Title : distorsi
Disclaimer : Katekyou Hitman Reborn by Amano Akira.
Warning : Adult Arcobaleno, typo(s), a bit OOC, mengandung unsur-unsur sains yang (mungkin) agak fiktif.
Dedicated for #Science (Fan)fiction Day
Hope you like it~
.
.
.
Di penghujung abad kedua puluh satu, tepatnya tahun 2095, teknologi nyaris menjadi sumber penghidupan utama umat manusia. Ponsel nyaris menjadi mata kedua manusia, cyborg yang berjalan dan bekerja berdampingan dengan manusia menjadi hal lumrah yang dapat ditemui di mana saja, dan entah berapa banyak hal lain yang memperlihatkan manusia begitu mengangungkan teknologi.
Penelitian dalam skala besar yang berlanjut semata-mata hanya demi memajukan teknologi yang kini dinikmati umat manusia, semua berlomba menemukan hal-hal yang lebih canggih dan mutakhir untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia menuntut para peneliti untuk membuat mesin serba bisa yang bisa menjalankan apapun dalam sekejap mata.
Dengan otak genius mereka, para ilmuwan pun menciptakan segala hal yang mereka bisa; cyborg, kota metropolitan di atas awan bak tiruan sempurna nirwana, hingga kloning. Kloning hewan sudah cukup populer sejak tahun 2084 dan sekarang menjadi hal yang sama lumrahnya dengan melihat cyborg berbaur dengan manusia. Hewan purba hingga fantasi seperti gajah purba berjenis mammoth dan dinosaurus dapat manusia lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Semua tampak biasa saja, hingga sekelompok peneliti ternama tanpa diduga mengajukan sebuah izin untuk melakukan penelitian yang kini mengguncang umat manusia.
Kloning manusia.
.
d i s t o r s i
.
"Ya, kembali lagi dengan saya dalam acara Perkembangan Sains Era Modern. Seperti yang kita ketahui, delapan ilmuwan genius yang menamakan diri mereka sebagai Arcobaleno telah mengajukan izin penelitian untuk kloning manusia yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi." Seorang pembawa acara televisi perempuan tampak tengah membawakan acara dengan begitu piawai. Latar acara itu terletak di sebuah kafe unik yang bernuansa klasik nan anggun, namun dari melihat saja sudah dapat ditebak latar itu hanyalah hologram belaka.
Omong-omong, jangan membayangkan televisi yang disebut akan serupa dengan televisi yang menjamur pada era awal abad kedua puluh satu. Televisi pada masa ini memiliki tebal 0,1 sentimeter dan hanya perlu gerakan jari untuk mengganti channel atau mematikannya. Ukuran layarnya pun bisa diatur sendiri sesuai keinginan.
Seorang pria bertubuh tinggi atletis dan berambut hitam tampak menonton acara itu tanpa minat, secangkir espresso yang diletakkan tak jauh darinya tak diacuhkan begitu saja hingga asapnya yang tadi menggepul kini mulai lenyap. Robot bersih-bersih berbentuk tabung yang memiliki roda pada bagian bawahnya sibuk bekerja ke sana-sini, membersihkan setiap sudut ruangan yang tampak berantakan. Kemoceng, sapu, dan kain pel telah menjadi alat tempurnya sejak pagi saat si pria masih berbaring di sofa malas-malasan.
"Jangan buang rokoknya," cetus si pria tanpa mengalihkan pandangannya dari acara televisi yang tengah ditontonnya. Robot itu bergidik sejenak, kotak rokok di tangannya nyaris mencium lantai karena pergerakannya.
"Merokok tidak baik untuk kesehatan," ujar sang robot sembari membalikkan tubuhnya pada pemiliknya. Kedua bola mata hitam mesin itu tampak berkedip, kotak rokok yang disebut-sebut masih dipegangnya.
"Letakkan kotak rokoknya di tempat kau menemukannya," suruh pria itu tanpa memedulikan nasehat robot tersebut. Robot itu kembali berkedip, kemudian menuruti perintah pria itu dan menaruh kotak rokok yang diambilnya di atas meja kemudian melanjutkan acara bersih-bersihnya yang tertunda.
"Saat ini saya sedang bersama dengan perwakilan dari golongan yang menentang kloning manusia ini. Beliau juga termasuk salah seorang ilmuwan terkemuka yang kita kenal, Sawada Ieyasu. Baiklah, menurut Anda, kenapa Anda melarang praktek seperti ini? Tentunya Anda memiliki alasan untuk itu bukan?" Pembawa acara itu menoleh pada seorang pria berambut pirang yang duduk di seberangnya, kamera segera beralih dan menyorot wajah pria priang itu. Pria pirang itu memiliki mata yang senada dengan senja dan memakai jas hitam formal.
"Terima kasih sebelumnya telah mengundang saya berbicara di sini," kata pria pirang itu sembari mengulas senyum tipis. "Saya rasa kloning manusia merupakan hal yang cukup kelewatan dalam hal sains. Maksudnya, manusia masih terus berkembang biak dan berkembang dari zaman ke zaman, jadi, untuk apa kita adakan kloning manusia? Saya rasa itu hanya akan membuang waktu para ilmuwan," kata pria itu dengan suara sedikit menggebu.
"Saya tidak mengerti," aku sang pembawa acara jujur. "Sebagai ilmuwan, Anda tentu tahu bahwa hasil dari kloning manusia membawa sel-sel yang dari orang yang diambil sampelnya, kecerdasannya, fisiknya, dan berbagai hal lain. Einstein kedua dapat dibuat dalam sekejap mata dan itu bisa lebih memajukan kehidupan kita."
Sang pria tampak menghela napas berat. "Itulah yang salah. Anda mengatakannya 'dibuat', seolah-olah mereka lahir untuk kita pergunakan seperti sebuah barang," cetusnya dengan mata menatap tajam pembawa acara perempuan itu.
"Eh, ah, itu … saya tidak bermaksud demikian …." Perempuan pembawa acara itu tampak gelagapan, kebingungan mencari kata yang tepat untuk membalas kata-kata si pria.
Mengabaikan itu, pria pirang itu kebali dalam mode formalnya. "Saya berpikir bahwa kloning manusia hanya akan membuat kita semakin terlena pada teknologi dan hanya berpangku tangan pada apa yang akan dibuat kloning-kloning itu. Manusia masih bisa berkembang biak dan menggunakan kecerdasan mereka hingga saat ini. Jika kloning manusia dibuat, ras manusia itu sendiri bisa saja lenyap," jawab pria pirang itu mantap.
"Wah. Anda bisa mengatakan hal seperti itu tanpa keraguan. Luar biasa," kata pembawa acara itu sedikit terpukau.
Pria berambut hitam tadi mematikan televisi yang ditontonnya tanpa minat dengan menjatuhkan jari telunjuknya hingga bertemu dengan ibu jarinya. Menghela napas pendek, pria itu menyandarkan kepalanya ke sofa, menghempaskan sedikit pikirannya yang berkecamuk di kepalanya.
Sebuah dering tanda panggilan masuk memenuhi gendang telinga si pria dalam sepersekian sekon setelahnya. Pria itu menegakkan tubuhnya, kemudian meraih sebuah ponsel transparan dengan tebal 0,2 sentimeter yang diletakkan di ujung meja dan menerima panggilan tersebut.
"Muu, kau lama mengangkatnya," cetus suara di seberang panggilan itu.
"Ada apa?" tanya pria itu seraya memainkan cambang rambut hitamnya yang keriting, tak memedulikan protes si penelepon.
"Ke lab sekarang. Luce ingin kita berkumpul," jawab suara itu sama ketusnya.
Tanpa menjawab, pria itu mengakhiri panggilan itu dan menjejalkan ponselnya ke saku celana yang dikenakannya. Ia bangkit dari sofa, kemudian menyambar jas hitamnya serta topi fedora yang sejak tadi diletakkan di sebelahnya dan mengambil kotak rokok yang tadi sempat menjadi persoalan dengan robot bersih-bersihnya.
"Anda akan pergi ke mana?" tanya robotnya yang baru saja ke luar dari kamar si pria dengan membawa sekeranjang pakaian kotor.
"Pertemuan. Jaga rumah," jawab si pria singkat, bahkan tanpa menoleh pada mesin itu.
"Hati-hati di jalan," pesan robot itu seraya membuat salah satu tangan besinya melambai hingga sosok pria itu lenyap dari pandangannya dan melanjutkan acara bersih-bersihnya.
.
d i s t o r s i
.
Sebuah mobil hitam mengkilat menembus jalan raya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pengemudinya, pria berambut hitam tadi, tampak menatap lurus ke depan dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Pria itu akan mengembuskan asap dari nikotin itu sesekali, kemudian kembali merokok tanpa rasa bersalah.
Beruntung hari itu jalanan tampak lenggang sehingga si pria bisa memacu mesin besi roda empatnya lebih cepat dari peraturan yang ada tanpa tertangkap polisi lalu lintas yang kini telah berupa robot. Beberapa iklan dari hologram yang berwarna-warni tampak menghiasi jalanan, namun tak satupun dapat menarik minat pria itu.
Tahun 2095 pantas mendapat julukan sebagai tahun kemalasan. Manusia pada zaman ini terlalu mendewakan teknologi dan memilih membuat mesin-mesin buatan itu menggantikan pekerjaan mereka sementara mereka bisa meringkuk dalam selimut tebal dan hangat mereka sepanjang hari. Hanya ada segelintir manusia-manusia cerdas yang mau menggunakan otak mereka dan melakukan pekerjaan yang menyangkut fisik dengan tangan mereka sendiri.
Reborn, pria berambut hitam yang sedari tadi disebut, terkekeh mengetahui ia masih dapat mengomentari apa yang terjadi di zaman ini selama menyetir. Beberapa meter di depannya, sebuah gerbang yang cukup besar dengan tulisan 'Selamat Datang di Distrik Atas' telah menunggu dengan dua robot penjaga lalu lintas yang menjaga di kedua sisinya. Pria dengan jambang keriting itu menginjak pedal gasnya lebih keras, membuat mobilnya melaju lebih cepat dari sebelumnya dan berhasil menghentikan kuda besi beroda empat itu tepat di depan kedua robot tersebut.
"Tanda pengenal. Tanda pengenal." Kedua robot itu mengatakan dua kata yang sama berulang-ulang setiap kali Reborn datang ke sana, namun pria itu tak banyak bicara. Reborn sama sekali tak menurunkan kaca mobilnya dan menekan kaca mobil di sebelah kirinya, sebuah tanda pengenal muncul dari sana. Salah satu robot yang berada paling dekat dengannya mengeluarkan sebuah sinar kebiruan dari matanya, memeriksa tanda pengenal itu hingga akhirnya sinar itu lenyap dan ia kembali berdiri tegak.
"Silahkan masuk," ucap robot yang memeriksa tanda pengenal itu sembari mundur beberapa langkah dari mobil, begitu juga dengan robot lain yang berdiri di sebelah kanan mobil sang pria. Palang di gerbang besar itu terangkat, mempersilahkan Reborn masuk. Tanpa berkata apapun, pria itu kembali memacu mobilnya dan masuk ke dalam area yang dijaga itu sementara palang tadi kembali turun menghalangi jalan dan dua robot barusan bersiap pada posisinya semula.
Begitu masuk, Reborn kembali disambut dengan beberapa papan iklan dari hologram seperti yang dilihatnya di jalan, namun jauh lebih meriah. Pria itu melambatkan laju mobilnya, manik senada arangnya memilih menikmati pemandangan yang disuguhkan di distrik ini. Bangunan-bangunan yang ada di tempat itu pun lebih megah daripada bangunan yang berdiri di sekitar jalan yang dilalui si pria. Pusat perbelanjaan megah dibangun di tengah kota, gedung pencakar langit berlomba-lomba menggapai cakrawala, dan gedung-gedung pemerintahan yang mewah berdiri kokoh berusaha menyaingi bangunan-bangunan lain.
Sejak terjadinya Perang Dunia III empat puluh lima tahun silam, pemerintah di seluruh dunia mengadakan renovasi besar-besaran untuk negaranya. Hal ini juga dikarenakan wilayah negara yang berubah akibat perjanjian perdamaian terakhir yang memutus berakhirnya Perang Dunia III yang terjadi pada tahun 2056. Beberapa negara kecil memutuskan untuk bergabung, sementara negara-negara besar yang bertahan berusaha keras mempertahankan kedudukan dan kesombongan mereka di mata dunia. Dan salah satu caranya adalah dengan membangun Distrik Atas.
Distrik Atas merupakan pusat pemerintahan, militer, perekonomian, perkembangan teknologi, dan berbagai hal lain. Banyak perusahaan yang dibangun di sini, namun sebagian besar pekerjanya adalah robot dan beberapa orang penting yang memiliki kedudukan yang diberi izin pemerintah memasuki Distrik Atas—seperti halnya Reborn. Orang-orang yang diberi izin untuk dapat memasuki daerah mewah ini hanya orang-orang yang duduk dalam pemerintahan, militer, orang-orang berkantung tebal—keturunan para bangsawan juga termasuk, sejahrawan, serta ilmuwan.
Distrik Atas berada di tengah dua distrik lain; Distrik Tengah dan Distrik Bawah. Distrik Tengah biasanya hanya untuk tempat tinggal manusia dan juga tempat para pekerja kelas menengah. Sementara Distrik Bawah adalah tempat kumuh yang dihuni pekerja tak tetap dan pengangguran. Perbedaan antar distrik ini terlihat jelas di seluruh dunia, namun pemerintah justru memalingkan wajah mereka dari persoalan ini dan sibuk menikmati kemudahan teknologi yang tercipta dari tahun ke tahun.
Reborn membuang pemikirannya tentang Perang Dunia III hingga jurang lebar yang memisahkan si kaya dengan si miskin, sadar bahwa ia harus segera sampai di lab. Pria itu kembali menginjak pedal gasnya cukup keras dan membiarkan mobil hitamnya melesat di keramaian jalan.
.
d i s t o r s i
.
Laboratorium 07-8 yang terletak tak terlalu jauh dari pusat perbelanjaan megah Distrik Atas terlihat di depan mata. Reborn mengambil nikotin yang sejak tadi dihisapnya, kemudian membuangnya di dalam mesin pembuangan yang menjadi salah satu fasilitas mobilnya. Berbeda dengan penjagaan di gerbang menuju Distrik Atas, penjagaan tempat ini tak seketat itu. Di gerbang sebelah kiri pengemudi, ada sebuah kamera pengawas yang meminta tanda pengenal dari pengunjung—hal yang disukai Reborn karena setidaknya kamera itu tidak mengucapkan kalimat untuk meminta tanda pengenal berulang kali dengan berisik.
Reborn kembali menekan kaca mobilnya dan tanda pengenalnya kembali muncul. Kamera pengintai itu mengeluarkan sinar kebiruan dari matanya dan memeriksa tanda pengenal tersebut. Bedanya lagi dengan robot-robot berisik itu, kamera tersebut hanya sebentar memeriksa tanda pengenalnya dan gerbang tinggi menujulang yang merupakan pengaman orang-orang sebelum memasuki lab ini akan terbuka.
Reborn kembali memacu mesin roda empatnya masuk dan bersamaan dengan itu gerbang di belakangnya tertutup. Pria itu langsung memarkirkan mobilnya di salah satu parkiran dan menginjakkan kakinya di luar setelah cukup lama mengemudi. Pria itu segera mengunci mobilnya, kemudian memasuki lab.
.
d i s t o r s i
.
"Akhirnya kau tiba juga, Reborn," ucap Luce begitu mendapati pria bertopi fedora itu memasuki ruang lab, senyum lebarnya menandakan wanita itu begitu lega melihat sosoknya di sana.
"Ada pekerjaan baru?" tanya Reborn langsung pada intinya. Sebuah cyborg berbentuk seperti manusia pada umumnya mengulurkan sebuah jas lab berwarna putih pada pria itu. Pria itu melepas jas hitamnya dan memberikannya pada cyborg itu. Cyborg itu mengangguk tanpa perubahan ekspresi dan pergi dari sana sementara Reborn memakai jas labnya.
Ruang lab saat itu tampak seperti biasa. Colonello dan Lal sedang berkutat pada layar setebal 0,1 senti yang ada di depan mereka. Jemari mereka menari di atas keyboard berwarna kelabu—omong-omong, keyboard dan layar memang tak tersambung dengan kabel pada masa ini. Sesekali mereka tampak beradu argumen, kemudian kembali menekuni pekerjaan masing-masing. Tak ada tanda-tanda rekan mereka yang lain.
Luce mempertahankan senyumnya ketika mendengar pertanyaan Reborn. "Seperti biasanya," ia menjawab pertanyaan pria itu tenang.
"Mana yang lain?" tanya pria bercambang unik itu sembari berjalan.
"Fon dan Skull sedang mengambil sesuatu di ruang penyimpanan, Viper bilang dia akan ke belakang sebentar," jawab Luce seraya mengikuti langkah kaki pria itu.
Reborn tak menanggapi lebih lanjut setelahnya, pria itu tetap berjalan lurus ke depan tanpa kata dan duduk di mejanya. Ia menekan tombol 'enter' pada keyboard-nya yang setebal 0,3 cm dan layarnya menyala, menampilkan dua kolom besar yang harus diisi dengan nama pengguna dan password. Reborn mengetik semua itu dengan cepat kemudian menekan enter dan layar setebal 0,1 senti itu langsung berubah layaknya layar komputer pada umumnya.
"Apa yang kau kerjakan di sana, Colonello?" tanya Reborn dengan jemari masih sibuk mengetik pada layar.
"Memasukkan data-data baru dari eksperimen Verde bulan lalu. Rambut Semak itu baru menyerahkannya kemarin dan sisanya hanya tinggal memasukkan laporan dari Viper, kora!" sahut Colonello dengan bibir mengulas cengiran lebar. Netra birunya melirik pria bertopi fedora itu sejenak, kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.
"Aku baru melihat laporan dari Verde. Sebaiknya kau juga melihatnya, Reborn. Kopiannya akan kukirim padamu," ucap Lal tanpa berhenti menarikan jemarinya di atas keyboard.
Tak memakan waktu semenit, layar di depan Reborn menampilkan ada berkas yang masuk. "Sudah kuterima," sahut pria bercambang unik itu seraya membuka berkas barusan dan menekuninya dengan teliti.
Luce tersenyum memperhatikan ketiga rekannya menekuni pekerjaan mereka. Suara pintu lab terbuka membuat wanita itu menoleh dan mendapati tiga rekannya yang lain; Viper, Fon, dan Skull. Berbeda dari biasanya, Viper membawa beberapa sampel yang seharusnya dibawa oleh Fon dan Skull, Fon membawa sebuah kardus yang cukup besar dengan kedua tangannya, sedangkan Skull justru masuk dengan tangan berisi dua kotak susu stroberi.
"Lho? Viper ikut membantu?" tanya Luce tanpa menyembunyikan senyumnya yang seperti biasa—meski sebenarnya ia nyaris tertawa.
"Muu, aku tidak akan membantu kecuali dapat imbalan," cetus Viper ketus dan berjalan lebih dulu dari kedua rekannya.
"Lalu?" Luce mempertahankan senyumnya pada lelaki mungil yang selalu memakai tudung kepala panjang itu.
"Pertanda akan datang bencana mungkin," sahut Lal tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Viper mengirim delikan tajam pada wanita tomboi itu dari balik tudungnya. "Ada orang menyebalkan yang berkata seolah-olah aku lebih lemah darinya hanya untuk membantu membawa barang," jawabnya.
Fon mengangkat bahu, menghindari kesalahpahaman lebih lanjut. "Kami tak sengaja bertemu dan aku hanya bilang mungkin Viper bisa membantu ikut membawa barang," jawabnya tanpa perubahan air muka, bahkan bibirnya masih membentuk lengkung asimetris yang ramah.
"Lebih terlihat seperti meremehkanku," kilah Viper keras kepala, ia mengirimkan sejuta pandangan benci pada pria berkepang keturunan Asia itu, "aku yakin di dalam hatimu, kau tengah menertawakanku karena tidak mampu membawa barang-barang sial itu. Maaf saja, aku sama sekali tidak selemah itu."
"Tidak sama sekali," sahut Fon enteng. "Di mana aku harus menaruh ini?" tanya pria berkepang itu pada Luce yang masih setia menonton drama yang mereka lakoni sehari-hari; Viper menuduhnya meremehkannya, ia berkata tidak, adu mulut yang bercampur makian kasar pun lepas kendali.
"Di dekat mejaku saja," jawab Luce yang masih menahan tawanya. Fon mengangguk dan membawa kardus berukuran besar itu ke meja si wanita murah senyum. Viper mendengus, kemudian menghempaskan diri ke kursinya dan menekuni pekerjaannya yang sempat tertunda, enggan meneruskan adu mulut yang biasanya ia dan Fon lakukan.
Fon mengangguk kecil, masih dengan mengulas senyum khasnya. Skull sudah lebih dulu pergi dari tempatnya mematung dan menaruh dua kotak susu stroberi di meja Viper.
"Omong-omong, Luce-senpai," Skull menyeletuk tiba-tiba, teringat sesuatu yang mengganjalnya, "bukannya kita diundang dalam acara Perkembangan Sains—ng … apa ya. Pokoknya semacam itu di televisi hari ini? Tidak ada yang datang?" tanyanya sembari kembali ke bangkunya.
Luce mengulas senyum miring mendengar pertanyaan pria termuda dalam kelompoknya itu. "Tentu tidak. Aku menyuruh Verde datang," jawabnya.
Colonello langsung bersiul heboh, bahkan Reborn terkekeh mendengarnya. Mengirim si Kepala Semak ke pertemuan yang menyangkut sains? Orang yang menjadi lawannya pastilah tidak tengah diberkati Dewi Fortuna.
"Muu, kau sengaja membuat mereka mati kutu di depan media, Luce?" cetus Viper tanpa menatap wanita itu.
"Tidak, tidak, aku menyuruh Verde untuk sedikit menahan diri dalam acara itu," jawab Luce masih mempertahankan ketenangannya dan berjalan ke kursinya dengan langkah anggun.
"Kenapa menyuruhnya menahan diri, kora!? Kalau ingin menahan diri, suruh saja bocah ini ke sana!" tandas Colonello seraya merangkul Skull dengan erat—bahkan sampai pria bertindik itu nyaris kehabisan napas dan berkali-kali meronta untuk dibebaskan.
"Oi, jangan mengerjainya sampai begitu, Colonello," celetuk Lal.
"Jangan kaku begitu, kora!" sahut Colonello santai seraya melepaskan pria termuda dalam kelompok mereka itu dan membiarkannya kembali menghirup oksigen sebanyak mungkin.
"Colonello-senpai! Aku bisa mati kalau begitu tahu!" jerit Skull tak terima, lagaknya seperti anak kecil yang minta dibelikan gula-gula.
"Ya, ya, ya. Kembali ke tempatmu sana, kora!" cetus Colonello tak peduli dan kembali menekuni pekerjaannya. Skull merutuk pelan, namun akhirnya kembali duduk ke mejanya dan menekuni pekerjaannya dengan merengut.
Luce tersenyum, kembali ditatapnya satu per satu rekannya dalam ruangan itu sebelum mengambil napas panjang dan kembali tersenyum.
"Baiklah, teman-teman," wanita murah senyum itu melebarkan senyumnya dan melanjutkan, "saatnya kita bekerja," ucapnya dengan dada bergejolak.
.
d i s t o r s i
.
Colonello meregangkan tubuhnya di kursi, pekerjaan mereka hari ini lebih mudah dari biasanya, namun tetap saja memakan energi yang tidak sedikit. Viper merebahkan kepalanya di meja—setelah menyingkirkan keyboard-nya—dan menyeruput susu kotak rasa stroberi yang tadi dibawa Skull. Reborn menyenderkan kepala dan punggungnya lelah di kursi, Lal melakukan hal yang sama dengan Colonello, Fon meregangkan setiap jemarinya, dan Skull menidurkan kepalanya di atas meja—bedanya dengan Viper, pria termuda itu lebih sembrono dengan menidurkan kepalanya di atas keyboard.
"Kalian telah bekerja dengan sangat baik," puji Luce seraya menggeser kursinya dan melempar senyum lebar pada setiap rekannya yang tampak kelelahan.
"Aku harap bisa segera pulang, muu," cetus Viper sembari meneguk susu stroberinya lagi.
"Sama denganmu, Viper-senpai," sahut Skull dari kursinya.
"Sayangnya itu tidak bisa," celetuk sebuah suara. Luce segera berbalik ke asal suara, Viper dan Skull memilih untuk melirik sosok itu tanpa menggeser posisi mereka, sementara yang lain enggan menoleh untuk mengetahui siapa sosok pemilik suara itu—karena mereka tahu, itu sudah pasti satu-satunya rekan mereka yang memiliki rambut hijau yang mencuat ke atas bak semak belukar.
"Kau sudah kembali, Verde," sambut Luce dengan wajah sumringah. Wanita itu segera menghampiri pria dengan rambut hijau berantakan itu dengan tergesa-gesa, Verde sendiri tampaknya tak terlalu memikirkan mengenai penyambutan untuk kepulangannya dari acara televisi.
"Bagaimana hasilnya, kora?" tanya Colonello sedikit menggebu.
Verde mendengus. "Mereka benar-benar keras kepala," dengusnya.
"Pastinya," sahut Lal seraya memutar kursinya dan berhadapan dengan ilmuwan dengan otak paling genius di antara mereka, "sebentar lagi kita akan mendapat dukungan dari pemerintah—Luce berusaha keras menyampaikan pendapatnya tentang proyek kloning manusia kita di hadapan ratusan pejabat tinggi. Mereka pasti sedikit kelimpungan," lanjutnya dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
"Aah," Viper menyetujuinya dengan memberi respons singkat.
"Kau menahan diri, kan, Verde?" tanya Luce lagi memastikan.
"Sesuai kata-katamu. Mungkin aku hanya akan memberi mereka migrain berkepanjangan sampai waktu debat berikutnya," jawab Verde sembari menaikkan kacamatanya.
"Syukurlah," kata Luce senang, merasakan kelegaan membasuhnya.
"Jadi, prioritas kita hanya tinggal debat berikutnya?" tanya Reborn memastikan.
"Begitulah," jawab Luce tanpa bisa menahan senyum lebarnya.
Fon tersenyum lega mendengarnya. "Syukurlah," katanya.
"Dan, ada kabar baru untuk kalian, bisa dibilang juga ini jembatan yang mempercepat proyek kita," kata Verde sambil mendekati kursinya, kemudian menyalakan layar dan mengetik beberapa kali dengan cepat. Yang lain menunggu dengan sabar tanpa mengalihkan mata mereka dari ilmuwan berambut semak itu.
Tak lama, sebuah gambaran muncul dalam layar yang lebih besar di tengah ruangan. Sebuah undangan dengan deretan huruf dan angka ditampilkan layar itu. Pada bagian waktu, tertulis acara itu diselenggarakan malam ini jam delapan.
"Debat dimajukan menjadi nanti malam. Laporan harus dibuat secepat mungkin. Akan ada lembur untuk kita semua," jelas Verde sembari kembali menaikkan kacamatanya.
.
d i s t o r s i
.
Debat yang berlangsung malam itu dipadati oleh beragam ilmuwan, perwakilan dari pemerintah, serta beberapa orang yang memiliki kaitan tentang kloning manusia yang pastinya akan menambah panas suasana debat nanti. Seolah menutup mata dari semua itu, media tetap memaksa masuk dan ikut berdesakan di dalamnya sambil mencari titik terbaik untuk merekam adu argumen antara para kaum pro dan kontra mengenai kloning manusia tanpa menyadari situasi yang kian memuncak.
Viper memijit keningnya, merasa kepalanya sudah pusing untuk membalas setiap kalimat yang dilemparkan pada mereka, bahkan ada beberapa yang secara terang-terangan menyelipkan kalimat sinis yang dipadu sindiran tajam. Bukannya ia tidak punya kata-kata lagi untuk membalas kata-kata itu, namun suaranya terlalu berharga hanya untuk membalas kata-kata kosong orang-orang itu.
"Kloning manusia hanya akan membuat manusia menyalahi proses kelahiran secara alami! Apa gunanya kemampuan biologis kita jika tidak kita pergunakan!?" bentak salah satu ilmuwan dari pihak kontra. Rambut pria itu memiliki tato abstrak berwarna merah di wajahnya.
"Bukan hanya itu! Penyelewengan proses reproduksi alami kita hanya salah satu dari sekian banyak penyelewengan dari adanya kloning manusia! Kloning manusia juga bentuk penyelewengan dari takdir Tuhan! Tuhan lah yang menciptakan kehidupan, dan kita, manusia, sudah sepatutnya tak mencoba melangkahi garis kemampuan kita dengan mencoba melakukan hal seperti itu!" timpal salah satu pemuka agama yang hadir di sana.
"Tapi kloning manusia dapat memajukan peradaban kita. Kloning hewan sudah lama berhasil, sudah saatnya kita maju ke tahap yang lebih tinggi; kloning manusia!" balas Fon agak sedikit menaikkan nada suaranya.
"Kloning manusia bahkan lebih dari itu, saudara-saudara" sahut Luce cepat, "sudah saatnya kita benar-benar berpikiran maju. Banyak orang genius yang seharusnya membangun masa ke masa merenggang nyawa lebih dulu karena mereka dikucilkan oleh orang-orang awam. Kita bisa mengembalikan pengetahuan mereka untuk membangun masa ini lebih baik," lanjutnya.
"Jika kalian benar-benar mengaku mencintai sains, apa lagi yang harus ditunggu? Ini adalah proyek yang akan menuntun manusia pada masa kejayaan," Verde menimpali.
"Nufufu, masa kejayaan manusia? Jangan konyol," cetus seorang ilmuwan lain dengan gaya rambut yang terbilang eksentrik. "Jika kloning manusia diadakan, ras manusia itu sendiri yang akan lenyap, digantikan dengan ras baru hasil dari yang kalian sebut-sebut kekayaan ilmu pengetahuan; sains!" tandasnya.
"Justru kau yang tak masuk akal, muu. Ras baru? Tolol," seloroh Viper tajam, ia berhasil meredakan sakit kepalanya. "Kloning manusia dan manusia itu sendiri tak akan berbeda. Kita sudah berhasil menyelesaikan perbedaan antar ras kulit putih dan hitam pada abad kedua puluh! Persoalan seperti ini tak akan berarti banyak untuk ke depannya! Kita tak bisa diam saja melihat peluang memajukan sains yang terbuka di depan mata!" lanjutnya menggebu-gebu.
"Tentu tak semudah itu," balas seorang pria berambut hitam dengan wajah khas oriental. "Sejarah pada dasarnya selalu melalui siklus yang sama. Membiarkan adanya perbedaan lain setelah ras kulit putih dan kulit hitam hanya akan menimbulkan persoalan baru yang sejenis di masa mendatang," lanjutnya tenang di tengah-tengah suasana debat yang kian memuncak.
"Perbedaan antar ras manusia asli dengan kloning manusia tidak akan terjadi," bantah Luce. "Mereka, para kloning, akan memiliki fisik yang sama persis seperti orang yang selnya kita ambil. Selain itu, orang-orang yang akan kita ambil selnya adalah orang-orang terkemuka yang tersohor pada zamannya. Tidak akan ada perbedaan, melainkan sebuah kekaguman akan mahakarya agung yang dapat membuat umat manusia lebih maju dari peradaban ini," jelasnya meyakinkan.
"Cukup!" bentak salah seorang dari perwakilan pemerintah yang hadir di sana. Seluruh mulut dibungkam hanya dengan satu kata, ruangan sontak hening meski tetap tak menghilangkan aura persaingan yang kian menegang.
"Sudah diputuskan," perwakilan itu kembali melanjutkan, membuat aura dalam ruangan itu semakin mencekik, "dilihat dari setiap debat yang diselenggarakan hingga pada saat ini, saya rasa, pemerintah telah menetapkan mana yang sekiranya lebih menguntungkan untuk kehidupan umat manusia pada masa ini …," perwakilan itu berhenti sejenak untuk mengambil napas, membiarkan seluruh orang yang hadir menunggu.
"Kami memilih untuk—"
Belum sempat perwakilan itu mengakhiri kalimatnya, kaki Luce mendadak lemas dan tubuh wanita itu ambruk secara tak terduga yang beruntung berhasil ditangkap lebih dulu oleh Reborn dengan sigap.
"Luce-neesan!" Skull menjerit khawatir, wajahnya menunjukkan raut wajah cemas sekaligus takut.
Luce merintih sejenak, namun ia tetap berusaha bangkit. "Tidak apa-apa …," ucap wanita itu berusaha menenangkan rekannya yang lain, "aku tidak apa-apa," tambahnya lagi.
"Kita harus pergi sekarang," ucap Reborn sembari membopong wanita itu.
Lal tanpa disuruh segera berbalik menatap setiap orang yang tengah memperhatikan mereka. "Hadirin sekalian, kami minta maaf untuk semua hal yang tidak diduga ini. Kami rasa, kami harus pergi sekarang," ujarnya sembari kembali berbalik, hendak segera pergi dari sana.
"Tunggu! Bagaimana dengan keputusan—"
"Itu bisa nanti!" sergah Verde tak sabar. "Mari kita lanjutkan ini nanti, saudara-saudara. Kami harus pergi sekarang atau nyawa wanita itu akan dalam bahaya," tambahnya tajam. Pria itu berbalik dan mengejar rekan-rekannya yang telah pergi membawa Luce ke luar.
"Luce, kau bisa mendengar kami? Sejak kapan kau merasakan gejalanya?" tanya Fon.
"Dua jam … yang lalu …," jawab wanita itu dengan napas memburu.
"Sial! Itu sudah lama sekali, kora!" umpat Colonello.
"Kapan terakhir kau melakukan pemeriksaan?" Kali ini Lal angkat bicara.
"… Terakhir … minggu kemarin …," Luce kembali menjawab meski rasanya ia sudah tak memiliki tenaga.
"Astaga! Bukannya Luce-neesan harus melakukan cek setiap empat hari sekali?" tanya Skull terkesiap.
"Dia pasti memaksakan dirinya lagi," dengus Reborn seraya mempercepat langkahnya.
"Maaf," ucap Luce penuh sesal. "Aku berusaha menyelesaikan presentasi tentang proyek kita ke pemerintah, jadi …."
"Jadi, kau memaksakan dirimu bekerja, muu?" potong Viper tepat sasaran. Bola matanya berputar di balik tudungnya.
Luce memaksakan diri tersenyum. "Tidak biasanya kau mengkhawatirkan orang lain," ujarnya.
"Itu bisa nanti," sahut Verde sembari merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya yang setebal 0,2 sentimeter, mereka sudah tiba di tempat parkir dan sedang menuju mobilnya. "Kita ke lab sekarang. Bisa gawat kalau terjadi sesuatu pada Luce. Sel-selnya tak sebagus yang kita punya," tambah pria berambt semak itu sembari menekan ponselnya dan pintu mobil terbuka.
Reborn bergegas membantu Luce duduk di bangku belakang kemudi dan duduk di sebelahnya sementara Skull duduk di sebelah Verde yang duduk di kursi kemudi dan sibuk menyalakan mesinnya. Colonello, Lal, Fon, dan Viper berada di mobil yang lain. Tanpa aba-aba, Verde menginjak pedal gas dan mobilnya melesat menuju Lab 07-8 diikuti mobil yang dikemudikan Colonello.
Tanpa memperhatikan lebih jauh ada bayangan yang bersembunyi dan terus memperhatikan mereka.
.
d i s t o r s i
.
"Eeeh? Aku yang jaga di depan degan robot-robot itu?!" tanya Skull dengan setengah tak rela, kentara sekali pria itu keberatan dengan keputusan itu.
"Keberatan? Kemarin Lal sudah jaga. Ini giliranmu, kora!" cetus Colonello.
"Tapi kan—"
"Jangan banyak mengeluh!" potong Lal tak sabar. Reborn dan Verde sudah masuk ke dalam laboratorium bersama Luce untuk menyiapkan semuanya.
"Sudah, sudah … bagaimana kalau aku—"
"Jangan seenaknya memutuskan, Fon," potong Viper setengah mendengus. "Kita perlu tujuh orang yang bisa melakukan semuanya dengan cepat atau nyawa Luce dalam bahaya. Cepat masuk sana, muu." Tanpa meminta izin lebih dulu, pria bertudung panjang itu menarik Fon masuk ke dalam, membiarkan ketiga rekannya mematung di depan pintu masuk laboratorium.
"Nah, sudah dengar kan dari Viper," ucap Lal memecah hening.
"Tapi Lal-neesan—"
"Jangan banyak bicara!" bentak Lal. "Ingat apa tujuan kita! Kalau sekarang Luce mati, selesai sudah! Selama kita bicara di sini, sel-selnya terus akan melemah! Lagi pula, kalau ada yang sampai menyusup bisa jadi masalah!" Lal mencengkram bahu Skull sedikit keras, menandakan ia sendiri cukup panik saat itu. "Kami percayakan tempat ini! Paham, prajurit?" tanyanya dengan sorot mata tegas.
Skull meneguk ludah, namun segera menggelengkan kepalanya cepat dan mengangguk tanda mengerti. "Mengerti, Lal-neesan!" jawabnya.
"Bagus! Ayo, Colonello!" Lal menepuk bahu rekannya itu agak keras dan segera berlari memasuki laboratorium, diikuti Colonello yang sempat-sempatnya menghormat pada Skull seolah lelaki itu adalah komandannya dan mengulas senyum bersahabat yang jarang-jarang ia tunjukkan.
Pintu masuk laboratorium tertutup secara otomatis. Skull berbalik, menatap lahan parkir laboratorium yang hanya berisi dua mobil malam itu, mempersiapkan diri berjaga.
.
d i s t o r s i
.
Setengah jam menunggu membuat Skull merasa ia akan mati bosan. Ia kembali mengecek beberapa robot yang berjaga di sekeliling laboratorium dari ponselnya, sama sekali tak ada yang mencurigakan. Menghela napas bosan, lelaki itu menekuk wajahnya, kembali menebak-nebak berapa lama lagi rekan-rekannya selesai dan menjemputnya di depan sana.
Tak lama, ia mendengar suara derap kaki yang cukup banyak, seperti ada kerumunan orang yang mendekatinya. Skull berdiri, menoleh ke segala penjuru, berusaha menemukan orang yang mencurigakan. Namun, sebelum ia sempat bertindak, sebuah pukulan telak mengenai belakang lehernya, dan kesadarannya lenyap seketika.
.
d i s t o r s i
.
"Masa-masa kritisnya selesai," ucap Verde sembari menghela napas lega. Sorak riuh langsung menggema dalam ruangan itu, bahkan Colonello tampak mengangkat kedua tangannya bersemangat sebagai tanda lega.
"Aku mau mengambil susu stroberi, muu," kata Viper sembari beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati pintu ke luar.
"Oi, oi! Belum selesai tahu, kora!" protes Colonello namun tak ditanggapi oleh Viper.
"Oi, ada yang tidak beres di monitor bagian depan laboratorium," cetus Reborn seraya menyipitkan manik hitamnya.
"Skull pasti sedang bermain-main atau apalah. Lupakan saja," sahut Colonello tak peduli.
"Biar kulihat." Lal bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati pintu ke luar. "Kalau sampai lima belas menit kami tak kembali, artinya ada yang tidak beres. Segera susul kami," pesan perempuan itu sebelum benar-benar pergi.
"Kalau begitu, biar sisanya kita selesaikan," putus Verde sambil menaikkan kacamatanya dan mulai kembali menarikan jemarinya di atas keyboard.
.
d i s t o r s i
.
Bunyi kaleng susu yang jatuh dari mesin penjual minuman memenuhi lorong. Viper membungkukkan tubuhnya yang mungil, kemudian meraih minuman kesukaannya itu. Dibukanya kaleng itu dan meneguknya sedikit, kemudian melihat ke luar jendela.
'Ada yang tidak beres,' batinnya bergumam tanpa mengalihkan matanya dari jendela. Ada yang tidak beres di dekat pintu masuk, kondisi pintu masuk yang remang-remang membuatnya menyipitkan matanya dan terkesiap begitu melihat sosok yang terbaring di sana; Skull!
Viper berbalik, bahkan tanpa sadar ia menjatuhkan kaleng berisi susu stroberinya. Suara derap langkah yang mendekatinya mengurungkan niat pria bertudung itu, ia berbalik dan terkesiap melihat orang yang mendekatinya. Orang itu melayangkan tinjunya pada Viper namun Viper dapat menghindarinya dengan berkelit ke kiri.
Perkelahian menggunakan tinju jelas bukan keahlian Viper, pria itu mendecih, dan kesigapannya menurun. Orang itu dengan cepat meninju perutnya dan Viper merasa tulangnya remuk seketika. Tubuh Viper ambruk di lantai, ia melihat sosok yang meninjunya berbayang, semakin lama semakin blur, hingga akhirnya hanya kegelapan lah yang dilihatnya.
.
d i s t o r s i
.
Lal jelas tahu ada yang tidak beres, namun ia tak tahu ada apa. Ia mempercepat larinya menuju pintu masuk tempat Skull berjaga, namun sebuah lengan menghentikannya. Lal mendecih dan memberontak, perempuan tangguh itu berhasil melepaskan diri dari orang yang menguncinya. Lal melebarkan bola matanya, ia mengenal orang itu.
Namun, sebelum Lal bertanya, orang itu kembali menyerangnya. Lal bertahan, meski lawannya lelaki sekalipun ia tak akan mengalah begitu saja, ia perempuan tangguh. Mereka bertarung dengan tangan kosong selama beberapa menit, Lal memaki tanpa suara karena entah berapa banyak waktu yang telah ia buang selama bertarung dengan orang itu.
Suara derap langkah lain terdengar memasuki indera pendengarannya, Lal tahu ada orang lain yang datang ke belakangnya. Orang itu tak menyia-nyiakan kesempatan yang datang padanya, ia menarik lengan Lal dan mengunci kedua lengan perempuan itu. Lal memberontak, namun sebelum sempat melepaskan diri, si pemilik langkah tadi telah sampai di depan mereka dan meninju perutnya tanpa ampun.
Lal membelalakkan mata, tubuhnya melayang jatuh dan mencium lantai. Perempuan itu mati-matian menahan rintihannya dan memegangi perutnya erat, mencoba menahan sakit. Dengan perlahan, ia mendongakkan kepala, menatap dua orang yang menyerangnya.
"… Kali … an …."
.
d i s t o r s i
.
Seorang pria bertubuh atletis berhenti tepat di depan pintu ruang eksperimen utama laboratorium. Ia mengeluarkan sebuah ponsel setebal 0,2 sentimeter dari sakunya dan menyodorkan benda itu di depan sebuah kotak kecil yang memancarkan sinar berwarna kebiruan. Kotak itu meneliti sejenak ponsel yang disodorkan si pria, dan sinar kebiruan itu menghilang tak lama kemudian, menandakan ia tengah memproses identitas si pengguna.
"Tanda pengenal valid. Silahkan masuk," bunyi kotak tersebut datar khas robot dan pintu di depan si pria terbuka otomatis, menampilkan pintu lain yang ada di baliknya. Pria itu mengantongi kembali ponsel yang diambilnya, kemudian melangkah masuk dan pintu di belakangnya tertutup secara otomatis, membuatnya kini berada di ruangan sempit yang diapit dua pintu. Ia kembali melakukan hal yang sama pada kotak kecil yang ada di ruang sempit itu dan pintu kedua kembali terbuka. Pria itu melangkah masuk, tak lupa menambah kewaspadaannya.
"Ara, apa yang Anda lakukan di sini, Sawada Ieyasu-san?" tanya sebuah suara mengagetkan si pria. Pria itu—Sawada Ieyasu—menoleh ke kanan, menemukan Luce yang tengah menggulum senyum padanya.
"Anda sudah sehat kembali, Luce-san?" tanya Ieyasu formal, sama sekali tak terlihat gugup bertemu dengan wanita itu.
"Jangan cemas. Saya sudah biasa terkena sakit kepala seperti itu," jawab Luce ramah.
"Sakit kepala saja bisa membahayakan nyawa Anda?" tanya Ieyasu seraya melayangkan tatapan tajam.
Senyum Luce yang lebar lenyap, matanya membalas tatapan pria pirang itu sengit. "Begitulah," jawabnya berusaha tetap formal. "Penyakit turunan. Kuharap Anda mengerti, Ieyasu-san," tambahnya.
"Maafkan saya jika pertanyaan itu sedikit menyinggung Anda," ucap Ieyasu berusaha tenang.
"Tak apa, saya sudah sering ditanya seperti itu," jawab Luce. Bibirnya menggulum senyum tipis, namun Ieyasu tahu wanita itu menyembunyikan sesuatu.
.
d i s t o r s i
.
Tempat itu remang-remang, namun jika jeli, siapapun bisa melihat bayangan seorang pria yang meninju wajah seorang lelaki lain. Tanpa memberi kesempatan lelaki itu melawan, pria itu menghantam tubuh lawannya ke dinding, kemudian menghancurkan kepala si lelaki dengan sekali hantaman di dinding.
.
d i s t o r s i
.
Dua tubuh pria tumbang di lantai, mereka kalah telak—bahkan bisa dikatakan babak belur. Mereka kembali mendongak, kembali memandangi pria yang mengalahkan mereka hanya dengan beberapa jurus.
Belum sempat bereaksi, sebuah benda yang mirip dengan tentakel mencekik leher mereka hingga mereka kehabisan napas.
.
d i s t o r s i
.
"Oh ya, bagaimana kalau kita membicarakan pendapat Anda sendiri mengenai proyek kami tentang kloning manusia?" tanya Luce tanpa diduga.
"Saya rasa, saya sudah membicarakannya di debat tadi," jawab Ieyasu, masih dengan kewaspadaan penuh.
Luce mengulas senyum tipis. "Apa terdengar seburuk itu—kloning manusia itu?" tanyanya.
"Saya bukannya berpendapat itu benar-benar buruk, hanya saja … saya merasa bahwa kloning manusia masih terlalu cepat untuk era peradaban kita pada saat ini," jawab Ieyasu.
"Lalu harus menunggu berapa lama lagi? Sepuluh tahun lagi? Atau dua puluh tahun lagi? Kita tak akan pernah siap jika terus mengatakan diri ini belum siap," ujar Luce.
"Bukan hanya itu," Ieyasu menyela, matanya tampak meneliti wanita itu dari ujung kaki hingga kepala, "lagi pula, saya rasa, tampaknya kita tak terlalu memerlukan kloning manusia itu," katanya dengan menyipitkan mata.
"Apa yang membuat kita tak memerlukannya, Ieyasu-san? Perang Dunia III sudah menghabisi banyak nyawa, dan perkembangan kelahiran manusia baru sangat sedikit. Manusia bisa punah kapan saja dan ini adalah salah satu cara menyelamatkan umat manusia," ujar Luce.
"Bukan umat manusia," sergah Ieyasu, matanya memandangi wanita itu dengan tatapan tajam menusuk, "tapi kalian, kan, yang memerlukan kloning manusia itu?" tandasnya sengit.
Luce masih mempertahankan senyum tipisnya, bibirnya bergerak membentuk sebuah kalimat yang diucapkan dengan nada dingin, membuatnya lebih tampak seperti penjahat dalam film.
"Sudah kuduga, kau memang merepotkan, Sawada Ieyasu."
.
d i s t o r s i
.
Cairan merah kental tumpah di lahan parkir, bau amis menyergap hidung siapa saja yang ada di sana. Tubuh seorang pria jatuh, tangannya yang gemetar memegangi perutnya yang bersimbah darah. Ia kembali mendongak dan menatap orang yang menghabisinya penuh dendam, namun hanya dibalas dengan tatapan sedingin angin malam yang menusuk tulang.
Kemudian, sebuah timah panas kembali dilepaskan tanpa suara.
.
d i s t o r s i
.
Tubuh seorang pria dibanting tanpa ampun di lantai. Suara tulang yang remuk kembali terdengar bersamaan dengan suara teriakan kesakitan, bahkan mungkin bisa dikatakan juga dengan lolongan.
Rekan pria itu telah dihabisi, hanya tersisa dirinya seorang. Sebuah kepalan tinju menghantam perutnya, membuat ia terpental dan punggungnya menabrak dinding. Kemudian, tanpa belas kasih, lehernya digorok dengan sebilah pisau.
.
d i s t o r s i
.
Tubuh Ieyasu merosot jatuh, membuat pria pirang itu terpaksa berlutut di hadapan wanita yang dikenal murah senyum itu. Napasnya memburu, pandangan matanya mengabur.
"Gasnya sudah bekerja," cetus Luce seraya mempertahankan senyum tipisnya. "Saat kau berada di ruang sempit itu, Verde telah memasukkan gas tak berwarna serta tak berbau. Menghirupnya sedikit dapat membahayakan nyawamu," jelasnya.
"Bagaimana … bisa …." Ieyasu berusaha berdiri, namun kakinya serasa seperti ubur-ubur dan ia terpaksa menahan tubuhnya dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Tanpa diduga, dinding tempat ia bersandar adalah sebuah tombol yang membuat ruangan itu sedikit berguncang. Luce membelalakkan mata sesaat, kemudian kembali menatap pria itu dingin.
"Sudah saya duga kau adalah satu-satunya orang berotak yang membahayakan kami," cetusnya.
Ieyasu tak menjawab, ia menggunakan sebelah tangannya untuk menutup mulutnya. Dinding yang ada di tengah ruangan perlahan bergerak dan memunculkan pemandangan lain yang tampak mengerikan. Ieyasu membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya di ruangan itu.
Di balik dinding itu, ada banyak tabung berukuran besar untuk seorang manusia dewasa. Tabung-tabung itu diisi air dan terdapat alat penyalur oksigen. Beberapa tabung itu telah diisi dengan makhluk yang nyaris serupa dengan manusia—bukan, Ieyasu mengerjapkan mata, itu benar-benar manusia!
"Ini … kloning … manusia?" tanya pria pirang itu dengan nada tak percaya.
"Tepat," jawab Luce singkat.
"Kalian telah … membuat kloning manusia … tanpa mendapat persetujuan lebih dulu?!" tanya pria itu lagi sembari memandangi wanita itu benci.
"Sejak awal ini sudah terjadi kok," jawab Luce tenang. "Toh, lagi pula, itu bukan satu-satunya hasil kloning manusia yang sudah kami buat. Kenyataannya, kau sudah bisa melihatnya langsung; keajaiban yang dibuat dari kloning manusia di depan matamu," lanjutnya sembari mendekati pria itu.
"Di depan mata?" beo Ieyasu tak mengerti. Pria itu terbatuk keras, pandangannya semakin mengabur. Ia memundurkan tubuhnya beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dengan Luce.
"Ieyasu-san, akan kuberitahu alasan mengapa sakit kepala bisa membuat nyawaku terancam," ujar Luce tanpa menghentikan langkahnya. Sebuah pistol kuno yang diciptakan berpuluh-puluh tahun yang lalu digenggam erat di tangannya, matanya menatap tajam pada pria pirang yang sekarat di depannya.
"… Itu karena tubuhku hanya memiliki kemiripan 98,9% dengan manusia pada umumnya," jawab Luce tenang.
Ieyasu masih tak mengerti, ia membiarkan otaknya berpikir lebih keras di ujung mautnya. Begitu mendapat jawabannya, pria pirang itu terbelalak tak percaya. Luce tersenyum manis padanya.
"Arriverderci, Ieyasu-san," ucap Luce sembari mengarahkan moncong pistol yang digenggamnya tepat ke kepala pria pirang itu.
Dan letusan timah panas menembus tengkorak pria itu.
.
d i s t o r s i
.
"Mana ada yang dipukul belakang lehernya sudah pingsan, kora!?" protes Colonello sembari mengacak rambut Skull yang berjalan bersamanya.
"Tapi itu kan masih wajar untukku, Colonello-senpai! Tubuhku hanya memiliki kemiripan 99,2% dengan manusia pada umumnya!" sergah Skull tak terima.
"Alasan saja kau, kora!" Colonello menepuk punggung pria bertindik itu tanpa belas kasih. "Hanya karena aku mirip 99,5% bukan berarti aku juga kuat tahu! Itu semua dari kemampuan!" tambahnya.
"Berhenti bicara yang tidak perlu. Kau akan kulatih lagi nanti, Skull," putus Lal absolut.
"HEEE?! T- TIDAK USAH! TIDAK PERLU, LAL-NEESAN!"
"Kalian berisik sekali. Suara kalian sampai terdengar di ujung lorong, muu," cetus Viper dari lorong yang berlawanan dengan mereka.
"Oh, Viper! Bagaimana bagianmu, kora!?" tanya Colonello setengah berteriak begitu melihat rekannya itu.
"Begitulah, muu," jawab Viper tak minat.
"Intinya sudah tak ada yang bersisa," jawab Fon yang berdiri di belakang pria bertudung itu sembari mengulas senyum tipis.
"Aku sudah bilang tak butuh bantuan," ketus Viper.
"Anggap saja aku membayar utangku saat kau membawa sampel-sampel tadi pagi," jawab Fon lugas.
"Kalian sudah berkumpul, heh," cetus Reborn yang baru tiba.
"Kau sendiri bagaimana, Reborn?" tanya Lal sembari menaruh satu tangannya di pinggang.
"Orang itu kuat juga, setidaknya bagus untuk latihan. Tapi akhirnya dia berakhir dengan lubang di perut dan kepalanya," sahut Reborn sembari membenarkan letak fedora-nya.
"Tapi, orang-orang itu tolol juga, mereka mana sadar ada kamera mini yang dipasang di seluruh sudut laboratorium, kora?" kekeh Colonello puas sembari tetap berjalan.
"Manusia seringkali meremehkan manusia lain," timpal Fon tenang.
"Perlu kuingatkan padamu, kita bukan manusia," ralat Viper sinis.
"Kalau begitu; manusia seringkali meremehkan hal-hal yang mirip dengan manusia lain," ralat Fon dengan senyum khas bertengger di bibirnya. Skull terbahak mendengarnya, Viper mendengus jengah.
Tak lama, mereka sampai di pintu ruang utama lab. Reborn menggunakan ponselnya untuk membuka pintu dan pintu itu terbuka, menampilkan pintu lain di baliknya. Namun, rombongan itu dengan santai berjalan melewati pintu pertama, kemudian memasuki ruang sempit yang diapit kedua pintu tersebut dan Reborn kembali menyodorkan ponselnya untuk membuka pintu kedua. Pintu kedua terbuka, dan rombongan kecil itu kembali melangkah masuk.
"Selamat datang, semuanya," sambut Luce dengan senyum manis. Ia berdiri di sebelah seorang laki-laki yang tengah melihat-lihat tabung berisi kloning manusia yang mereka buat secara diam-diam.
"Orang itu … kora?"
"Kalian terlambat," cetus Verde tak sabar sembari menaikkan kacamatanya. Pria itu berdiri di sudut ruangan, mengecek kembali laporan-laporan yang telah mereka susun.
"Kuharap kalian sehat, Arcobaleno," ucap laki-laki itu sembari berbalik, menatap orang-orang itu dengan seringai lebar di wajahnya.
"Muu, kau rupanya," respons Viper tak minat.
"Terima kasih untuk itu," kata Fon sembari membungkukkan badan hormat.
"Kalau kau di sini, artinya ada pekerjaan baru lagi, eh?" tanya Lal memastikan.
"Akhirnya kita bisa kembali tidak menganggur, kora!" sambut Colonello bersyukur.
Reborn menyeringai kecil. "Tidak kusangka kau kembali secepat ini, Checkerface," cetusnya.
Laki-laki itu—Checkerface—melebarkan seringainya. "Ada hal-hal yang harus kupastikan," ia terdiam sejenak, "toh, sejak awal, kalian masih masuk tanggung jawabku—karena aku yang menciptakan kalian, Kloning Arcobaleno."
.
d i s t o r s i
.
"Ada yang harus kita bicarakan, Checkerface," Jager, yang entah bagaimana bisa pergi dari tanggung jawabnya menjaga benda buatan Sawada Tsunayoshi untuk menggantikan pacifier, tiba di depan Checkerface hari itu.
Checkerface, yang tak menyangka dapat ditemukan, menatap anggota Vindice itu dengan alis bertaut. "Ada apa, Jager?" tanyanya.
"Benda buatan Sawada Tsunayoshi mulai mengalami ketidakstabilan," jawab Jager jujur. "Benda itu memang ampuh untuk bertahun-tahun yang lalu, namun benda itu mulai tidak stabil pada masa ini," tambahnya.
"Tapi bukankah benda itu bisa digunakan untuk selamanya?" tanya Checkerface memastikan.
"Hanya nyaris untuk selamanya," ralat Jager. "Dengan menyesal kukatakan ini, Checkerface, tapi kita akan menggunakan pacifier lagi untuk menyeimbangkan dunia ini. Selama itu, kami akan meneliti apa penyebab ketidakstabilan yang ada dalam benda itu," lanjutnya.
Checkerface memijat keningnya. "Calon untuk pacifier itu haruslah orang terkuat—orang terkuat, Jager! Di era serba modern seperti ini dengan manusia yang bergantung pada kemudahan teknologi, harus di mana kita mencari manusia terkuat!?" bentaknya frustrasi.
Jager menghela napas berat, ia sendiri tak tahu. "Jika kau ingin menyeimbangkan dunia ini, carilah orang-orang itu, Checkerface. Vindice akan berusaha sekuat tenaga dengan benda itu sementara, tapi berjanjilah kau akan menemukan orang-orang terkuat untuk calon pacifier itu! Kita tak punya pilihan lain kecuali jika kita ingin menelantarkan dunia ini."
.
d i s t o r s i
.
"Saat ini, kloning hewan telah berhasil dibuat dan menjadi populer dalam waktu singkat," ungkap sang penyiar berita dari televisi. "Beberapa kebun binatang bahkan dengan terang-terangan mengatakan akan memelihara hewan-hewan yang telah punah itu meski mereka hanya kloning sekalipun. Para ilmuwan tengah membicarakan ini dan memberitahu seperti apa perawatan mengenai binatang hasil kloning karena hasil kloning memiliki fisik yang lebih lemah dibanding hewan aslinya," lanjut sang pembawa acara.
Checkerface diam, matanya terkunci pada layar setebal 0,1 sentimeter itu. Mencerna segala informasi yang ada di sana.
"Kloning dapat dilakukan dengan sel-sel makhluk hidup. Hal ini memang sempat menyulitkan para peneliti karena mereka harus mendapatkan sel-sel yang sempurna untuk membentuk satu hewan utuh." Penyiar berita itu masih berbicara beberapa hal, namun Checkerface hanya menyerap beberapa informasi mengenai kloning yang ia dengar di sana.
"Salah satu kelebihan dari kloning ini, kloning akan menghasilkan makhluk dengan jenis serupa, bahkan nyaris tak ada bedanya. Selain itu, kloning dapat dilakukan dari makhluk hidup maupun yang sudah mati. Selama sel-selnya lengkap, maka kloning pun dapat tercipta."
Bak terkena sambaran petir, Checkerface sontak berdiri. Bibirnya membentuk senyum puas, seolah baru saja mendapatkan ide mengenai apa yang harus ia lakukan untuk menemukan orang-orang terkuat di dunia sebagai calon pacifier.
"Kloning manusia! Itu dia!" seru pria itu dengan wajah sumringah.
.
d i s t o r s i
.
"Kau membuat semua ini?" tanya Jager takjub. Matanya terus meneliti kedelapan manusia—kloning manusia—yang ada di dalam tabung-tabung itu. Mereka bernapas melalui alat penyalur oksigen yang dihubungkan dengan alat pernapasan mereka.
Dalam tabung-tabung raksasa itu, delapan tubuh yang memuat para anggota Arcobaleno terakhir, bahkan Luce yang menghilang ada di sana! Semua orang itu dalam keadaan menutup mata dan masing-masing menggunakan alat penyalur oksigen untuk bernapas dalam tabung raksasa yang berisi air itu.
Checkerface tersenyum puas. "Agak sulit mendapat sel-sel dan dna mereka yang utuh, tapi kita beruntung bisa menciptakan mereka," katanya. "Paling mudah menemukan sel-sel Reborn, sepertinya orang-orang Vongola itu sangat menghargai mayatnya hingga masih tersimpan rapi di peti mati atau bisa juga itu permintaan terakhir Sawada Tsunayoshi," lanjutnya mengira-ngira.
"Tapi, tak kusangka kau mengkloning mereka. Kukira kau tengah berkeliling dunia untuk mencari calon manusia terkuat," ucap Jager seraya melirik Checkerface yang berdiri di sebelahnya.
Checkerface tersenyum tipis. "Manusia pada era serba modern ini sangat mendewakan teknologi. Mereka tak lagi berusaha dengan kekuatan mereka sendiri, melainkan berusaha mencari kemudahan lain yang lebih instan dari yang sudah mereka miliki," pria itu mengambil napas sejenak, "manusia tak akan pernah puas bahkan dengan cara seperti itu, sementara untuk calon manusia terkuat, Arcobaleno, kita memerlukan manusia yang memiliki fisik yang lebih dari manusia lain serta kemampuan otak yang tinggi," lanjutnya.
Jager tak menjawab, ia kembali memandangi hasil kloning Arcobaleno. "Kita masih bisa menggunakan benda buatan Sawada Tsunayoshi sedikit lagi. Selama itu, latihlah mereka menjadi yang benar-benar terkuat. Aku tahu mereka mantan Arcobaleno terakhir, tapi itu dari berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kudengar juga, fisik hasil kloning tak sekuat manusia pada umumnya," ujarnya panjang lebar.
"Kau tak perlu terlalu khawatir, waktu yang sedikit itu pasti cukup," jawab Checkerface sembari mengeluarkan catatannya. "Hasil kemiripin kloning tertinggi dimiliki Reborn dengan 99,8%, lalu diikuti Verde 99,7%, Viper 99,6%, Colonello 99,5%, Lal Mirch 99,4%, Fon 99,3%, Skull 99,2%, dan Luce 98,9%," jelas pria itu sembari membaca hasil penelitiannya.
"Luce 98,9%? Kukira masih dalam 99%," cetus Jager.
"Sel-sel Luce paling sulit dicari. Kemungkinan besar dia akan lebih lemah dari para Arcobaleno lain, tapi kemampuan clairvoyance-nya tetap sama kuatnya," jawab Checkerface tenang.
"Jadi, mereka semua tetap menuruni kemampuan yang sama dengan aslinya?" tanya Jager lagi.
Checkerface melebarkan senyumnya. "Tentu saja," jawabnya. Pria itu mengadahkan kepalanya, menatap lagi tabung-tabung berisi kloning yang berhasil dibuatnya. "Sampai kita berhasil menemukan kesalahan yang ada pada benda buatan Sawada Tsunayoshi, kita akan terus membuat kloning-kloning dari manusia terkuat yang pernah ada. Mereka akan menjadi calon untuk pacifier itu. Dan ketika kloning yang memegang pacifier itu mati, kita akan menggantinya dengan kloning yang lain—terus, selamanya," tambahnya.
.
d i s t o r s i
.
"Jadi, ada kerjaan baru apa lagi sekarang?" tanya Lal sembari menghampiri Checkerface diikuti rekan-rekannya yang lain.
"Kedatanganku bukan hanya tentang pekerjaan baru. Kudengar Luce ambruk lagi, jadi aku datang," jawab Checkerface tenang.
"Verde, kau yang menghubungi Checkerface?" tanya Luce sembari menoleh pada pria berambut semak itu.
"Aku tak punya pilihan lain! Lagi pula, yang benar-benar paham tentang kloning hanya dia seorang," bela Verde.
Luce menahan tawa. "Tidak, tidak apa. Aku tahu ini salahku, maafkan aku semuanya," ujar wanita itu sembari membungkukkan badan.
"Jadi, debat hari ini tidak menghasilkan apapun lagi?" tanya Checkerface.
"Muu, sebenarnya kami hampir mendapat izin dari perwakilan pemerintah, tapi, ya …." Viper mengangkat bahu, enggan meneruskan.
"Itu artinya kalian harus berusaha lagi di debat selanjutnya, eh?" Checkerface memastikan.
"Tak perlu khawatir, mereka akan menaruh dukungan pada proyek kita," ujar Luce menenangkan mereka.
"Penglihatan dari clairvoyance lagi, Luce-neesan?" tanya Skull penasaran.
"Bukan. Tapi tentu saja siapapun pasti dapat melihat bahwa proyek kloning manusia ini akan mendatangkan keuntungan besar," jawab Luce sembari menyentuh sebuah tabung yang berisi hasil kloning di dalamnya. "Lagi pula, manusia-manusia itu tak akan pernah tahu apa yang kita incar sebenarnya. Mereka selalu menginginkan yang lebih instan lagi tanpa pernah terpuaskan," tambahnya seraya mengulas senyum tipis di bibirnya.
"Jadi, hanya ini kloning yang sudah kalian buat sendiri?" tanya Checkerface sembari kembali menatap tabung-tabung raksasa di depannya.
"Begitulah. Saat ini kami baru menciptakan kloning Gokudera Hayato, Byakuran Gesso, dan Hibari Kyouya," jawab Luce sembari mengikuti arah tatapan pria itu.
"Kalau begitu, ini daftar manusia lain yang harus kalian kloning nanti." Checkerface menyerahkan sebuah kertas pada Luce.
Luce meraih kertas itu, kemudian membacanya. "Sawada Tsunayoshi, Xanxus, dan Rokudo Mukuro, eh?"
"Kuharap kau telah melupakan dendam lamamu sewaktu Ring Conflict, Viper," cetus Checkerface seraya mengulas seringai tipis pada pria bertudung itu.
"Yang kalah adalah aku yang asli. Aku lebih kuat darinya, jadi kurasa tak ada masalah," jawab Viper dengan mendengus. Luce kembali tertawa, Checkerface menggulum senyum tipis.
"Lalu, apa yang akan kalian lakukan dengan mayat-mayat penyusup itu?" tanya Checkerface.
"Mereka tak tahu kita punya kamera yang lebih kecil dan merekam saat mereka menyusup. Tinggal menghapus bagian mereka dibunuh oleh kami dan kami akan membeberkannya ke media. Buat saja motif mereka tentang proyek kloning manusia atau apalah yang sejenis," cetus Verde.
"Terkadang aku berpikir kalian tak benar-benar mirip dengan aslinya," cetus Checkerface, namun bibirnya mengulas senyum main-main.
"Oh ya?" pancing Luce.
"Kalian lebih kejam dari yang aslinya," tandas Checkerface santai. Luce tertawa anggun, Viper mendengus, Reborn terkekeh, sementara yang lain tertawa mendengarnya.
Ya, memang lebih kejam.
.
.
.
pada kenyataannya, putih adalah hitam
.selesai.
.
.
.
Arriverderci : Selamat tinggal (Italia).
A/N : Halo halo! Di sini Profenyx, akun collaboration dari Profe Fest dan Bergenyx! Ini fanfic pertama kami yang juga diikutsertakan di event #Science (Fan)fiction Day tangal 2 Januari. Semoga kalian menikmatinya, ya! Omong-omong, yang membuat bagian ini Profe Fest, secara pribadi saya mohon maaf kalau banyak yang membingungkan, jauh dari yang diharapkan, dan banyak yang OOC ya ;;w;; Bagian selanjutnya akan dibuat oleh Bergenyx, tapi masih bersambungan kok dengan chapter ini. Seperti apa? Nantikan tanggal 2 Januari! /jadi promosi /wat.
Pada fanfic ini, kami mengangkat tentang kloning manusia setelah secara tak sengaja membaca artikel tentang kloning mammoth yang baru-baru ini katanya mau dibuat karena ketemu jasad mammoth yang utuh membeku di Rusia sana. Sebelumnya juga saya pernah baca kalau ada ilmuwan yang buat kloning tikus purba gitu karena ketemu jasad tikus purba yang membeku (sama yha? Entah juga mana yang bener, tapi kalau yang kloning tikus saya baca di majalah).
Kloning manusia sebenarnya sudah dilakukan pada masa ini, namun belum diumbar terang-terangan dan masih sangat kontroversi. Kebetulan ada temen sesama author di FFn yang juga dokter (/kedipin I Don't Care Anything dari jauh/ /terus dikirimin mayat dari rumah sakit /GAK), dia bilang kalau sampai saat ini belum belajar kloning manusia soalnya masih jadi permasalahan. Tapi, siapa tahu berpuluh tahun ke depan, kan?
Dan kalau dilihat, fanfic ini lebih ke arah AT (Alternative Timeline), bukan AU (Alternative Universe). Jadi, anggap saja mulai dari manga chapter terakhir, Tsuna jadi Vongola Decimo beberapa tahun kemudian bareng sama yang lain-lain, Arcobaleno juga tumbuh seperti sedia kala. Sampai akhirnya mereka meninggal dan zaman terus berkembang hingga akhirnya pas Checkerface dapet kabar dari Jager, etc etc /heh.
Terima kasih bagi yang sudah berkunjung ke mari! Jangan ragu bertanya jika ada yang tak dimengerti, ya! Atau kalau ada yang mau nambahin jangan ragu buat cuap-cuap di kotak review! Kami tunggu semua review kalian, ya! Sampai jumpa di chapter berikutnya!
-Salam-
Profenyx [Profe Fest dan Bergenyx]
