Jin Junmian mendorong kereta belanjanya sendirian, berjuang keras menerjang kerumunan orang di supermarket itu. Ia baru saja pulang dari Amerika, dan sedikit tidak terbiasa dengan kerumunan orang seperti ini. Tetapi, pemandangan seperti ini-lah yang membuatnya tersenyum tanpa sadar, bahkan membuat moodnya semakin baik setelah mendengar dialek-dialek lokal kota tersebut. Ia tak tahu, apakah orang-orang yang baru kembali dari abroad sepertinya akan mengalami hal yang sama, gembira, namun bercampur dengan sedikit rasa berdebar.
Tujuh tahun! Waktu yang cukup lama!
Tunggu, bagaimana bisa Junmian yang baru saja kembali dari Amerika langsung bertemu dengannya? Tidak, Junmian pasti salah liat, itu bukan mereka!
Junmian memandang sepasang bayangan yang berdiri di dekat rak sayuran dalam diam. Sekali lagi, takdir memang suatu yang aneh, dan tidak terduga. Tujuh tahun lalu, mereka-lah yang membuat Junmian meninggalkan Tiongkok, menuju Amerika.
Segera Junmian memacu kakinya untuk meninggalkan tempat itu, sebelum hatinya terluka lebih dalam. Sepasang manusia yang ia lihat barusan, tampak mesra. Ah, pasti keduanya sudah menjadi sepasang kekasih sekarang!
Wu Yifan, dan Wu Yixing, nama yang berawalan sama, membuat Junmian berpikir bahwa mereka benar-benar kakak beradik kandung. Ah, bodoh sekali ia!
"Kami bukanlah saudara kandung. Keluarganya, dan keluargaku bertetangga dalam kurun waktu yang lama, dan kebetulan saja marga kami sama. Oleh karena itu, orangtuaku dan orangtuanya memutuskan memberikan nama yang mirip kepada kami. Beberapa tahun kemudian, orangtua Yifan meninggal dunia, dan pada akhirnya, keluargakulah yang mengadopsinya."
"Kau pikir kau dapat menang dariku? Aku dan Yifan sudah bersama selama dua dekade ini, dan perasaan kami, tentu lebih dalam ketimbang perasaanmu kepadanya."
"Jin Junmian, hari ini aku ingin mengatakannya dengan jelas kepadamu. Aku, Wu Yixing, mencintai Wu Yifan. Aku tak ingin mencintainya dalam diam lagi."
Tahun itu, di saat umur Junmian menginjak angka sembilan belas, sahabatnya, Wu Yixing, yang pendiam dan introvert, tiba-tiba saja mendeklarasikan hal tersebut secara gamblang. Yixing, yang sebelumnya tidak ambisius dan pengalah, mendadak saja mengeluarkan perkataan seperti itu. Sudah pasti, cintanya kepada Yifan besar sekali.
Junmian bisa saja melawan Yixing, tapi ia sudah kalah telak di awal. Pada akhirnya, Junmian hanya bisa melarikan diri ke Amerika.
Wu Yifan—tidak disangka Junmian akan mengingat kejadian itu, di saat mata dingin itu menatapnya tajam, seraya mengucapkan beberapa kata laksana belati. Sakit, itulah yang selalu Junmian rasakan, ketika mengingat malam terakhir ia bertemu Wu Yifan.
Mereka berjalan ke arahnya, membuat buku-buku di tangan Junmian memutih akibat kencangnya cengkraman di kereta belanja tersebut. Ia harus kabur secepatnya! Sayangnya, supermarket itu terlampau ramai, dan itu artinya, Junmian tak akan bisa kabur kemanapun. Junmian tersadar, mengapa ia harus menghindari kedua orang itu? Ia seharusnya bisa menyapa "Hai, lama tak jumpa." dengan tenang, sebelum melangkah pergi dengan anggun.
Terlebih lagi, mereka mungkin tak akan mengenal Junmian. Ia telah berubah banyak. Rambutnya yang biasanya cepak hitam, telah terganti dengan rambut merah berponi. Kulitnya yang putih pucat, sudah tergantikan dengan kulit sawo matang akibat panasnya matahari California. Kaos v-neck berwarna putih, celana jeans belel, dan sepatu olahraga yang ia kenakan, juga membuatnya ia menjadi berbeda tiga ratus enam puluh derajat dari sebelumnya.
Oh tidak, mereka berjalan mendekat Junmian! Kemudian…..eh? Melewatinya?
Seseorang seperti berkata, "Yifan, kau mau kacang?"
Junmian tak dapat mendengar jawabannya. Padahal, ia begitu merindukan suara Yifan, yang begitu dalam dan tenang. Suara yang selalu ia simpan di dalam hati, bahkan ketika ia berkelana ke negeri orang sekalipun.
Dengan kepala tertunduk, Junmian melangkah.
Dan….."Brak!"
Kencang sekali suara yang dihasilkan oleh tumpukan sabun yang jatuh berantakan. Tersangkanya hanya bisa menatap polos hasil perbuatannya. Sabun batangan yang jumlahnya banyak itu kini tercecer tak karuan, membuat pandangan orang-orang semua tertuju padanya.
"Astaga! Ini sudah yang ketiga kalinya hari ini!" perempuan gemuk yang sepertinya adalah pegawai supermarket itu muncul dengan omelan.
Orang-orang membentuk kerumunan untuk melihat langsung Junmian yang menunduk meminta maaf berkali-kali, tak terkecuali dengan Zhang Yixing.
Yixing berusaha menajamkan matanya, berharap ia tak salah mengenali orang. Junmian, telah kembali ke Tiongkok?
"Yixing?" Yifan cukup terheran melihat sikap Yixing. Penasaran, matanya-pun terarah pada seseorang yang juga ditatap oleh Yixing.
Pria bertubuh tinggi terdiam.
Itu, bukannya Jin Junmian?!
Tubuh mungil pria yang sedang menundukkan kepala itu, sudah tentu Jin Junmian! Raut mukanya terlihat sangat menyesal, tetapi matanya, tetap memancarkan tatapan jahil khas Junmian. Bahkan di saat Yifan tak dapat melihat jelas wajah Junmian, ia tetap mengenali sorot mata itu. Yifan jelas ingat dengan tatapan yang membuatnya benci itu.
Setelah tujuh tahun, pria mungil itu akhirnya menemukan jalan pulang.
Yifan mengalihkan pandangannya, "Yixing, ayo pergi."
Yixing bukannya tak terkejut dengan sikap tenang Yifan, "Kau tak ingin menyapanya? Mungkin…"
"Dia bukanlah bagian dari hidupku lagi, setelah sekian lama." nada suara datar.
Yixing menatap Yifan dengan hati-hati, tetapi ia tetap tak menemukan arti dari nada datar itu. Tak ada lagi yang dapat dilakukannya selain menghela nafas, "Ayo."
Sekali lagi Yixing menatap Junmian, yang dengan tak terduga juga menatapnya. Junmian mematung, tetapi tak lama kemudian senyumnya mengembang, seraya menyapa Yixing dengan anggukkan kepala.
Yixing berbalik, "Yifan!"
"Hmm?"
"Dia…" Yixing tak menemukan kata yang tepat, dan kembali berbalik menatap Junmian. Sayangnya, Junmian keburu menghilang dari pandangan matanya.
"Ya, Yixing?"
"Tidak. Tidak apa-apa." Yixing menggeleng. Ia berpikir, kenapa Junmian pergi begitu saja, padahal mereka saling menyapa dengan anggukan?
.
.
.
"Junmian, kenapa kau memilih Shanghai?" editor-in-chief dari majalah Treasure—tempat Junmian melamar sebagai fotografer, bertanya.
Junmian juga tak tahu jawabannya. Kenapa? Apa karena ia pernah berkuliah di Shanghai selama setahun lebih? Atau, karena Shanghai adalah tempat bertemu dengan Yifan? Atau, karena apa?
Yang Junmian tahu, Shanghai adalah kota pertama yang ia pikirkan ketika memutuskan kembali ke Tiongkok. Awalnya, Junmian memang berpikir, bahwa ia pasti akan dapat bertemu Yifan di kota ini, tetapi itu hanya pikiran bodohnya. Karena beberapa hari yang lalu, Junmian dapat melihat jelas, Yifan bukanlah miliknya lagi.
Yang penting, ia sudah bertemu dengan Yifan.
"Entahlah. Mungkin karena aku tak mungkin kembali ke Changsha." Junmian menjawab, akhirnya. Changsha, adalah kota dimana ia dilahirkan. Tetapi, apa pentingnya ia kembali ke sana, di saat ayahnya sudah menjadi mayat?
Baixian, sang editor-in-chief tersebut memandangnya janggal dalam waktu yang lama, sebelum memuji-muji Junmian yang dulunya bekerja mapan di salah satu majalah California.
"Itu hanya majalah kecil." Junmian merendah.
Hingga pada akhirnya, Junmian diterima sebagai fotografer di sana.
.
.
.
Junmian hampir saja kehilangan nyalinya berkunjung ke supermarket, takut-takut ia bertemu dengan mereka lagi. Tapi ia mau tak mau harus kembali ke tempat itu—dapurnya perlu diisi dengan makanan, tentu saja.
"Tuan, bisakah anda ikut denganku sebentar?" seorang petugas keamanan menghampirinya.
Junmian mengkerutkan dahi, dan sudah berpikiran negatif tentang itu.
"Tuan, aku tak akan berbuat macam-macam. Aku hanya ingin bertanya, apa kau kehilangan barang, beberapa hari yang lalu?"
Junmian baru saja kembali ke Tiongkok, dan baru sekali mengunjungi supermarket ini. Apakah, barangnya memang terjatuh saat ia berusaha kabur dari kedua pria itu? Dengan penuh rasa penasaran, Junmian akhirnya mengikuti si petugas keamanan, menuju post. Dan setibanya di sana, petugas keamanan tersebut menyodorkan sebuah dompet hitam—Junmian dapat mengenalinya sebagai dompet mahal.
"Ah, ini bukan dompetku." Tanpa melihat isinya pun, Junmian tahu, dompet itu bukan miliknya. Lagipula dompetnya memang terkungkung aman di tas.
"Buka dulu dan lihat isinya." si petugas kemanan berkata dengan suara lebih kencang.
Junmian membukanya dengan takut-takut, dan benar saja, ia melihat foto dirinya di sana.
"Tuan, itu dirimu kan?" si petugas keamanan itu menunjuk. "Walau kau sekarang terlihat berbeda, tapi aku dapat mengenali jelas, itu adalah wajah Tuan."
Tentu saja foto itu berbeda dengan Junmian sekarang! Foto itu, seperti diambil saat Junmian masih berkuliah di Shanghai. Rambutnya masih cepak, dan senyumnya terlihat bodoh—oh mengapa Junmian baru menyadarinya sekarang.
Sebentar, bagaimana fotonya bisa berada di dompet ini?
"Ini benar-benar bukan dompetku." Junmian menyodorkan dompet itu kembali.
"Bukankah orang di foto itu adalah Tuan?"
"Ini memang aku. Tapi dompet ini, bukan milikku." jelasnya.
"Mungkin dompet ini adalah milik seseorang yang kau kenal, Tuan. Atau mungkin saja, pemilik dompet ini adalah penggemar rahasiamu."
"Tapi…."
"Ambil saja dompet ini, Tuan. Mungkin kau memang mengenal pemiliknya."
Tak bisa berkutik lagi, Junmian-pun memilih mengalah dan membawa dompet hitam mahal itu pulang.
.
.
.
Junmian baru saja menyelesaikan ritual mandinya, ketika ia teringat dengan dompet hitam mahal itu tiba-tiba. Dompet itu memiliki design klasik, simple, dan elegant. Namun anehnya, isinya tak banyak, hanya sekitar lima ratus reminbi saja.
Penasaran, Junmian akhirnya mengeluarkan fotonya dari dalam dompet itu dengan hati-hati. Terdapat bekas stempel dari universitas tempatnya belajar dulu. Junmian menduga, foto itu didapatkan dari dokumennya semasa berkuliah dulu. Ia kembali terkejut setelah membalik foto itu, dan mendapati tulisan di sana. Ia tentu tak dapat melupakan tulisan siapa itu.
Itu adalah tulisan pria tinggi yang sangat dicintainya—dengan tinta hitam yang memudar.
MY SUNSHINE
.
.
.
Hari itu mungkin adalah hari tersibuk Junmian dalam beberapa hari belakangan. Cara kerja orang Tiongkok, memang jauh berbeda dengan orang Amerika, yang cenderung cepat dan lugas. Untung saja Junmian sudah terbiasa bekerja keras di California sana.
"Junmian, aku mencarimu sedari tadi."
Junmian baru saja kembali dari ruang milik Baixian ketika seseorang memanggilnya dengan sangat kencang.
"Ada apa, Shiyuan?"
Shiyuan adalah salah satu fotografer senior andalan Treasure.
"Istriku akan melahirkan. Bisakah kau menggantikanku memotret supermodel Tao nanti?"
Tao? Junmian memandang ragu, "Aku bisa saja. Tapi kudengar, Tao adalah orang yang temperamental. Ia mungkin akan marah besar jika tahu aku menggantikanmu memotretnya."
Shiyuan kembali berpikir," Cobalah dulu. Jika ia benar-benar mengamuk, hubungi aku."
Hingga dua jam kemudian Junmian bertatap muka dengan Tao yang elegant dan glamour.
Junmian mematung. Ia tidak familiar dengan muka selebritis Tiongkok, dan jelas tak pernah melihat foto Tao sebelumnya. Jadi…ia juga tak tahu Tao bermuka mirip dengan sahabatnya semasa berkuliah di Shanghai, dulu.
Sahabatnya adalah seorang anak laki-laki dari pesisir pantai yang polos dan ceroboh, sedangkan pria di hadapannya sekarang, adalah seorang dengan kaki jenjang, yang dari gerakan tangannya saja menandakan bahwa ia adalah perokok aktif yang handal.
Junmian tidak berani menebaknya, mungkin saja hanya mirip.
"Junmian, kau tidak mengenaliku?"
"….Zitao?"
Pria itu berdecak dengan sarkatis, "Jika bukan aku, lalu siapa lagi?"
"Junmian, kau mengenal Tao? Bagus sekali!" teman sekantor Junmian yang bernama Zhongdai bertanya dengan heboh.
"Saat kami masih berada di tahun pertama, Junmian tidur di bawah, sedangkan aku di atas. Kami teman satu kamar di asrama." kali ini Tao yang menjawabnya dengan malas. "Junmian, kaukah yang akan memotretku hari ini?"
Junmian mengangguk, masih dalam mode kagetnya.
"Ayo cepat dimulai sajalah." kata Tao dengan tidak sabaran.
Tao berubah banyak. Sembari memotret, Junmian juga memikirkan bahwa seseorang yang berada di balik lensanya, bukan lagi Zitao sahabatnya yang polos dan ceroboh. Lalu siapakah ia?
Setelah beberapa sesi, tiba-tiba saja Tao melambaikan tangannya, "Sampai di sini saja hari ini."
"Tapi Tao, masih ada…." managernya berbicara.
"Stop." kata Tao dengan suara lebih keras. "Junmian, ayo kita minum kopi bersama."
.
.
.
"Seharusnya kita lebih cocok meminum alkohol untuk pertemuan kembali ini, tapi sayangnya aku baru saja keluar dari rumah sakit, dan dokter melarangku mengisi perutku dengan alkohol. Aku hanya bisa minum teh, makanya aku memilih kafe ini." Tao berkata sesaat setelah waiter mengantarkan teh mint untuknya, dan vanilla latte untuk Junmian.
"Uh, kopi juga tak apa, dan kau seharusnya meminum susumu, Tao, ketimbang memilih teh mint itu" Junmian tidak tahu apa yang harus dia ucapkan, tetapi ia ingat betul Tao merupakan penggemar susu dan yoghurt. "Ah tapi kau adalah seorang model. Dietmu pasti tidak mengijinkanmu meminum susu yang berlemak banyak."
"Aku tidak pernah diet, Junmian." Tao tersenyum. "Faktanya aku adalah alcoholic."
"Zitao!" Junmian terkejut mendengarnya. Ia menarik tangan Tao dan mengelusnya dalam diam. Kenapa Zitao berubah sedrastis ini?
Zitao menarik tangannya malas, membuat Junmian terdiam. Semuanya menjadi sangat awkward.
"Zitao, kau berubah banyak."
"Ya. Kau masih ingat pria yang kusukai saat tahun pertama itu?" Zitao berbicara dengan suara dingin. "Aku menyatakan cinta padanya. Ia menerimaku, tetapi ia hanya mempermainkanku saja. Setelah itu, Zitao yang lama mati, tergantikan Tao yang sekarang."
Perkataan Zitao melukai hatinya., hingga lidah Junmian kelu dan tidak dapat berujar apapun.
Setelah beberapa saat, akhirnya Zitao berkata lagi, "Kau tidak berubah banyak, masih saja Junmian yang seperti ini. Tapi, bagaimana kau akhirnya kembali ke Tiongkok dan melepaskan kehidupanmu di Amerika, huh?"
Zitao menyadarkan Junmian akan kesalahannya. Hari itu, ia pergi tanpa meninggalkan satu pesan-pun, dan bahkan tidak berkirim kabar pada Zitao selama tujuh tahun. Junmian yang pantas disalahkan, karena ia tak menghargai persahabatan mereka. " Aku pergi terburu-buru, dulu…"
"Kau seharusnya mengucapkan itu kepada Yifan, bukan padaku."
Wu Yifan? Bagaimana bisa Zitao menyebutkan namanya? Junmian masih ingat jelas kejadian supermarket, dimana ia bertemu Yifan dan Yixing yang berlaku layaknya sepasang kekasih. "Ia tak mungkin peduli padaku."
"Tak mungkin peduli? Apa menurutmu semua orang sepertimu yang kejam dan berhati baja?" suara Zitao meninggi. "Ia mencarimu kemanapun hingga nyaris gila, saat minggu pertama kau menghilang. Setelahnya, ia terus menungguimu di gerbang asrama. Tapi apa yang ia dapatkan akhirnya?" mata Zitao menatap Junmian, tajam. "Beberapa orang suruhan ayahmu datang dan mengambil semua barang-barangmu yang tersisa. Mereka berkata pada kami, bahwa kau pindah ke Amerika, dan kemungkinan tidak akan kembali ke Tiongkok. Junmian, kau benar-benar kejam." Zitao terdiam sesaat. "Aku tak pernah melupakan bagaimana tatapan Yifan saat kejadian itu. Ia adalah pria pendiam yang tak pernah secara gamblang mengekspresikan dirinya. Tetapi hari itu, tatapannya hancur, seperti karang yang terkikis ombak."
Junmian mendengarnya, dan sedikit ragu. Benarkah itu kejadian yang sesungguhnya?
"Mungkin dia merasa menyesal."
"Jin Junmian, kau yang menyampakkannya dan pergi ke Amerika. Yang seharusnya merasa menyesal adalah kau."
"Zitao, kau tak mengerti."
"Aku tidak buta, Junmian."
Bibir mungil Junmian berhenti mengeluarkan suara. Bagaimana Zitao berpikiran ia yang menyampakkan Yifan? Itu tidak benar!
Sesungguhnya, Yifan lah yang pertama kali berkata…ia tak ingin bertemu dengan Junmian lagi. Ia juga berkata, lebih baik mereka tak saling mengenal dari awal, dan mengusir Junmian untuk pergi ke tempat yang lebih jauh.
Sungguh, Yifan lah yang mengusirnya!
Junmian berjalan sendirian, setelah mengucapkan selamat tinggalnya dengan Zitao. Bagaimanapun, ucapan ZItao masih terngiang di telinganya.\
"Yifan hidup sebagai bujangan, hingga saat ini. Dan setauku, Wu Yixing adalah adiknya, bukan kekasihnya."
Mereka bukan sepasang kekasih?
Junmian membuka telapak tangannya, sehelai kartu nama bertuliskan 'Li Zhang Wu Law Firm' bergeletak di telapak tangannya.
"Junmian, kau pasti membutuhkan ini."
.
.
.
Awalnya Junmian tak ingin pergi kemari, tetapi langkah kakinya menghianati egonya sendiri. Tanpa sadar saja, ia sudah tiba di depan 'Li Zhang Wu Law Firm'.
Resepsionis itu tersenyum penuh rasa menyesal, "Pengacara Wu sedang bertugas di luar. Apa Tuan sudah membuat janji dengan Pengacara Wu?"
Junmian tidak tahu, apakah ia merasa kecewa atau justru lega. "Tidak."
"Apa Tuan memiliki kepentingan dengan Pengacara Wu? Aku akan berusaha menghubunginya sekarang, atau…." wanita melirik jam dinding di belakangnya. "Tuan bisa menunggu Pengacara Wu di sini, sekitar satu jam."
"Ah, tidak tidak, tidak perlu. Aku akan datang nanti kapan-kapan." Junmian sudah melangkah keluar, tapi ia membalikkan badannya lagi. "Ini, dompet milik Pengacara Wu. Tolong sampaikan padanya, terima kasih."
.
.
.
"Junmian, apa perbedaannya bekerja di Tiongkok, dan di Amerika?" Ini adalah empat puluh menit pegawai Treasure sebelum mereka pulang kantor, di saat Lishu membuka mulutnya.
Junmian mengedarkan pandangannya, dan meyakinkan diri bahwa Baixian tidak ada di ruangan itu. "Gaji di Amerika lebih besar tiga kali lipat dibandingkan gajiku di sini."
"Ah, sayang sekali." sahut Mingyue.
"Apa kau menerima diskriminasi di sana?" tanya Lishu, lagi.
"Sedikit."
"Eh, diskriminasi adalah hal yang wajar." Xiao Yang menimpali. "Orang-orang Hongkong juga memandang rendah orang-orang dari Tiongkok daratan! Apalagi Amerika, yang jelas-jelas berbeda dengan kita." Xiao Yang memang baru saja pulang bertugas dari Hongkong, dan mengalami perlakuan tak mengenakkan di sana.
"Junmian….! Junmian…!" teriakan Zhongdai terdengar. Ia terlihat berlari terburu-buru mendekati meja Junmian dengan muka penuh peluh. "Junmian, ada seseorang yang mencarimu di bawah! Astaga, pria itu sangat tampan dan tinggi! Dan ia nampak seperti eksekutif muda yang kaya dan mapan! Junmian, kau baru saja kembali dari Amerika, tetapi dapat menarik perhatian pria tampan sepertinya?!"
Junmian sedikit mengernyit. Ia baru saja kembali dari Amerika dan bahkan belum sempat menemui teman-teman lamanya—kecuali Zitao. Dan, siapakah yang datang kemari mencarinya?
Ehm, itu bukan dia kan?!
Junmian berjalan tergesa, melewati lift, dan memilih menggunakan tangga.
Pria tinggi dan tampan itu berdiri tepat di depan meja resepsionis. Dilihat dari postur punggungnya-pun, Junmian dapat mengetahui bahwa itu adalah Wu Yifan. Tubuh tinggi itu segera berbalik ketika mendengar suara langkah kaki si mungil, berbalik menatap si mungil dengan pandangan sedingin es, sungguh berbeda dengan pandangan-pandangan penuh cintanya terdahulu.
Pantas saja Zhongdai sampai berteriak sehisteris itu. Jas Armani berwarna biru gelap yang Yifan kenakan memang dapat menunjukkan status sosialnya. Dan, wajah penuh kepercayadiriannya, seperti tak lekang di telan waktu. Yifan memang sangat tampan, Junmian akui itu! Namun di sisi lain, Junmian makin mereka sakit hati dengan kejadian yang menimpa mereka, dulu.
Karenanya, Junmian terdiam sesaat.
Kebalikannya, Yifan malah tersenyum tenang, menganggukkan kepalanya, seraya menyapa, "Tuan Jin."
Tuan Jin?
Junmian sangat ingin membalas senyuman itu, tapi bibirnya tak dapat digerakkan, entah kenapa. "Wu…..Tuan Wu." tangannya mempersilahkan Yifan, "Silahkan duduk, Tuan Wu. Hmmm…. Mau minum apa?"
"Tak perlu, terima kasih." kata Yifan dengan matanya yang dingin. "Aku akan segera pergi setelah berbicara beberapa patah kata."
"Oh, kau kemari mencariku?" Junmian sama sekali tak bernyali untuk memandangan sepasang mata itu. "Bagaimana kau tahu aku berada di sini?"
Yifan sempat terdiam selama beberapa detik, "Zitao, aku adalah pengacaranya."
"Oh…"
Suara Yifan berubah menjadi sangat pedas, "Beberapa hari yang lalu, Tuan Jin datang ke kantor, dan berkata akan kembali kapan-kapan. Tapi sayangnya, Tuan Jin tak pernah kembali, jadi kuputuskan untuk menemui Tuan Jin di sini."
Junmian terkejut, dan langsung mendongakkan kepalanya, "Bagaimana Tuan Wu bisa tahu?" Junmian bahkan tidak meninggalkan nama dan alamatnya, bagaimana pria itu tahu, Junmian yang mengembalikan dompetnya?
"Tuan Jin, kau gampang tertebak."
Mungkin, sebagai seorang pengacara, Yifan memang ahli dalam menganalisis kasus seperti ini, karenanya Junmian pada akhirnya berkata, "Ya, aku yang menemukan dompet itu, dan Tuan Wu harusnya tak perlu repot-repot datang kemari, karena dompet itu sendiri sudah kukembalikan beberapa hari yang lalu."
Mata Yifan membara, "Selain dompet, apa adakah yang lain?"
Yang lain? Yang lain, apa? Junmian terheran, "Tidak ada."
"Bagus sekali." Ada sedikit rasa kecewa pada pandangan tersebut. Pria tinggi itu berjalan mendekati si mungil yang kini menundukkan kepala. "Tapi menurutku, ada." Ia mengeluarkan dompet hitam mahal itu, dan menyodorkannya kearah si mungil. "Di dalam dompet ini, tersimpan selembar foto. Tuan Jin, apa kau mengetahuinya?"
Tentu saja Junmian tahu! Tapi sekali lagi, ia tak memiliki nyali untuk menghadai Wu Yifan. "Benarkah? Aku tak mengetahuinya." Kepalanya makin menunduk dalam.
"Oh?" Yifan mengernyit. "Di dalam dompet ini, tidak ada apapun selain uang dan foto tersebut. Bagaimana Tuan Jin tahu kalau dompet ini milikku?"
Junmian tidak dapat menjawabnya.
"Tuan Jin, bisakah kau mengembalikan foto itu sekarang?"
Hei, apa maksudnya? Di satu sisi, Yifan memberlakukannya sebagai orang asing. Tapi di sisi lain, pria tinggi itu justru meminta fotonya?!
"Orang di foto tersebut adala aku, jadi kenapa aku harus mengembalikannya padamu?"
"Tuan Jin, aku sarankan untuk tidak mendebatkan perkara kepemilikan barang, denganku."
Junmian benar-benar tidak mengenali Yifan yang seperti ini, dan ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. "Foto itu tidak ada di sini sekarang."
"Berikan padaku besok."
"Besok, aku ada…"
"Tuan Jin!" bentak Yifan. "Aku percaya, tidak ada seorangpun dari kita yang ingin berhubungan satu sama lain. Jadi, akhiri ini secepatnya."
Mengakhiri secepatnya? Junmian kembali terdiam sesaat, "Untuk apa Tuan Wu menginginkan foto itu?"
"Siapa tahu." muka Yifan menggelap. "Dengan foto itu, aku dapat mengingatkan diriku sendiri akan masa laluku yang bodoh."
Bodoh. Dasar Junmian bodoh! Apa yang kau harapkan dari Wu Yifan? Kau berharap Yifan masih mencintaimu, dan karena itu ia bersikeras untuk menyimpan fotomu?!
"Aku akan datang lagi besok. Dan kalau memang Tuan Jin tidak ada di tempat, Tuan Jin bisa menitipkannya di meja resepsionis." dengan itu, Yifan melangkah menjauh.
"Tunggu." cicitan Junmian menghentikan langkah Yifan. "Aku akan mengirimnya ke kantormu, besok."
"Bagus." Yifan menoleh dengan pandangan datar. "Terima kasih atas sikap kooperatifnya. Sampai jumpa.
TBC
.
Jin Junmian—Kim Junmyeon
Baixian—Baekhyun
Shiyuan—Shiwon
Zhongdai—Jongdae
Reminbi—RMB—mata uang Tiongkok—orang Indonesia mengenalnya sebagai Yuan
Dan mereka semua orang China ya bukan orang Korea xDDDDDDDDD
Semua EXO-L pasti mengenali judul ini dari film Tao.
Tapi bagiku, yang terlebih dulu membaca novelnya, mengenali ini sebagai karya masterpiece milik Guman jiejie yang ia selesaikan dalam waktu yang lama.
Novel ini adalah novel keduanya, setelah Wei Wei Yi Xiao Hen Qing Cheng—One Smile is Very Alluring, dan sebelum Shan Shan Lai Qi—Shan Shan Comes to Eat, juga Blazzing Sunlight (jujur aku belum selesai membaca karya terakhirnya, karena di China sendiri, bukunya belum selesai).
Dan dari semua novel Guman, aku paling memfavoritkan ini
Dari novel, aku berlanjut ke drama dan filmnya, tapi jujur saja, aku lebih menjagokan dramanya. Mungkin karena Guman terlibat langsung dalam penulisan skenarionya (atau mungkin karena Zhong Hanliang yang memainkan karakter He Yichen di dalamnya?). Tetapi bukan berarti filmnya tidak bagus juga—karena Yangmi sendiri adalah aktris China favoriteku (Sayangnya pemeran He Yichen dan He Yimei dalam versi filmnya adalah sepasang suami-istri di kehidupan nyata, and vice versa, chemistry di antara mereka lebih kuat ketimbang He Yichen dan Zhao Mosheng).
Intinya, setelah mengikuti novel, drama, dan filmnya, aku memutuskan untuk mengubahnya menjadi Krisho ver.
Dan ketimbang Shan Shan Lai Qi, novel ini lebih mudah untuk digubah.
Ada dua belas part dan tiga part epilogue, berdoa saja aku tidak akan mempetieskannya seperti fanfic2ku yg lain xDDDDDDDDDDDDDDDDD
Last, REVIEWS ARE LOVE /cipokmembabibuta/
