udah cinta gue ditolak mentah-mentah, perasaan gue yang murni dicabik bersobek-sobek, gue malah disuruh jadi budak korporat. Apa hubungannya coba?!
Shit, udah tiga tahun kenal, gue baru tahu Meiko kejamnya luar biasa.
Gue masih syok banget, parah. Sampai rumah pun gue masih absen bicara. Kejadian bersejarah yang untungnya nggak direkam masih terus muter-muter di kepala gue, sambil gue ngehitung berapa kali gue nyumpah-nyumpahin kejadian itu.
Baru 102 kali.
"Len, itu martabak mie-nya nggak lo makan?"
"Eh, oh …" Kaget gue karena lamunan buyar oleh orang di depan gue. Si Jenong a.k.a Miku mengembat satu dari dua potong martabak mie yang tersisa dan melahapnya kayak hamster geronggoti kuaci. Di tangan satunya, ada soulmate-nya a.k.a Siomai Redmie yang ngumbarin suara keras-keras beauty vlogger kecintaannya. Baru-baru ini Miku mencoba jadi cewek agak bener dengan memerhatikan dirinya sendiri. Selamat datang di dunia per-make up-an dan per-skincare-an.
Btw, gue lumayan cakap di dunia gituan karena gue selalu make. Jijik nggak lo?
Skincare-nya, bukan make up-nya. Dan gue selalu beli yang khusus cowok. Mentok-mentok unisex. Makanya gue kinclong parah. Miku yang cewek tulen aja jauh, dah.
Tapi, buat mendukung perhelatan gue di dunia per-selebgram-an, kadang gue pake make up. Biar gue keliatan seger aja ala-ala boyband yang tampangnya merusak iman kaum hawa.
Masih jijik nggak lo? Udah, nggak usah ngehujat. Apalagi lo cowok yang tampangnya pas-pasan tapi demen cewek cantik tapi juga ngehujat cewek yang pake make up dan skincare biar cantik terus sok bilang terima apa adanya. Blah.
"Gue makan, lah. Masa' lo tilap semua?" balas gue ketus sambil tancap gas ambil potongan martabak mie terakhir. Buset, sepotong mana cukup buat nutupin rasa miso gambas pare yang asem kecut parah? Kadang-kadang gue nggak ngerti mindset Miku sebagai penanggung jawab atasi perut kerucuk di rumah ini.
Btw, jika satu di antara kalian yang mikir gue dan Miku adalah temen satu kampus yang diam-diam tinggal serumah plus menjalin hubungan asmara terlarang, NO WAY! Gila kali, ya. Pertama, Miku kakak tingkat gue yang lagi nungguin dospem balik liburan dua bulan. Kedua, Miku tinggal di rumah ini sebagai "literally" kakak gue. Iya, dia memang kakak gue, kakak tiri tepatnya. Karena dia baru tinggal di rumah ini lima tahun lalu saat ayah gue dan ibu dia menikah, terus kami terlihat sebaya, makanya beberapa kali kami digosipin pacaran. Tapi tenang, semua aman terklarifikasi. Beres, sukses. Makanya gue bisa fokus nguber-nguber Meiko tersayang—
Sek, gue 'kan lagi kesel sama dia. Malah tiba-tiba demen lagi.
Cinta emang sulit dihapuskan. Ceilah, mulai gombal dah gue.
"Gue laper pake banget. Masakan gue terlalu enak buat tak dimakan hingga menggoyang lidah." Nah, ini yang buat kami mirip. Kadang suka ngeluarin gombalan sampah. "Lo kenapa, Len? Mukamu asem prengus gitu."
"Nggak bakal gue cerita. Lo bakal ngetawain gue," ujarku di sela-sela kunyahan nasi.
"Pastilah. Makanya cerita, Len. Pahala, lho, bikin gue ketawa." Nah, 'kan. Dasar sado. Kenapa kakakku begini?
Tapi melihat Miku mem-pause video yang dia tonton, meletakkan HP dan menunggu gue bicara, berarti dia siap mendengarkan keluh kesah gue. Kadang-kadang Miku jadi kakak yang baik.
Ya udahlah, gue nggak mungkin juga cerita ini pada temen-temen apalagi followers gue. Mau taruh di mana muka gue nanti? Akhirnya gue meletakkan sumpit dan mulai line pertama, "Gue habis nembak cewek."
"Pfffttt!" Miku langsung nyembur. Serius, soalnya air liurnya nyeplak muka gue. "Wahahaha! Serius lo, Len? Lo yang cowok tampan menggoda iman dan selebgram dan brand ambassador sabun cuci terkenal abad ini NEMBAK CEWEK, Len?"
Tuh, 'kan. Semua orang mandang orang kayak gue salah banget nembak cewek sampai tampangnya mendadak bloon. Dan sebelum kalian mikir macem-macem, maksud si Jenong ini adalah sabun cuci muka khusus cowok merk terkenal di dunia ini. Semua cowok kece pasti punya.
"Berisik lo, Nong! Katanya mau dengerin gue?" Sip, esmosi gue langsung naik ke ubun-ubun gara-gara orang ini. Sekali lagi, kenapa kakakku begini?
"Gue nggak bilang mau dengerin lo."
Sabar, kudu sabar. "Jadi manusia yang baik dikit, kek."
"Oke, oke." Miku mengangkat tangan tanda menyerah. "Gue dengerin. Lanjutin."
Panjang lebar, gue nyeritain peristiwa gue nembak Meiko tadi sore. Yes, gue nyeritain sampai detail, termasuk kata-kata terakhir Meiko sebelum ninggalin gue di kelas dengan tampang super cengo.
"Oke, gue komentar, ya. First, gue apresiasi banget keberanian lo dalam nyatain cinta. Gue tahu lo gengsinya tinggi. Lo pasti harus berperang sama diri lo sendiri biar perasaan lo sampai dengan jelas ke dia. Second, gue lega banget lo bisa milih kata-kata yang wajar dan nggak terkesan nafsuan." Gue masih cowok baik-baik, kali, walau kadang gue bayangin bisa kupas baju Meiko di kamar mewah yang remang-remang dengan aromatherapy lavender—oke, stop! STOP! "And last ..."
Miku memberi jeda. Hening tiba-tiba. Mendadak gue nelen ludah. Kayaknya ada drum yang lagi bertabuh-tabuh di telinga gue.
Jreng jreng jreng jreng jreng!
"Ya udahlah, Len. Masih banyak cewek lain di dunia ini. Move on, lah."
GUBRAK!
Cukup lah. Emang gue ngarep apa sih dari Miku? Udah bela-belain bongkar aib, diketawain sampe ilernya nyeplak muka, solusinya nggak guna lagi.
"Ngomongmu gampang amat. Lo, sih, nggak pernah naksir orang," sewotku seraya neguk kuah miso gambas pare. Buset, emang asem kecut parah! Gara-gara esmosi gue sampai nyeruput ini. Uwek!
"Emang dia bagus banget di mata lo?" tanya Miku dengan tampang serius.
"Iya." Gue ngeletakin mangkok dan mencapit nasi dengan sumpit. "Banget."
Gue punya alasan sendiri untuk itu.
"Hm …" Miku ngusap-usap dagu sok mikir. "Sakine Meiko, ya … Kayaknya gue pernah liat …"
Mendadak dendang burung bercuit membuyarkan obrolan kami dan gue langsung ambil HP dari kantong celana. Oh, ada chat. Dan … ini dari Meiko.
Tumben Meiko nge-chat duluan. Duh, hati Abang berdesir, Sayang. Satu chat darimu mewarnai malamku.
[Kagamine, besok ketemuan di depan gerbang kampus jam empat sore. Penting.]
Alamak, dia mau ketemuan sama gue! Meleleh hati Abang.
Tapi, wait, setelah semua ini? Setelah dia nolak gue dengan super sadis sampai harga diri gue terasa terinjak-injak, dia mau ketemuan sama gue? Dan ini bukan permintaan atau pertanyaan, tapi PERINTAH. Gue masih punya harga diri, tahu. Lagian, nggak bisa berkeperikemanusiaan dikit apa?
HP gue berdenting. Meiko nge-chat lagi.
[Terus, soal tadi sore di kelas itu, aku udah ngomong kata-kata kasar sama kamu.]
Satu chat baru masuk lagi. Hanya satu kata.
[Sorry.]
Diikuti sticker muka kucing merengut malu minta maaf.
Duh, Gusti.
Kupu-kupu pada berterbangan dari perut gue. Begini aja gue langsung klepek-klepek, anjir. Andai sticker kucing itu muka Meiko. Imut banget parah!
"Kenapa lo, Len?" Miku di seberang meja mengenyitkan kening jenongnya. "Lo ngapain senyum-senyum sendiri dengan muka merah macam om-om hidung belang?"
Matamu, Nong. Gue masih muda tampan berani. Muka gue nggak akan sebegitunya, tapi emang sih, gue ngerasain muka gue panas banget kayak kepiting rebus.
Yang pasti, sekarang gue bahagia banget. Tentunya gue langsung iyain dengan manis tanpa sok-sok kesel lagi.
Duh, gusti.
Belum jadi pacar aja gue udah bucin.
.
.
.
Tangan gue kegatelan grasak-grusuk poni. Bikin yang sedikit mess biar lebih kecele. Aish, rada kusut. Udah seminggu gue nggak sampoan.
Sesuai perintah Meiko, gue tunggu di depan kampus sepuluh menit sebelum jam empat. Sebenernya gue punya janji lain dan gue lupa banget soal itu. Gakupo, salah satu sohib gue, ngajakin gue ngumpul-ngumpul di tempat karaoke. Sebenernya itu kopi darat. Sengaja dia nyeret-nyeret gue biar didatangi banyak cewek cakep. Sejujurnya gue nggak terlalu suka dan untunglah hari ini gue punya alasan untuk menyingkirkan Gakupo dari sore gue yang indah ini.
Demi gebetan, Sob.
Tepat jam empat, Meiko keluar dari kampus dan menghampiri gue. Tampangnya biasa aja, rada poker face, beda banget dengan gue yang mendadak gugup sampai jantung berhenti berdetak. Duh, meski gue dibikin sebel banget kemarin, emang rasa ini nggak mudah hilang.
Dah, mulai lagi.
"Hai." Denger sapaannya aja gue serasa mau mati. Norak banget lo, kampret.
Tapi tenang, gue bisa menghadapi ini. Kembalilah ke dirimu yang charming, Len. "Hai juga. Tumben manggil gue ke sini. Ada apa?"
Oke, gue udah bener. Tetap bersikap santai, jadi sedikit nggak peka, plus ngeluarin aura bling-bling bak malaikat. Cewek biasanya gemes banget sama cowok begini. Apalagi kami nggak akrab, jadi aku sebagai orang yang diajak ketemu harus langsung to the point, bukan sok-sok pulang bareng, meski gue udah ngebayangin itu dari tadi pagi, sih—woi. Semoga aja Meiko emang ngajakin pulang bareng atau ke mana gitu karena merasa bersalah dan sebenernya dia juga cinta sama gue—woi, mabok lo, njir.
"Kau luang? Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."
Seluruh waktuku kupersembahkan untuk dirimu, Neng. Apalagi tubuhku—saru amat lo, njir. Oke, calm down. "Gue luang, kok. Emang kita mau ke mana?"
Dan Meiko kembali mengaduk-aduk perasaan gue dengan sengaja main rahasia-rahasiaan. "Ikut aja dulu."
Ya nggak mungkin gue mendadak tsundere apalagi beneran nolak, 'kan?
Jadi gue mengekori Meiko ke stasiun dan masuk ke kereta. Gerbong cukup sepi sehingga kami bisa duduk sebelahan. Sama sekali nggak ada obrolan di antara kami. Awkward pake banget. Anjay. Dan entah kenapa suara gue mendadak ilang gara-gara berusaha nenangin debaran jantung. Baru kali ini kami sedekat ini, anjir.
Lama-lama gue bisa sesak napas, mendadak kena asma, soalnya gue ngerasa perlu inhaler.
Gue harus menata perasaan. Gue putuskan untuk memerhatikan sekitar di balik kacamata berbingkai tebal dan masker—andalan gue buat nyamar. Nggak ada yang ngenalin gue si selebgram terkenal abad ini, 'kan? Berabe kalau ketahuan. Bisa-bisa Meiko kena getahnya.
Oh, ya. Apa Meiko tahu ya kalau gue ini selebgram? Gue nggak nemuin akun medsos Meiko selain Lino tempat biasa kami chatting-an. Meiko sempat bilang dia nggak punya akun medsos kayak Instangeram. Sayang banget, padahal kalau ada 'kan gue bisa stalk dikit.
Oke, gue muna. Nggak mungkin sedikit.
Ternyata perjalanan nggak lama. Meiko ngajak turun begitu kereta berhenti di Ueno. Oke, gue udah nyia-nyiain momen duduk-bersebelahan-di-kereta. Geblek gue. Meski agak kecewa, gue tetap masang tampang kalem dan berjalan di samping Meiko.
Oke, gue harus mulai. Santai aja, kayak lo nggak pernah ngobrol ama Meiko aja.
"Btw, tadi di matkul Ransum Ruminansia ada PR, nggak?"
Bego. Dari sekian banyak bahan obrolan yang pastinya jauh lebih santai, kenapa malah nanyain PR, sih? Tampol gue, tampol.
Btw, sekadar informasi, gue dan Meiko sama-sama kuliah di jurusan Peternakan. Kalau Miku agak beda. Meski sama-sama satu universitas, dia ngambil jurusan Arsitektur.
"Ada, buat formulasi ransum buat sapi. Detailnya ada di binderku," jawab Meiko singkat, padat, jelas, dan mengandung perhatian. Duh, bidadariku. Tahu aja kalau aku sering cuek sama PR. Modus emang. Sengaja nggak nanya PR biar bisa nanyain gebetan. Udah tiga tahun gue begini terus.
"Gue masih nggak ngerti formulasi ransum." Oke, gue akhirnya ngomong lancar lagi.
"'Kan udah diajarin di matkul wajib semester 4."
"Haha … gue udah lupa." Gue nyengir sambil usap-usap belakang kepala sendiri. Ya maap gue pikun sama pelajaran. Aneh emang gue bisa bertahan di jurusan yang sarat akan ilmu pasti serta trial dan error yang memusingkan tujuh keliling ini. "Ajarin, dong, Sakine-san."
Meiko menghela napas. Mendadak hati cenat-cenut. Jangan nolak, jangan nolak, plis. "Oke. Kita ngerjain bareng aja."
Yes!
Terbuka lagi jalan surgamu, Len. Masih ada kesempatan menangin hati gebetan.
Wait …
Apa gue goblok karena cepet banget bersikap begini? Apa gue terima-terima aja penyataan cinta gue ditolak mentah-mentah? Apa gue diam aja padahal harga diri gue terinjak-injak? Harusnya gue nyuruh Meiko minta maaf yang lebih bener, 'kan? Apalagi dia nggak keliatan bersalah sama sekali.
Iya juga. Mau-mau aja gue tetap keliatan hepi gara-gara dia. Kembalikan harga diri lo, Len.
Tapi kalau misalnya Meiko jadi nggak enak terus mendadak pulang karena alesan yang dibuat-buat, terus besok-besok dia menghindari gue …
Oke, jangan lo lakukan. Tetap begini aja. Manusia harus saling memaafkan, 'kan?
Fix, gue begini semata-mata karena sayang. Oke, gue bucin.
"Di sini. Tempat kerjaku."
Meiko menghentikan langkah dan gue ikut-ikutan. Di seberang kami ada palang keluar masuk kendaraan di sebelah pos satpam di balik pagar tinggi yang terbuka. Refleks saja, gue mendongak, penasaran tempat macam apa yang Meiko tunjukkan.
Gedung tinggi belasan lantai yang didominasi warna silver dan biru muda. Minori Network … Perusahaan stasiun TV yang terkenal itu?
"Haaaahhhh?!"
Serius, ini bukan dalam hati lagi, tapi gue suarain bener-bener. Meiko berjengit, memandang gue aneh. Oke, lo lebay, Len. Katrok. Tapi sumpah, gue udah nggak sanggup pasang wajah charming lagi. "Lo-Lo kerja di sini?"
"Iya," sahut Meiko singkat. "Kita memutar saja. Lewat pintu belakang."
Sembari mengekori Meiko, pikiran gue melayang ke mana-mana. Jangan-jangan ini kayak drama-drama di TV di mana seorang anak kuliahan yang biasa-biasa aja tapi sebenernya dia anak direktur perusahaan gede? Atau yang lebih dramatis lagi, malah dia direkturnya. Gue sama sekali nggak punya informasi apapun soal ini. Ternyata selama tiga tahun gue menggebet cewek kaya raya, cuy.
Kalau sampai gue dibawa ke ruang kerjanya dan dia ngenalin diri seperti yang gue pikirkan, gue kayaknya bakal sesak napas beneran. Gue butuh inhaler.
Oke, lebay amat, kampret. Rasional lah sedikit.
Kalau dipikir-pikir, buat apa Meiko ngajak gue ke sini? Kami 'kan nggak pacaran atau teman akrab pake banget, jadi buat apa dia repot-repot ngenalin tempat kerjanya? Gue nggak bakal disuruh macam-macam, 'kan? Mikirin itu aja gue langsung bergidik.
Kami melewati beberapa satpam di kanan kiri gerbang pintu belakang, lalu berhenti di depan sebuah pintu besi. Meiko menekan-nekan kode angka di samping pintu, juga menunduk buat identifikasi retina mata. Terdengar suara pintu terbuka dan Meiko mendorongnya sedikit. Begitu kami masuk, pintu menutup otomatis.
Hm … ini ruang kebersihan, ya. Ada rak-rak berisi alat-alat kebersihan di sisi kiri ruangan. Sisi kanannya ada sederet kursi sederhana yang cuma pakai busa hitam hitam dan pintu yang tertutup. Persis di hadapan pintu yang gue dan Meiko masuki, ada pintu lagi yang ternyata dalamnya ada deretan loker pribadi—gue tahu karena melihat setiap loker yang ditempeli satu nama. Ruangan yang remang-remang ini mendadak terang begitu Meiko menyalakan lampu. Gue nggak tahu harus bersikap apa selain bingung.
Meiko membuka satu loker di sisi kiri ruangan, yang paling dekat pintu dua meter di depan gue. Dia keliatan ngubek-ngubek loker itu, mungkin mencari sesuatu. Dia berhasil mendapatkannya dan langsung melemparkannya ke gue. Gue hanya bisa menatap bergantian benda yang gue tangkap dan wajah Meiko.
Seragam?
"Berbalik. Ini ruang ganti cewek. Aku harus ganti baju di sini."
Eh, what? Jadi gue diajak masuk ruangan yang salah banget? Spontan gue membalikan badan. Gue nggak tahu bagaiman Meiko ganti baju, tapi kayaknya dia ganti baju di balik pintu loker yang dia buka tadi. Oke, jangan bertingkah aneh-aneh. Iman gue masih kuat. Tenang, tenang.
"Kau pasti bingung kenapa aku mengajakmu ke sini. Sekarang aku jelaskan." Masih berbalik, gue mendengarkan Meiko dengan grasak-grusuknya. "Kau diterima bekerja di sini."
"Eh?" Tampang gue cengo banget, pasti.
"Akan kutunjukkan ruang ganti cowok. Pakai seragam itu dan langsung bekerja." Terdengar pintu loker ditutup. Gue yang sangat kebingungan perlahan membalikkan badan lagi, mendapati Meiko yang sudah mengenakan seragam yang sama dengan yang gue pegang, plus topinya. "Kau jadi OB di sini."
Eh? Eh? Eeehhh?
What the—apa-apaan ini? Situasi macam apa ini?
"Selamat datang di Minori Network," lanjut Meiko seraya menaikkan sedikit topinya. "Untuk pengenalan formal, aku Sakine Meiko, kepala OB perusahaan ini."
.
.
.
Saat itu juga, semua bayangan gue yang super lebay kandas sudah.
Anjay.
.
To be continue
A/N
Tolong kasih ide judul lain yang lebih manusiawi, plis.
