One Breath
By Emi Yoshikuni
2010
Naruto©Kishimoto Masashi
1998
~(OOooOooOO)~
Warning : AU, Sho-ai fic. My first Sho-ai fic.
Pairing : SasuNaru
Genre : Drama/Hurt/Comfort
Rate : T, Semi M.
~(OOooOooOO)~
Satu nafas. Ketika ia hilang, maka kau takkan lagi bisa hidup. Tuhan hanya memberi satu nafas dan satu denyut di tubuh ini—tubuh yang hanya terbungkus oleh daging dan tulang. Tak ada keabadian. Bila ada, maka hanya satu nafas yang bisa membuktikannya. Ya. Satu nafas dalam aliran darahmu. Tiap kali kau tertawa dan denyut itu menjalar ke tiap blood vein-mu. Saraf-saraf motorikmu akan bekerja—membawa rangsangan demi rangsangan yang kau rasakan dari benda kecil yang kau sebut sebagai otak, menuju ke tiap jaringan kulitmu. Lalu, bila ia tak lagi bekerja, maka satu nafas itu akan lenyap. Tergantikan oleh satu nafas lainnya, yakni…
Kasih sayang.
Cinta.
Ai. Amor. Love. Dan entah bahasa apapun itu.
Yang jelas, satu kata itu akan mewakili banyak nafas dari semua nafas yang telah mati dan hilang di bumi ini.
Tahukah kau, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ya. Sebab Tuhan telah memastikan bahwa kita akan mati dua kali dan akan hidup dua kali jua. Namun… kau bisa memilih. Neraka? Atau surga? Semuanya tergantung dari dirimu. Apakah kau menyanyangi hidupmu yang pertama atau kau malah menghancurkannya. Semuanya tergantung dirimu, manusia. Kau, para immortal. Hanya kau…
Maka, aku bertanya padamu. Siapa dirimu? Dan siapakah nafas-mu hingga kau masih bisa merasakan nafas lainnya?
Buatlah dirimu tuk menjawabnya, meskipun bibirmu telah kelu termakan oleh rasa sakit yang menjalar dari sumsum tulang belakangmu. Jawablah… dengan sesuatu yang kau sebut sebagai cinta.
Jawablah…
Dan jawablah…
.
.
.
Aku?
Kau bertanya padaku? Baiklah, aku akan menjawabnya.
Namaku Uzumaki Naruto. Orang-orang biasa memanggilku Naruto. Hanya Naruto. Tapi terkadang, Hinata-chan sering memanggilku dengan penambahan sufiks –kun di belakang namaku. Kemudian, aku dilahirkan ke dunia ini pada akhir musim gugur di Jepang, yakni 10 Oktober. Ngg, kira-kira aku hidup di dunia ini sudah berapa lama ya? Aku lupa. Haha. Bukannya aku tak bisa menghitung atau bodoh dalam hal aljabar dan matematika tapi tak suka atau lebih tepatnya tak ingin melihat kalender. Kau tahu kenapa? Itu karena…
…aku bisa menghitung angka kemungkinan Tuhan akan usiaku.
Hei, katakan saja kalau aku ini adalah bocah yang naïf. Mana mungkin aku bisa melakukan perhitungan Tuhan yang rumit begitu kan? Tapi, formula untuk memperkirakan kapan usiamu berakhir sungguh gampang kok. Kuberitahu ya. Hmm, hanya dengan menghitung jumlah rambut yang tiap hari jatuh dari kulit kepalamu, maka kau bisa tahu kapan semua leukosit ini akan memakan semua eritrosit dalam pembuluh darahmu. Itulah perhitunganku dan hal inilah yang tengah kulakukan sekarang.
"Satu helai. Dua helai. Tiga helai. Empat helai. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Ngg, sep—eh, ini bukan rambutku. Rambutku kan berwarna kuning, lalu ini rambut siapa? Hn, tak taulah. Lanjut—"
Lihat kan dengan apa yang kulakukan sekarang. Teoriku mungkin saja benar, tapi sekali lagi kukatakan, aku hanya bisa memperkirakan, tak bisa menghitung pasti. Kalaupun rumus yang sebenarnya memang benar-benar ada, aku akan senang sekali. Sungguh senang sekali…
Aku tak perlu menyisir rambutku karena rambutku sudah nyaris begitu tipis saat ini. Kata orang, dahulu rambutku sangat mirip dengan buah durian. Kuning dan jabrik. Yeah. I love yellow. Kuning mempresentasikan sebuah sinar. Sinar yang amat terang meski entah kapan, sinar itu akan redup dengan sendirinya bak matahari yang kian memuntahkan bola-bola api miliknya di galaksi sana. Kurasa, matahari sudah bosan terlalu lama hidup. Namun, ada juga orang tua yang tidak pernah merasa bosan dengan hidupnya. Siapa lagi kalau bukan si Ero-sensei. Kukatakan demikian karena ia suka sekali membuat novel entah-apa-itu-tapi-terlihat-sangat-mengerikan-untuk-dibaca. Bisa kuperkirakan alasan ia terus saja mimisan tiap kali mengetik bagian klimaks dari novelnya itu. dasar, ero-senseiii!
Oh ya, aku lupa. Begini-begini, aku adalah mahasiswa kedokteran lho. Aku memang miskin dan tak punya gadget layaknya mahasiswa kedokteran pada umumnya. Sungguh aku tak punya semuanya. Ponsel pun hanya ponsel bekas butut pemberian Ero-sensei sebagai hadiah karena aku pernah menjuarai kompetisi kampus kategori tim medis paling cekatan di awal-awal tahun pertamaku. Laptop? Apa lagi itu? aku hanya punya sebuah komputer tua yang masih menyediakan kotak disket di CPU-nya. Mobil? Ngehh, mana mungkin aku punya. Dari semua gadget itu, aku tak pernah membayangkan memiliki satu dari diantaranya. Yang kuinginkan hanya satu kok. Hanya satu. Hanya satu…
Aku hanya ingin… satu nafas
…sekali lagi.
Kalau aku diberi satu nafas lagi oleh-Nya, maka kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa kuperoleh itu masih bisa terwujud asalkan usia-ku masih bisa bertambah lagi.
Tapi aku masih bisa tersenyum kok. Dan senyum itu akan menjadi obat paling manjur untuk penyakitku. Kau mau tahu aku sakit apa? Kurasa, tak perlu kuberitahu pun, kau sudah tahu.
Sebelumnya, aku pernah diberikan terapi radiasi sinar untuk mengurangi perkembangan leukosit -ku. Tapi, untuk bulan-bulan berikutnya, sepertinya tak ada perubahan yang berarti. Maka, aku pun diberi kemoterapi dan wow! aku langsung botak! Haha. Perlu satu tahun lebih untuk mengembalikan kondisi kepalaku yang plontos itu. Dan hasilnya, rambut kuning jabrikku tumbuh lagi. Hanya saja, entah karena apa, sejak aku lulus SMA sekitar satu setengah tahun yang lalu, sesuatu terjadi pada rambutku—lagi. Ia kembali rontok. Tiap hari. Satu helai. Dua. Tiga helai. Helai per helai. Aku tak mengerti. Sampai akhirnya aku pun memutuskan untuk mencari jawaban atas penyakitku sendiri.
Aku memutuskan tuk menjadi seorang medical expert di kampus legendaris ini. Harvard University. Wow, kau pasti tercengang kan? Yah, aku sudah tahu itu. Dengan otakku yang encer, aku bisa memasuki kampus itu dengan beasiswa prestasi saat aku berada di Jepang dulu. Thanks to God, I said. Memang harus kan?
Dan di sinilah aku. Mendekam dalam sebuah kamar kecil berukuran 6 x 7 meter. Hanya ada satu kasur lapuk untuk berdua, satu meja besar yang berisi semua hal—buku pelajaranku, buku pelajaran milik teman kamarku, tas, makanan kecil, lampu belajar, majalah-majalah kuno, dan beberapa hal-hal kecil aneh kesukaan teman kamarku ini, kemudian ada toilet kecil, dapur yang super mini, dan juga satu meja kecil untuk komputer butut yang kusebut tadi. Dan di kamar ini tak ada internet. Oh Gosh! Bayangkan saja di era global macam begini, tak ada akses internet di kamar kos-mu? Sungguh menyedihkan.
Oh ya, teman kamarku ini adalah seorang otaku. Gila. Ada juga mahasiswa Harvard yang seperti itu. Namanya adalah Deidara dan dia satu tahun lebih senior di atasku. Tapi, aku tetap memanggilnya tanpa embel-embel, hehe. Ia kuliah di School of Law, Harvard University. Fakultas paling bergengsi yang kemudian diikuti oleh Faculty of Medicine—kampusku saat ini. Rata-rata, yang berkuliah di School of Law adalah anak-anak kaya yang ber-gadget. Tapi Deidara? No. Ia sama sepertiku. Hanya bermodalkan oleh otak yang encer, maka segalanya sangat mudah tuk digenggam.
Dan oh ya,rambut Deidara juga pirang sepertiku, tapi dia terlihat seperti seorang punk atau rockstar. Entahlah. Yang jelas, dia ini sudah punya pacar, hanya saja… pacarnya itu… err—bukan perempuan. Ahh, aneh. Sedangkan aku? Ngg, malas aku memikirkannya.
Hmm, pagi ini sangat cerah. Setelah menutup rambut pirangku yang kian menipis ini dengan topi olahraga berwarna putih, aku langsung melesat keluar dari kamarku. Deidara? Ah ya, hari ini kan hari Minggu, aku sudah tahu pasti ke mana ia pergi dari petang kemarin. Kalau bukan kencan dengan pacarnya yang berambut merah itu dan dilanjutkan dengan err—melakukan 'itu' di rumah pacarnya, atau ia tengah berada di perpustakaan kampus yang super besar hingga larut dan ketiduran di sana. Pilih satu di antaranya. Ok, otakku sudah bekerja. Melihat ia membawa beberapa baju dan pakaian dalam kesayangannya yang kini sudah tak ada dalam lemari kami berdua, kurasa aku akan memilih yang pertama. Hahh, dunia ini sudah aneh rupanya.
"Dalam dunia medis, hubungan Dei dengan Sasori-senpai adalah sebuah penyimpangan kan? Padahal kukira, Sasori-senpai itu benar adalah seorang mahasiswa medis yang paham hukum, tapi… akh! Kenapa aku malah berpikir aneh-aneh begini?" ujarku seraya memukul-mukul kepalaku sendiri.
Hari ini aku ada kerjaan. Mungkin kau akan menganggap bahwa pekerjaan yang kulalui seiring dengan kegiatan intiku sebagai mahasiswa sibuk adalah sebuah kenistaan. Nista? Memang benar. Demi uang, akan kulakukan apa saja. Demi uang… Uang. Demi rasa sakit ini, damn! Aku butuh banyak uang untuk membayar jasa cangkok sumsum tulang belakang yang harganya sangat mahal itu! Ahh, daripada mengemis, lebih baik aku melakukan pekerjaan ini saja. Aku bekerja bila aku senggang. Duniaku terbagi tiga saat ini—kampus, klinik, dan di samping orang-orang kaya. Di samping orang-orang kaya? Maksudnya sih, ya pekerjaanku tadi itu.
Ayahku. Ero-sensei. Tepatnya ayah angkatku. Ia sudah sangat tua. Ia bekerja sebagai seorang novelis dan juga tukang cuci di restoran makanan Jepang di sudut kota ini. Sebuah kota besar di Amerika Serikat, yang dipadati oleh banyak etnis dan suku dari berbagai belahan dunia. Sebuah kota yang menyediakan surga dunia di sudut manapun, hingga ke lobang-lobang tikus sekalipun. Well, Ayah tak punya banyak uang untuk membayar jasa orang yang akan memberikan sumsum tulang belakangnya untukku, makanya aku bersikeras untuk tetap melakukan pekerjaanku.
Bar, casino, café, restaurant, gedung pencakar langit, bank, dan tak lupa juga diskotik—surga dunia yang sebenarnya. Dengar. Aku tak suka dengan kehidupan macam begitu. Yang lebih kupikirkan daripada menghabiskan hidup di tempat-tempat macam begitu, adalah bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Meski memang sumber uang terbanyak ialah menjadi gigolo di diskotik-diskotik itu, aku masih belum tersentuh!. Huh! Jangan samakan aku dengan teman-temanku yang seperti itu saat mereka telah penat dengan kehidupan kampus yang memuakkan! Pekerjaanku ini memang terlihat nista tapi eits! Don't judge the book through its cover, man!
Aku menyusuri jalan sempit di sebuah gang. Sampah dan hewan-hewan lapar sudah menjadi pemandangan biasa bagiku di gang ini. Mau bagaimana lagi? Hanya itulah satu-satunya jalan yang harus kulalui jika ingin mendapatkan uang. Aku masih berjalan, setapak demi setapak, hingga aku menemukan sebuah flat kumuh yang terlihat sudah begitu tua. Aku memasukinya, menaiki tangga satu per satu, lalu memencet bel sebuah kamar bertuliskan angka 235.
"Richard, It's me, Naruto. Are you there? Please, open the door."
Lama aku menunggu. Sekitar lima menit mungkin. Tapi, bunyi kunci yang diputar membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat wajahku saat kulihat pria malang ini terlihat begitu lemah. Kini, jasaku sangat dibutuhkannya…
.
.
.
"Richard is a patient with HIV/AIDS. I don't mind with his illness. Although he got HIV/AIDS, he still has a power to fight against it. It's all because I know that he used to be a basketball player. His spirit can't be beat with any storm. That's why I'm here. And, I'm a soon-to-be a doctor, so I just can't pick randomly who's gonna be my patient. That's the reason why I want to be a volunteer for this organization. I hope you're willingly to accept me. Thank you."
"Of course we will accept you, Mr Uzumaki. In addition, you're a med-student. We need your helping hand so much."
"Really?"
"I'm sure 100 percent. Now, we'd like to say Welcome to our Organization!"
.
.
.
"Na-ruto?"
"Yeah, It's me. Are you alright? You seemed not so well. And your breath is little bit heavy. Here, I bring a cup of chicken soup for you. This is your favorite one, rite?"
"Th-ank y-you, doctor."
"Nah! I'm not a doctor yet. Haha. But soon-to-be a doctor. Well, after you eat, I will check your pulse and your wounds. Have you bathed yet?"
"No-t ye-yet. I felt so cold, like a fever. High fever."
"It must be because your virus. Don't worry, after you eat this medicine, you will be getting better."
"Thank you, M-Mr. Doctor."
"Hahhaha. If you say so. Thanks for that title…"
.
.
.
Nista-kah? Masih berpikir hal yang demikian akan pekerjaanku? Hmm. Maaf sudah membuatmu berpikir yang tidak-tidak. Haha.
Sayangnya, pekerjaanku yang satu ini tidak terlalu banyak menghasilkan uang. Uang-nya sebenarnya datang secara sukarela dari keluarga pasien. Hufft. Tapi, tenang saja. Pekerjaanku malam ini akan lebih banyak menghasilkan uang. Hmm.
Setelah dari flat Richard, aku pun beranjak menuju sebuah café—tempatku bekerja di siang hari hingga pukul enam petang, setelah urusanku di klinik selesai. Di sana, aku bekerja sebagai seorang pelayan. Nista? Agaknya sih mungkin. Soalnya kadang ada pria hidung belang yang mengira kalau aku ini wanita. Mereka menginginkan service tambahan. Memangnya tampangku sebegitu imut-kah? Dasar pria-pria kesepian.
Aku baru saja akan menyeberang dari ujung lampu merah jalan besar itu tapi ponsel bututku berbunyi. Saat kurogoh saku jaketku, aku bisa mendapat sebuah nama yang tak bisa tidak kuladeni sekarang—saat ini juga. Maka, aku berputar, kembali mencari bus yang lewat di halte, dan sesegera mungkin mencapai tempat yang harus kutuju sekarang.
"Madara-jiisan… Semoga masih sempat…"
.
.
.
Sasuke.
Namaku Uchiha Sasuke. Aku baru saja tiba di sebuah rumah mewah nan besar di sudut jalan paling terkenal di kota ini. Entah berapa hektar luasnya, ditambah dengan sebuah maze mini yang menghiasi seputar patung-patung gips musisi klasik ternama di dunia. Rumah ini akan kujadikan sebagai tempat tinggal sementara selama berada di negri seribu etnis ini. Aku, dengan otakku, dan juga nama keluargaku, telah menjadi senjata ampuh sehingga aku bisa diterima di School of Law di Harvard University. Hn.
Sayangnya, di rumah ini aku takkan sendiri. Aku dan pamanku beserta pelayan-pelayan rumah ini yang jumlahnya melebihi jumlah jemariku sendiri. Cih, menyebalkan. Seorang tua pasti memiliki pemikiran yang kolot kan? Ia pasti takkan suka dengan kesenanganku. Kesenanganku? Kalau kau bertanya apa kesenanganku, maka aku akan menjawab dengan satu kata saja. Bar. Yah, bar. Saat aku stress dan tak tahu harus meluapkan kekesalanku ke mana, maka aku akan ke bar. Minum seteguk, dua teguk, hingga aku tak sadarkan diri. Atau juga, saat adrenalinku meningkat, aku butuh pemicunya, entah itu diskotik atau motel? Sungguh diriku yang memalukan. Tapi, inilah aku dan kesenanganku. Kalau tak suka, jangan dekati aku
Baru saja aku membaringkan tubuh lelah ini di atas kasur empuk kamarku yang sangat putih. Tak ada warna apapun selain putih. Tak ada hitam-kah di kamar ini? Sungguh-sangat-menyebalkan.
Ponselku bordering. Tanda pesan masuk. Saat kurogoh saku jaket kulit ularku, bisa kudapati nama ayahku terpampang dengan jelas di layarnya.
'Segera kau temui pamanmu setelah kau tiba di sana. Ayah tak mau mendengarkan keluhanmu.'
"Hn."
Mau tak mau, aku harus menarik tubuhku ini tuk berdiri dari posisi nyamanku. Segera, aku pun meraih kunci mobil Ferrari milikku. Tak peduli dengan omongan para pelayan yang terus saja menanyai ke mana aku akan pergi atau sampai kapan aku berada di luar, aku tetap berjalan angkuh. Setibanya di depan pintu mobil kesayanganku, aku pun membukanya, masuk, dan memutar kuncinya. Now, the machine is working.
Di kota ini sedang musim gugur. Lumayan agak dingin. Itu artinya, tak lama lagi, langit akan memuntahkan bola-bola saljunya ke daratan-daratan coklat kota ini. Aku tetap menyetir mobilku tanpa berpikir lebih banyak lagi. Sungguh aku tak mengerti dengan hidupku saat ini. Aku dianugerahi dengan otak yang jenius. A prodigy. Tapi, aku masih merasa tidak hidup dalam kejeniusanku. Seperti zombie, tepatnya. Aku tinggal di rumah pamanku sampai rumah milikku selesai dibangun. Namun, aku tahu dengan pasti bila aku akan mendapat kekangan selama berada di rumah besar itu. Ya. Itu adalah sebuah hukum. Kepastian hukum.
Secara turun-temurun, keluargaku bekerja di firma hukum berlambang kipas—Uchiha Law Firm. Sebuah institusi hukum swasta yang sangat terkenal di Jepang. Hampir semua diisi oleh lulusan-lulusan berbakat dari sekolah hukum di seluruh dunia. Entah itu dari Todai, Harvard, Oxford, dan lain-lain. Kakakku—Itachi, telah menjadi seorang jaksa penuntut, sedangkan aku? Masih seorang mahasiswa ingusan. Tahun ini adalah tahun terburukku—di mana bagi mahasiswa tahun pertama School of Law akan selalu berhadapan dengan Professor Keynes. Beliau adalah guru besar—seorang jenius di masanya dan terkenal akan ke-brutalan-nya dalam menyiapkan bahan uji kasus bagi mahasiswanya.
Aku sudah mencatat tugas awal yang diberikannya pada mahasiswa tahun pertama. Sungguh sebuah kasus yang rumit. A S-type case. Artinya, file-file kasus lama yang tak selesai hanya di meja persidangan. Ruwet sekali tuk menemukan titik temu dari kasus ini. Sial.
Setiap kejeniusan pasti memiliki celah kecil kesalahan. Aku menemukan celah itu dan sayangnya, aku masih butuh bukti lebih otentik dari seorang ahli medis. Celah kecil yang kutemukan memiliki inti akan masalah informed consent klien. Informed consent? Hell, aku tak mengerti istilah medis. Dan juga, kasus yang ditugaskan oleh Prof. Keynes berada pada wilayah federal West Virginia—Virginia Barat. Hukum di sana sedikit berbeda dengan hukum yang telah umum diterapkan di ibukota US, Washington DC. Oleh karenanya, setelah melakukan suruhan ayahku, aku akan beranjak ke perpustakaan kampus dan mencari kitab undang-undang wilayah federal West Virginia. Sekali lagi, hari ini juga termasuk dari awal-awal hari terburukku.
Mobilku mendecit tajam. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang akan caraku mengerem mobilku yang terbilang ekstrim itu. Who care?
Aku turun dari Ferrari milikku dan membetulkan letak jaket hitam dari kulit ular itu yang sedikit terlipat. Tak lupa, aku juga memicingkan mataku, menatap sebuah gedung bernuansa royal law office. Aku masuk tanpa memutar-mutar kepala walau kutahu orang-orang dalam ruangan luas itu mulai menatap aneh ke arahku.
Sebuah lorong luas dan aku bisa tahu letak ruang kerja pamanku itu. Sebentar aku terdiam, melihat dari balik kaca buram sosok-sosok dalam ruangan itu. Sepertinya, pamanku itu sedang tak sendiri. Aku pun mendengar ada suara rintihan kecil—entah apa itu. Sedikit terkejut, aku pun dengan segera memutar knop pintu kayu ruangan berjudul Uchiha Madara's Office itu.
"Jii-sa—"
Mata onyx-ku membulat. Aku mendapati sebuah pemandangan menjijikkan? Entahlah. Di sana, aku bisa menemukan pamanku tengah bertelanjang dada, ditambah dengan resleting celananya yang sedikit terbuka. Lalu, ia tak sendiri di situ. Ada seorang gadis bertopi—tunggu, apa kubilang tadi? Gadis?
.
.
.
To Be Continued…
~(OOooOooOO)~
Aneh. Fic ini adalah sho-ai fic pertama saya. Hanya terdiri dari dua atau tiga chapter saja sih. Sudah hampir selesai. Aneh. Sungguh aneh. =='
Saya adalah author bebas. Tidak terikat pairing. Mau straight atau non. Inilah saya. Dan hanya saya. Jadi, fic ini pun jadi. =='
RnR~
