Disclaimer: Natsume Yuujinchou a.k.a. Natsume's Book of Friends bukan punyaku.
Natsume Yuujinchou fanfic
"Serumpun Dandelion"
Chapter I
"Hei, hei, kamu yang di situ,"
Natsume berhenti. Ia menoleh, mencari asal suara. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Apa hanya perasaannya saja?
"Bisa tolong ambilkan kertas yang jatuh di situ?" Suara itu lagi. Suara anak perempuan.
Natsume melihat ke sekitar kakinya dan menemukan selembar kertas yang berisi sketsa gambar pohon besar. Ia mengambil dan mengamatinya. Di bawah pohon dalam gambar itu, murid-murid tengah berjalan pulang. Kemudian, ia terdiam. Jadi, dia sudah mengambil kertas itu. Tapi ke mana ia harus mengembalikannya?
"Anu…" kata Natsume dengan tidak yakin. Ayakashi atau apa pun itu yang memanggilnya tadi tidak juga menampakkan wujudnya.
"Hoi, lihat ke mana? Sini, berikan padaku," kata suara itu lagi dengan nada tidak sabar. Kali ini Natsume sudah bisa mendengar dengan cukup jelas; ia tahu dari mana asalnya. Maka, ia mendongak, dan melihat seorang siswi dengan rambut lurus sepanjang dada tengah duduk di atas cabang pohon di dekat Natsume. Siswi itu tersenyum jenaka.
Ternyata bukan ayakashi, batin Natsume. Ia menyerahkan kertas itu padanya dengan setengah termangu. Anak itu mengucapkan terima kasih dengan ringan, dan mengambil kertas itu. Satu tangannya berpegangan pada batang pohon yang didudukinya, berhati-hati supaya tidak terjatuh. Ia belum sempat kembali ke posisinya yang nyaman saat terdengar suara orang lain.
"Hei, kamu! Apa yang kaulakukan di situ! Turun sekarang juga!" seru orang itu. Kalau Natsume tidak salah ingat, itu adalah salah satu guru olahraga. Dan pria yang memang berbadan besar itu sekarang sedang berlari-lari ke arah mereka dengan berang.
"Uwah, gorila," kata siswi itu, yang terlihat lebih kaget dari Natsume saat melihat si guru olahraga. Ia buru-buru meraih tasnya, kemudian menjatuhkan diri ke bawah. Natsume sampai menganga melihat tindakan yang gegabah itu. Untungnya, siswi itu mendarat dengan sempurna. Ia tidak buang waktu, dan segera melesat meninggalkan Natsume keluar gerbang sekolah.
-xxx-
Masih hari yang sama. Natsume sedang dalam perjalanan pulang. Seperti biasa, ia berjalan sendirian.
Di bawahnya, membentang jalan tanpa aspal yang mencapai kejauhan. Barisan pepohonan di sebelah kanannya berdiri dengan tenang. Sedangkan, di sisi lain adalah semak-semak yang menjadi batas antara jalan dengan sawah.
Natsume menikmati udara sejuk setiap kali ia melewati jalan itu. Pepohonan yang rindang telah melindunginya dari sinar matahari, sehingga kulitnya terasa sedikit dingin.
Suasana begitu sepi, berhubung tidak ada siapa pun selain dirinya. Suara langkah kakinya pun hampir-hampir tidak terdengar. Pikiran Natsume yang saat itu tengah menerawang sedikit mempertanyakan apakah dirinya sendiri ada di situ. Tersadar, ia membodohi dirinya sendiri karena memikirkan sesuatu yang tidak masuk akal.
"Heaaaa!"
Bersamaan dengan suara yang memecah keheningan itu, sekelebat sosok melesat keluar dari pepohonan di depan pemuda ini, seolah sosok itu baru melompat dari puncak pohon.
Atau mungkin memang begitu.
Natsume membuka matanya dengan lebar; ia begitu terkejut sampai-sampai tidak ada suara yang keluar saat sosok yang ternyata manusia itu berputar di udara, dan mendarat dengan pose sedemikian rupa yang mengingatkannya akan pose pembela kebenaran di film anak-anak. Kedua tangan direntangkan miring ke arah yang sama, dengan jari-jari yang saling merapat seolah bisa membelah sesuatu. Entah karena tidak imbang atau disengaja, orang itu mendarat (dan berpose) sambil setengah berlutut.
Natsume menganga. Berada di antara takjub dan terkejut.
Orang itu sepertinya siswi yang tadi ditemui Natsume di halaman sekolah.
Siswi itu ternyata telah menutup matanya, entah sejak kapan. Begitu membuka matanya, dan melihat Natsume yang berdiri dengan kaki terbuka cukup lebar dan mulut setengah menganga, ia langsung berjengit hebat dan mengernyitkan kening dengan cemas.
"Wah, ada orang…" katanya, entah pada siapa. Mungkin pada dirinya sendiri. Wajahnya sedikit memerah karena malu.
Natsume tidak tahu apa yang harus dikatakan melihat aksi heboh itu.
Siswi itu sedikit menurunkan tangannya. "Kamu lihat, ya?" Tentu saja.
Ia berdiri, lalu menunjuk ke arah pepohonan dengan ibu jari kirinya. "Aku tadi sedang berlatih. Kupikir, kalau keluar dari pepohonan seperti tadi pasti terlihat keren." Kenapa memberitahukan itu segala?
Ia mengamati Natsume, lalu tersenyum jenaka seperti yang ia perlihatkan pada Natsume saat di halaman sekolah. "Ooh, kamu anak yang tadi, kan? Dunia ini memang sempit, ya." Bukan, itu hanya karena kita berada tidak jauh dari sekolah.
"Omong-omong, aku Masami Kuroda. Kamu?"
Natsume begitu sibuk berkomentar dalam batinnya sehingga ia cukup terkejut saat ditanyai begitu. Ia menjawab dengan canggung, "Takashi Natsume."
"Hee," Kuroda tersenyum lebih lebar.
Lalu, keduanya terdiam untuk beberapa detik lamanya. Selama itu pula siswi itu tidak melepaskan pandangannya dari Natsume. Ia menatap Natsume, dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya yang mulus. Natsume merasa tidak nyaman. "Anu," kata pemuda itu, pada akhirnya. "Saya mau pulang dulu."
"Oh? Ya, silahkan, silahkan!" siswi itu melangkah minggir, memberi jalan pada Natsume. Natsume tersenyum kecil dan melangkah melewatinya, meneruskan perjalanannya. Saat ia sudah meninggalkan siswi itu beberapa meter jauhnya, ia bisa mendengarnya berseru, "Selamat jalan!"
Natsume menekuk bibir dan mengernyitkan kening, semakin merasa tidak nyaman. Apa yang barusan itu?
Selebihnya, hari Natsume berlangsung seperti biasa. Saat sampai di kamarnya yang berukuran kecil, sudah menunggu satu ayakashi yang meminta tolong untuk dikembalikan namanya. Tidak jauh dari ayakashi itu duduklah kucing bulat bernama Nyanko-sensei, yang menoleh padanya saat ia masuk. Ia menggerutu tentang bagaimana ia merasa rugi setiap kali Natsume membebaskan 'nama' dari Buku Teman warisan Reiko, nenek Natsume. Tapi Natsume tidak menggubrisnya dan menjalankan tugasnya dengan baik. Ayakashi itu pulang dengan bahagia.
Lain hari.
Memutuskan untuk menghabiskan waktu sedikit lebih lama, Natsume duduk membaca buku yang dipinjamkan bibinya padanya. Tempat ia duduk adalah tembok di pinggir lapangan bola; tembok yang bentuknya unik itu membuatnya dapat duduk santai dan bersandar. Ia sudah pernah jatuh dari situ sekali, dan menetapkan hati untuk lebih berhati-hati ke depannya.
"Fuh…" Natsume menutup buku yang dipegangnya dan menutup mata. Ia belum selesai membacanya, tapi ia berpikir mungkin lebih baik baginya bila meneruskannya nanti setelah mengistirahatkan matanya. Kehilangan kegiatan yang bisa dilakukan, ia memutuskan memerhatikan keadaan di sekitarnya.
Para anak lelaki yang bermain latih tanding memakai kaus olahraga. Beberapa memakai kaus berwarna lain, yang Natsume duga dibawa sendiri dari rumah. Natsume ikut tersenyum sendiri melihat teman-temannya menikmati permainan itu. Ia melayangkan pandang ke arah lain, dan melihat dua orang siswi yang memakai jaket olahraga sedang duduk di bangku yang terletak agak jauh dari lapangan. Mereka tertawa-tawa membicarakan sesuatu.
Salah satu dari siswi itu menunjuk ke tempat mereka berpijak dengan sedikit terkejut. Kemudian, satu orang yang lain buru-buru berdiri dan menginjak-injak 'sesuatu' yang ada di sekitar kaki mereka dengan cepat.
Tiba-tiba saja seorang anak perempuan lain yang memakai setelan rok datang dan menarik anak perempuan yang tadi berdiri itu. Natsume mengamatinya dari jauh. Itu Masami Kuroda, sepertinya.
Natsume termangu. Beberapa anak lelaki yang tadi asyik bermain bola sampai berhenti, dan melihat ke arah tiga orang siswi yang sepertinya mulai bertengkar itu. Satu dari dua siswi itu meneriakkan sesuatu yang tidak jelas. Yang satu lainnya menambah-nambahkan. Omongan mereka tidak terdengar jelas dari tempat Natsume, sehingga ia tidak tahu apa yang mereka katakan.
"Biar pun begitu, mereka tetap hidup, tahu!"
Satu kalimat itu saja yang terdengar lebih nyaring dari yang lainnya, yang sampai ke telinga Natsume. Kuroda, yang baru saja meneriakkannya, mengepalkan kedua tangannya di bawah. Ia terlihat sangat berang. Kedua siswi lainnya nampak terkejut, dan mereka pergi setelah membalas dengan mengatakan sesuatu. Tinggal Kuroda sendirian di sana, melihat ke bawah.
Saat semuanya seperti sudah berakhir, tiba-tiba saja Kuroda membungkuk, melepas salah satu sepatunya, dan bergerak cepat membidik anak-anak perempuan yang berjalan membelakanginya itu.
Tapi ia berhenti. Ia kembali berdiri tegak, dengan satu tangan yang masih memegangi sepatu miliknya. Tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya ia kembali mengenakannya kembali dan berbalik menghadap ke arah 'sesuatu' yang sebelumnya ia pandangi. Sesuatu yang ada di tanah.
"Anak itu lagi, ya," kata Kitamoto, yang berdiri di dekat tembok tempat Natsume duduk. Natsume menoleh padanya, meski ia tahu Kitamoto tidak melihatnya.
"Masami Kuroda, senior kita. Akhir-akhir ini katanya dia sering bikin masalah," tambah Kitamoto, dengan raut wajah yang seperti mengatakan 'ya ampun'. "Kamu tahu, Natsume?"
"Ah? Tidak…" jawab Natsume, kembali melihat Kuroda yang saat itu masih berada di tempatnya. Siswi itu diam untuk beberapa waktu lamanya, kemudian seakan sadar diperhatikan, ia berpaling pada Natsume. Natsume tidak bergeming.
Kuroda kemudian berbalik, dan pergi.
Setelah para anak lelaki selesai berlatih tanding, Natsume memutuskan untuk pulang juga. Ia sengaja mengambil sisi lapangan tempat keributan sebelumnya terjadi saat berjalan menuju gerbang. Di sana, di dekat bangku, seekor kumbang mati remuk, dan sekumpulan besar semut berjalan dalam barisan, dengan tidak sabar menanti giliran untuk mencabik sedikit saja bagian dari serangga itu.
-xxx-
Masami Kuroda.
Saat istirahat siang, Natsume jarang menjumpainya. Kalau pun ia melihat siswi itu, tidak pernah di tempat yang sama. Dan siswi itu selalu sedang berjalan sendiri dengan langkahnya yang cepat; entah ke mana.
Suatu hari, di siang hari, Natsume berjalan menuju rak tertentu di minimarket. Hari itu Natsume dimintai tolong oleh bibinya untuk membeli sesuatu dalam perjalanannya pulang dari berjalan-jalan. Selagi berjalan, ia melihat Kuroda yang sepertinya sedang memilih-milih barang. Lengan kirinya mengapit keranjang belanja, sementara yang satu lagi meraba udara di depan rak.
Natsume teringat akan kabar burung yang pernah dikatakan Kitamoto padanya, tentang Kuroda yang sering menimbulkan masalah; dan itu membuatnya sekilas bimbang apakah hendak menyapanya atau tidak. Tapi ia tidak punya pilihan ketika Kuroda menyadari keberadaannya. Siswi itu menoleh pada Natsume, lalu tersenyum lebar. "Yoo, ternyata Natsumi. Selamat siang."
"Natsume," Natsume mengoreksi. Ia melihat keranjang belanja Kuroda yang setengah penuh berisi berbagai macam makanan, dan bertanya, "Belanja untuk makan malam?"
"Tidak, untuk kubawa-bawa saja. Makan malam biasanya kubeli di luar," jawab Kuroda, terlihat bangga. Natsume tidak mengerti maksudnya dengan 'untuk dibawa-bawa', namun ia memutuskan untuk mendiamkannya saja. Meskipun sebenarnya ia berpikir bahwa untuk ukuran 'dibawa-bawa', jumlah makanan yang dibeli oleh Kuroda terlalu banyak. Hal itu sempat membuat Natsume berpikiran siswi itu berencana kabur dari rumah atau semacamnya. Apalagi saat itu Kuroda membawa tas ransel di punggungnya, mengenakan topi, dan celana tiga per empat yang meski tidak modis namun nampak nyaman dipakai untuk kegiatan di luar. Singkatnya, ia nampak benar-benar siap. Pemuda itu berusaha mengenyahkan pikiran itu; dia yang tidak mengenal Kuroda dengan baik seharuusnya tidak boleh menghakimi begitu saja.
"Hee, mau masak yakiniku, ya?" Kuroda balas bertanya, melihat sekotak daging yang tergeletak pasrah di keranjang belanja Natsume. Natsume tersenyum sambil mengangkat bahu. "Kurang tahu," jawabnya.
"Waduh, payah," Kuroda mengerutkan kening mendengar jawaban Natsume. "Kalau begitu, nanti tidak bisa jadi suami yang baik, lho."
"Eh? Memang ada hubungannya?"
"Tidak ada, sih. Hahahaha!" Gadis itu tertawa geli melihat Natsume serius menanggapi pernyataannya tadi. Natsume tertawa kecil, dalam hati merasa sedikit malu karena sadar bahwa dirinya mudah sekali dipermainkan orang.
Kuroda berhenti tertawa, dan melihat Natsume sambil tersenyum simpul. Kemudian, ia bergeser dan mengambil beberapa jus kotak kecil. "Natsume setelah ini ada waktu sebentar?"
Natsume tidak menjawab. Kuroda menoleh padanya, menaikkan alis dengan sungkan. "Aku mau minta tolong," tambahnya.
Maka, mereka berjalan ke kediaman paman dan bibi Natsume bersama. Sebelumnya, Natsume telah mengiyakan permintaan Kuroda. Waktu itu Kuroda langsung tersenyum lebar sampai gigi-giginya kelihatan, dan berkata sambil menepuk bahu Natsume, "Kalau begitu, sebaiknya kamu mengantarkan daging itu dulu. Jadi setelah pulang, makan malammu sudah siap!"
-xxx-
"Turun sedikit, senpai. Ah, terlalu jauh… Ya, di situ."
Natsume memastikan posisi Kuroda sudah benar, kemudian memberi aba-aba. Satu lagi foto diambil. Kali ini foto Kuroda yang berpose seolah-olah sedang mengangkat manusia kerdil di telapak tangannya. Sebenarnya manusia itu tidak sungguhan kerdil, melainkan orang normal yang sedang berdiri sendirian di seberang jalan.
Tiba-tiba saja Natsume menjadi fotografer pribadi Kuroda. Natsume tidak menghitung berapa banyak foto yang sudah diambilnya sejak Kuroda mengajaknya, kira-kira satu setengah jam lalu. Ia hanya tahu ia mulai lancar menggunakan kamera digital yang dipinjamkan Kuroda padanya. Selain kaki yang mulai pegal karena berjalan kesana-kemari, dan selain pikirannya yang mulai lelah karena terus (dipaksa) mengikuti instruksi Kuroda, paling tidak itu satu hal baik yang didapatnya dari memotret Kuroda.
Kuroda berjalan riang menghampiri Natsume, dan Natsume menunjukkan hasil jepretannya pada kamera digital milik siswi itu. Seniornya yang enerjik itu mengamatinya sejenak dalam diam. Natsume menatapnya. "Kenapa, senpai? Kurang bagus, ya?" tanya Natsume, berhubung Kuroda tidak memberikan respon setelah melihat hasil jepretannya.
"Sudah bagus, kok," jawab Kuroda tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. "Yah, walau pun hasil jepretanku lebih bagus dari ini."
Kuroda tertawa, sementara Natsume menatapnya datar, berusaha bersabar. Kuroda yang melihat ekspresi tidak enak Natsume melongo. "Wah, kamu marah, ya?"
"Tidak," jawab Natsume ogah-ogahan. Ia berpikir bahwa siapa pun pasti akan kesal bila dikomentari demikian setelah mereka membantu.
Kuroda mengeluarkan lengan kanannya dari belitan lengan ranselnya dan dengan lihai mengoper tas berwarna abu-abu itu ke depan dadanya. Ia membukanya dengan buru-buru dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya, lalu memberikannya pada Natsume. Salah, menempelkannya ke pipi Natsume dan membuatnya terkejut.
"Ini untukmu," Kuroda tersenyum jenaka.
Natsume mengambil apa yang ditempelkan Kuroda pada pipinya, dan melihatnya dengan lebih jelas. Itu jus kotak yang tadi dibeli Kuroda di minimarket. Kekesalan Natsume hilang sedikit.
"Dingin," komentar Natsume setelah merasakan jus itu di pipinya tadi.
"Tentu saja, bagian sini kulapisi dengan pendingin, sih." Kuroda tersenyum bangga. Ia membuka tasnya sedikit lebih lebar, dan menunjukkan pada Natsume saku dalam tasnya yang dijejali beberapa minuman kemasan lain. Sepertinya memang ada sesuatu yang menyelimuti bagian dalam saku itu. Natsume menduga itu pendingin kemasan yang bisa dibawa-bawa.
"Masih marah?" tanya Kuroda, senyumnya kali ini terlihat sedikit lebih dewasa. Natsume menggeleng sungkan, sadar bahwa ucapannya tadi benar-benar mengungkapkan kekesalannya.
"Orang memang terlihat lebih baik kalau tersenyum," Kuroda terkikik. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sekotak jus yang sama, dan menancapkan sedotan ke lubangnya. Ia menyedotnya, dan setelah tegukan pertama berkata lagi pada Natsume, "Segar, lho."
Natsume termangu, dan menatap jus kotak miliknya. Ia menancapkan sedotan pada jus kotak miliknya dan menyedot. Rasa manis dan kecut yang dingin mengaliri lidah dan menuruni tenggorokannya. "Iya. Memang segar," kata Natsume, dan Kuroda tersenyum puas.
"Begitu, dong. Hidup itu harus dinikmati!" Kuroda sekali lagi menyedot jus miliknya dengan satu kali sedotan panjang dengan senang.
-xxx-
Bel tanda masuk sekolah sudah dibunyikan sejak beberapa menit yang lalu, jadi hampir semua siswa sudah siap di kelasnya masing-masing. Sesekali di lorong di depan kelas Natsume terdengar suara derap kaki para pelajar yang bergegas ke ruangannya, berusaha tiba lebih dulu dari gurunya. Di kelas Natsume sendiri guru belum masuk, jadi beberapa memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan di kelas, menghampiri temannya untuk sekadar berbincang-bincang.
Natsume lebih memilih duduk dengan tenang di bangkunya, meski Nishimura dan Kitamoto, kedua temannya, berdiri di sekitar bangku di depannya sambil mengobrolkan sesuatu yang tidak begitu didengar Natsume. Nishimura tertawa-tawa setelah mendengar cerita Kitamoto. Tawanya terhenti begitu ia melihat sesuatu di luar jendela. Ia langsung mendekat pada jendela yang letaknya memang di sebelah bangkunya persis dan menggumamkan "wah" dengan setengah terkejut.
"Manjat, tuh," ujar Nishimura lagi. Kitamoto ikut merapat pada jendela. Ia pun berkedip dengan heran.
Penasaran, Natsume memutuskan untuk ikut melihat.
Seorang siswi yang sudah tidak asing bagi Natsume duduk di dinding pagar sekolah. Di bawah, seorang guru nampaknya sedang memarahinya. Siswi itu turun, kemudian membungkuk untuk meminta maaf, yang sayangnya tidak juga meredakan emosi guru pria itu. Akhirnya siswi itu berdiri tegap, mendengarkan segala macam omelan yang dilontarkan guru itu padanya dengan pasrah.
"Telat, sih, telat. Tapi masa sampai memanjat segala," ujar Kitamoto sambil tersenyum geli. "Ekstrim juga."
Guru itu sudah tidak memarahi Kuroda seperti sebelumnya. Kali ini sepertinya ia mulai bisa mengendalikan emosi dan nampaknya sedang menasehatinya panjang lebar tentang sesuatu. Kuroda melihat ke arah lain. Pandangannya sampai pada mata Natsume yang melihatnya dari jendela kelasnya di lantai atas. Dengan semangat Kuroda melambai-lambai padanya, mengabaikan guru yang menghabiskan tenaga dan waktu untuk menasehatinya.
"Hegh," Natsume langsung merasa tidak enak, dan tiba-tiba saja pandangan kedua temannya tertuju padanya.
"Dia melambai, lho," kata Nishimura, sekali lagi melihat ke arah Kuroda yang kembali dimarahi karena tidak memerhatikan. Pemuda sebaya Natsume itu menoleh padanya dengan tidak percaya. "Kau kenal dengannya, Natsume?"
Natsume mengalihkan pandangannya dari jendela dan kembali menatap mejanya tanpa minat. "Yah, kira-kira begitulah," jawabnya ragu.
Sejak dimintai tolong oleh Kuroda hari itu, setiap kali Natsume bertemu dengannya pasti akan diajak (atau diseret) untuk mengambilkan foto lagi. Dan pose dalam foto-fotonya selalu aneh, jadi dia butuh orang lain untuk mengarahkannya. Natsume ingat, Kuroda pernah memintanya memberi arahan untuk memotret posenya di udara. Waktu itu Kuroda berlari kencang, melompat, dan berpose seolah dirinya sedang menjadi pahlawan barat yang bisa terbang; dan Natsume berulangkali tidak tepat mengambil momennya, sehingga untuk satu foto yang bagus saja harus mengulang sampai lima kali lebih. Mengesampingkan Natsume yang sungkan karena keterbatasan kemampuannya mengambil foto dan karena merasa tidak enak telah membuat Kuroda melakukan hal itu berulang kali, Kuroda nampak baik-baik saja. Kecepatan dan semangatnya tidak berubah. Natsume sampai dibuat heran akan dari mana datangnya stamina yang luar biasa itu.
Kalau mengingat-ingat lagi pose apa saja yang sudah dilakukan oleh Kuroda, Natsume jadi ingin bertanya di mana letak rasa malu seniornya itu. Untungnya dia selalu mengurungkannya.
Natsume sendiri sudah mulai terbiasa pada sifat Kuroda yang tidak jauh berbeda dengan Nyanko-sensei. Bedanya, meski serampangan dan terkesan seenaknya sendiri, Kuroda humoris dan perhatian. Leluconnya membuat Natsume melupakan rasa lelah dan jenuhnya. Terkadang akan ada sedikit perselisihan di antara mereka, tapi itu tidak bersifat serius dan mereka (atau salah satu dari mereka) akan geli sendiri setelahnya. Sifatnya terbuka dan itu membuat Natsume merasa nyaman berada di dekatnya. Sesuatu dalam suara Kuroda membuat Natsume patuh padanya. Mungkin itu yang disebut dengan karisma senior. Natsume tidak tahu pasti.
Hari itu juga, sepulang sekolah, beberapa saat setelah Natsume sampai di kamarnya, ia mendengar suara yang memanggilnya dari luar.
"Naatsuumeee, maaiiin yuuuk!"
Panggilan yang memalukan, dan suara yang bising itu… Tidak salah lagi, batin Natsume. Natsume membuka jendelanya dengan malu bercampur kesal, dan menyahut, "Aku sedang tidak di rumah!"
"Eh, kok begitu," Kuroda terkikik. Ia menengadah melihat Natsume yang kamarnya di lantai dua kediaman Fujiwara. "Turunlah sebentar, aku cuma mau bicara, kok."
Saat itu pintu kamar Natsume digeser terbuka, dan sosok bibinya nampak. Ia berkedip heran melihat Natsume yang menjulurkan kepalanya keluar jendela, tapi memutuskan untuk tidak menanyakannya. Bukan itu tujuannya. "Takashi-kun, sepertinya ada yang memanggilmu tadi," katanya.
Natsume menoleh padanya dan tersenyum sungkan. "Iya, aku akan segera turun."
Maka ia pun turun dengan lunglai. Kuroda membungkuk hormat pada Touko, bibi Natsume, yang berdiri di dalam rumah, tidak jauh dari pintu. Touko tersenyum sebagai jawaban, dan membiarkan Natsume keluar.
Hal pertama yang diucapkan siswi itu begitu Natsume sampai di depannya adalah, "Wah, ada babi."
Nyanko-sensei, yang entah sejak kapan mengikuti Natsume, langsung berjengit hebat dan menunjukkan ekspresi seolah siap menggigit siswi itu kapan saja. Natsume buru-buru berkomentar, meski sebenarnya ia sedang menahan tawa. "Nyanko-sensei itu kucing, senpai," jelasnya, merasa geli melihat Nyanko-sensei menggumamkan kalimat protes yang tidak jelas.
Kuroda menatap Nyanko-sensei seolah tidak percaya bahwa makhluk itu benar kucing. Siswi itu meletakkan tangan di dagunya, berpikir keras. "Hmm, belum pernah aku melihat yang begini," gumamnya pada diri sendiri. Lalu ia meletakkan tangan di pinggangnya dan nyengir. "Nyanko-kun, kamu mau jadi modelku?"
"Kenapa memanggilnya pakai 'kun'…?" ujar Natsume bingung. Kucing saja dipanggil seperti itu. Kenapa Kuroda memanggilnya dengan 'Natsume' saja?
Nyanko-sensei berhenti menggumam dan menggeram, dan berdeham seolah-olah memang sudah sewajarnya orang-orang melihatnya sebagai makhluk yang menakjubkan, yang fotonya seharusnya beredar di mana saja. Kuroda mengeluarkan kameranya dan membungkuk. Nyanko-sensei berpose.
Klik. Fotonya terambil. Nyanko-sensei yang mengira akan difoto untuk beberapa kali, berkeringat heran melihat Kuroda yang langsung berdiri. Akhirnya Natsume yang harus menanyakannya, karena pasti akan aneh kalau kucing itu berbicara. "Satu kali jepret saja, senpai?"
"Iyalah," jawab Kuroda ringan sambil memasukkan kamera digitalnya ke dalam tas. "Buat apa banyak-banyak. Lebih baik digunakan untuk memotret diriku sendiri."
Nyanko-sensei gemetar, menahan hasrat untuk melompat dan mencakar siswi yang cara tertawanya tidak anggun itu. Natsume diam saja, tapi ia sudah siap kalau-kalau kucing itu sungguh akan melompat.
Puas mengerjai Nyanko-sensei, Kuroda menyatakan alasan ia datang. Singkatnya, ia mengajak Natsume untuk pergi melakukan 'sesuatu' yang tidak jelas dikatakannya, yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Minggu terdekat. Nampaknya ia sungguh ingin menyimpannya sebagai rahasia sampai hari itu tiba. Ia menginstruksi Natsume untuk berpakaian yang nyaman untuk berjalan-jalan, memakai topi kalau perlu, tas berisi perlengkapan hidup secukupnya (begitu mendengar yang ini, Natsume langsung berkedik ragu), dan lain sebagainya. Kuroda memberitahukan semua itu nyaris tanpa spasi di tiap kata dan kalimatnya, dan sama sekali tidak menggubris waktu Natsume hendak menyela.
Kuroda berhenti dan mengambil napas panjang. Lalu ia tersenyum nakal. Natsume menatapnya dengan ekspresi tidak tertarik. "Kenapa harus aku? Teman-teman senpai tidak bisa semua?"
Senyum yang tadi diusung siswi itu hilang. Ia terdiam sejenak dan ganti menatap Natsume dengan datar. "Itu," katanya. Ia berhenti lagi sejenak, sebelum akhirnya menyambung, "sesuatu yang tidak perlu kautanyakan."
"Eh?"
"Mereka bosan bersamaku terus, melakukan aktivitas yang tidak ada untungnya bagi mereka," ujar Kuroda dengan nada seolah ia sedang membaca berita.
Tidak ada komentar lebih lanjut dari Natsume.
"Mereka tidak tahu apa-apa, jadi wajar, sih," Kuroda melirik ke arah lain. Sejenak kemudian, ia kembali menatap Natsume dan senyumnya telah kembali. "Benar juga. Natsume juga, kalau sudah bosan denganku bilang saja. Kamu tidak akan kuganggu lagi. Selama ini kamu tidak pernah bilang, sih, jadi…"
"Aku tidak keberatan, kok."
Kuroda menatapnya dengan lurus. Ekspresinya menunjukkan ia serius dengan kata-katanya. "Kamu tidak perlu menjaga perasaanku. Itu salah satu hal yang paling tidak kusukai."
"Aku tidak mengatakannya untuk menjaga perasaan senpai," jawab Natsume tegas. Ia pun menatap Kuroda dengan mantap. Nyanko-sensei meliriknya dari bawah, seolah tertarik dengan apa saja yang akan dikatakan Natsume berikutnya.
Kuroda menatap Natsume dengan tatapan yang sama untuk beberapa waktu lamanya, kemudian ia menghembuskan napas dengan geli. Kembali senyum yang biasa mengembang, dan ia berkata, "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Jangan sampai menyesal, lho, ya. Aku ini orangnya suka seenaknya sendiri."
"Kalau itu, aku sudah tahu dari dulu," balas Natsume, dengan sengaja menambahkan sedikit nada sarkasme pada kalimatnya. Tapi lalu ia tersenyum lega dan mengulangi, "Hari Minggu, kan? Aku akan datang."
Kuroda tersenyum lebar. Senyumnya terang dan menyenangkan. Natsume baru menyadarinya sekarang; Kuroda memang selalu tersenyum dengan cara demikian, namun ia tidak pernah memerhatikannya. Atau sudah, tapi perasaan yang berbeda baru dirasakannya sekarang.
-xxx-
Bersambung.
