Naruto (c) Masahi Kishimoto
Fic (c) Mantan Kamu
Sebuah tangan mungil nan lembut menyentuh kaca jendela ruangannya yang begitu sempit dan gelap. Sang Pemilik rupanya menghiraukan semua kondisi yang ada. Dari surai ungu panjang yang kusut, piyama tak layak pakai, tempat tidur yang tidak terbentuk, hingga warna futon yang memudar.
Hari ini, hujan lagi. Begitu manik violetnya berkata. Dingin, adalah sensasi yang ia rasakan saat menyentuh jendela. Gadis itu membiarkan waktu berlalu hanya untuk sedikit merenung menatap hujan yang terhalang embun di hadapannya. Perlahan, kepalanya membentur pada kisi jendela. Pandangannya menyendu, ekspresinya amat kecut. Seperti menatap titik-titik hujan yang jatuh adalah beban hidup yang amat berat. Berat hingga ia tak mampu bergerak, tak mampu melakukan apapun, dan tak ingin melakukan apapun.
Tigapuluh detik kemudian, ia kembali ke posisi semula. Rupanya, cacing-cacing di perutnya minta diberi makan.
"Aku lapar."
Seraya bergegas menuju arah wastafel yang sedikit berlumut. Berkaca sedikit dalam tempelan embun cuaca pagi dan menggulung rambut. Lingkaran hitam di sekitar matanya juga bibir yang kaku dan mengering mulai terlihat pada keremangan cahaya lampu berkekuatan 5 watt di atap. Gadis itu tak menghiraukannya. Rupanya ia sudah terbiasa.
Sepasang kaki yang berbalut kaos kaki hitam menginjak sepatu boots ungu yang kusam mulai melangkah saat daun pintu rumahnya terbuka. Berbekal payung lipat, gadis itu menembus luar zona amannya. Menyusuri jalanan yang basah dan pemandangan yang sunyi senyap. Hingga anginpun tak mau berhembus. Gadis itu menanggalkan hoodie jaket birunya yang juga kusam agar menutupi kepala dan sedikit pandangannya. Manik ungu itu tak mau jika pandangannya sampai menatap orang-orang yang nanti berlalu lalang disekitar. Entah kenapa saat ia berada pada kondisi seperti itu, serasa ia ingin mempercepat langkahnya saja.
"A... Arigatou G.. Gozaimasu.", ucapnya terbata.
Namun agaknya Kasir Minimarket yang ia kunjungi tak peduli pada perkataan Gadis itu. Kasir itu tetap melakukan tugasnya, berterimakasih dan memberi salam. Kemudian membiarkannya berlalu.
Hujan masih mengguyur bumi dengan deras. Hari masih pagi namun yang ada di atas kepalanya hanya awan-awan kelabu yang agak menghitam dan membuat matahari semakin enggan menampakkan wajahnya di langit.
Sebelum melangkah pulang, gadis bersurai ungu itu terlebih dahulu memastikan barang belanja dan mulai meraih payung yang sedari tadi dibawanya kemudian segera bergegas.
Setiap waktu yang berlalu rupanya merubah semua keadaan. Walaupun hari ini tidak bersahabat, orang-orang tetap melakukan aktivitasnya masing-masing. Membuat gadis mungil itu merasa risih, memang. Namun, sebisa mungkin ia mebuat dirinya tetap tenang dan berfikir bahwa tidak akan ada apa-apa.
Satu petak sampai dua petak langkahnya, gadis itu tetap tenang. Namun, ketika keramaian disekitarnya mulai berhenti membising. Ketenangannya mulai sedikit tergganggu. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak saat bisingan berubah menjadi bisikan. Sepertinya bisikan itu tidak baik, namun ia tetap ingin mendengarnya.
"... Dia aneh," satu bisikan muncul.
"Iya"
"Apa mungkin, dia psikopat?",
"Hiiiiyy..."
Dengan terburu-buru gadis itu mempercepat langkah sembari membenamkan kepalanya pada tudung jaket. Ekspresinya masih seperti semula. Kecut dan menunduk hampir tak terbaca. Dingin, sedingin bongkahan es Kutub Utara. Ia terus berusaha memanjangkan langkah kakinya agar sampai rumah.
Karena poni surai ungunya tergerai dan kepalanya terus menunduk, gadis itu tak sadar ada seseorang yang juga tengah berlari menuju kearahnya. Tepat saja, dalam satu kesempatan tubuh mereka berbenturan. Gadis itu terpental ke tanah seketika. Seperti hantaman yang amat kuat, semua benda yang ada pada genggamannnya pun terlempar. Sontak rintik hujan membasahi seluruh tubuhnya. Beberapa detik keadaan sunyi. Gadis itu menopang berat tubuhnya dan berusaha untuk bangun meskipun, suhunya semakin mendingin.
"M... maaf. Aku benar-benar minta maaf!",
Satu suara agak serak dan keras tiba-tiba muncul di depannya. Tindakannya terhenti, gadis itu membiarkan pandangan bola matanya mengarah ke sumber suara. Didapatinya seorang pria berjas abu-abu dengan surai nyentrik yang basah tengah menundukkan badannya.
Gadis itu terdiam sementara si pria bangkit dan mengulurkan tangan untuknya.
"Ayo!"
Pria itu kembali menggerakkan telapak tangannya guna memastikan bahwa ia bukan orang jahat atau apapun yang membuat gadis itu cemas.
Tangan mereka bergenggaman. Gadis itu terbangun dari akibat insiden yang tiba-tiba terjadi. Si pria tersenyum kearahnya, namun mulut gadis ungu itu masih saja terbungkam. Seakan tidak tahu apa yang harus ia lakukan, pria itu menggeser berat tubuhnya berusaha mencari barang-barang yang terlempar akibat ulahnya.
"Sepertinya sarapan pagimu hari ini sudah tak layak makan..., "
Pria itu berucap saat si gadis memeriksa kembali koyakan roti tawar lembut yang ia peroleh dari Minimarket. Seakan terganggu, ia memasukkan kembali benda itu ke dalam kantong. Kini, mereka berada di bawah naungan sebuah kanopi besar berbentuk payung di Taman, tak jauh dari tempat mereka bertemu sebelumnya. Di tatapnya dengan dingin pria yang berdiri tegak meremas kepala kuningnya dengan handuk dengan punggung lebar yang ikut bergerak mengikuti alur, tak jauh dari sampingnya itu. Tidak ada yang menarik, pikirnya. Semua tergambar pada ukiran ekspresi wajahnya yang masih kaku. Sepertinya ia marah, namun ia berusaha berada dalam kendali.
Tiba-tiba hembusan angin yang agak kencang tiba dalam kesunyian mereka. Gadis itu menghalau dengan tangan kirinya. Namun yang ada hanya tudung jaket yang menutupi kepalanya terbuka. Entah sejak kapan surai panjang ungunya pun tergerai. Gadis itu kehilangan ikat rambutnya.
"Hmm.. sepertiya rambutmu agak kusut."
Tiba-tiba saja suara pria itu berada di dekat telinganya sesaat setelah hembusan angin itu kembali berlalu. Sontak sebuah sentuhan kecil meraba kepalanya. Berusaha merapikan rambutnya yang kusut tak tersisir. Semuanya membuat gadis itu tersentak hingga kepalanya ingin menunduk, tak mampu melakukan apapun.
"Sudah rapi. Rambutmu indah. Siapa namamu?"
Berusaha tetap tenang dan tak menunjukkan rasa kikuknya yang amat sangat, ia menjawab,
"Hyuuga. H... Hyuuga Hinata."
Gadis itu menoleh saat telinganya kembali menangkap gumaman si pria. Namun cekatan, pria itu merogoh tas kerjanya yang basah akibat hujan berniat mencari sesuatu. Yang Hinata lihat hanyalah surai kuning yang menutupi ekspresi wajahnya.
Beberapa detik kemudian, pandangan pria itu kembali bangkit dan Hinata tidak mampu melarikan diri. Mereka berpandangan. Seakan tidak tahu apa penyebabnya, waktu pun benar-benar terasa berhenti. Dan mereka tak bisa bernafas, mereka membeku dalam satu waktu saat iris violet bertemu dengan sepasang manik biru milik si pria dan saling terkunci.
Mereka berpandangan agak lama. Hingga suara bising hujan tak terdengar. Namun saat cahaya mentari muncul di hadapan mereka, membuat pasang lensa mereka yang saling terkunci menyilau, barulah mereka sadar, kemudian memalingkan pandangannya masing-masing kearah yang berbeda. Suasana menjadi sunyi seketika.
Pria kuning itu menggaruk punggung lehernya yang tak gatal, ia kembali merogoh tasnya. Saat disadari, ia telah menemukan sesuatu yang ia cari. Pria itu kembali angkat bicara.
"K... Karena, roti tawarmu hancur. Aku akan menggantinya."
Kepalanya masih menunduk, namun Hinata ingin memastikan. Tiba-tiba saja sebuah kotak makanan tersodor di hadapannya.
"Ini. Kotak bento untukmu. Isinya sederhana-hanya sandwich biasa. Tapi itu mungkin bisa mengganti sarapanmu."
Dengan ragu, Hinata menerimanya dan mulai membuka kotak makanan dengan perlahan. Di temuinya sandwich bakar dengan salad, sesuai perkataan si pria-biasa saja.
"Hujan sudah reda. Aku harus bekerja hari ini. Walaupun rotimu hancur, jangan sampai kau lupa sarapan ya? Maaf jika sandiwchnya tidak enak," , ucap pria itu sembari berkemas. Pria itu hendak berlari dan mengucapkan selamat tinggal,
"Jaa-"
"T.. Tapi.. . Bagaimana aku mengembalikannya?", potong Hinata dengan segera. Gadis itu masih tidak yakin jika ia akan kembali bertemu dengan pria nyentrik itu. Lantas ia kembali memeberanikan diri menatap si pria dan mencegahnya pergi.
Pria itu tersenyum, "Tenang saja. Kau masih bisa mengembalikan bento itu akhir pekan. Disini. Aku pergi dulu."
Pria itu mulai mebelakangi Hinata dan melangkah pelan ke luar naungan kanopi. Jelaslah surai kuning pria itu yang tersorot matahari. Begitu hangat menusuk hati Hinata.
Untuk sesaat tiba-tiba saja kedua kaki Hinata ingin melangkah menyusulnya, namun berhenti di tepi. Saat pria itu mulai mengambil sepuluh langkah dari jarak Hinata dan pria itu berada, Hinata berteriak,
"Lalu, S... siapa namamu?!"
Sontak, pria itu berhenti melangkah. Kepalanya menengok kearah samping kirinya. Tanpa membalikkan badan, ia menjawab.
"Naruto, Uzumaki Naruto."
Kemudian pria itu berlari menjauh.
Ditatapnya, setiap gerakan pria itu hingga tak terbekas dan menghilang di ujung pandangannya. Sejenak ia mengambil nafas. Seakan perasaan yang menghimpit dalam hatinya menghangat di ikuti sinar mentari yang semakin kuat menerangi keberadaannya. Gadis itu membuat garis lurus dibibirnya yang kering karena kurang air minum. Kemudian ia juga memantapkan dirinya untuk melangkah ke arah jalan pulang yang jelas berlawanan dengan arah pria itu berlari menuju tujuannya.
Hinata kembali merenung dingin jauh tanpa batas dari jangkauan. Tangannya menggapai sandwich yang di beri oleh pria dengan sapaan Uzumaki itu. Perutnya sudah lama ingin di isi. Tanpa basa-basi, gadis itu mulai menggigit sarapannya pagi ini.
Satu tegukan menandakan makanannya yang terkunyah berhasil melalui tenggorokannya. Gadis itu terhenyak dan pandangannya melembut. Sepertinya hari ini ada sesuatu yang sangat istimewa.
"Enak sekali.", komentarnya.
Hinata memalingkan pandangannya begitu suara bising dari orang-orang yang saling bertemu dan melewati kaca ruangan makan rumahnya. Ditatapnya lekat-lekat. Mereka bertemu, saling menyapa dan berbalas senyum seperti semua sudah di rencanakan. Seakan mereka mengisi setiap peluang yang ada untuk bersama-sama dan menjadi semakin kuat.
Ada rasa cemburu dalam dada Hinata. Seringkali ia ingin memiliki seseorang. Hanya seseorang saja yang mampu menemani Hinata dan tidak menganggapnya orang aneh seperti sebelumnya. Hinata yakin, perasaan cemburu itu adalah perasaan berharga. Hinata menyilangkan kedua tangannya dan memeluk dirinya sendiri. Sebenarnya, ia sangat takut sendirian.
Agaknya pandangan Hinata tertarik pada sebuah foto yang kuno dan menguning sesuai usianya di samping kaca jendela. Foto itu adalah gambaran kedua orang tuanya yang tengah berdiri di samping pesawat dengan tujuan Amerika dan kini tak lagi di samping Hinata.
Hinata benci mengingat masa lalu. Tapi, setiap kali ia melihat potret orangtuanya, luka itu mengiris kepala dan hatinya. Berpikir semuanya begitu terasa menyakitkan. Selama ini, Hinata selalu sendirian. Tidak pernah sekalipun ia tertawa apalagi menunjukkan senyumannya. Padahal, setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini berhak mendapat kebahagiaan.
Ah, Hinata sering ia bertanya-tanya. Akankah luka yang terpendam dan rasa sepi itu dapat di sembuhkan? Namun gadis itu tak kunjung menemukan jawaban.
Hinata meraih kotak bento yang sudah tak berisi dan hendak mencucinya. Mengambil nafas supaya beban hidupnya tak terasa berat. Bukankah, ia harus mengembalikan kotak makanan itu ke pemiliknya bukan?. Walaupun itu mungkin di akhir pekan yang agak jauh.
'Semoga saja, Uzumaki -kun tidak menghilang.' , harapnya.
