Disclaimer: Hetalia Axis Power © Hidekaz Himaruya

Genre: Romance, Angst, Hurt/comfort

Warnings: Historical, human names used, kemungkinan agak OOC, maybe inaccurate histories (moga2 gak), bahasa semi-formal, tanda baca (?),Shounen-ai (USUK)don't like, don't read!

A/N: Salam semuanya! Ahaha, ini sebenarnya akun yang dibuat berdua oleh saya, Mint (Apple-Mint Inversion) dan Grey-san (Charles Grey)~ Karena suatu hal dan yang lainnya, kami sementara meninggalkan akun awal kami masing2 untuk bergabung dan membuat fic ini. Kecintaan kami pada US/UK/US! xD #lebay

Sebenarnya Grey-san yang memberi plot sejarahnya pada saya yang buta sejarah namun nekat bikin historikal… Makasih #terharu. Jadi kami mengemas sejarah itu menjadi sebuah cerita. Eeer bahkan saya hanya menjejeli cerita ini dengan angst *sigh*.

Anyway, semoga pembaca sekalian mau memberi tanggapan :D

Chapter 1:


Sebuah pertanyaan. Sederhana, namun di saat terlontarkan oleh sesosok jiwa yang murni, akan menyentak, mengaburkan ilusi semu yang menari-nari dalam dirinya.

"Arthur…"

"Ya?"

"Apakah yang dimaksud dengan… Kemerdekaan?"

Serangkaian huruf yang selalu terngiang dalamnya,

Kemerdekaan

Sebuah kata yang selama ini selalu ia coba untuk tafsirkan. Akan tetapi belum kunjung ditemukannya. Selalu berputar dan membentuk sebuah lingkaran.

Bagaikan bayangan tersesat dalam labirin.

"Eeeh… Alfred, Kemerdekaan ialah… hadiah yang didapatkan oleh suatu negara apabila dia sudah benar-benar mandiri."

.

Jawaban yang klise.

"Ooh… Begitu rupanya…"

Namun jawaban yang ia cari belum juga terdendang di gendang telinganya.

Sebab si penjawab yang telah terkejut, seketika itu juga diiringi rasa cemas yang menusuk bilamana anak itu suatu saat akan pergi dari jangkauan tangannya.

Yang terkasih, akan mengepakkan sayapnya kemudian terbang jauh.

Meninggalkannya untuk duduk termangu.

Kemerdekaan

.

'Apa aku telah memperoleh kemerdekaan?'


E Pluribus Unum

American Revolutionary War

By Hameline Prudence


Kedua bola mata biru itu menatap langit-langit rumahnya tanpa bisa melepaskan barang sedetikpun darinya. Seolah segala hal menarik yang terjadi di sekitarnya dapat terlihat dari situ. Pikirannya terlalu membuatnya terlarut, menuntunnya untuk selalu berdiam diri dalam benaknya.

"Arthur…"

Alfred menghela napas lelah, tidak ia sangka ternyata dirinya sangat menginginkan untuk bertemu kembali dengan sosok itu. Figur seorang kakak baginya. Betapa inginnya ia, untuk berlari menyongsongnya, kemudian memeluknya erat guna melepas perasaan rindunya yang seakan menyiksanya.

Lalu kedua mata biru cerahnya akan menatap lekat mata hijau itu.

Mata yang setiap saat membuatnya seolah terhisap dalamnya.

Telah sangat lama Arthur meninggalkannya sendirian, untuk terpaku dan enggan melakukan hal lain. Hari-harinya hanya dipenuhi oleh lamunan dan benaknya yang terlalu mengawang jauh. Karena menurutnya, hanya dari situlah ia dapat berjumpa dengan Arthur.

Pikirannya, yang menguasai dirinya.

Kau selalu saja pergi tiba-tiba.

Tanpa memberitahu kapan kau akan kembali.

Beritahu aku, … kapan?

Alfred seketika itu juga mengerjapkan matanya lalu beranjak berdiri. Menjauhi bangku kayu yang merupakan tempat duduknya dalam waktu yang amat lama. Sejak dini hari hingga siang.

Berbarengan dengan batin-batinnya yang hanya dipenuhi dengan satu pertanyaan,

'Kapan kau akan kembali mengunjungiku lagi?'

'Arthur'

Ia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di luar, berusaha untuk melupakan barang sejenak perasaan rindunya yang terus membelenggunya. Anak itu berlari-lari kecil menapaki beranda rumahnya, tubuh kecilnya melesat ingin segera keluar dari kediamannya. Sebuah senyum terulas di bibirnya, memang sudah lama ia tak melihat keadaan negaranya sendiri.

Yang merupakan bagian darinya. Dirinya.

Suatu hal yang sangat ia cintai.

Negara Amerika.

America mendorong pintu rumahnya, membiarkan terobosan sinar terik mentari untuk menimpa rambutnya yang pirang keemasan. Matanya memantulkan birunya langit cerah yang membentang diatasnya. Ia kembali tersenyum, tampaknya kondisi hari ini cukup baik.

Pikiran yang menyejukkan hati kecilnya.

Negaranya, untuk damai dan tentram.

Namun, semuanya itu hanyalah sebuah tirai tebal.

PRAAAANG!

Yang menutupi pandangannya terhadap keadaan negaranya.

Keadaan yang sesungguhnya.

Ia terperanjat, lalu buru-buru menolehkan kepalanya ke arah sumber suara nyaring tersebut. Saat itu juga, yang membuatnya terbelalak.

"Kamu ini! Bagaimana bisa tanaman semahal ini kau biarkan layu?"

Seorang pria berambut pirang, berdiri angkuh di depan pintu rumahnya yang mewah. Dengan berkacak pinggang, menatap hina seorang pemuda berkulit hitam berpakaian lusuh yang tersungkur pasrah dihadapannya. Pecahan porselen pot bunga bertebaran disekitarnya.

Memungkinkan beling-beling itu untuk menggoreskan luka pada kulit siapapun.

Seorang majikan dengan budaknya.

'A-apa yang terjadi…?' batin Alfred, matanya terus terpaku memandang kedua orang itu yang diliputi dengan situasi menegangkan.

"Ma-maaf tuan, kemarin saya lupa menyiramnya. Saya—"

PLAAAAK

Sebuah tamparan kejam, memutus kalimatnya dalam sekejap, membuat budak itu terhempas jatuh membentur tanah. Darah merah mengalir dari mulutnya.

"Tidak usah banyak alasan!" hardik sang majikan, yang telah gelap mata. Memukul jatuh seseorang hanya karena kesalahan kecil yang diperbuatnya.

Keringat dingin mulai bermunculan di wajahnya. Alfred cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke depan, tidak kuasa menyaksikan penyiksaan yang kejam. Mata birunya yang semula cerah, sekarang menyiratkan rasa bingung dan takut.

Baru semenit sebelumnya, ia merasa bersyukur akan tentramnya hari itu.

Negaranya.

Tapi ternyata ia naïf. Terlalu naïf.

Tiba-tiba, sebuah tekanan di hatinya muncul. Menyesakkan, membuat nafasnya menjadi berat. Alfred meremas dadanya tepat pada titik jantung. Penat, seolah nafasnya menghilang. Seakan ia lupa bagaimana caranya untuk bernafas.

Pikirannya,

Firasat tentang itu.

Apa mungkin…?

Alfred melangkahkan kakinya yang sedikit bergetar. Berjalan perlahan, perlahan dan lama kelamaan semakin bertambah kecepatan. Berlari kencang menembus angin.

Mata azure-nya memandang jalan didepannya. Tidak mempedulikan samping kiri dan kanannya yang hanya berupa pepohonan rimbun. Ia telah melesak masuk ke dalam hutan kecil.

Hanya untuk memastikan sesuatu,

Suatu hal.

Cahaya matahari yang menyilaukan pandangannya tidak dihiraukan. Walaupun cahaya itu menambah suasana dalam dirinya semakin memanas.

Alfred terus berlari, kakinya berpijak pada rumput-rumput hijau, kemudian mendaki sebuah bukit pada pinggir hutan yang tersembunyi bagi siapapun itu. Hingga akhirnya ia berdiri sedari pada puncaknya,

Dimana seluruh pemandangan daerah-daerahnya dapat terlihat.

Terlihat. Amat jelas, dari ujung ke ujung.

Firasatnya. Tepat.

Ternyata benar.

'Mengapa… begini?' batinnya sembari tangan mungilnya terkepal dengan erat hingga meneteskan sebutir darah merah oleh tekanan runcing kukunya. Menggoreskan luka.

Matanya terbelalak lebar, mulutnya terbuka namun tak kuasa meluncurkan sepatah katapun. Sedang dalam pikirannya terus menerus berkecamuk.

Pemandangan itu.

Pada bagian sebelah kanan, pemukiman yang mewah.

Rumah-rumah megah tertata rapi. Para penduduk hidup dengan tentram, tidak mempedulikan keadaan lain.

Seolah dunia hanya sebatas ruang lingkup sempitnya.

Mata biru yang tak berhenti terbelalak itu beralih pada sampingnya. Hanya membuatnya semakin terkesiap, karena perlahan tirai itu mulai berderik. Hingga mungkin pada akhirnya akan terbuka lebar.

Pada bagian sebelah kiri, pemukiman kumuh.

Gubuk-gubuk kecil yang sederhana terletak tak beraturan di setiap sisi kota. Namun itu telah dirasa cukup oleh penduduknya, untuk menaungi mereka dari panas terik matahari ataupun derasnya hujan.

Dengan segala keterbatasannya.

Pemandangan itu,

Sawah gersang karena musim panas.

Tetapi mawar-mawar merah merekah dengan indahnya.

Petani berbaju lusuh membanting cangkulnya, dengan buliran keringat yang berjatuhan ke tanah.

Sedangkan para tuan tanah tersenyum lebar dengan angkuhnya.

Sungguh, kedua bagian itu bagaikan langit dan bumi. Hitam dan putih.

Alfred benar-benar terkejut akan keadaan ini. Hatinya bergemuruh, merasakan debaran kencang yang tak kunjung berhenti. Bukankah dahulu hal seperti ini tidak terjadi padanya?

Pada negaranya?

"Apa…"

Kesenjangan sosial

Ia mengangkat tangannya dan menatapnya dengan mata biru yang telah dilingkupi kabut kegelisahan. Tangannya yang telah tergores, luka-luka pedih yang terlanjur timbul.

Pikirannya tak dapat ia jauhkan dari kegundahan. Kurang baik bagi suatu negara untuk didapati masalah kesenjangan sosial, dimana amat terlihat keadaan melimpah dan berkekurangan. Si miskin dan si kaya.

Karena hendaklah bagi semua penduduk untuk hidup tentram dalam suatu kesama-rataan.

Tetapi sayangnya, kini ia sendiri yang harus mengalami hal itu.

Negaranya,

Amerika.

Ia menundukkan kepalanya, dalam benaknya terus menerus dilingkupi perasaan cemas.

Arthur

Arthur menyadari suatu hal, bahwa kini pertanyaan yang selama ini bertubi-tubi, berputar bagaikan lingkaran setan dari dirinya, telah bertambah satu lagi. Yakni,

'Apakah ini semua karenamu…Arthur…?'


Setiap negara, pasti mendambakan ketentraman bagi tiap rakyatnya.

Masalah-masalah yang terjadi, ingin segera dihapuskannya.

Agar mencapai satu hal, kesejahteraan.

Namun, seperti apakah kesejahteran yang tengah diinginkannya?

"Permisi, Tuan… Ada kiriman surat untuk anda,"

Alfred menoleh kesamping, mendapati seorang anak buahnya yang tengah menyodorkan sepucuk surat putih kepada dirinya. Ia hanya mengangguk pelan dan meraih surat itu sedangkan mata birunya menatap sosok anak buahnya tersebut yang makin menjauh.

Pemuda berambut pirang itu menundukkan kepalanya, memandang sebuah surat putih itu di tangannya sembari matanya mencari teraan nama sang pengirim.

Arthur Kirkland.

Seutas senyum tersungging di bibirnya, bayangan-bayangan akan wajah lelaki bermata hijau yang tengah dinantinya itu kembali bermunculan di benaknya. Lelaki itu yang dahulu kerap mengunjungi dirinya yang kecil, yang lama kelamaan berubah jarang seiring dengannya yang telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Bukan lagi bocah kecil.

Membiarkan rasa rindunya untuk mengalahkan kegelisahannya terhadap keadaan negaranya. Ia. Yang sempat buruk.

Tenggelam dalam alunan nostalgi yang selalu menenangkan batinnya.

Surat itu… apakah berisi tentang kabar kunjungan Arthur padanya?

Alfred perlahan membuka surat itu, dengan hati-hati membuka lipatan-lipatannya. Sambil terus berharap banyak akan berita gembira dari orang yang dinantikannya, Arthur.

Tiba-tiba, matanya terbelalak lebar. Pupil mata birunya mengecil. Kedua alisnya saling bertemu, membentuk seraut wajah yang menunjukkan keterkejutan dan kemarahan yang tak disangka-sangka.

Semenjak matanya melihat isi dari surat itu.

Isi surat yang sesungguhnya.

'WAJIB MENGGUNAKAN STEMPEL TANDA KERAJAAN'

Stamp Act

Pemuda itu meremas kertas surat itu kasar. Mencoba mengutarakan perasaan kesalnya, namun tak cukup dirasanya.

Surat itu,

Yang berisi keputusan dari pihak Negara Inggris terhadapnya, negaranya.

Keputusan yang sungguh menurutnya teramat kejam.

Menyesatkan hatinya yang telah berubah berkabut.

"Arthur…"

Desisnya geram, tangannya masih erat meremas kertas surat itu hingga nyaris tersobek. Kiranya surat itu beserta seluruh isinya dapat hilang dalam sekejap.

Mulai saat itu, keadaan negaranya semakin memburuk.

Mulai saat itu, yang mengharuskan segala barang-barang dagangan, surat ijin, kontrak kerja, pamflet, koran, dan dokumen-dokumen penting untuk menggunakan sebuah stempel laknat.

Guna menaikkan pajak dari tiap koloni,

Stamp Act

Membuat pajak di negaranya, Amerika, untuk membumbung tinggi sehingga tiap-tiap rakyatnya akan mengerang frustasi. Menderita. Akan tingginya pajak yang semakin terus ditunggakkan.

Rakyatnya menderita. Dirinya.

Oleh karena kebijakan Arthur.

Apakah ia tidak lagi peduli?

Dimana Arthur yang biasa kukenal?

Yang kukasihi, dengan segenap perasaanku.

Tetapi yang dengan mudah kau injak-injak.

Sehingga menjadi rata dengan debu dan tanah.

Memutar balikkan keadaan.

Membuat rakyatku sengsara,

Membuat AKU sengsara.

Hanya untuk kepentinganmu belaka.

Arthur.


Berbagai suara protes telah dilayangkan melalui surat-surat yang tak terhitung jumlahnya.

Karena adanya sebuah keputusan yang telah membuat hatinya sesak, terluka.

Stamp Act

Sebegitu tidak pedulinya ia terhadap koloninya?

Terhadap Alfred?

Hingga tega membuatnya dan rakyatnya sengsara?

Alfred menggenggam pena bulunya erat-erat, masih merasakan geram dan sakit hati yang bermunculan dari batinnya. Tinta-tinta hitam bertetesan, jatuh mengotori kertas putih bersih.

Yang berisi tentang protes, sikap kontra pada Negara Inggris.

Pemuda itu meluncurkan ujung penanya, menuliskan segelintir kata-kata dalam tiap paragraf. Diiringi dengan gemuruh kencang degupan hatinya yang hanya dapat didengar olehnya. Hatinya yang murka karena sejauh ini surat protesnya belum kunjung direspon oleh Arthur.

Apa maksud semua ini?

Hei, Arthur?

"Tu-tuan Alfred! Su-surat komplain anda…akhirnya dibalas oleh pihak Inggris!" teriak seorang bawahannya yang mendadak mendobrak masuk pintu ruang kerjanya. Ia menggenggam sepucuk surat.

"Apa?"

Alfred bangkit berdiri dari kursinya kemudian mengambil surat itu dari padanya.

Raut wajahnya khawatir, rasa penasaran akan respon yang selama ini ditungguinya timbul. Ia tergesa-gesa menggerakan jarinya untuk membuka lipatan rapat kertas itu.

Hingga terbuka.

Yang hanya akan membuat mata birunya kembali terbelalak, tak kalah terkesiapnya dengan reaksinya pada surat keputusan saat itu yang telah berlalu.

Stamp Act

DIHAPUSKAN

Pemuda itu terdiam, menatap lekat-lekat kalimat itu. Membacanya berulang kali dari hurf-per-huruf. Dihapuskan. Apakah ia berhasil?

Mata birunya terus membaca kelanjutan dari isi surat itu dengan perasaan yang masih was-was.

Firasatnya.

Stamp Act

DIHAPUSKAN.

Namun,

'Namun'?

Digantikan dengan DECLARATORY ACT.

Declaratory… Act…

Alfred meremas surat itu kuat-kuat berbarengan dengan kemurkaan dan kekecewaannya yang mendalam. Ia merobek-robek kertas itu hingga menjadi serpihan kertas putih yang ringan diterpa angin.

Sebab hatinya telah lama terlebih dahulu robek, tercabik-cabik.

Oleh kebijaksanaan itu, yang menyengsarakannya.

'Declaratory Act', tidak ada perubahan yang manifest dibanding dengan keputusan 'Stamp Act'.

Keputusan yang menyiksa.

Pajak yang tinggi.

Telah diwajibkan padanya, negaranya.

Sehingga penderitaan dan kesengsaraan yang dideranya dan rakyatnya terus terjadi. Tanpa lelah mendengar erangan dan raungan memilukan yang berasal dari jiwa yang berkesusahan.

Apa maksudmu?

Sengaja membuatku sengsara. Apa ini keinginanmu?

Aku telah mengetahui, dirimu yang kini tertawa. Menyeringai licik melihat keterpurukanku dari seberang sana.

Apa ini maumu?

Sewenang-wenang menggunakan kekuasaanmu terhadap kolonimu.

Membalas dengan dingin segala uluran tanganku yang butuh akan pertolongan.

Atau bahkan tersenyum puas melihatku tersungkur jatuh.

Dimanakah dirimu yang biasa kukenal…?

Yang biasa kukasihi…?

Arthur.


Di suatu hari yang sunyi di Pelabuhan Boston, dimana kapal-kapal dari wilayah itu sendiri maupun yang dari luar untuk datang bersinggahan. Yang saat ini terlihat sepi, hanya ada laut biru yang sedikit berombak, serta langit mendung dengan suara koakan burung-burung yang terbang bebas di udara.

Deru ombak laut,

Dan suara derap langkah segerombolan orang. Yang mengendap-endap, matanya yang awas seakan tampak menanti suatu mangsa, untuk kemudian diterkam dan dihabisinya. Berpenampilan layaknya suku asli Indian, dengan tombak kayu yang berujung batu runcing, digenggam erat oleh tangan yang tegas.

Dengan pemimpin mereka, seorang pemuda berambut pirang dan bermata biru. Yang tanpa rasa takut maupun ragu sedikitpun, berada di barisan depan. Seolah berperan sebagai cahaya untuk menuntun satu dan yang lainnya

Personifikasi Negara Amerika itu, telah melakukan penyamaran. Berkamuflase sebagai suku asli Indian.

Untuk menjalankan sebuah rencana.

Balas dendam yang manis.

"Tuan! Itu dia kapalnya!" ujar salah seorang rakyatnya yang juga penampilannya telah 'serupa' dengan suku Indian.

Alfred mengalihkan pandangannya ke sisi kanannya. Sebuah kapal besar yang telah mendekat pada sisi pelabuhan, layar putihnya yang melambai karena hembusan angin. Dan tiang-tiang dengan bendera Inggris yang berkibar seiring dengan terpaan kabut dingin.

Matanya berubah memicing.

Seringai licik tersungging di bibirnya.

"Ya."

Kapal itu, kapal yang tengah mengangkut puluhan teh.

Dari negara asalnya, pengirimnya, Inggris.

Teh yang nilainya sukar dijangkau oleh rakyatnya.

Teh, yang sangat ia benci.

Karena benda itu berasal dari Inggris.

.

"SERANG!"

Tanpa perlu dikomando dua kali, Alfred beserta pengikutnya menerjang cepat ke arah kapal. 'Serang' seperti yang telah pemuda itu teriakkan. Aba-aba yang sudah dinantikan sejak awal kemarahan itu tersimpan dalam hatinya.

Suara deru langkah kaki yang menelan suara ombak. Derapan sepatu yang berdecit pada permukaan lantai kayu pelabuhan. Serta teriakan rakyat-rakyatnya yang membahana. Berkumandang.

Para awak kapal yang tak menduga serbuan brutal dari pemberontakan ini, terperanjat. Berusaha mengambil senjata seadanya, guna mengahadang gerombolan rakyat-rakyat itu. Suara dentingan tombak kayu dan pedang yang beradu, gertakan dan hardikan yang bersahut-sahutan, situasi tegang yang meliputi.

Namun karena nihilnya persiapan awak kapal itu, melawan semangat yang kian membara, usaha itu sia-sia. Pemberontak itu menembus pertahanan, menyusup masuk.

Pasukan kamuflase itu, menyerang seluruh awak kapal tanpa pandang bulu. Memukul jatuh, terus menerobos masuk. Sedang dalam pikiran mereka masing-masing terus tertuju pada sesuatu hal. Target.

Alfred mengayunkan tombaknya, ia dan rakyatnya menaklukan lawan dengan mudah. Senyum terkembang di wajahnya. Rencananya berhasil.

Mata birunya mengobarkan siratan kilat rasa keberaniannya.

"Disini! Tempat mereka menyimpan teh-teh itu!"

Ketemu

Ia memandang peti-peti kayu coklat di atas dek kapal yang berisi teh kiriman Inggris.

Teh. Kebenciannya.

Sama seperti ia yang benci pada negara asal pengirim teh itu. Inggris.

Arthur.

Senyumannya semakin lebar, berubah menjadi seringai kelam. Semakin licik.

Jari-jarinya menggenggam erat pada tombak kayunya hingga menimbulkan suara kertakan. Seolah jarinya sendiri yang meremukkan tulang-tulang lelaki kebenciannya itu hingga patah serupa dengan serpihan kayu.

BUANG

"Buang semua ke laut."

Serempak, seluruh pemuda pasukannya ramai-ramai menjinjing puluhan peti kayu itu lalu melemparkannya dengan kasar ke lautan lepas begitu saja.

BUANG

Semua peti kayu yang berisi berkilo-kilo bungkusan daun teh, diangkut kemudian dihempaskan ke perairan luas, memercikkan air tiap-tiap bantingannya. Untuk terhanyut oleh sapuan ombak laut, ataupun tenggelam ke dasar laut. Menghilang.

Karena memang itulah tujuan pemuda Amerika itu,

Membuang jauh-jauh teh kesukaan orang itu.

Yang telah ditawarkan dengan harga yang menurutnya gila.

Mencoba membuat Arthur untuk mencicipi sedikit dari penderitaannya, negaranya.

Balas dendam yang manis.

Pasukan pemberontak yang telah sukses melaksanakan tugasnya itu beranjak kembali ke daratan. Meninggalkan kapal Inggris itu dengan peti-peti kayu tak berguna tadi yang telah menghilang tanpa bekas.

Menyisakan sebuah gudang teh dalam kapal itu yang mengangakan ruang dimensi yang kosong melompong.

Serta awak-awak kapalnya yang terpaku, diam seribu bahasa dengan pandangan mata yang kosong.

Alfred kembali menyeringai, batinnya kini serasa lepas dari seluruh tekanan. Merasakan kepuasan hatinya, yang menurutnya sama persis dengan ketika Arthur melihat segala penderitaan yang ia alami.

Tersenyum licik.

"Kerja yang bagus, rakyatku."

.

Sorak-sorai keberhasilan pasukannya dan beberapa kumpulan rakyatnya bersahut-sahutan. Menggema di kegelapan langit bertutupkan awan kelabu. Tertawa-tawa seolah tidak ada yang merasa tersakiti. Mereka kemudian menyulut api unggun, berdansa dengan penuh kegembiraan.

Menari-nari mengitari jilatan api yang merah panas.

Beriringan dengan alunan musik khas suku Indian.

Karena teh yang selama ini mereka benci,

Lepas, hilang di samudra luas.


Seorang pemuda berambut pirang dan bermata hijau emerald, berdiri kaku di atas kapalnya. Matanya yang membelalak lebar menyaksikan seluruh kejadian itu terhadap kapal pengangkut tehnya dari kejauhan. Kapalnya.

Tangannya yang penuh getaran emosi mencengkram erat sebuah tiang kapal, dimana di pucuknya terdapat benderanya yang berkibar.

.

"Alfred…"

.

Langit kelabu bertiraikan awan gelap.

Membentangi pesta dansa penduduk Amerika yang bersukacita.

Balas dendam yang manis.


Setangkai bunga yang indah.

Yang telah tumbuh sedari bibit.

Kini telah merekah dengan anggun

Memperlihatkan kelopaknya yang penuh pesona semburat warna.

Pemuda itu meletakkan dagunya diatas telapak tangannya yang bertumpu di atas meja coklat mahogani. Matanya yang biru, senada dengan langit, memandang ke luar jendela. Sedang sinar cahaya pagi hari yang menyoroti wajahnya tidak membuatnya silau. Suara kicau burung yang sayup-sayup, membiarkan kesunyian pagi yang meliputi.

Membuatnya makin terhanyut dalam lamunannya.

Alfred meletakkan cangkir kopinya di atas nampan. Matanya masih terpampang pada halaman rumahnya dari balik jendela yang jernih. Suasana akhir-akhir ini yang terlalu tenang menurutnya, kerap kali membuatnya lupa akan masa lampaunya.

Akan peristiwa-peristiwa itu.

BRAAAK

Ia menengok ke arah pintu, dimana asal suara bantingan itu melintas di pendengarannya. Mata birunya yang semula enggan beralih, kini menatap terkejut sesosok lelaki yang berdiri di ambang pintu.

"Arthur…"

Lelaki itu melangkah maju menghampirinya yang masih terduduk. Matanya yang selalu hijau dicerahi oleh pancaran sinar kasih, sekarang berubah gelap, seolah tidak lagi memiliki jiwa.

Ia terus melangkah hingga benar-benar berdiri tepat di hadapan wajahnya. Di depannya yang terheran-heran dan tertegun melihat kedatangannya yang secara tiba-tiba.

"Arth—"

PLAAAAK!

Tangannya. Tangan yang biasanya menyentuhnya lembut, meraih tangannya saat ia masih kecil. Baru saja terayun membentur pipi kirinya, membuatnya terhempas keras. Terantuk pada permukaan kayu meja.

Ya, tangan yang terulur padanya.

Menggandengnya erat sehingga kedua tangan mereka membentuk suatu untaian kuat yang sulit diuraikan.

Ah, nostalgi itu. Kenangan akan saat itu.

"Alfred! Apa yang kau lakukan saat itu pada KAPALKU?" bentaknya geram, tidak peduli akan sosok yang dulu dikasihinya mengerang kesakitan.

Alfred berangsur mengangkat kepalanya, mengumpulkan kesadarannya sebelum balas menatap tatapan mata hijau yang berkilatan murka.

"Ini semua SALAHMU, Arthur!"

PLAAAKK!

.

"JANGAN MEMBANGKANG! Jelas-jelas kemarin KAU yang membajak kapalku kemudian membuang semua teh kirimanku!"

Tamparan kedua, kembali melukai pipinya.

Masih melesat dari tangan yang sama.

Tangan yang biasanya menyentuhnya lembut.

Arthur terengah-engah, berusaha mengatur kembali nafasnya yang berantakan. Matanya gelap oleh emosi yang telah dipendamnya. Memandang jengkel padanya, tanpa sedikitpun nuraninya ingat bahwa ia adalah Alfred, orang yang dikasihinya.

Pemuda bermata biru itu mengusap pipinya yang pedih, namun entah mengapa hatinya juga terasa amat sakit.

Sakit. Yang menurutnya pasti berasal dari perasaan kesalnya terhadap Arthur.

Apakah itu yang sesungguhnya?

"Kau yang cari masalah, Arthur. Mengapa dari awal kau membuatku menderita? 'Stamp Act'-mu dan 'Declaratory-act'-mu," tukasnya, mata birunya tak kalah gusar dari bola mata hijau itu.

"Penderitaanmu itu belum ada apa-apanya dibandingkan denganku, negaraku, oleh karena pajakmu yang terlalu tinggi!" lanjutnya, menekankan pada pengucapan kata 'pajak'.

Karena dari pajak itulah semua huru-hara berawal.

Awal dari sebuah perselisihan, perpecahan,

Kehancuran.

Arthur mengkertakkan giginya, benar-benar, seluruh kemurkaannya tak dapat ditahan lagi. Justru karena pemuda itulah sehingga ia harus menganggung segala kerugian itu.

Dari teh itu.

Yang tiba-tiba saja telah dibuang begitu saja olehnya.

"Itu karena aku sedang sengsara dalam peperangan dengan Perancis! Kodok itu! Tidakkah kau peduli?" hardiknya keras.

"MASA BODOH dengan perangmu! Aku ini juga negara yang memiliki rakyat! Tidak perlu bersusah karena negaramu, Arthur!"

Aku ini juga negara.

PLAAAAKKKK!

Negaraku, dan negaramu.

Tamparan yang ketiga.

Yang paling keji diantara semuanya, melukai seluruh hatinya oleh tangan itu, tangan yang sama.

Ya, tangan yang dahulu menggenggam tangannya supaya ia jangan jatuh dalam tiap langkahnya.

Tangannya.

Aku adalah aku, dan kamu adalah kamu.

Dua insan yang berbeda.

Apakah itu berarti aku dan kamu tidak akan bisa menjadi satu?

"Jaga omonganmu," desisnya. Mata hijaunya mulai tergenangi oleh buliran air mata yang melesak ingin jatuh di pipinya. Mengalir di wajahnya yang merah menahan amarah.

Alfred kembali mengusap pipinya dengan tangannya yang sedikit gemetar. Pedih. Dan entah mengapa, begitu pula dengan hatinya. Sakit.

"… Pergi dari sini, dari rumahku. Atau aku yang akan pergi." tukasnya sambil menyipitkan mata birunya yang geram menatap figur yang berdiri dan bernafas terengah-engah itu.

Pergi.

Padahal pada biasanya, ia selalu mengharapkan kedatangan lelaki pirang itu. Untuk mengunjunginya.

Lalu memeluknya erat-erat, melepas rindu dalam dekapannya.

Ah nostalgi itu. Kenangan akan saat itu.

Pudar, pecah menjadi kepingan tajam yang berdentingan ketika beradu dengan tanah.

Pergi.

Arthur tetap berdiri, tak bergeming barang seinchi pun. Terus memicingkan mata hijaunya dengan kekesalan yang tak kunjung reda.

Pemuda bermata biru itu menghela nafas angkuh, beranjak berdiri dari kursinya. Kemudian melenggang melintasi sosok yang berdiri terpaku. Diam.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Alfred keluar dari rumahnya setelah membanting keras pintunya.

Meninggalkannya sendirian untuk tenggelam dalam kesunyian.

Arthur merasakan lututnya yang menjadi lemas, ia perlahan jatuh tersungkur di lantai yang dingin. Menatap intens tangannya.

Yang telah menampar wajahnya berulang kali dengan kejam, tanpa perasaan.

Hatinya yang tadi diselimuti kemurkaan panas yang meledak-ledak, saat itu berangsur hilang dan tergantikan oleh perasaan sesal.

Penyesalan.

Dirinya yang kini bersimpuh dalam ruangan yang sepi.

.

"Alfred."

.

Setangkai bunga yang indah.

Yang telah merekahkan mahkotanya, memperlihatkan kelopaknya yang penuh warna.

Pada suatu saat akan layu. Merontokkan seluruh kelopaknya.

Perlahan jatuh menyentuh tanah.


"We hold these truths to be self-evident: that all men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness."

Thomas Jefferson (1743 - 1826) – Declaration of Independence


Until The Next Chapter~


Glossary:

[1] Saya rasa hampir semua pembaca pasti tahulah~kalau di Amerika (pada saat itu) marak dengan perbudakan kulit hitam. Lagipula Amerika mengadopsi sistem ekonomi Inggris yang kapitalis. Akibatnya adalah munculnya kesenjangan sosial. Pajak yang tinggi juga bisa mengakibatkan para tuan tanah untuk berusaha lebih keras dalam mendapatkan uang—dengan cara membuat para budak tersebut untuk bekerja lebih keras pula.

[2] French-Indian War (1754-1763) perang pribadi antara Kerajaan Perancis dan Kerajaan Inggris dalam mendapatkan kekuasaan di benua Amerika bagian Utara. Perang ini juga langsung bersama-sama dengan Perang Tujuh Tahun (1756-1783) yang sedang berlangsung di Eropa. Perang dimenangkan oleh Inggris, sehingga kekuasaan di Amerika Utara sepenuhnya dimiliki oleh Inggris. Mungkin ini yang dimaksud om Hide 'Inggris mendapatkan Kanada agar Alfred tidak kesepian =w=', mungkin Quebec itu mewakili Kanada walaupun dia hanya negara bagian Kanada. Dalam perang ini, Inggris banyak merugi dan dikarenakan kondisi untuk menaikkan pajak di negaranya sendiri tidak memungkinkan, maka dinaikkanlah pajak di koloni Amerika.

[3] Stampt Act dibuat pada tahun 1765 oleh anggota Parlemen Inggris, dengan tujuan menaikkan pajak setinggi-tingginya. Banyak tokoh penting Amerika yang memprotes stempel ini, dan efek dari Stamp Act mulai muncul pada November 1765.

[4] Pada tanggal 4 Maret 1766, usaha melawan akhirnya berhasil dan Stamp Act berhasil dihapus, walaupun begitu langsung diganti dengan 'Declaratory Act' yang isinya sama saja -_-

[5] 16 Desember 1773, kapal Inggris yang mengangkut paket teh dibajak oleh rakyat Boston yang berpakaian Indian, dan rakyat ramai-ramai membuang paket-paket teh tersebut ke dasar laut. Insiden ini dinamakan 'Pesta Teh Boston'~akibat insiden ini pelabuhan Boston ditutup dalam kurun waktu yang lama.


A/N: Saya, si Grey yang sekarang mengisi penutup khukhu~

Referensi bergantung penuh dengan Encarta, dan Wikipedia sebagai tambahan . Mohon maaf bila ada kekurangan betapa tidak-detailnya tanggal dan waktu, karena susah cari sumber yang banyak tanggal ;w;.

Dan kami sangat berterima kasih bila kalian udah mau baca, mengingat kami ngebut ngerjain ini enam hari kurang dan banyak banget halangan ;w; #curcol. Soal update…berhubung kami sama-sama UAS selama dua minggu…jadinya…yah…tunggu aja! :D #digebuk

Ada yang mau memberikan tanggapan? :D