Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama
Because of You © kurokurokarasu~chan
==oo0oo==
"Kau tau, kemudian pangeran datang. Dan dengan ciuman cinta sejatilah, kutukan sang putri dapat terlepas. Akhirnya sang putri terbangun dari tidur panjangnya."
==oo0oo==
"MIKKKAAASSSAAAAA!"
Terdengar suara melengking yang sontak membuat hampir semua orang yang ada di tempat itu menoleh. Suara yang mungkin bisa membuat gendang telingamu pecah jika berada di radius 2 m dari sumber suara. Merasa ada yang memanggil namanya, gadis yang selalu mengenakan syal merah di lehernya menoleh. Tampak rambut hitam sebahu yang dibiarkan tergerai, serta mata abu-abu yang penuh misteri yang menjadi ciri khas dari wanita bernama Mikasa. Tatapan matanya yang sendu seolah menarikmu, tapi jika kau dalami tatapan itu seolah ada duri yang akan menghujamu jika kau tak segera beralih.
"Sasha? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mikasa pada Sasha yang terengah-engah karena mengejarnya. Dia melihat gadis ekor kuda tengah bersusah payah mengatur nafasnya untuk berbicara.
"Kebetulan aku melihatmu. Karena sudah lama tak bertemu aku merindukanmu." Cengiran khas Sasha menghiasi wajahnya, memperlihatkan deretan gigi yang tersusun rapi. Sasha adalah teman Mikasa selama masa kuliah dulu. Terakhir kali bertemu adalah ketika kelulusan, karena setelah itu semua orang termasuk Mikasa berpencar mencari hidupnya masing-masing. "Bagaimana kabarmu?" tanya Sasha di sela nafasnya yang sudah mulai teratur.
"Baik." jawab mikasa singkat.
"Kau mau ke mana? Aku mau ke tempatku bekerja di ujung jalan ini sekarang. Kalau searah kita bareng saja." Sasha menawarkan.
"Aku mau ke tempat kerjaku juga. Sekarang kau bekerja di mana?" tanya Mikasa.
"Aku sekarang bekerja sebagai kepala chef di restoran. He he he, tak kusangka kegemaranku memasak dan makan bisa berguna juga. Kau sendiri?" tanya Sasha.
"Aku sebagai asisten editor di penerbit Recon." jawab mikasa singkat. Kali ini ia menyunggingkan senyum tipis khas Mikasa.
"Wah itu tak terlalu jauh dari restoran tempatku berkerja. Sesekali mampirlah kalau sedang istirahat makan siang. Ayo kalau terus berdiri di sini kita bisa terlambat." Sasha menunjuk tempat mereka berdiri, sebuah trotoar untuk pejalan kaki yang dipenuhi orang-orang dari berbagai kalangan. Sebagian besar adalah pekerja kantoran dan anak sekolah.
"Kau benar Sasha." Mikasa melangkahkan kakinya mengikuti Sasha. Dia merapatkan syal merahnya, berusaha mencari celah kehangatan di tengah dinginya musim gugur yang tengah berlangsung.
Jalanan yang berwarna monoton karena mantel abu-abu atau coklat yang dipakai hampir semua orang di sana, kecuali beberapa dari mereka yang lebih memilih untuk menggunakan mantel berwarna mencolok. Orang dengan mentel moncolok bisa dengan mudah dilihat, karena jumlah mereka memang sedikit. Mikasa mengasumsikan jika orang-orang yang menggunakan mantel itu adalah mereka yang memiliki kepribadian yang menonjol, meski tak semuanya. Sedangkan mikasa kini menggunakan kemeja putih dan celana hitam yang ia tutupi dengan mantel coklat. Derap langkah kaki yang terburu-buru bisa ia dengar dengan jelas, mungkin bagi hewan-hewan kecil derap langkah kaki manusia pagi hari ini seperti genderang yang mengerikan.
Setelah berpisah dengan Sasha di pertigaan, Mikasa lurus sejauh kurang lebih 200 m dan berhenti sejenak. Di gedung tempat ia berhenti terdapat tulisan besar "RECON PUBLISHER". Mikasa memasuki gedung berwarna putih yang agak kusam. Gedung itu tak terlalu tinggi seperti gedung pencakar langit lainya. Gedung itu hanya memiliki 7 lantai, dan dengan warna putihnya yang kini menjadi sedikit kusam, gedung itu nampak sedikit lebih tua dibandingkan dengan gedung lainya.
"Selamat pagi." Mikasa memberikan salam sebagai formalitas kepada beberapa pegawai lainya yang sudah terlihat sibuk bahkan sebelum jama masuk kerja. Kemudian ia naik ke lantai 3 untuk menemui atasanya.
"Tok. Tok. Tok."
"Hannes-san, ini aku Mikasa."
"Oh! Mikasa, masuklah."
Setelah mendengar perkataan Hannes mikasa membuka pintu ruang kerja Hannes. Di sana ia bisa melihat seorang pria berumur 30 an, berambut pirang dan tatapan hazzel lembut yang tengah menyambut kedatangan Mikasa. Di mejanya terdapat tumpukan naskah yang nampaknya baru datang kemarin sore dan akan diperiksa hari ini.
Setelah mikasa duduk, ia melanjutkan. "Tentang naskah yang kemarin kubaca. Aku punya beberapa rekomendasi." ucap Mikasa datar. Ia mengeluarkan beberapa naskah yang tak kalah tebal dari Hannes dari dalam tasnya. "Ini." Katanya lagi.
"Oh, ada yang membuatmu tertarik Mikasa? Kau sudah resume naskahnya?" tanya Habbes sembari mengambil naskah-naskah itu ke tanganya.
"Sudah. Yang di amplop coklat itu resume dari naskah-naskah yang kubaca kemarin." jawab Mikasa singkat. "Ini yang baru datang Hannes-san? Boleh aku membacanya?" tanya Mikasa.
"Boleh saja Mikasa." Jawab Hannes sambil membuka amplop coklat pemberian Mikasa untuk ia baca.
Suasana menjadi hening di dalam ruangan Hannes, baik Mikasa maupun Hannes tenggelam ke dalam naskah yang mereka baca. Seringkali terdengar lembar kertas yang dibalik oleh Mikasa, atau Hannes yang melihat naskah yang Mikasa maksudkan dan mencocokannya dengan resume yang Mikasa buat.
"Ngomong-ngomong Mikasa, maskah 'YOU' yang kau maksudkan ini berdasarkan dongen sleeping beauty bukan?" tanya Hannes.
Mikasa mendongak. "Iya Hannes-san. Menurutku itu cerita yang sangat menarik. Ceritanya berseting di jaman moderen, tapi aku masih bisa merasakan kesan klasik yang sesuai dengan carita sleeping beauty itu sendiri, bahasa yang digunakan juga bagus." Mikasa memberikan pendapatnya tentang naskah berjudul YOU yang ia usulkan pada Hannes.
"Hoo, akan kupertimbangkan lagi. Nanti akan kubaca keseluruhan naskahnya. Tumben kau suka dengan hal-hal berbau dongeng Mikasa."
"Ah, tidak. Hanya saja menurutku itu bagus." Kata Mikasa.
Sedetik kemudian ia ingat ketika membaca naskah itu. Naskah itu mengingatkan Mikasa tentang seseorang. Selalu seperti itu, jika ingat tentang dia. Mikasa akan hanyut dalam pikiranya tentang orang itu, senyumnya yang seperti matahari, dia yang tak pernah berfikir untuk menyerah, sorot emerald yang menjadi ciri khasnya. Seolah Mikasa hafal betul setiap detail yang dimiliki orang itu.
"Eren.." gumamnya lirih—hingga mungkin tak ada yang bisa mendengar kecuali dirinya sendiri.
==oo0oo==
"Jadi bagaimana Erwin? " ucap sebuah suara berat yang terdengar mengitimidasi. Suara itu menggema di sebuah ruangan berukuran kurang lebih 4x6 bernuansa abu-abu. Di ruangan yang tampak berantakan dengan tumpukan berkas dan buku tebal berdiri duduk seorang laki-laki di atas sofa berwarna hitam legam. Di depan laki-laki yang tadi berbicara dengan nada angkuh, ada seorang lagi laki-laki berambut pirang.
Laki-laki berambut pirang bernama Erwin Smith mendongakkan wajahnya. Tampak sorot sapphire di matanya, dan juga wajahnya yang tegas. Laki-laki itu memiliki aura yang bisa membuatmu mengikuti kata-katanya. "Aku tau Levi. Kasus ini memang berkembang ke arah yang tak terduga." nada bicaranya tegas, dengan intonasi mantap. "Jika kita bisa mendapatkan bukti tentang transaksi yang dilakukan saat itu, maka semua bukti tak akan bisa terelakkan lagi."
"Ya, aku tau itu. Karena itu aku menyelidikinya. Kau mau tau hasilnya? Sangat mengejutkan sekali. Kita masih memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kasus ini Erwin." Laki-laki dengan nada angkuh bernama Levi itu berkata yakin. Matanya berkilat kala itu.
"Katakan Levi."
"2 tahun lalu, di hari ketika kita menspekulasikan mereka melakukan transaksi itu. Di hari itu juga, ada kecelakaan yang menwaskan seorang laki-laki. Kau masih ingat itu kan Erwin. 2 tahun lalu di Distrik Rose. Kukira laki-laki yang tewas itu adalah saksi yang dibinasakan." Levi menjelaskan.
"Lalu? Menurutmu laki-laki yang tewas itu bisa berbicara sekarang ini? Atau dia sedang bersama dengan seseorang saat itu?" tanya Erwin berusaha mengorek penjelasan dari Levi.
"Aku tidak bodoh untuk mempercayai opsi pertamamu. Aku percaya dengan opsi kedua." Levi meneggak segelas air yang ada di depanya hingga habis. Kasus mafia lokal yang ia tangani selama beberapa tahun sempat mengalami jalan buntu. Beberapa kasus yang ia tangani kemarin menyangkut tentang kasus mafia lokal yang ia tau diketuai oleh Annie Leonheart. Perlahan-lahan ia merasa mampu menyelesaikannya, terlebih setelah informasi terakhir yang ia dapat.
"Jangan ceroboh Levi. Kau tau sudah berapa rekan kita yang kehilangan nyawanya. Gunther, Eldo, Petra."
"Kau pikir aku siapa" tanya Levi.
"Kau benar, aku percaya padamu. Jangan sampai terbunuh. Dan jangan biarkan orang lain menjadi korban karena Annie." Erwin menghela nafas dan kemudian menyandarkan dirinya ke punggung kursi yang ia duduki. Dia merasa lelah beberapa hari ini. Belakangan ini semakin banyak kasus yang berkaitan dengan Annie Leonheart. Erwin tak habis pikir, banyak sekali pihak yang terkait. Bahkan kemarin terungkap kalau mentri ekonomi juga menjadi kaki tangan Annie. "Lalu kau tau siapa laki-laki yang tewas saat kecelakaan itu?" tanya Erwin.
Levi menyeringai. Dia berdiri dari tempat duduknya, kemudian merogoh sesuatu dari saku kemeja yang ia kenakan. Dia memeperlihatkan sebuah foto kepada Erwin, difoto itu nampak seorang pemuda berkulit tan dengan iris emerald yang tengah tertawa.
"Yang ku tau keluarganya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Dan teman dia hidup bersama kedua teman dekatnya sebelum menigggal. Aku pergi duluan Erwin, aku tak ingin buang-buang waktu." Levi berbalik dan kemudian mengambil mantel coklat tua miliknya yang tergantung di balik pintu.
==oo0oo==
Iris abu-abu mikasa mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan keadaan di sekelilingnya. Baru saja cahaya menyilaukan melewati dirinya, dan kini ia seolah berada di tempat yang tak begitu asing baginya. Sekali lagi Mikasa mengerjap, ia mencari sumber cahaya itu dan menemukan lampu menyala di atap tempat ia berbaring sekarang. Perlahan ia bisa mendengar kebisingan di sekitarnya.
"Kau tidak boleh memasukan terlalu banyak garam kedalamnya! Uwahh Asin sekali! Ini terlalu asin!" seseorang berseru.
"Mana kutau, kau tadi bilang garam secukupnya. Jadi kukira 5 sendok garam itu cukup." Terdengar pembelaan atas apa yang baru saja Mikasa dengar.
Mikasa kenal kedua suara itu, sangat mengenalnya. "Eren.." ucapnya pelan.
"Woah, kau sudah bangun Mikasa?" seseorang dengan iris sapphire dan rambut pirang muncul dari balik sofa tempat Mikasa berbaring.
"Armin?" tanya Mikasa.
"Iya ini aku, kau tidur pulas sekali tadi. Apa kau sudah merasa baikan? Demammu sudah turun?" tanya Armin.
"Maaf merepotkan kalian." Mikasa bangkit dari tidurnya. Ia ingat betul kalau ia mendengar suara Eren tadi. "Eren mana?" tanya Mikasa dengan suara yang parau. Nafasnya sedikit terengah, matanya nanar.
"Ah, dia ada di dapur. Payah sekali Mikasa dia memasukkan 5 sendok garam ke dalam bubur." Armin menggerutu. Tapi wajahnya sama sekali tak keberatan dengan kelakuan Eren, yah itu sudah menjadi makanan sehari-hari Mikasa dan Armin.
Mikasa beranjak dari tempatnya tidur tadi. Ia tak peduli jika ini mimpi sekalipun, asalkan dan Eren di sana ia tak peduli jika yang ia hadapi sekarang ni hanya mimpi. Mikasa selalu merindukan Eren sejak hari itu, asalkan bisa melihat dan memeluk Eren meski Cuma mimpi Mikasa merasa semua ini sudah cukup.
"Eren.." panggilnya lagi, namun suaranya sangat pelan hingga terdengar seperti gumaman saja.
"Hei, Mikasa tunggu. Sebaiknya kau berbaring saja. Kau kan masih demam." Armin mencoba mencegah Mikasa untuk bangkit.
"Tidak Armin, .. Eren.. aku ingin bertemu dengan Eren..." Mikasa melewati Armin yang menghadangnya.
"Hei Mikasa. Aduh.." Armin akhirnya menyerah dan membantu mengawasi Mikasa hingga Mikasa tiba di dapur.
Mikasa tak merasakan apapun yang salah pada tubuhnya, tapi sekuat apapun berusaha seolah speerti tenaganya tak mau keluar, ia heran ia jalan sempoyongan. Hanya untuk mencapai dapur ia harus berusaha keras. Iris abu-abunya berbinar, ia mendapati sosok yang dicarinya di dalam dapur. Sama seperti yang ia ingat, Eren yang selalu ada di ingatanya tak berubah sedikitpun.
"Eren.." Mikasa memanggil.
Eren menoleh. "Woh, Mikasa kau sudah bangun?" tanyanya.
Senyum terkembang di wajah Mikasa. Tidak apa walau ini mimpi. Mikasa selalu berkata seperti itu di dalam hatinya. Sekarang ini ia sangat senang bisa bertemu dengan Eren. Ia berusaha secepat mungkin untuk mendekati Eren. Aroma yang selalu ia ingat dan tak pernah berubah, aroma Eren. Sosok Eren yang kian dekat dan makin jelas. Iris emerald yang selalu bersinar. Mikasa sangat merindukan semua itu.
"Hei Mikasa hati-hati. Kau bisa jatuh." Dengan sigap Eren menangkap lengan Mikasa yang gagal meraih meja di dekatnya.
"Eren.." lengan Mikasa refleks langsung melingkari leher Eren. "Eren.." panggilnya lagi.
"Mikasa?" Eren merasa kaget tiba-tiba Mikasa memeluknya erat seperti sekarang ini. "Ada apa?" tanyanya lagi.
Mikasa terisak, ia bisa mendekap Eren seperti sekarang ini. Eren yang selalu hangat, yang selalu dirindukanya. "Jangan pergi lagi Eren. Jangan tinggalkan aku lagi." Ucap Mikasa di sela-sela isak tangisnya.
"Aku tidak akan pergi kemanapun.." Eren menanggapi mikasa dan memeluk Mikasa balik. "Apa yang terjadi Mikasa?" tanya Eren lagi.
"Aku bermimpi kau pergi jauh sekali sampai aku tak bisa menggapaimu." Jawab Mikasa.
"Gomen Mikasa. Aku membuatmu khawatir." kata Eren. Suara Eren yang melembut, seperti yang selalu Mikasa ingat.
Ketika itu Mikasa merasakan ada hal yang aneh, seperti ada sesuatu yang hangat mengalir di lenganya yang mendekap Eren. Mikasa membuka matanya, ia mendapati warna merah pekat mendominasi pandanganya, melumuri lengan dan tubuhnya. Bau anyir yang tercium jelas di hidungnya, tiba-tiba membuatnya merasa mual. "Ini.." Mikasa tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia melihat sekeliling, gedung yang mengelilinginya terasa tak asing, orang-orang berkerumun di sekitarnya. Teriakan-teriakan, pekikan, semua seolah bertanya padanya.
"Cepat panggil ambulans!"
"Apa yang terjadi padanya!?"
"Apa yang terjadi di sini?"
Teriakan seperti itu memenuhi telinganya. Mikasa merasakan ada yang menarik dirinya. "Onee-chan , kau tidak apa-apa? Ayo berdiri." Mikasa bisa mendengar orang itu berbicara padanya. Mikasa hanya melirik ke arah orang itu. Tapi yang Mikasa lakukan hanya mendekap Eren semakin kuat. Tubuhnya masih hangat saat itu.
"Eren.." katanya terbata. "E..ren.." Mikasa berusaha mengatur nafasnya yang mulai tidak teratur. Suaranya seolah menolak untuk keluar dan berdiam di tenggorokanya. Dia tak bisa merasakan detak jantung atau nafas dari Eren. Eren yang dipeluknya tak bergerak, sama sekali. "Eren.." nafas Mikasa mulai sesak, tanganya gemetaran tapi tak dapat digerakan, bau anyir yang menusuk hidungnya membuat jantungnya berdetak makin cepat hingga seolah ia bisa mendengarnya sendiri. Semua seolah berjalan lambat saat itu.
"Tidak Eren.. kumohon jangan pergi.." perlahan air mata mulai mengalir di wajah mikasa. "Hu.. EREEENNN!" Mikasa berteriak sekencang mungkin. Berkali-kali kemudian ia berteriak memanggil nama Eren, seolah Eren akan mendengarnya dan kembali padanya. Ia mengeratkan dekapanya, mencari tanda kehidupan, berharap masih tersisa sedikit saja di sana. Tangisan pilu Mikasa terdengar menyedihkan. Ia berteriak putus asa dan terus memanggil nama Eren.
"Mikasa sudahlah.." samar ia mendengar suara itu, dan berusaha menariknya menjauh dari Eren.
Mikasa bersikukuh dan tetap memeluk Eren yang kini sudah tak bernyawa. Dia menepis tangan yang menariknya, ia tak ingin pergi dari Eren, ia ingin bersama Eren. Ia tak ingin kehangatan Eren pudar dan meninggalkanya.
"kasa..Mikasa!"
Mikasa membuka perlahan matanya. Samar ia mendengar seseorang memanggilnya.
"Mikasa kau baik-baik saja?" tanya seseorang.
Begitu sadar, Mikasa langsung terbangun. Nafasnya terengh-engah, jantungnya masih berdetak kencang. "EREN!" dia berteriak. "Eren.." seketika itu teriakanya melemah. "Hiks.. Eren.." Mikasa terisak. "Kupanggil berapa kalipun ia tak bergerak.."
Iris sapphire yang jernih itu memandang sedih ke arah Mikasa. Ia bisa melihat tubuh Mikasa gemetaran. Perlahan ia menyentuh tangan Mikasa, tangan itu terasa dingin seperti es. "Dia sudah tidak ada lagi Mikasa."
"Aku tau itu Armin..aku tau itu.." ucap Mikasa di sela isakanya.
"Kau harus istirahat. Kau demam, panasmu tinggi sekali. Sebaiknya besok kau tidak usah masuk ke kantor dulu. Biar aku yang menghubungi Hannes-san." Armin tersenyum. Ia membetulkan selimut Mikasa. Kemudian ia menghapus sisa air mata di wajah Mikasa.
"Terimakasih Armin."
"Sama-sama. Aku akan menemanimu hari ini."
Armin sudah bersama dengan Mikasa dan Eren semenjak kecil. Mereka bertiga berasal dari panti asuhan yang sama, kemudian setelah dewasapun mereka memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi yang sama. Armin menganggap Mikasa dan Eren adalah keluarga kecilnya yang sangat ia sayangi. Tapi kini hanya tinggal mereka berdua karena 2 tahun lalu Eren meninggal. Dan armin tau, hingga saat ini kematian Eren masih menyisakan luka yang mendalam untuk Mikasa.
==oo0oo==
Mikasa merapatkan syal merahnya, berusaha mencari kehangatan darinya. Hawa dingin yang menusuk tulangnya memperparah keadaanya yang sedang tidak baik. Ia sedikit menyesali tidak menuruti perkataan Armin untuk beristirahat di apartemennya hari ini. Tapi ia tidak ingin terlalu merepotkan Armin hanya untuk membeli beberapa bahan makanan karena persediaanya sudah habis sekarang.
Hawa dingin membuat Mikasa sedikit oleng, maka Mikasa bergegas untuk mencapai minimarket yang ada di ujung jalan dekat apartemenya. Butuh waktu kira-kira 15 menit jalan kaki.
"Dingin sekali." Ucapnya sambil meniup tangannya untuk kemudian digosokan ke wajahnya.
"Mikasa." Terdengar suara berat yang memanggil namanya.
Merasa ada yang memanggil dirinya Mikasa menoleh. Dia merasa asing dengan suara yang memanggilnya. Suara yang seolah mengintimidasinya. Dalam pikiranya ia bertanya-tanya siapa yang baru saja memanggilnya. Ketika ia menoleh, ia mendapati pria yang menurut Mikasa asing tengah berdiri kokoh di hadapanya.
Pria itu memakai mantel berwarna hitam sama dengan rambutnya yang hitam legam dan pandanganya tertuju lurus pada Mikasa. Ia memiliki iris gelap yang seolah menarikmu dengan ketenangan dan aura menikam yang dimilikinya. Eksistensinya terasa bisa menyeretmu dalam diam.
"Siapa?" tanya Mikasa.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar." Seolah mengabaikan pertanyaan Mikasa laki-laki itu langsung mengatakan tujuanya.
"Maaf, aku harus masuk ke dalam." Mikasa mengabaikan laki-laki yang berdiri dihadapanya dan berniat untuk sesegera mungkin masuk ke dalam minimarket.
"Eren Jeager." kata laki-laki itu dengan suara lantang.
Sontak Mikasa berhenti, tubuhnya mematung mendengar nama Eren disebutkan. Mendadak ia teringat orang-orang berpakaian hitam terus menghantui pikiranya beberapa tahun belakangan ini. Ia meoleh lagi untuk melihat baik-baik laki-laki yang kini berdiri dihadapanya.
"Kau teman Eren Jeager bukan?" tanya laki-laki itu lagi.
Lidah Mikasa telalu kelu untuk menjawab pertanyaan laki-laki misterius yang kini ada di hadapanya. Detak jantungnya meningkat, nafasnya sesak. Ia sama sekali tak merasakan hawa dingin yang sedari tadi menusuknya, karena yang ada di otaknya saat ini adalah laki-laki yang berdiri kokoh dihadapanya.
'Tetaplah hidup, Mikasa'
Mikasa teringat dengan bisikan kalimat terakhir Eren. Kalimat itu memonopoli pikiranya, yang ada di otaknya sekarang ini adalah bagaimana ia lari dari orang misterius yang mengenakan mantel hitam yang ada di hadapanya, agar ia tetap hidup.
Sedetik dua detik Mikasa mengatur nafasnya, dia berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Aku akan tetap hidup Eren. Ucapnya dalam hati.
Lalu tanpa berbicara apapun lagi, dengan secepat kilat ia melangkahkan kakinya dan berlari. Mikasa berlari secepat yang ia bisa, ia menerobos kerumunan orang-orang yang memperlambat larinya. Ia tak ingin mati, ia harus tetap hidup dan melakukan sesuatu. Ia tak ingin mati seperti ini. Sayup dibelakang ia mendengar namanya diteriakan, Mikasa yakin yang memanggilnya adalah laki-laki yang tadi ditemuinya.
"Kubilang tunggu dulu!" Mikasa mendengar suara itu jelas tepat dibelakangnya.
Sedetik kemudian ia bisa merasakan tanganya ditarik dan mau tak mau itu membuat Mikasa berhenti. Mikasa tak menyerah ia berusaha melepaskan tanganya dari laki-laki misterius itu. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriaknya.
"Tenanglah! Aku tidak akan menyakitimu." Laki-laki itu berseru.
Mikasa tak mempercayainya, ia masih berusaha memberontak dari cengkraman tangan laki-laki misterius itu, Mikasa bisa merasakan bahwa laki-laki itu semakin mempererat cengkramanya.
"Tenanglah Mikasa." Laki-laki itu melembutkan nada bicaranya.
Mendadak kepala Mikasa seperti habis dihantam sesuatu, kepalanya mendadak pusing. Mikasa makin lemas, ia seolah tak memiliki tenaga lagi untuk memberontak. 'Eren..aku tak akan mati di sini.' Pikirnya. Pandanganya menjadi kabur, laki-laki itu menjadi seperti bayangan yang perlahan-lahan menghilang besamaan dengan kegelapan yang mulai menyelimuti Mikasa.
"Oi, apa yang terjadi denganmu. Oi! Bertahanlah!" sayup-sayup Mikasa bisa mendengar suara itu di telinganya.
To be continoued~
Yosh! ini adalah fic pertama saya di fandom SnK. masih banyak kekurangan, apa lagi typo yang bertebaran. tadinya mau dibikin one shot, tapi kok kepanjangan he he he. akhirnya kuputuskan untuk jadi multi chap. tapi gak tau juga mau selesai di chap berapa, tapi yang jelas gak panjang-panjang kok he he he
yosh! terima kasih sudah membaca fic saya ini, :) doakan semoga banyak dapet inspirasi dan cepet update yah! xD silakan tinggalkan review ^^
