Disclaimer: The Law of Ueki © Fukuchi Tsubasa. No commercial advantage's gained by making this fanfic, it is just for fun.
Warning: A little bit OOC; disengaja tidak jelas.
Notes: Untuk Infantrum Second POV Challenge. Semoga memenuhi syarat.


Tap Tik Tik Tap
© dilia


Tap tap. Langkahmu mengurai cepat. Menuai jejak tak rapat satu-dua belakang badan. Tap tap. Kakimu berayun tak henti-henti. Lelah terlupa walau peluh menanti. Tap tap. Kini emosimu meluap. Marah terpancar hingga tak lagi bisa terdeteksi. Menggelegak. Tak ada angan demi menghentikan sejenak. Dia hanya membuat kau rasa-rasa tersingkir. Lalu terbuang oleh kata kebenaran yang katanya harus dibela. Cih. Omong kosong.

Dia harus kaujauhi. Untuk sekarang atau selamanya, belum kauputuskan. Nanti saja. Masih ada waktu. Pokoknya harus jauh. Tidak terjangkau. Agar dia mendapat apa yang kauperoleh dulu. Ia cuma menyebabkan gumpalan depresi berkubang mendasar. Tak wajar. Biasanya kau tak pernah sekesal ini, semarah ini padanya.

Lalu kau menggeleng kepala. Tap tap. Kau melangkah lagi. Tak menoleh. Tak berekspresi. Tap tap. Makin lama kecepatan meningkat signifikan. Padahal kau sudah tak ada daya. Tap. Tap. Tap tap tap.

Kau mulai berlari. Membendung air mata sebelum jatuh ke pipi. Egomu rupanya menguasai. Ukiran duka terhapus serpih harga diri. Otaknya bahkan tak mengingati ... kau membatin lirih-lirih sepi.

"Moriii!"

Dari jauh ada suara. Tiba-tiba hatimu mendesak ingin menoleh. Tapi kaupaksa kepalamu diam. Kaupaksa otot leher membisu lemah. Terkulai. Kaupancang tatap lurus ke depan. Atau ke bawah. Namun kaki terus bekerja. Air matamu hendak turun. Ups, ternyata telah jatuh satu. Tik. Seirama dengan gema kaki. Tap. Tik. Tap. Tik tik tap tap tap.

Tak ada keinginan menyeka. Sapu tangan pun kau tak ada. Walau jari merogoh ke sana ke mari, semua percuma. Menyentuh udara kosong. Nihil. Hatimu teriris. Seiring menderasnya derapmu. Kau sudah tak peduli. Karena dia juga.

Tik. Tap.

"Moriiiii! Tungguuu!"

Benarkah?

Sungguh tak peduli?

Kalau begitu kenapa kaulari? Kenapa dirimu tak coba lewati ia, jika memang tak peduli? Begitukah? Betulkah? Atau salah?

Tik. Tap. Tik. Tap.

Tahu-tahu jalan sepuluh langkah sekali ayunmu berkurang satu-satu. Kemudian terhenti begitu rupa. Nah. Ternyata perhatianmu masih terikut. Di antara sangkalan acuh bergaung, dia terikat.

Orang yang memanggil menepuk pundakmu. Terengah sebelum mencipta kernyitan dahi. "Mori, kenapa kaulari terus, sih?"

Kaudiam. Tak ada jawaban terujar. Terpaku seperti kena jeratan. Namun mulutmu terbuka janggal. Tik. Tak ada tap.

"Kautahu apa?" Hanya begitu yang tersuara. Tenggorokanmu tercekat. Nyeri. Bagai dipaksa menelan sekam. Kata yang keluar pun serak. Laksana mengalami sakaratul maut.

Dia terlongong-longong. "Tahu apa?"

Malah balik tanya. Kau kecewa. Maka kau berbalik. Isakan mengada. Tapi tertutup kanvas muka. Kau memang pandai sandiwara. Tik tik tik. Tap.

"Tidak ada. Ueki. Pergilah." Tuturmu satu-satu. Serasi dengan lincah langkahmu yang satu persatu. Tap. Tap. Tik. Tap. Tap. Lalu perjalananmu berlanjut. Dengan pedih mengisi ulu hati. Tap tap tap tap tap tik.

Kautahu mungkin alasanmu begini terlalu jeri. Kau sadar. Tapi sekali lagi, kau tak peduli. Atau kau coba tak peduli. Lelah. Sekarang lelah lah yang berada dalam tubuhmu. Hidup dalam jantung berdetak itu. Di balik bahan katun keringatan.

Angin nakal membuat rambutmu teruntai sehelai. Kaubiarkan.

Justru kaujatuhkan semua ke depan. Agar bisa menutupi. Agar bisa membentengi raut rapuhmu. Pucatmu. Agar bisa membatasi pandangan awam ...

.

... kalau kau sedang berbanjir air mata sialan. Tik tik tik tik tik.

.

.

Tik tik tik tik tik tap. Tap ... tap ... tik tap. Ya, berakhir. Tik ... tap tap tap.


.