Ghastly
.
Gakuen Alice © Tachibana Higuchi
© 2011, August, Daiyaki Aoi
Genre: Mystery/ Horror
Rated: M (±13)
Chapter 1
Mikan duduk di tepi jendela apartemennya sambil memegang segelas Vanilla latte di tangannya. Ia melihat muram ke bawah. Melihat jalanan-jalanan sepi New York City yang bersalju. Mikan merapatkan kembali mantel oranye-nya. Cuaca hari ini begitu buruk sehingga Mikan tidak dapat tidur malam ini. Ia mengaduk pelan Vanilla Latte-nya, mengambil busa-busa, menjilatnya. Tidak ada yang dapat Mikan lakukan. Listrik di Apartemennya itu pun sedang gangguan sehingga penerangan saat ini hanya dengan lilin. Lampu emergency-nya kehabisan baterai sehingga tadi, Mikan harus mengorek-ngorek laci meja, kepalanya menabrak sesuatu dan tersaruk-saruk mencari korek api. Kalau saja, malam ini tidak ada gangguan listrik, Mikan pasti sudah mengerjakan artikel-artikel terbarunya.
Mikan menghela nafas lagi, entah untuk keberapa kalinya. Vanilla Latte-nya sudah habis. Mikan mengambil sebuah bantal berwarna ungu dan selembar selimut. Ia menutupi dirinya, memegang kuat-kuat pada selimut itu sampai-sampai nyaris robek. Sekujur tubuh Mikan gemetar lagi. Karena, AC penghangat sedang tidak berfungsi, ia hanya mengandalkan selimut dan penghangat tubuh.
'Semoga saja, penghangat ini tidak kehabisan baterai.'Harap Mikan. Ia mengambil sebuah kotak berwarna putih yang ia beli di Jepang dulu. Lalu, Mikan menyelipkan kotak tipis itu ke dalam mantelnya. Ah. Penghangatnya benar-benar berfungsi. Mikan kembali memeluk lututnya dengan kaku sambil bersenandung pelan. Ia sungguh kesepian. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi keras, menggema keseluruh ruangan apartemennya. Mikan terlonjak kaget. Ia menjawab teleponnya.
"Oh, dear."Erang Mikan.
"Kau baik-baik saja, disana?"Tanya seseorang diseberang sana. Atau tepatnya, seorang laki-laki.
"Oh, yeah. Listrik disini sudah padam lebih dari 5 jam, Natsume. Kapan kau sampai?"Balas Mikan.
"Aku sedang naik bus. Tunggu saja. Oh ya? Kudengar, kabel listrik-nya putus dan yang memperbaikinya sedang punya banyak urusan-oh, aku tahu dia hanya malas-malasan-jadi, begitulah."Jawab Natsume.
"Oke. Aku sedang menunggumu dan duduk di tepi jendela."Ujar Mikan.
"Bagus kalau begitu. See you later, honey."Natsume menutup teleponnya. Mikan hanya tertawa geli. Bagaimana tidak? Mereka baru saja menikah satu bulan yang lalu.
Mikan kembali bermuram durja. Matanya menyipit melihat kearah gedung pencakar langit di sebelah utara. Itu kantor New York Times. Tempat ia bekerja, membuat artikel, mencari kasus-kasus baru maupun yang belum terungkap sebelumnya dan mewawancara orang-orang. Natsume juga sama, ia bekerja di New York Times juga. Dengan profesi yang sama, namun lebih senior. Lama-kelamaan, mata Mikan mengantuk. Ia harus tidur. Harus. Mikan melirik jam di ponselnya, masih jam 9 malam.
Langit semakin gelap dan jalanan semakin sepi. Mikan berjalan sambil meraba-raba dalam kegelapan sambil terus merapatkan jaketnya. Udara semakin dingin. Mikan duduk diatas kursi meja makan dan mengambil iPod-nya. Mendengarkan beberapa lagu. Kalau dingin begini, lebih enak tidak mandi. Mikan menghela nafas untuk kesekian kalinya. Natsume memang selalu kerja lembur. Tapi, keistimewaan Natsume dalam pekerjaannya adalah, waktu libur Natsume lebih banyak daripada Mikan.
Mikan menyalakan aplikasi senter yang ada pada ponselnya dan mencari pengatur suhu.
'Ah. Minus 5 derajat Celcius.'Batin Mikan. Pengatur suhu yang ada di apartemen mereka memang dalam satuan Celcius. Itu dikarenakan Mikan yang tidak memahami pengatur suhu dalam satuan Fahrenheit.
Pintu apartemen tiba-tiba terbuka, muncullah seorang pria berwajah 'cool', memakai mantel jas berwarna hitam. Mikan segera menyambutnya.
"Aku pulang."
"Sudah makan?"Tanya Mikan pada Natsume sambil melepas tas Natsume yang berat.
Natsume mengangguk singkat. Mikan hanya tersenyum simpul dan meletakkan tas laptop Natsume diatas meja kerja Natsume.
"Disini dingin sekali. Kau tidak merasa dingin?" Tanya Natsume sambil menggosok-gosokan tangannya.
"Dingin sekali, Natsume. Aku hampir membeku disini."Kata Mikan kembali duduk di kursi meja makan. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Meskipun ada kerjaan yang menumpuk, jika mati lampu seperti ini, akan susah."
"Ya, kau benar."Tiba-tiba, Natsume memeluk Mikan dari belakang.
"N-Natsume?"Mikan berteriak kaget dengan wajah memerah.
"Sudah, seperti ini saja. Kau kedinginan bukan?"Deru nafas Natsume menggelitik daun telinga Mikan. Mikan bisa mendengar jantung Natsume yang juga berdegup kencang. Entah kenapa, rasanya nyaman, hangat dan tenang berada di pelukan Natsume.
"Ya."Jawab Mikan.
"Kalau begitu, diamlah."Kata Natsume mempererat pelukannya. Udara tidak terasa dingin lagi dalam kegelapan yang menyelimuti mereka.
~ Ghastly ~
Mikan terbangun dari mimpinya pada esok pagi. Ia berbalik dan mengguncang tubuh Natsume supaya Natsume terbangun dari tidur lelapnya. Udara masih menusuk di pagi hari. Mikan bangun dan mengambil mantel kesayangannya. Ia hendak membuat sarapan pagi . Mikan berjalan kearah dapur dan mengambil buah-buahan dari dalam kulkas. Mikan memotong-motong buah-buah tersebut, menghiasnya dan menyimpannya diatas meja makan. Mikan bersenandung ria saat Natsume keluar dari kamar sambil menggosok gigi. Suatu kebiasaan buruk.
"Selamat pagi, Natsume."Sapa Mikan ceria. Natsume hanya tersenyum ringan. Senyum yang paling disukai Mikan seumur hidupnya. "Jangan menyikat gigi sambil berjalan, Natsume."
"Hn."Natsume bergumam tidak jelas. Natsume kembali lagi ke kamar kemudian, terdengar bantingan pintu kamar mandi yang ada di kamar mereka. Mikan kembali bersenandung sambil menyiapkan beberapa potong Sandwich.
Beberapa menit kemudian, Natsume berjalan keluar dari kamar. Ia masih memakai kaus putih dan celana jins yang dipakainya tadi malam. Mikan sedang memakai celemek dan menaruh potongan-potongan sandwich itu ke atas piring-piring porselen berwarna putih.
"Terimakasih, Mikan."Natsume mencium bibir Mikan. Mikan dapat merasakan aroma mint yang keluar dari mulut Natsume. Wajah Mikan memerah.
Mereka pun duduk dan mulai menggigit Sandwich.
"Kau mau kemana hari ini, Polka?"Tanya Natsume. Mikan hanya menggerutu tidak jelas karena Natsume memanggilnya 'polka'. Kebiasaan! Hanya karena Mikan menyukai motif Polkadot, apa berhak Natsume mengatainya seperti itu?
"Ke kantor. Lalu ke rumah bos bersamamu."Jawab Mikan singkat.
"Oh, ya. Hmmm… Sandiwich yang enak."Kata Natsume sambil mengunyah. Tentu, sifat Natsume menjadi lebih dewasa sekarang. Ia mau memuji Mikan. Ia mau mengucapkan 'Terimakasih'. Tapi, kata-kata halusnya hanya untuk Mikan. Sikap lembutnya hanya untuk Mikan. Pada saat kerja, Natsume tetaplah dingin dan tidak berperasaan.
"Aku mau mandi dulu."Mikan mendorong kursinya kebelakang dan berjalan meninggalkan Natsume yang dengan tekun memakan sandwich-nya.
.
Beberapa menit kemudian, Mikan telah selesai mandi dan Natsume segera menempati kamar mandi. Mikan berganti baju memakai kemeja, mantel, celana panjang berwarna hitam dan sepatu boot dengan hak yang pendek. Mikan sudah cukup tinggi dengan hak pendek. Setelah selesai, ia mengambil tas-nya dan duduk di tepi jendela lagi. Melihat pecahan-pecahan salju yang turun dari langit. Saat musim dingin, sepatu terbaik untuk dipakai adalah sepatu boot.
"Mikan?"Panggil Natsume.
Mikan melirik kearah Natsume, "ya?"
"Ayo pergi."Natsume menyodorkan tangannya yang dibalut sarung tangan buatan Mikan. Warna sarung tangan itu senada dengan iris mata Natsume. Crimson. Mikan menyambut tangan Natsume dan berjalan ke pintu apartemen. Pintu apartemen akan otomatis terkunci bila tidak ada orang di dalamnya.
.
Sesampainya di Kantor New York Times, Mikan dan Natsume berpisah karena mereka berada di lantai yang berbeda. Mikan dengan sigap, segera menaiki lift menuju lantai sepuluh. Natsume lantai dua belas.
Mikan memasuki ruangannya dengan muram karena belum sempat menyelesaikan artikel-artikelnya, padahal Yuu Tobita (bos-nya) sudah menyuruhnya. Mikan menghela nafas. Ia membuka syal-nya dan mantelnya. Di dalam kantor hangat sekali. Ia sangat menyukainya. Mikan membuka laptop dan menyambungkan wireless kantor dengan laptopnya. Mikan kembali mencari informasi tentang artikel buatannya. Seminggu yang lalu, ia sudah melakukan riset dan penelitian untuk artikel ini.
"Mikan-chan?"Panggil seseorang yang muncul di balik pintu ruangan Mikan. Mikan meliriknya sebentar, lalu menghela nafas.
"Ada apa, Bos?"Tanya Mikan menghampiri Yuu Tobita.
"Artikelnya. Sudah?"Tanya Yuu halus. Yuu adalah bos yang benar-benar baik hati. Yang 'tidak' baik hati adalah sekertarisnya, Luna Koizumi.
Mikan menggeleng, "Belum, Bos. Kemarin malam, apartemenku mendapat gangguan listrik."
"Oh, begitu ya? Ya, sudah. Ada artikel lain yang sudah selesai? Saya membutuhkannya sekarang juga."Kata Yuu sambil tersenyum. Di belakangnya, ada Luna Koizumi yang sedang membawa secangkir kopi panas sambil melirik tajam kearah Mikan.
"Ada. Tentang keluarga yang mengidap HIV/AIDS. Mereka harus dipisahkan demi kebaikan mereka. Saya telah mewawancara mereka, Bos."Kata Mikan sambil menyebrangi ruangan dan mengambil berkas dari dalam map berwarna Oranye."Ini Bos."
"Bagus sekali. Berita ini tentu masih hangat. "Kata Yuu sambil tersenyum, ia membuka berkas-berkas tersebut. "Pekerjaanmu sungguh memuaskan, Nona. Aku dapat merekomendasikan kau dan Natsume-kun untuk dapat jabatan yang lebih tinggi. Kau bisa jadi wakilku atau sekertaris."
Luna Koizumi tiba-tiba tersedak kopi dan terbatuk-batuk di ruangannya. Tampaknya, ia mendengar pembicaraan Mikan dan Yuu. Mikan sendiri merasa sangat senang. Ia akan menjadi Editor Freelance! Berarti, Ia dapat mencari kasus dengan lebih luas, melakukan riset sampai ke Negara-negara bagian seperti Natsume. Tentu, ini berita yang menyenangkan yang patut diberitahukan pada Natsume.
"Terimakasih, Bos!" Mikan membungkuk beberapa kali. Yuu hanya tersenyum dan membawa berkas-berkas yang diberikan Mikan.
Sebelumnya, Yuu sempat berbalik dan bilang,"Jangan lupa ke rumahku bersama Natsume, ya?"
Mikan hanya mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia pun melanjutkan lagi artikel yang baru tiga perempat selesai itu.
~ Ghastly ~
Mikan duduk di depan Natsume dengan tenang walaupun perutnya lapar. Mungkin, ia nyaris pingsan tadi. Mikan dan Natsume saat ini berada di Café lobby kantor New York Times. Natsume sedang asyik memainkan laptop, sementara Mikan menghempaskan dirinya dengan pasrah. Mikan juga sangat mengantuk. Ia ingin tidur siang. Natsume kemudian menutup laptopnya dan memasukkannya kedalam tas. Ia menatap Mikan dalam-dalam sambil menghela nafas. Natsume tahu, Mikan kelaparan dan nyaris pingsan ketika naik lift. Langkah Mikan agak kacau.
"Kau mau pesan apa?"Tanya Natsume sambil menyerahkan buku menu ke tangan Mikan. Mikan melihat buku menu itu dengan seksama. Ia menginginkan menu berat. Natsume pun memanggil pelayan.
"Steak, Pancake dan Orange Prince."Mikan menyebutkan."Kau?"Alis Mikan sedikit terangkat.
"Waffle coklat, Spaghetti dan Coca Cola."Jawab Natsume.
.
Dua puluh menit kemudian, makanan yang mereka pesan sudah datang. Mikan segera memotong steak-nya dengan pisau kemudian menjejalkannya kedalam mulutnya.
"Natsume, kenapa tidak ada nasi?"Tanya Mikan.
Natsume menatapnya malas. Mikan selalu bertanya seperti itu jika sedang kelaparan. "Ini New York City. Bukan Jepang, idiot."
"Kenapa kau mengataiku idiot? Padahal aku akan naik jabatan."Kata Mikan sambil menjejalkan potongan steak kedalam mulutnya. Lagi.
"Oh ya? Aku juga. Bos pasti memberitahumu juga, bukan?"Tanya Natsume sambil mengaduk Spaghetti-nya.
"Oh ya. Tentu saja."Jawab Mikan bangga sambil tertawa pelan. Natsume juga menunjukkan wajah kegembiraannya.
"Boleh aku bergabung dengan kalian? Pengantin muda?"Suara itu bagaikan mimpi buruk Mikan dan Natsume. Dengan enggan, mereka berbalik melihat orang tersebut.
"Silahkan, Luna."Mikan angkat bicara sedangkan Natsume tidak peduli. Sebelum Mikan dan Natsume menikah, Luna selalu bilang bahwa Mikan merebut Natsume darinya. Ia mengatai Mikan. Ia bilang, dialah yang paling pantas untuk Natsume.
"Kau baik sekali."Luna tersenyum semanis mungkin pada Mikan.
'dasar muka dua'Batin Mikan. Natsume dan Mikan mempercepat acara makan mereka sementara Luna terbengong-bengong melihat makanan yang dipesan Natsume dan Mikan habis dalam sekejap.
"Ah. Luna, aku ada perlu diatas. Natsume juga. Kami duluan ya?"Mikan melambaikan tangannya dan segera menangkap tangan Natsume. Mereka berdua berjalan kearah lift dan menghela nafas ketika sudah berada dalam lift.
"Itu tadi Nyaris, Natsume!"Mikan tersenyum."Kita partner yang hebat!"
"Bravo, Mikan."Natsume membalas senyum Mikan. Mikan hanya memerah wajahnya.
Ting! Lantai sepuluh…
Mikan langsung bersiap-siap akan keluar. "Dah, Natsume."
Natsume mengangguk kemudian pintu lift tertutup kembali. Mikan berjalan melewati koridor utama, di ujung sana, ia dapat melihat mesin pembuat kopi. Ia langsung menghampiri mesin pembuat kopi tersebut. Mikan mengambil gelas kertas dan menuangkan kopi kedalamnya. Mikan kemudian menambahkan gula dan Creamer kedalam kopinya. Setelah selesai mengaduk, Mikan berbalik dan berjalan menuju ruangannya.
Di ruangannya, Mikan kembali berkutat dengan laptopnya. Ia menambahkan fakta-fakta yang terjadi mengenai artikel yang dia buat, menulis komentar-komentar orang-orang terkenal terkait artikelnya itu melalui e-mail atau dalam blog. Sesekali, Mikan menyesap kopinya. Ah, sebentar lagi, artikelnya akan selesai.
Pukul tiga sore kurang sepuluh menit, Mikan menyelesaikan artikelnya. Sekarang, tinggal di Print. Mikan melihat Print preview-nya kemudian menyalakan printer. Mikan bangkit dari tempat duduknya dan mencari-cari kertas HVS putih.
'Ini dia.'Mikan menaruh kertas-kertas HVS itu di Printer. Mikan tinggal meng-klik link 'Print' di Laptopnya. Mikan meregangkan tubuhnya yang kaku dan mendesah pelan. Pekerjaannya sudah selesai dengan sangat menyenangkan. Ketika Mikan melihat kearah lain, selain komputer, ada Natsume. Dia duduk di depan meja Mikan sambil menyesap kopi dengan santai.
"Sejak kapan kau ada disini, Natsume?"Tanya Mikan kembali duduk. Mikan menatap heran kearah Natsume. "Eksistensimu selalu tidak terasa."
"Kau yang terlalu asyik dengan pekerjaanmu. Sungguh, aku suka ekspresi seriusmu tadi."Ujar Natsume sambil menutup matanya, menghayati setiap tegukan kopi panas yang menjalari kerongkongannya lalu, mendesah pelan.
Mikan yang berusaha menutupi wajah merahnya, hanya menenggelamkan diri dibalik layar laptopnya. Suara di ruangan Mikan hening seketika. Printer Mikan sepertinya telah selesai melakukan tugasnya. Mikan mengambil map baru, memasukkan berkas-berkas yang baru di print kedalamnya. Setelah selesai, ia membereskan barang-barangnya, menutup laptopnya dan mematikan printernya. Mikan mengambil mantel dan sarung tangannya lalu memaikai tasnya. Map yang tadi, ia bawa di tangannya.
"Sudah habis kopinya?"Tanya Mikan pada Natsume. Natsume mengangguk dan menaruh gelas kertas itu di dalam tepat sampah.
"Ayo."Ajak Natsume sambil menggenggam tangan Mikan. Mereka berdua berjalan keluar ruangan, menuju lift.
"Anna, aku duluan. Aku mau ke rumah bos."Kata Mikan kepada Anna, teman seprofesi-nya yang sedang ada di ruangannya. Kebetulan, Mikan dan Natsume melewat kedepan ruangannya.
"Ya. Bye, Mikan-chan, Natsume-kun."Kata Anna sambil tersenyum kemudian matanya berkutat lagi ke layar laptop. Jam kerja mereka sebetulnya selesai jam 17.00. Namun, berhubung Mikan dan Natsume diminta datang ke rumah Bos, mereka pulang jam 15.00.
Sesampainya di Lobby, Natsume segera ke pintu keluar dan menaiki taksi yang sudah antri di depan Kantor. Natsume menyebutkan tujuan mereka dan taksi mereka pun mulai bergerak.
"Jadi, Natsume, kira-kira jabatanmu apa? Maksudku, kalau sudah kau naik jabatan."Kata Mikan membuka pembicaraan.
"Chief Executive Officer mungkin?"Natsume menjawab sekenanya. Mikan hanya mendesah.
"Aku tidak ingin kau banyak bekerja, Natsume. Aku tahu keinginanmu dalam membangun karier, tapi, aku ingin mempunyai anak. Aku ingin kita membangun keluarga yang hangat dan menyenangkan. Hidupmu juga akan lebih berarti jika sudah mempunyai anak."Mikan berkata serius.
"Kalau kau Mikan? Apa jabatanmu?"Tanya Natsume.
Mikan mengangkat bahu, "Editor freelance."
"Oh. Ya, seperti yang kau bilang, aku ingin membangun karier. Sebaiknya, anak kita hanya satu."Natsume menghela nafas, ia membuat sebuah keputusan.
"Kenapa?"Tanya Mikan.
"Kau tahu, setiap wanita karier berhak menentukan pilihan mereka masing-masing. Kau harus professional dalam pekerjaanmu atau kau harus professional mengurus anak. Tentu kau ingin memilih dua-duanya bukan? Kau tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang kau cintai. Di sini sama seperti di Jepang, seorang wanita karier harus rela kehilangan pekerjaannya selama tiga tahun jika mempunyai anak. Jadi, kesimpulannya, jika kita mempunyai banyak anak, kau akan kasihan dan anakmu akan terlantar. Sebaiknya, kita berkarier dulu semasa muda. Nanti saja, kalau ingin mempunyai anak." Jelas Natsume.
Mikan hanya mengangguk dengan setengah hati, ia menyetujui kata-kata Natsume. Walaupun, ia sangat ingin mempunyai seorang anak. Mikan hanya bisa bersabar. Untung saja, Natsume adalah seorang pria yang bijaksana. Ia mampu menentukan pilihan. Apa jadinya jika Mikan menikah dengan orang lain?
Mobil Taksi yang mereka naiki berhenti di sebuah rumah minimalis berarsitektur jepang. Natsume dan Mikan tentu sudah mengenal rumah Bos mereka. Yuu adalah pria yang sangat perfeksionis. Keistimewaan Yuu adalah, dia mampu mengatur orang dengan nada halus. Sehingga, sangat nyaman bekerja sama dengan Yuu. Selain hasilnya sempurna, diri kita juga akan nyaman berbicara dengan Yuu. Karena itu, Jabatan Yuu tidak pernah dipindahkan ke kantor lain. Yuu akan selalu menjadi direktur utama New York Times.
Mikan menekan bel rumah Yuu. Ia berharap cepat-cepat masuk sebelum salju bertambah banyak. Belum lagi, jalanan belum dibersihkan oleh petugas. Salju yang sudah menumpuk di jalanan tebalnya sekitar 15 cm. cukup tebal.
Pintu rumah Yuu terbuka, di baliknya, ada seorang perempuan berusia setengah baya. Rambutnya masih hitam, tatapannya masih segar dan cerah. Wajahnya masih cantik dan terawat. Dia ibu Yuu. Mantan direktur New York Times yang sangat terkemuka.
"Selamat sore, Madam. Maaf menganggumu, apa Bos sudah pulang?"Tanya Natsume dengan sopan. Wanita itu- Madam Tobita – tertawa pelan, seanggun yang bisa dibayangkan.
"Tentu saja, Hyuuga. Yuu sudah datang dari tadi, menunggu kalian berdua. Apa kabarmu, Hyuuga?"Madam Tobita menjabat tangan Natsume lalu melirik kearah Mikan."Apa kabarmu juga, Nyonya Hyuuga?"
"Baik, Madam."Jawab Mikan dengan wajah yang memerah. Ia sungguh malu dipanggil 'Nyonya Hyuuga'.
"Lihat, wajahnya memerah. Manis sekali, ya?"Madam Tobita tertawa halus. Natsume hanya mengangguk dengan senyum simpulnya."Silahkan masuk."
Mikan dan Natsume masuk ke dalam rumah Yuu dengan takjub. Rumah Yuu sangat keren. Desainnya simple namun, budaya jepang sangat terasa. Mikan segera duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat lukisan yang terpampang disana.
'Apakah ini Lukisan abstrak?'Tanya Mikan dalam hati. Lukisan-lukisan ini, entahlah, seperti ada aura menakutkan di dalam lukisan ini. Mikan melihat ada Lukisan sebuah taman dengan pohon yang besar tanpa daun. Suasana yang dilukiskan pun terlihat menyeramkan walaupun temanya adalah sunset. Lama-kelamaan, ada Tulisan yang timbul dari dalam Lukisan tersebut.
'I am here.'itu tulisannya. Mikan memperhatikan tulisan itu dengan alis terangkat.
.
"Mikan? Mikan? Sadarlah!"Natsume mengguncang-guncangkan tubuh Mikan yang diam di depan sebuah Lukisan Abstrak. Mikan sepertinya sedang.. melamun. Entah kenapa. Natsume terus berusaha menyadarkan Mikan.
PLAK!
Natsume menampar Mikan dengan kuat. Mikan mendapati dirinya ditampar kuat oleh Natsume. Mata Hazel itu tidak menerawang kosong sekarang. Kesadarannya pulih sepenuhnya. Tubuh Mikan gemetar, ia menunjuk-nunjuk lukisan abstrak tersebut dengan wajah ketakutan.
"N-Natsume?"Mikan hampir menitikkan air matanya. Ia memegangi tubuhnya sendiri dan terus mengigil.
"Maaf Mikan, aku tidak bermaksud-"perkataan Natsume dipotong cepat oleh Mikan.
"Lukisan itu Natsume, Lukisan itu…"Mikan bergetar hebat."Muncul tulisan timbul. Bunyinya, 'I am here'. Aku melihatnya Natsume."
"Tidak ada Mikan. Dari tadi, kau hanya melamun melihat lukisan tersebut. Aku telah mengguncang-guncangkan tubuhmu, tapi kau tidak bereaksi apa-apa. Jadi, aku menamparmu."Jelas Natsume.
Mikan melirik kearah lukisan itu. Natsume benar. Lukisan itu, ia dapati kosong. Tanpa ada tulisan timbul. Apa ia hanya salah lihat? Mikan kembali duduk di sofa bersama Natsume. Tak lama kemudian, Yuu datang menghampiri Mikan dan Natsume.
"Maaf. Saya sedang asyik menulis artikel."Yuu menjelaskan sambil mengisyaratkan aku-minta-maaf.
"Well, tidak apa-apa. Ini artikel yang kau minta tadi, Bos. Aku menyelesaikannya hari ini."Mikan menyerahkan sebuah map ke tangan Yuu.
"Benarkah? Terimakasih, Nona. Saya sangat beruntung hari ini."Yuu menghela nafas.
"Sebelumnya, aku ingin bertanya dulu, dari mana Bos mendapatkan lukisan pohon abstrak itu?"Tanya Mikan sambil menunjuk lukisan itu.
"Aku mendapatkannya di Toko barang antik. Memangnya kenapa?"Tanya Yuu sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa."Mikan menelan ludahnya.
~ Ghastly ~ / TBC
Wah, bagaimana menurut minna? Hahaha… Natsume romantis ya?
Fr3Ya-cHaN: bagaimana menurutmu, senpai? Aku tidak jadi menetapkan di rate M. Takut tidak banyak yang review. Ternyata, ini tidak sampai 5 rb kata! Gomen ne~
rAzUx: Razux-san, aku tidak jadi menetapkan di rate M. karena aku takut kalau fic ini tidak banyak yang review. Meskipun tadinya, yang aku maksudkan adalah rate M tanpa Lemon. Tapi setelah dipikir-pikir, Ya sudah, aku tetapkan di rate T sajaaaa….
Drowning Melody: Halo, Imouto-ku yang manis! Nee-chan sudah publish fic ini.. dibaca ya… ^^
L-EL WithDarK- Raven and Chibi hazel NRF: Hahahaha…. Kalian padahal ku minta untuk mencetuskan ide Humor padaku, kok aku jadi buat Fic Horror ya? Hmmm…. Lagi niat bikin fic Horror 'sih. Hehehe….
Sparkling Miracles: Acin-senpai! Ku harap, kau mau mereview fic ini ya!
Untuk para readers sekalian, Love In London dan My Life Story tidak lama lagi akan Update. Aku akan mencintai kalian, jika kalian mau mereview fic baruku ini. Hahahaha….
Daiyaki Aoi^^
