Hallo, Minna! Masih inggat dengan wa?
Aupu: udah lupa.
Wa: TTATT jahatnya kamu, Pu...
Aupu: *hilang dalam keterangan*
Wa: Cih...
Nama buah-buahan? Berambut coklat panjang acak-acakan? Berkacamata? Terlihat sakit? Tertutup? Kalem? Dan semua itu, tentu saja, adalah aku...
Namaku Guava, yang artinya Jambu. Buah manis yang memiliki warna yang segar, berwarna hijau, dengan daging berwarna merah, dan bentuknya yang unik. Sayangnya, aku tidak sesegar warna itu, aku tidak sesemangat warna daging itu, dan bentukku sama sekali tidak unik.
Tidak seperti orang lain, kurasa...
.
"Ukh... Gu-nee..." sapa seorang anak kecil, berambut biru dengan wajah yang lemas, menghampiriku.
"Runi... Ada apa? Kau belum tidur, ini sudah jam-mu untuk tidur..." ucapku sambil tetap membaca bukuku.
"Ukh... Zzz..."
Akhirnya tidur juga, dia memang tidak bisa memaksakan dirinya. Saat ini aku sedang duduk dikamarku, ditempat tidurku. Dan Runi, terlelap disampingku. Sudahlah, aku tidur di sofa saja. Aku menutup bukuku dan kutaruh dikolong kasurku, lalu beranjak pergi ke ruang tamu.
Aku menutup pintu kamarku dengan sangat perlahan agar dia tidak terganggu dalam tidurnya. Kuharap dia baik baik saja disana... Aku berjalan kearah sofaku dan membaringkan tubuhku disana. Aku mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa... Aku melirik kearah jam, masih jam sembilan malam.
Dengan kata lain aku belum bisa tidur. Aku kembali berdiri dari sofaku dan berjalan kearah kamar, membuka pintu secara perlahan lahan, tidak terganggu. Aku berjalan kearah kasurku dan mengambil kembali bukuku dikolong kasur.
Lho?
Tidak ada? Kemana ya?
"Ugh...?" suara ini... Aku menaiki kepalaku dan melihat Runi sedang memegang bukuku dengan kedua tangannya, karena buku itu terlalu besar untuk satu tangan.
"Itu bukuku, dan itu berbahaya" ucapku, mengambil buku itu dengan pelan dari kedua tangannya.
"Ukh...?"
"Aku tahu kau juga inggin, tapi jangan yang ini baik?"
"Ukhkuh? Khu ukh..."
"Besok akan kubelikan..."
Aku mengelus rambut birunya, dia memejamkan matanya sambil menikmatinya. Enak ya jadi anak kecil, tidak boleh dikejam atau dimarahi.
SRAK...
"Ukh?" kaget Runi, segera membuka kedua matanya dan menoleh kearah pintu.
"Ada apa ya... Mungkin tikus..." sahutku meyakinkan.
"Ukh...?"
"Takut ya? Tapi kamu sudah sangat mengantuk, biar aku yang membereskan ini"
"Kuh!" jawabnya memaksa matanya terbuka. Padahal dia tidak mungkin bisa. Ya sudahlah...
"... Baiklah... Jika kau mau ikut"
Dia meloncat dari tempat tidurku dan aku segera mengenggam sebelah tangannya yang mugil. Sambil memeluk buku aku berjalan kearah pintu. Aku mendorong pintu itu dan melihat sekeliling, malam ini memang cukup menyeramkan, tapi aku suka... *Yandere mode: on*
GLEGAR!
"Kuh!" teriak kaget Runi mengenggam erat tanganku.
"..."
Aku mau tahu malam ini akan ada hujan lebat... Sudahlah, aku mencoba mencari suara itu, karena suara itu tidak berbunyi sama sekali. Aku melihat pintu belakang, aku melihat bayangan aneh disana. Bergerak gerak seperti menari.
Runi semakin pucat, mengantuk, dan dia semakin mempererat genggaman tangannya. Bayangan hitam itu terus menari nari tanpa musik, aku melangkah pelan kearah itu, dia belum menyadari kehadiranku sama sekali... Aku mendekat semakin dekat, mencoba mendorong pintu itu.
Aku bisa merasakan udara semakin dingin dan juga tangan Runi yang gemetaran. Runi gemetaran mungkin karena udara terlalu dingin. Tahan sebentar ya Runi... Tunggu, buat apa aku bicara pada diriku sendiri?
"Ukh..." Runi mengeluarkan suara dan membuat bayangan itu tiba tiba menghilang.
"Ah..."
"Ukh! Kuh! Kuh!"
"Iya, aku tahu bukan salahmu kok... Ini salahku karena membawamu ketempat dingin seperti ini" aku menjawab dengan lemah, aku memang tidak bisa memarahinya...
Aku menghela nafas, aku membalik badanku dan segera terkejut lalu secara reflek terjatuh saat bayangan itu tiba didepanku. Lalu hilang lagi. A, apa apaan itu... Hantukah? Tapi syukurlah Cuma aku yang terjatuh, Runi masih berdiri dengan wajah mengantuk.
"Kau baik baik saja, Runi?" tanyaku memastikan.
"Ukh?" tanyanya balik binggung.
"..."
Dia tidak melihat bayangan itu, kurasa... Sudahlah, bayangan itu sudah hilang. Aku berjalan kearah kamarku lagi, kali ini Runi, harus tidur cukup. Aku akan merasa sangat menyesal dan bersalah jika Runi, menahan kantuknya.
Aku membuka pintu kamarku, dan dia segera melepaskan tanganku. Melompat kearah tempat tidur lalu segera menutup matanya. Segera terlelap, maaf telah membuatmu harus menahan kantukmu... Harusnya aku menolak ajakanmu.
Aku duduk disamping kasurku, sial... Aku juga jadi... Mengantuk... Aku menaruh kepalaku, menyender disamping kasur. Menutup mataku tanpa melepaskan kacamataku. Aku benar benar mengantuk...
Seketika aku menutup mataku, aku merasakan udara dinggin, dan suara hujan yang lebat diluar sana. Aku tidak membuka mataku, aku masih mengantuk... Tapi aku dapat merasakannya.
Beberapa waktu, aku merasakan... Kehangatan... Tadi dinggin sekarang menjadi hangat, aku merasa aneh inggin melihat tapi tidak bisa membuka mataku. Suara hujan lebat menjadi mulai terdengar kosong. Kosong sekali... Aku tidak dapat melihat apa apa. Tapi aku bisa merasakan juga mendengarkan.
Tidak ada apa apa selain keheningan dalam kehangatan. Dan akhirnya akupun bisa membuka mataku.
Walau masih 99% mengantuk dan 1% terbangun. Aku bisa sedikit melihat samar samar disekitarku. Terlalu samar... Tapi aku hanya bisa meyakinkan bahwa ini bukanlah kamarku. Kalau bukan kamarku, berarti...
Sekarang aku 40% terbangun, aku mulai bisa melihat sekitar dengan cukup jelas. Aku menoleh kearah belakang, melihat seorang Runi sedang tidur direrumputan. Sejak kapan kamarku jadi rerumputan? Dan apa lagi ini? Ini taman!
Walau sepertinya sangat berbeda. Aku berdiri dengan sempoyangan, menggeleng geleng kepalaku sehingga akhirnya tampak cukup jelas bahwa ini bukan manapun. Seperti aku diculik bersama Runi diluar Negeriku? Atau Kotaku? Ini gila dan sangat nyata.
"Anda berasal dari mana?" tanya seseorang menghampiriku.
"Tidak tahu, ini dimana?" tanyaku balik.
"Ini Lapangan Perang satu tahun yang lalu, dekat dengan Istana Bai Di" jawabnya.
"Istana? Lapangan Perang? Ini cukup membinggungkan"
"Jika anda inggin ke Istana Bai Di, itu terdapat diarah sana" orang itu menunjuk kebelakang, lalu mengangguk sedikit dan berjalan melewatiku.
He kind of pissed me on. Aku bahkan tidak mengerti tapi sudahlah, mungkin cukup dengan bertanya dan aku akan dapat menyelesaikan ini. Aku tidak inggin Runi terjebak persoalan Perang atau Istana sekalipun.
Aku menunduk didepan Runi yang masih pulas, mengoyang bahunya berkali kali, kesekian kalinya. Hingga akhirnya dia membuka matanya, walau masih melek. Dia melihat sekeliling dan merasa aneh.
"Kuh...?" tanyanya binggung.
"Aku juga binggung, lebih baik kita pergi dari sini... Baik, Runi?"
"Uh"
Dia mengangguk pelan dan berdiri ditempat, aku mengenggam tangan mugilnya dan berjalan kearah yang ditunjuk oleh orang itu. Tidak berbahaya bukan...
Beberapa waktu, aku sudah bisa melihat gerbang yang sangat besar, diawasi oleh penjaga. Hanya dua orang, kurasa ini tempat yang tidak baik baik saja...
"Ukh...?"
Penjaga itu reflek menghunuskan tombaknya yang panjang. Aku melepaskan tangan Runi, dan memegang bukuku.
"Hah... Aku tidak inggin ini sebenarnya..." sahutku, membuka bukuku dan secara ajaib mengeluarkan sebuah pedang berwarna hitam dan menusuk mereka berdua.
"Uh..." Runi ketakutan melihat apa yang telah kuperbuat. Lihat? Aku memperlihatkan yang seharusnya tidak kuperlihatkan.
"Ayo kita masuk, Runi"
Runi mengangguk pelan, aku kembali mengenggam tangannya dan mendorong gerbang itu, berat. Jadinya tidak mau terbuka... Aku mencoba lagi membuka bukuku dan mengeluarkan satu pedang hitam, pedang itu segera menusuk gerbang dan membuka gerbang berat itu.
Aku berjalan masuk dan melihat lihat, aku harus mencari seseorang yang dapat membantuku. Segera aku melihat seorang perempuan sedang bermain main dengan kucing. Begitu banyak kucing, kurasa aku bisa bertanya kepadanya, dia tidak berbahaya untuk Runi.
"Permisi" ucapku menghampiri perempuan itu, perempuan itu segera menoleh kearahku dan berhenti bermain dengan kucing kucingnya.
"Ya?" balasnya dengan senyum.
"Ini dimana?" tanyaku, walaupun sepertinya aku sudah diberitahu oleh orang itu.
"Ini Istana Bai Di! Di Kerajaan Shu!" balas kembali perempuan itu dengan semangat sambil berdiri.
"Benarkah...?"
"Aha! Hei, kau membawa seorang gadis yang sangat lucu! Siapa namanya?"
"Ukh...? Runiii..." jawab Runi agak kaget.
"Manisnya! Mirip kucing!"
"Kumohon, tolong diam"
"Eh, dan siapa namamu!?" tanyanya kembali, aku berpikir aku bertanya kepada orang yang salah.
"Aku Guava..."
"Gua Fa? Nama yang lucu!"
"Guava... G-U-A-V-A" balasku dengan nada cukup menyeramkan.
"Guava? Nama yang aneh..."
"Tadi kau bilang lucu, sekarang aneh"
"Hehe, aku Bao Sanniang!"
"Aku tidak pernah memintamu menyebutkan namamu"
"Ah, kau tidak bersahabat sekali!"
"Ya, memang benar..."
"Ukh? Kuh...?" ucap Runi yang dari tadi menyimpan semua omogan familiarnya itu.
"Hei! Kamu pasti pedatang baru! Ayo kita temui Yang Mulia! Ayo!"
Bao Sanniang berlari, dan mencoba untuk membuatku dan Runi mengikutinya. Aku tidak punya pilihan lain... Aku mengikutinya dengan Runi yang masih binggung dan menyimpan 100 pertanyaan. Hah, aku benar benar sudah salah orang...
.
"Hei, boleh saya tahu kenapa, Runi berbicara 'Ukh... Ukh...' tapi kamu mengerti?" tanya Bao Sanniang.
"Apa yang kau katakan?" tanyaku, menyalah artikan ucapannya.
"Eh? Saya salah berbicara apa?"
"Sanniang? Kamu sedang apa?" tanya seseorang segera menghampiri kami bertiga.
"Tuanku Suo~" sapa Bao Sanniang meloncat kearah lelaki itu.
"Runi, sebaiknya kita pergi" ucapku menarik Runi.
"Ukh..."
"Hei! Kita mau menemui Yang Mulia!" teriak Bao Sanniang.
"Mereka siapa, Sanniang?"
"Oh! Ini Guava, lalu ini Runi! Guava, Runi, ini Guan Suo!"
"Ouh" gumamku pelan.
"Ukh..." Runi hanya mengangguk
"Kalian berasal darimana?" tanya Guan Suo.
"Jangan dipertanyakan, kami tersesat" jawabku dengan suara sedikit malas.
Guan Suo meletakkan tangannya didagunya, sambil berpikir sesuatu. Aku mencoba untuk tetap tenang, orang asing. Mereka bisa saja mencelakai Runi, kalau itu terjadi, mereka akan segera kubunuh. Walau tampang mereka, seperti orang baik..
"Jadi, bagaimana Tuanku Suo?" tanya Bao Sanniang tidak sabaran sambil meloncat loncat rendah.
"Mereka tersesat, jadi sebaiknya biarkan mereka tinggal disuatu ruangan" jawab Guan Suo.
"Ada kamar kosong?" tanyaku penasaran.
"Yups ada! Dan beruntungnya disebelahku! Yippie!" jawab Bao Sanniang kegirangan.
"Beruntungnya dimananya..."
"Ahaha, maafkan dia... Dia memang selalu semangat" ucap Guan Suo dengan senyuman diwajahnya.
"Jadi, kalian tetap akan membawa kami ke Yang Mulia kalian?" tanyaku.
"Tidak, saya yakin, Ayah tidak akan menerima itu"
"Dan kami tidak bisa tinggal" sahutku dengan simple.
"Err, sedikit rahasia...?" bujuk Guan Suo, begitu juga Bao Sanniang.
"Entahlah, aku tidak mau Runi, terjadi apa apa selama disini" balasku.
"Hooray! Terima kasih!" ucap Bao Sanniang mencoba memelukku tapi kuhadangkan wajahnya dengan buku. "Saya bisa dapat teman sebelah kamar!"
"Terserah"
"Ukh... Khuh!" sorak Runi, sedikit senang. Tapi tetap saja dia tidak dapat tersenyum.
Selama Runi, baik baik saja. Itu oke untukku, tapi... Kenapa ya, aku bisa ada disini... Ditempat yang tidak familiar ini...
.
.
.
Fyuh! Sekarang tentang Guava! Mungkin ada yang bertanya kenapa Guava mengerti bahasa Runi, yang Cuma "Ukh", karena Runi itu... Nanti wa ceritakan. *ini Author minta dilempar dari tebing kayaknya...* FINE!
Runi adalah salah satu OC wa, Runi Ukhuri. Dia dipungut oleh Guava dan Guava harus menjaganya, namun Runi sebenarnya bukan anak biasa, dia bisa menyembuhkan luka, dan dia juga dapat mengerti bahasa orang orang sekitar. Jika inggin mengetahui persoalan Guava atau Runi lebih jauh, akan segera wa ceritakan disuatu Chapter *mungkin-plak*
Inggin menambah OC(Original Character)? Boleh, supaya lebih ramai. XD kalau tidak mau tidak apa apa, hanya promosi(?)
Runi itu tokoh yang tiba tiba muncul dipikiran wa, sedikit sama dengan salah satu tokoh game yang wa mainkan juga sih... -3-"
Terima kasih...
