Disclaimer:
I do not own Naruto. Naruto and all of its character are belongs to Kishimoto Masashi-sensei, and I'm in no way making any profit from this fic.
A Naruto fanfiction,
Fine, We Would be.
by Nad
"Kau akan baik-baik saja."
Kali pertama kau mendengar kalimat itu terlontar darinya adalah saat dirimu mengambang di batas khayal dan benar, semu dan nyata, terlengar dan tersadar.
Kau tidak membuka matamu cukup lebar untuk membuatmu melihat siapa yang berbicara. Suaranya juga terdengar parau dan kalimatnya amat tertatih saat itu. Tapi kau kenal suaranya. Kau kenal energi hangat yang menyelimuti kedua sisi telapak tanganmu. Kau juga kenal cairan yang membasahi punggung tanganmu.
Kau kenali ia dan kau mendengarnya.
Sayangnya kau hanya memiliki waktu beberapa detik dalam secabik kesadaranmu kala itu, dan saat akhirnya kau kembali tenggelam dalam citra terburuk yang pernah kau saksikan seumur hidupmu, kau pikir ia pun tidak lebih dari ilusi yang diciptakan oleh kakakmu.
"Aku akan baik-baik saja."
Kali berikut kau menemukan kalimat itu darinya adalah saat ia berbicara kepadamu setelah sekian lama.
Pandanganmu seharusnya sangatlah keruh saat itu. Kau hampir tidak bisa menentukan di mana posisi mantan guru dan mantan rekan sekelompokmu lainnya tanpa chakra. Kau juga sudah tidak bisa memastikan di mana sebenarnya kau berdiri dan sejauh apa posisimu sekarang dari tempatmu bertarung dengan Danzo beberapa belas menit sebelumnya.
Tapi, entah bagaimana caranya, kau bisa melihat matanya.
"Aku akan menerima semua beban kebencianmu... lalu kita berdua akan mati bersama!"
Di saat bibirnya mengatakan padamu kalimat yang seharusnya kau pikir sebagai omong kosong itu, kau mendapati matanya juga berbicara...
—meski begitu, aku akan baik-baik saja.
"Semua akan baik-baik saja."
Kali terakhir kau mendengar kalimat itu darinya adalah saat ia terbaring di atas tanah tanpa daya tepat di bawah tubuhmu.
Darah merah pekat melumuri jaket, punggung, maupun bagian belakang rambut keemasannya. Darah yang sama terus mengalir melalui luka dari kusanagi yang Madara hunjamkan ke dadanya sesaat sebelum roh Si Tua itu jatuh ke neraka. Pedang yang sama juga telah menembusi dadamu, mengalir dan menyatukan darahmu dengan pemuda yang kau lindungi itu.
Di tengah rekatnya aroma logam dari darah kalian, dengan pelan dan lembut ia meraih dan menggenggam pipi dan rahangmu. Kau dipandanginya lekat. Ia menatapmu tepat di mata dengan mata beriris biru langitnya sembari mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang tanpa sadar ingin kau dengar lagi dan lagi darinya.
Dan dari sana kau akhirnya mengakui satu hal, dia memang pembohong terbesar yang pernah kau temui.
Tidak pernah ada orang lain yang bisa membohongimu sebanyak dia. Tidak juga ada orang lain yang bisa membohongimu sambil menatap tepat di mata. Dan tidak pernah, tidak pernah sekalipun seumur hidupmu, ada seseorang lain yang terus mampu untuk membuat jiwamu nyaman dengan kebohongannya—bahkan sekalipun kau sudah tahu bahwa ia sedang berbohong.
Naruto adalah pembohong besar.
Kau juga.
Karenanya, kau gerakkan tanganmu untuk menggenggam erat jemari yang berada di pipimu. Lalu kau berusaha menunduk dan menempelkan dahimu di dahinya. Tak kau hiraukan dingin dari salju yang mulai menumpuk di punggungmu yang berdarah, hanya bisa menyempurnakan perhatianmu kepada mata biru hangat miliknya.
Di tiga detak terakhir jantungmu dan dua nafas terakhirnya, kau pun berucap,
"Kita akan baik-baik saja."
[Fin]
.
.
.
Segala apresiasi akan sangat diterima. Review if you don't mind. :)
