[A/N] Halo! Sebenarnya gue bukan penyuka Naruto, tapi gue bikin fic ini untuk ikut GHOST. Eh, ternyata pas udah lewat deadlinenya... Gue yang lagi bikin fic (dan lagi seru-serunya pula) pun langsung lemes. Tapi gue mikir, ya udah terlanjur ini. Buat pelajaran bagi gue juga, kalo baca sesuatu itu yang cermat. Akhirnya gue lanjutin.
Disclaimer: Naruto dan karakter-karakternya adalah milik Masashi Kishimoto. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiction ini.
Warning: Pair GaaHina. Dan seperti yang gue bilang, gue bukan penyuka Naruto, jadi maaf kalo ada detail-detail yang salah atau gimana.
Sesungguhnya tiada sore seindah sore itu.
Hinata memejamkan matanya. Angin sepoi-sepoi berlalu, memainkan rambut pendek sebahunya. Menarik-nariknya lembut seolah berkata, "Hinata, ayo main!"
Namun Hinata hanya tersenyum. Ia meraba tanah tempatnya duduk. Tanah itu berkerikil, namun di beberapa tempat tumbuh rumput. Rumput-rumput itu basah, nampaknya karena tersiram hujan tadi siang. Hinata menjumput air dari rumput tersebut dan meniupnya.
Kini ia membuka mata. Sang surya mulai tenggelam di horizon, terlihat setengah lingkaran berwarna jingga, memancarkan citra kelembutan. Kembali terangkat kedua ujung bibirnya. Acapkali ia melihat senja, namun petang ini terasa begitu istimewa.
Angin yang merasa diacuhkan pun mulai marah. Kini ia bertiup lebih kencang dan lebih dingin, membuat rambut Hinata tersapu lebih jauh ke udara sekaligus membuat tubuhnya kedinginan.
"Kau sih," kata Hinata dengan suara tinggi pada Gaara yang berada di sampingnya. "Kubilang kan di rumahku saja, jadi kita bisa minum cokelat hangat! Kalau di sini aku kedinginan, tahu!"
Gaara tidak menyahut. Hinata mendengus dan mengalihkan pandangannya dari Gaara. Ia melihat pepohonan. Pohon melati berdiri anggun, berkelompok dengan sesama jenisnya. Daun dan bunga mereka melambai-lambai mengikuti irama kicauan burung gereja. Burung-burung itu hinggap di dahan pohon melati, terkadang menyembunyikan kepala di dalam rengkuhan sayap mereka sendiri, entah karena kedinginan atau karena tidak ingin mengganggu pasangan yang sedang mesra di hadapan mereka.
Atau keduanya.
Seekor kupu-kupu hinggap di buket mawar yang digenggam oleh Hinata. Sayapnya yang merupakan kombinasi warna hijau dan kuning dengan bingkai hitam mengepak perlahan. Hinata mengelus sayap indah itu dengan penuh kasih, namun ternyata kupu-kupu itu tak suka disentuh. Ia terbang begitu saja, meninggalkan sumber makan malamnya.
Hinata mendesah sambil menatap kupu-kupu itu terbang menjauh, menuju matahari dan akhirnya hilang di cakrawala. "Sayang ya, padahal kupu-kupu itu cantik. Mungkin saja ternyata dia langka." Ia mencium bunga yang ada di genggamannya. Harum manis yang terasa lembut memasuki hidungnya. Hinata mengangkat bahu. "Setidaknya penjual bunga itu tidak bohong. Bunga ini memang asli." Hinata berhenti sejenak. "Ketika ia bilang bunga ini baru saja dipetik, kukira itu hanya omong kosong. Nampaknya ia jujur, bunga ini wanginya alami dan terasa sangat segar."
Meski tak menatap wajahnya, Hinata bisa merasakan bahwa Gaara sedang tersenyum padanya. Meski Gaara tak berucap sepatah kata, Hinata tahu, pasti Gaara sedang terheran-heran, Hinata yang pendiam dan tertutup itu, kenapa tiba-tiba jadi cerewet?
Dan itu, membuatnya, lagi-lagi, tersenyum.
Kini tinggal seperempat bagian yang terlihat di cakrawala. Hinata tahu sekarang sudah saatnya pulang. Burung-burung gereja itu berhamburan di angkasa, pulang dan kembali kepada anak-anak dan pasangan mereka dengan membawa cacing untuk makan malam.
Hinata berdiri dan menatap Gaara lekat-lekat. Ia tahu air mata menuruni wajahnya, tapi ia tidak segera mengusapnya. Ia menaruh buket bunga di samping Gaara. "Kau tahu, aku harus pulang." Hinata mengelus batu nisan Gaara, kemudian berbalik dan berjalan menjauh menuju matahari terbenam.
