Disclaimer : I do not own Naruto and all the characters. They're Masashi Kishimoto's.
Pairing : ShikaIno
Genre : Tragedy/Crime
Warning : Rate T Semi M for the conflicts (or should i change it to M? Please tell me, minna o.0a). No Lemon, of course. A bit confusing (?)
Yay! Birthday fic for Shika (22 September) dan bakal berlanjut jadi birthday fic buat Ino (23 September). Happy birthday Shika! ^^
Dan buat semua penggemar ShikaIno, Happy ShikaIno Fan Days! *tebar bunga*
Hemh… sebelum saya mulai ngebacot panjang lebar nggak jelas alias nge-OOT, sebaiknya minna-san langsung beralih ke ceritanya aja, deh? Hehe.
Okay then, please enjoy the story.
SCARLET MEMORIES
.
.
.
Sosok itu berdiri terpaku di depan suatu pintu kamar dari kayu cokelat yang khas dengan guratan-guratan vertikal. Mata gelap sosok tersebut menatap lurus—lekat pada sofa empuk yang dilapisi kulit imitasi berwarna merah kecokelatan. Di atas sofa itu, terlihat olehnya, sosok dua manusia yang duduk berdekatan satu sama lain.
Seorang gadis dan seorang pemuda yang masing-masing berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Bukan usia yang dapat dikatakan muda. Dewasa—awal. Masuk dalam rentang usia dimana kehidupan sebenarnya baru akan dimulai. Tahap dimana seseorang akan mulai membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain—tahap intimacy versus isolation, menurut Erik Erikson.
Pun demikian, tidak ada aktivitas bersama yang dilakukan keduanya. Mata keduanya bahkan tidak saling bertemu. Pemilik aquamarine—sang gadis—menatap televisi di hadapannya. Sementara, kedua mata milik sang pemuda tampak terfokus pada layar kecil dari notebook yang tengah dipangkunya. Bibir keduanya terkatup. Tidak rapat, tapi cukup untuk mengunci suara yang hendak melesak keluar dari tenggorokan.
Hening adalah nuansa utama ruangan tersebut. Namun, kehangatan yang tampak menyelubungi keduanya adalah suasana yang lebih mendominasi.
Mata sang pengamat itu berkedip dan begitu kelopak itu membuka, bisa dilihatnya sosok sang gadis yang sudah menyandarkan kepalanya di bahu sang pemuda. Helaian rambut pirang panjang gadis itu tampak berjatuhan dan menyelimuti sebagian sisi kiri tubuh pemuda di sampingnya. Mula-mula, pemuda berambut model nanas itu terlihat terkejut tapi sebuah lengkungan langsung terpatri di wajahnya tidak lama kemudian.
Kehangatan itu terus terpancar bagaikan suatu radiasi tanpa henti. Bahkan, tanpa melodi picisan pun, perasaan keduanya terlihat jelas. Kasatmata yang dapat digambarkan dalam satu kata.
Sayang.
Pengamat itu menyandarkan tubuhnya ke pintu. Dibiarkannya kedua mata miliknya menjelajah ruangan lebih jauh. Kali ini ia melihat sosok gadis berambut pirang itu tengah berjalan dari arah dapur. Membawa dua buah cangkir dengan asap mengepul samar.
Dengan senyum lebar, gadis itu menyodorkan sebuah cangkir yang tengah dipegangnya pada sang pemuda. Notebook yang semula dipangku pemuda tersebut kini sudah berpindah tempat dan terlihat bertengger nyaman di atas sebuah meja yang terbuat dari kayu namun dipelitur hingga berwarna kehitaman.
"Pekerjaanmu sudah selesai, Shika?" tanya gadis itu lembut sambil kembali mengambil tempat di sebelah sang pemuda.
"Mendokuse," keluh pemuda yang dipanggil Shika itu sambil menggelengkan kepalanya, "tugas-tugas itu tidak ada habisnya. Seperti amuba yang bisa membelah diri saja."
Sang gadis tertawa kecil. "Oh, ayolah, Tuan Pemalas. Kau pasti bisa menyelesaikannya sebelum hari pernikahan kita. Ne?"
Sebuah senyum melintas di wajah Nara Shikamaru—sang pemuda—sebelum ia menempelkan tepi cangkir ke mulutnya. Perlahan cairan hangat itu mulai membasahi kerongkongan Shikamaru. Terlihat oleh sang gadis, leher pemuda itu bergerak, seakan mendorong masuk cairan cokelat pekat itu semakin jauh ke dalam.
"Entahlah, Ino," jawab Shikamaru begitu mulutnya telah kosong. Bersamaan dengan itu, ia pun meletakkan kembali cangkir berisi cokelat hangat yang baru diminum seteguk olehnya. "Kurasa kita harus menunda pernikahan kita. Kau tahu? Pernikahan juga sama merepotkannya."
Gadis yang dipanggil Ino itu berdecak. Ia kemudian memukul pelan lengan Shikamaru dengan tangannya yang tidak memegang cangkir.
"Jangan bercanda seperti itu, Shika! Kau menyebalkan! Pulang sana ke kamarmu sendiri! Shoo!" gerutu Ino sambil memajukan bibir bawahnya. Cemberut. Sebelah tangannya membentuk gerakan mengusir tepat di depan wajah Shikamaru.
Shikamaru sendiri hanya bisa menyeringai geli mendengar gerutuan yang disertai polah kekanakan kekasih, atau tepatnya, tunangannya tersebut. Lambat-lambat, Shikamaru mengulurkan tangannya ke arah kepala Ino. Diacaknya pelan rambut lembut Ino.
Gadis itu dengan kasar menepis tangan Shikamaru dan kemudian menjulurkan lidahnya bagaikan anak kecil yang tengah menantang musuhnya. Shikamaru hanya menggeleng perlahan sebelum ia mendadak mengambil cangkir cokelat Ino dan meletakannya di atas meja, berdampingan dengan cangkirnya sendiri.
Ino yang hendak protes pun dipaksa bungkam oleh sebuah kecupan di bibirnya.
Sang pengamat itu memejamkan matanya saat adegan itu tertangkap retinanya. Dan begitu iris cokelat gelapnya kembali menerima cahaya, kedua sosok di atas sofa itu sudah lenyap. Hilang tanpa sedikit pun jejak yang tertinggal.
Dengan enggan, digerakkannya kepalanya ke arah sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka—seolah mengundangnya untuk masuk.
Sesaat, sang pengamat itu ragu. Kepalanya ia arahkan kembali ke atas meja yang tidak lagi menyajikan pemandangan dua buah cangkir serta sebuah notebook—seakan benda tersebut telah dibereskan sedemikian rupa dalam waktu singkat. Kini, yang terlihat oleh kedua indera penglihatannya adalah sang pemuda berambut model nanas tadi tengah berdiri di depan sang gadis.
Keduanya berdiri di depan meja dengan tubuh yang mengarah ke pintu depan.
"Kau yakin tidak mau kuantar ke butik itu?" tanya Shikamaru sambil memasang dasinya dengan malas.
Ino menggeleng. "Aku bisa sendiri. Aku bukan anak-anak lagi." Ino mengambil napas sejenak. "Selain itu, kauurus saja kerjaanmu agar cepat selesai dan kita bisa segera menikah."
Shikamaru mengerutkan alisnya dengan tangan yang sudah menjauh dari posisi dasinya. Ino memberikannya satu senyum menenangkan. Meskipun demikian, terlihat bahwa bukan rasa tenang yang didapat Shikamaru. Sebaliknya, kegelisahan seakan terus memberikan peringatan padanya. Bagaikan alarm tanda bahaya, gestur tubuhnya tampak menolak untuk meninggalkan Ino seorang diri.
"I…."
"Tenang, kau pasti akan terkejut dengan pilihan gaunku nanti," ujar Ino sambil mengacungkan jempolnya.
"Bukan itu maksudku. Aku tahu selera fashion-mu tidak perlu diragukan. Tapi…."
"Ah, kalau kau memang merasa bersalah karena tidak bisa mengantarku hari ini, tanggal 22 nanti, kau harus menggantinya, Shika," potong Ino cepat sambil menepuk-nepuk pundak Shikamaru. "Pulang cepat, ya?"
Shikamaru dibuat mematung dengan ucapan itu. Tampak ia akan mengatakan sesuatu, tapi kembali terhenti oleh suara merdu Ino yang mengalun ceria.
"Oke?"
Dan seolah tersihir, Shikamaru pun mengangguk. Masih sambil berkelakar, Ino kemudian mendorong punggung Shikamaru hingga mencapai pintu depan.
Sekonyong-konyong, sosok keduanya kembali tertelan dalam naungan udara di sekeliling. Kehampaan kembali menjadi teman bagi si pengamat yang sudah melipat kedua tangannya di depan dada.
Akhirnya, gurat tekad mewarnai ekspresi wajahnya. Tubuhnya yang semula bersandar pada pintu, perlahan terangkat. Kakinya pun mulai bergerak langkah demi langkah, menghampiri pintu lain yang belum juga berhenti menyebarkan undangan baginya untuk masuk dan melihat dunia di balik warna cokelat tersebut.
Diangkatnya sebelah tangan putih itu untuk menyentuh badan pintu. Dengan telapak yang menempel, didorongnya pintu yang hanya setengah tertutup itu. Kini kedua matanya harus siap berhadapan dengan gambaran seorang gadis yang tengah menangis di atas kasurnya.
Gadis itu tidak dalam keadaan berbaring—terduduk dalam posisi kedua tangan yang memeluk kakinya. Pundaknya bergetar, bergerak naik turun. Suara isakan adalah satu-satunya harmoni yang terdengar. Rambut pirang itu terurai sedemikian rupa, tampak kacau dan kehilangan sinarnya.
Begitu sang pengamat itu mengalihkan sejenak pandangannya, ia kini bisa melihat sosok pemuda yang selalu terlihat di sekitar sang gadis.
Pemuda itu tampak terpukul. Ekspresi wajahnya mengeras, tangannya mengepal. Tapi di sisi lain, sorot matanya begitu sendu, menyiratkan kesedihan dan penyesalan.
Isakan masih membahana tapi itu tidak cukup untuk membuat sang pemuda mundur. Bagaikan didorong oleh tangan tidak terlihat, pemuda itu mulai berjalan mendekat. Tangannya sudah terulur saat mendadak, ringkihan suara parau menghentikannya.
"Ja-jangan…."
Pemuda itu hanya terdiam di tempatnya.
"Pergi…."
Pemuda itu masih membatu. Entah dia tidak mendengar suara yang bagai cicitan itu atau ia memang tidak mau mendengarnya. Penolakan. Pengusiran. Bukan dalam nuansa candaan. Ini adalah konteks dimana gadis itu sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Dan Shikamaru bukan orang yang begitu tumpul sampai ia tidak bisa membedakannya.
Namun tetap saja, sesuatu yang jauh di lubuk hatinya mengatakan bahwa ia tidak boleh meninggalkan gadis itu sendiri. Tidak sekarang. Bukankah ada kepercayaan yang mengatakan bahwa segala yang terlontar dari mulut seorang gadis adalah ungkapan yang berkebalikan dari apa yang sebenarnya dibunyikan hatinya?
Apalagi di saat yang begitu membuat hancur seperti ini.
Korban pemerkosaan.
"Pergilah, Shika. Kumohon…."
"Tapi, Ino…."
"Tinggalkan aku sendiri!" teriak Ino tiba-tiba. Kepalanya terangkat, memperlihatkan bagaimana aquamarine itu telah kehilangan binarnya. Kusut dan kacau adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan fisik gadis itu. Bukan hanya fisiknya. Psikisnya pun mungkin tidak kalah berantakan dari segala penampakan yang dapat tertangkap oleh mata telanjang.
"Ino, dengarkan aku..."
"Tidak! Aku sudah kotor, Shika!" geram Ino lagi dengan air mata yang semakin membasahi kedua pipinya. "Aku sudah… kotor…."
"Aku tidak pernah…."
"Aku kotor, Shika…." Terisak, Ino berhenti sesaat. "Kumohon… tinggalkan saja aku…."
Merasa tidak dapat menahan dirinya lebih lama, Shikamaru tidak lagi berpikir panjang. Ia langsung menerjang gadis yang tengah rapuh itu, memeluknya hangat dan membelai rambutnya.
"Ino… ten—"
Namun yang terjadi selanjutnya membuat Shikamaru hancur.
Ino mendorongnya, sekuat tenaga. Di matanya terlihat ekspresi ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat—tidak dapat disembunyikan.
Shikamaru terkejut.
Demikian pula Ino sendiri.
Tangan mungil bak porselain yang dijadikan sebagai pertahanan di depan mulutnya itu bergetar semakin hebat, seakan tinggal menunggu waktu sampai sang empunya benar-benar hancur. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat, hanya bertukar kata melalui pandangan yang tampak chaos. Keduanya tampak masih berusaha untuk saling mengerti, nyatanya, pikiran masing-masing membuat keduanya tidak dapat memahami pesan tersirat dari pasangannya.
"Go-gomen, Shika…." Suara itu semakin terdengar rapuh, seiring bertambah derasnya air mata. "Gomen…."
"Aku…." Shikamaru menelan ludah, "Aku akan meninggalkanmu sebentar. Mungkin… ah, bukan! Kau butuh istirahat."
Ino masih saja meracau, terus mengucapkan maaf yang nyaris berupa bisikan. Bersamaan dengan itu, ia pun mengalihkan pandangan ke bawah sebelum kedua tangannya menutupi nyaris seluruh wajahnya. Isakan semakin intens terdengar, pundak kecil itu pun mulai bergerak naik turun kembali dengan tempo cepat.
"Aku… akan ke sini lagi nanti…."
Hanya isakan keras yang menjadi jawaban. Sang pengamat pun tidak tahan untuk tidak memejamkan matanya. Sesuatu terasa menusuk relung hatinya, melukainya secara psikis, membuatnya dipenuhi rasa sesak yang siap membuncah dalam bentuk air mata.
Kini yang terlihat dalam bola mata pengamat itu hanyalah kamar kosong yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia tahu, ia sangat tahu bahwa di dalam ruangan itu—kamar itu tidak ada lagi kehidupan. Tidak ada sama sekali.
Selain dirinya.
Hanya dirinya.
Kakinya kembali melangkah ke sebuah ruangan lain yang berada di kamar dengan pernak-pernik yang nyaris serba ungu itu. Suara alir yang mengalir kini semakin terdengar jelas. Dan sesosok berambut pirang kini tampak memejamkan matanya dengan kepala yang menempel di pinggiran bath-tub. Sebelah tangannya tampak terpangku di atas pahanya yang bersimpuh. Sebelah yang lain tidak terlihat karena tenggelam dalam air yang mengepul di dalam bath-tub—air panas yang kini berwarna kemerahan.
Bercampur dengan darah.
Sang pengamat itu pun berjalan mendekat ke arah sosok yang sudah tidak sadarkan diri itu. Ralat. Tidak akan pernah sadarkan diri.
Diabaikannya kakinya yang terasa basah akibat genangan air yang membanjiri ruangan yang merupakan kamar mandi tersebut. Dibungkukkannya tubuhnya untuk mengambil sebuah benda berkilat yang begitu menarik perhatiannya. Setelah itu, disimpannya benda tersebut dalam saku celana panjang hitamnya.
Sesaat, mata yang berwarna cokelat gelap itu terpaku pada sosok—tepatnya mayat—kekasihnya. Air mata perlahan membasahi wajahnya saat ia melihat lebih jelas sosok itu. Tanpa isakan, air mata itu terus saja mengeluarkan tanda berduka. Terus dan terus. Dan walaupun dalam buram, mata itu masih bisa dengan jelas menangkap objek yang mampu membuatnya tidak berpaling satu senti pun.
Gadis berkulit pucat, tanpa nyawa… dalam balutan busana pengantin.
Putih dengan bercak merah.
Ternoda.
Tanpa berkata-kata lebih lanjut, kedua tangan kekarnya mulai merengkuh sosok yang sudah tidak akan melawan tersebut. Diangkatnya sosok itu dalam posisi bridal-style seakan berusaha menyesuaikan diri dengan gaun putih mengembang yang dikenakan sang gadis.
Meskipun terasa ringan, bagaikan menggendong udara, sang pengamat dengan rambut hitam sebahu yang terurai itu tetap membawa gadis dalam gendongannya dengan langkah yang berhati-hati sebelum ia meletakan sang gadis di atas kasur yang berada di tengah ruangan.
Dirapikannya gaun sang gadis dengan telaten, dihilangkannya lipitan-lipitan yang membuat gaun tersebut terlihat kusut. Kemudian, dilipatnya kedua tangan gadis itu di atas perutnya. Selesai melakukannya, ia pun merapikan rambut pirang sang gadis, mengaturnya hingga tertata dengan rapi, membingkai wajah yang kecantikannya tidak juga pudar meskipun aquamarine itu sudah tidak dapat lagi berpendar.
Sesaat, ia terdiam untuk mengobservasi hasil kerjanya sebelum kemudian ia pun membelai pipi tirus sang gadis yang sudah berhari-hari dibasahi oleh air mata. Lalu dengan ibu jarinya, pemuda itu—sang pengamat—menyentuh bibir pucat yang terkatup. Dielusnya bibir tersebut sekilas sebelum ia merendahkan kepala untuk memberikan sebuah kecupan singkat.
Tetap manis.
Samar amis darah itu sama sekali tidak digubrisnya.
Dari bibir, pemuda itu merambah pipi sang gadis dan kemudian keningnya. Terakhir, bibir itu kembali melumat bibir dingin yang sama sekali tidak memberikan respons.
Perlahan, di antara kedua bibir itu pun tercipta jarak. Pemuda tersebut kembali menegakkan tubuhnya. Punggung tangannya masih sempat membelai pipi sang putri yang telah tidur selamanya itu dengan lembut. Sebuah senyum—yang kontras dengan air matanya—kini menghias wajahnya.
Pemuda itu pun berjalan mantap, keluar dari ruang tidur sang putri. Dengan nestapa yang belum juga hilang.
Kini, matanya yang perlahan surut dari air mata, memberikan suatu pemandangan jelas dan nyata akan suatu sosok lain yang terbaring kaku di dekat meja pendek hitam yang tidak juga berubah posisinya—di tengah-tengah sofa dan televisi.
Mungkin memang semua hanya kebetulan.
Di hari ulang tahunnya, bagaikan sebuah kado tak terduga, salah satu temannya yang berprofesi sebagai polisi meneleponnya hanya untuk memberitahukan bahwa keberadaan pelaku pemerkosaan yang begitu dibencinya telah berhasil dilacak. Tapi kado tidak terduga itu harus didampingi oleh kebetulan lain dimana ia menemukan kekasihnya tewas bunuh diri saat ia hendak mengabarkan berita tersebut.
Kebetulan yang sangat pahit bahwa tragedi itu terjadi sekarang. Sekali lagi, di hari ulang tahunnya. Kebetulan yang tidak kalah pahitnya bahwa kekasihnya tersebut sudah memesan sebuah kue ulang tahun yang diantarkan tepat sesaat setelah ia menemukan tubuh tak bernyawa itu di kamar mandi. Dan kebetulan yang juga terbilang pahit—bahwa saat itu sebuah ide langsung merasuk ke dalam benaknya.
Bisikan iblis.
Akal sehatnya, kejeniusannya, semua seolah menguap begitu dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang bergerak begitu cepat dalam benaknya. Bukan dalam faktanya karena aliran waktu tetap berjalan sebagaimana biasa.
Tapi bagi Shikamaru, semua kejadian ini berlangsung terlalu cepat.
Kematian Ino adalah pemicu yang membangkitkan insting terliarnya. Kegilaannya.
Peduli setan dengan semua! batinnya mengumpat.
Ia pun mendekati sosok yang terbujur kaku di dekat meja pendek tersebut. Pemuda itu berjongkok, membiarkan helaian rambut hitamnya yang terurai berjatuhan tidak beraturan. Sigap, ia pun mulai melucuti seragam berwarna biru milik sang pengantar kue. Meskipun demikian, sebuah benda yang semula tersimpan dalam sakunya tidak lupa ia keluarkan dan ia simpan di saku celana seragam kebiruan yang kini telah ia kenakan.
Dalam sekejap, sosoknya sudah berubah menjadi seorang pengantar kue. Lengkap dengan sebuah topi yang dapat sedikit membuyarkan garis wajahnya
Matanya kini melirik ke sebuah kotak berwarna putih yang masih bergeming di atas meja. Sesaat, ia tampak ragu untuk memulai rencananya. Ia hanya berdiri diam dan terus memusatkan seluruh atensi yang ia punya pada kotak putih tersebut.
Kini arah pandangnya pun tertumbuk pada secarik kertas dengan warna yang cukup mencolok di atas kotak tersebut. Didekatinya kotak tersebut dan mulai dibacanya huruf demi huruf yang melekat erat pada kertas berwarna merah jambu.
Happy birthday, Shika! Love you so! Marry me, soon!
Haha, kidding.
Just wish you all the best!
Ps : what if I said that the last sentence on the first line is not a lie? You know, I hope you will soon finish all of your damn businesses and we'll be happy together in no time. Happily ever after!
Can't wait till that day come.
xoxo
Yamanaka "Nara" Ino
Kata-kata yang bergulir dalam benaknya itu tervisualisasikan sedemikian nyata, disertai senyuman manis yang dirindukan Shikamaru. Senyuman polos yang kekanakan namun tidak dapat dipungkiri, begitu menggoda Shikamaru untuk bisa segera melumatnya.
Senyuman… yang tidak akan bisa lagi dilihatnya.
Dengan itu, semua keraguannya pun sirna. Ditariknya kertas tersebut dan disisipkannya dalam saku yang lain, yang berbeda dari benda mengilat yang bagaikan jimat baginya.
Kini ia siap bergerak.
Neraka berwarna merah menyala sudah terbayang di hadapannya, menarik paksa semua kendali yang menjadi kunci bagi akal sehatnya.
Dan ia tidak akan mundur.
***TBC***
Erik Erikson : Salah satu tokoh psikologi yang terkenal dengan 8 tahapan psikososialnya =w=b
Eah! Lagi-lagi fic ulang tahun dengan tema yang nggak kayak ulang tahun. Haha. Kali ini tragedy, deh. Duh, sempet dilema tadinya mau bikin gimana, tapi akhirnya jadi kayak gini. Humh… Apa ada yang nggak mengerti dengan plot di atas? Membingungkan, ya? Tapi moga-moga sih pada ngerti. Hehe.
Singkatnya sih, semua adegan ShikaIno yang saling ngobrol di atas itu hanya ada dalam bayangan Shika. Dia jadi kayak ngeliat ke masa lalu, di saat-saat Ino masih hidup. Kurang lebih gitu konsepnya.
Oke, fic ini akan jadi two-shots. Satu lagi bakal dipublish pas ultah Ino a.k.a besok. So, please stay tune.
For now, please gimme your opinion bout this chapter. Douzo! :D
I'll be waiting.
Regards,
Sukie 'Suu' Foxie
~Thanks for reading~
