Father And Daughter
Summary:
Kontras dengan penampilan dan cara pandangnya yang sangat toleran, ternyata Aizen ayah yang konservatif.
Disclaimer: Bleach bukan milik saya. Semua karakter yang ada hanyalah milik Kubo Tite-sensei.
Sedari kecil Rukia sering mendengar berbagai pujian dialamatkan pada ayahnya, Sousuke Aizen. Saat itu si gadis cilik tidak begitu paham kenapa banyak orang mengenal dan memuji ayahnya. Tiap hari Rukia bersama sang ayah. Yang dipahaminya, Aizen adalah ayahnya. Sesederhana itu.
Tapi tentu saja dia menyadari kalau ayahnya istimewa. Setiap kali Rukia kecil mengedarkan matanya ke seluruh penjuru rumah, yang ada di benaknya adalah 'Tempat ini memiliki sentuhan Ayah'. Dimulai dari lukisan yang dipajang di dinding, perabotan, sampai ke taman depan yang artistik.
Kadang Aizen mengajaknya ke luar kota, bermil-mil jauhnya untuk mengunjungi kerabat yang masih dimilikinya. Rukia pernah bertanya, dimana orang tua ayahnya. Setelah menatap mata violet Rukia, Aizen mengatakan kalau mereka sudah tiada. Karena itulah gadis berambut hitam itu kerap bertanya –meski cuma dalam hati-, bagaimana sih rasanya punya kakek dan nenek?
Rukia kecil tidak tahu banyak tentang masa lalu ayahnya. Yang dia tahu, dan itulah yang paling penting, Aizen adalah ayahnya. Dibandingkan dengan ibunya, dia memang paling dekat dengan sang ayah.
Bukan berarti itu karena Aizen memanjakannya. Faktanya, Aizen ayah yang disiplin. Dia membolehkan Rukia bermain dengan teman-temannya sepulang sekolah. Dia tidak melarang putrinya –yang selalu bersama dengan gerombolan rekan sebayanya, dari yang cerdas sampai yang nakal sekalipun- main-main ke sungai atau ke rumah temannya. Tapi begitu petang menjelang, Rukia diharamkan keluar rumah. Yang paling membuat Rukia tersiksa, dia tidak boleh menonton tv sampai jam delapan malam. Mulai pukul enam gadis cilik itu harus belajar. Nekat menonton tv dan melanggar aturan? Aizen bisa murka. Petuah yang berhamburan dari mulutnya bisa lebih menggelegar dari petir dan lebih dahsyat dari semburan lahar. Meski ada tayangan anime yang ingin sekali ditontonnya, Rukia mengubur dalam-dalam hasratnya itu. Kadang kala, jika petang menjelang namun si ayah tertidur, saat itulah Rukia mencuri waktu untuk menonton tv.
Ketika Rukia masuk SMP, Aizen dimutasi ke tempat yang agak jauh dari tempat kerja sebelumnya. Yang membuat Rukia bangga, ayahnya dipindahkan untuk menjabat posisi yang lebih baik. Meski terdengar keren, Rukia sadar bahwa setelah itu ayahnya akan memikul tanggung jawab yang lebih besar. Apalagi dia pernah mendengar Shinji, atasan ayahnya yang baru dan berambut pirang panjang, adalah orang yang menuntut kinerja yang maksimal.
Malam itu Rukia masuk ke ruang kerja ayahnya. Bohlam lampu belajar membiaskan wajah sang ayah. Aizen memakai kaca mata. Rambutnya yang coklat selalu disisir rapi ke belakang. Matanya yang juga berwarna senada menangkap bayangan putrinya sebelum gadis SMP itu masuk.
"Ayah sedang apa?" tanya Rukia penasaran.
"Menyiapkan yang harus dipersiapkan untuk ke kantor besok," jawab Aizen singkat. Dia tidak pernah menggunakan kata yang rumit atau istilah yang sulit ketika berbicara dengan putrinya. Bisa saja dia bilang 'berkas' atau 'laporan', tapi itu akan menghabiskan waktu karena berikutnya Rukia akan bertanya, 'Berkas untuk siapa? Laporan apa, Yah?'
Rukia manggut-manggut. Dia tahu ayahnya sibuk. Kadang tanpa mengatakannya pun, Aizen akan mengeluarkan aura, 'Jangan mendekat kalau tidak ada sesuatu yang maha penting. Dan meskipun yang akan kau sampaikan itu juga amat-sangat-penting-sekali, tidak ada jaminan kau akan keluar tanpa jantung yang hampir melompat karena kaget dan ngeri mendengar komentarku'.
Sebagai putri yang sudah hapal mood dan ekspresi wajah sang ayah, Rukia tetap di situ. Dengan santai dia mengamati ayahnya membuka-buka buku, notulen dan berlembar-lembar kertas yang Rukia tak rela untuk sekedar iseng membaca. Dia mengalihkan matanya.
Ruang kerja ayahnya sangat rapi. Dimanapun berada Aizen menginginkan segala sesuatunya teratur. Tidak ada selembar kertas pun yang tercecer. Semuanya punya tempat. Di dinding terpasang beberapa lukisan pemandangan yang dipesannya dari koleganya, atau yang dibelinya kalau dia ke luar kota. Semuanya bertema alam.
Tak sengaja pandangan Rukia tertumbuk pada sebuah agenda hitam tebal. Gadis itu meraihnya, kemudian mengamatinya. Agenda itu masih baru. Sampulnya sehitam pantat panci.
Aizen menoleh. Sekali pandang pun dia tahu Rukia tertarik dengan benda yang dipegangnya. Dia tak perlu berpikir panjang untuk bisa menebak apa yang ada dalam kepala putrinya. Rukia anak yang polos. Dia membiarkan apapun yang dipikirkannya terpampang jelas di wajahnya. Dia sudah mulai menduga apa yang akan keluar dari mulut Rukia.
"Bagus sekali, Yah," komentar Rukia sambil membolak-balik agenda itu.
"Pengen, ya?" tanya sang ayah sambil tersenyum.
"Heeh," jawab Rukia langsung.
"Besok Ayah belikan, deh. Tapi buat apa kalau untuk Rukia?"
Rukia berpikir sejenak. Dia bukan tipe pelajar yang sibuk. Dia bukan anggota OSIS, tidak ikut ekstrakurikuler yang mengharuskannya mencatat jadwal, dan kegiatan yang dilakoninya juga itu-itu saja.
"Buat...apa ya?" Rukia bingung sendiri. "Cuma pengen saja sih. Omong-omong, Ayah kok punya agenda tebal? Sejak pindah jadi banyak tugas ya, kok sampai punya agenda tebal begini?"
Aizen menggoyangkan kepalanya sampai kacamata yang dipakainya melorot ke ujung hidung. "Dari dulu Ayah sudah punya jenis buku macam itu, Rukia," katanya mengklarifikasi. Senyumnya tak luntur. "Tahu sendiri kan Ayah suka kerapian."
Setelah meletakkan agenda Rukia keluar dan menuju ruang tengah. Dia menghidupkan televisi dan memilih saluran drama yang dinantikannya. Meski Rukia sudah masuk SMP, Aizen tidak mengendurkan aturan soal menonton tv. Rukia tetap tidak boleh menonton tv saat petang, kecuali di akhir minggu seperti hari Sabtu. Minggu sore aturan itu berlaku lagi.
Tak berapa lama kemudian Rukia melihat ayahnya manghampirinya.
"Jangan tertidur di depan televisi lagi, lho," ujar Aizen memperingatkan. "Ayah sudah tidak mau memindahkanmu ke kamarmu."
"Biarkan saja, Yah," Ibu menimpali dari dapur, yang letaknya persis di samping ruangan itu. "Biar Rukia jera."
Aizen menempatkan beberapa kursi di depan televisi. Sering Rukia menonton tv sampai tertidur. Tahu-tahu saja besok paginya, sewaktu bangun dia mendapati dirinya sudah berada di kamarnya. Walau orang tuanya sudah memberi ultimatum, toh Rukia tetap saja kembali pada kebiasaannya dan sang ayah dan ibu juga tak tega membiarkan putri mereka menghabiskan malam di luar kamar.
"Ah, Ibu," decak Rukia, merajuk.
"Ayah semakin keberatan, lho," ujar Aizen. Meski dia serius, suaranya tidak terdengar serius.
"Keberatan bagaimana?" Rukai mengalihkan matanya dari benda kotak elektronik yang menyala itu.
"Kau yang tambah berat," lagi-lagi ibu menyahut. "Ayahmu tak kuat lagi menggendongmu."
"Ayah heran, badanmu tetap kecil tapi kok tambah berat ya," kata Aizen.
Bibir Rukia membentuk kerucut, sebal. Dia sudah kelas dua SMP tapi badannya tak jauh beda dengan adik kelasnya. Sekilas dia melirik Aizen. Ayahnya tinggi besar dan tegap, jadi Rukia berpikir badannya yang pendek pasti diwarisi dari sang ibu. Ugh, andai saja gen ayah yang menurun.
Rukia kaget ketika besoknya di mobil saat Aizen menjemputnya sepulang sekolah, sang ayah berkata,"Ayah sudah membelikanmu diary, Rukia."
Telinga Rukia menjadi tegak. "Bukan agenda?" tanyanya. Sejujurnya dia sudah lupa kalau malam sebelumnya dia minta dibelikan benda itu pada ayahnya.
"Agenda tidak cocok untukmu," balas Aizen. "Terlalu resmi. Diary lebih pas."
Ternyata pilihan ayahnya tepat sekali. Rukia seketika jatuh hati pada diary-nya. Diary itu berwarna biru kehijauan. Kertasnya tebal, cantik, berwarna-warni dan harum. Tapi yang paling disukainya adalah gambar di covernya. Ada dua anak kecil, laki-laki dan perempuan, duduk di bawah patung wanita cantik yang menaungi keduanya. Lucunya, si anak laki-laki mencium pipi si anak perempuan. Imut sekali.
Karena tak tahu harus mengisinya dengan apa, Rukia menuliskan lirik lagu favoritnya. Kalau di majalah yang dimilikinya ada gambar si penyanyi, Rukia mengguntingnya dan menempelkannya di bawah lirik lagu.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat Rukia selesai menempel artis terakhir di diary-nya. Gadis itu tidak tahan begadang. Karena itu dia segera beranjak ke kamarnya.
Esoknya pelajar SMP Seiretei itu berniat membawa diary-nya ke sekolah. Sebagaimana umumnya anak muda lainnya, Rukia ingin menunjukkan benda favoritnya pada teman-temannya. Sambil lalu dia membuka ulang diary-nya. Matanya hampir keluar dari rongga, tak percaya dengan garis-garis warna-warni yang menghiasi tiap gambar yang tertempel. Baru dia ingat kalau tadi malam dia meninggalkan si diary di ruang tengah. Dan paginya, sudah ada seseorang yang memberi garis-garis artistik menyerupai bingkai menghiasi tiap gambar penyanyi.
Pikiran Rukia melayang pada sang ibu. Seketika dia menggeleng. Ibu memang orang yang telaten tapi tak mungkin beliau yang melakukannya. Hanya satu orang yang memiliki kemampuan mengagumkan seperti ini. Ayahnya. Tulisan cakar ayamnya jadi tertutupi berkat campur tangan sang ayah.
Rukia terharu. Ayahnya orang yang sibuk, tapi dia masih menyempatkan waktu untuk menyenangkan istri dan putrinya, dengan cara yang sering tak terduga. Rukia tahu ayahnya memulai semuanya –baik kehidupannya, pekerjaannya maupun apa yang dimilikinya- dari nol, sampai akhirnya dia menjadi Aizen-sama.
Saat itulah tanpa ragu Rukia berseru lantang dalam hati,"Ayahku hebat!"
Ketika Rukia beranjak dewasa, Aizen menambahkan tugasnya dalam daftarnya. Bukan hanya sebagai ayah dan pelindung putrinya, tapi juga sebagai supirnya. Aizen hampir selalu mengantarnya kemana-mana, dan menjemputnya kalau Rukia pulang. Saat itu Rukia bukan lagi anak sekolahan. Dia sudah jadi anak kuliahan.
Teman-teman Aizen menemukan hal itu dan menjadikannya sebagai bahan guyonan di kantor.
"Aizen-san, kalau kau terus jadi supir Rukia, bagaimana dia bisa dapat pacar?" kata Kyoraku sambil tersenyum jahil.
"Peranku tidak sampai sejauh itu," balas Aizen dengan nada ramah yang tak pernah lepas dari imejnya.
"Setiap pria pasti menyingkir, tuh," juniornya, Gin Ichimaru, menyahut dari balik laptopnya.
Dengan kalem Aizen melemparkan seringai. "Jadi tidak ada yang berani macam-macam dengan putriku," ujarnya.
Masih dengan wajah rubahnya, Gin membalas,"Padahal saya mau daftar, lho."
"Aku tidak mengharapkan kekasih putriku seperti dirimu," ucap Aizen, yang disambut tepuk tangan oleh rekan-rekan kerjanya.
"Lho, apa salahnya?" Gin mempertanyakan. Alisnya berkerut meski matanya tetap menyipit. "Saya belum tua, kok. Saya baru dua lima tahun, sudah kerja, tidak terlalu jelek," sambil terkekeh Gin menepuk dada kurusnya dan membanggakan diri.
"Aku masih jomblo, lho," Kyoraku ikut semangat mempromosikan diri.
"Kalau melihatmu," Aizen melirik pria jangkung yang rambut di seluruh tubuhnya –mungkin sih, tapi semua pasti akan setuju- paling lebat dan subur itu. "Aku jadi takut dengan keselamatan putriku," lanjut Aizen. Dalam hati dia ingin menambahkan, 'Aku tidak ingin Rukia bersama pria mesum sepertimu.' Dia melirik saja waktu Shinji tertawa terbahak-bahak. Biasanya Shinji bertampang serius.
Aizen tidak melarang Rukia berpacaran dengan siapapun. Tapi ada beberapa kriteria yang jauh-jauh hari sudah diungkapkannya tidak akan sudi diterimanya sebagai kekasih Rukia.
"Ayah setuju saja kau punya pacar, asal tidak bertindik, tidak bertato dan tidak berambut panjang," urai Aizen mewanti-wanti.
Rukia setuju-setuju saja.
Kontras dengan penampilan dan cara pandangnya yang sangat toleran, ternyata Aizen ayah yang konservatif.
Shuuhei Hisaghi menaruh hati pada gadis yang tubuhnya masih tetap kecil itu. Tapi ingat dengan petuah ayahnya, Rukia hanya bisa menawarkan persahabatan. Shuuhei pria yang dewasa dan kalem, hampir sama seperti Aizen. Tapi dia bertato, dengan huruf yang menimbulkan pikiran kotor pula.
Bagaimana dengan Renji Abarai? Sahabat Rukia itu bertubuh sangat jangkung, bahkan lebih tinggi dan tegap daripada Aizen. Walau suaranya cempreng dan keras, dan tidak romantis, Renji bisa diandalkan. Dia memang tidak bertindik. Satu poin sudah lolos. Tapi dua poin lainnya, jelas dia gagal. Rambut merahnya jauh lebih panjang dari rambut Rukia, bahkan hampir seluruh tubuhnya berhias tato. Mau coba-coba menjalin hubungan dengan Rukia? Jelas gagal total.
Yang tak terduga, tapi Rukia bersyukur karena pria pilihannya kali ini adalah pria terakhir baginya, Aizen malah merestui hubungannya dengan Ichigo Kurosaki. Ichigo mempunyai tampang yang hampir tidak ramah, tapi dia tidak bertindik, tidak bertato dan berambut pendek. Selain itu Ichigo sudah mantap akan siap melindungi Rukia sepanjang hayatnya.
"Rukia," panggil Aizen. Dia tersenyum memandangi putrinya yang duduk di kursi teras. Senyumnya melebar ketika dia memergoki mata putrinya itu mengamati tangan kirinya.
Rukia kaget. "Ada apa, Yah?"
"Tidak," Aizen menggeleng. "Kau melamun."
"Tidak kok," tangkis Rukia buru-buru.
Mengacuhkan sanggahan Rukia, Aizen duduk di hadapannya dan melanjutkan kata-katanya,"Ayah tak percaya putri kecil Ayah sudah bertunangan."
Wajah Rukia memerah. Tanpa sadar jemarinya mengelus cincin emas polos yang melingkar di jarinya. Ichigo menyerahkan pilihan cincin yang diinginkan gadis itu, tapi Rukia lebih memilih cincin polos. Baginya, simbol bermotif sederhana itu membawa makna yang tidak sesederhana bentuknya, tapi juga memberi makna sederhana bagi mereka berdua. Bahwa mereka saling mencintai dan siap melangkah ke jenjang yang lebih serius.
"Kau jauh lebih muda dari ibumu waktu kami bertunangan dulu," kata Aizen, matanya menerawang. "Rasanya baru kemarin Ayah menggendongmu, tahu-tahu saja kau akan memulai hidup baru. Ayah dan Ibu membesarkanmu dari kecil, tapi kami juga menyadari bahwa ketika kau sudah dewasa, kami tidak memilikimu lagi."
Rukia terperangah. "Tapi aku tetap anak Ayah dan Ibu kok," katanya meyakinkan.
"Tapi sebentar lagi kau jadi milik Ichigo, lho," goda Aizen, setengah bercanda setengah serius.
Saat itulah Rukia sadar sepenuhnya bahwa kata-kata ayahnya tepat.
The End
A/N: Ehm, kira-kira begitulah kalau Aizen jadi ayah. Menurut saya, lho. Bapak saya juga berpesan sama dengannya, saya boleh saja berpacaran dengan pria yang saya sayangi, tapi jangan pria bertindik, bertato, atau berambut panjang. Ngomong-ngomong soal tindik, beberapa waktu lalu saya ingin menambah tindikan di telinga. Pertamanya Bapak setuju, tapi ketika saya minta ijin lagi, eh, saya malah diomeli. Hikz.
Barulah ketika saya beranjak besar, Bapak mengungkapkan perasaannya. Waktu saya masuk SMP, Bapak khawatir, gimana nanti saya kalau ke sekolah naik angkot, bisa tidak ya –SD saya dekat rumah, jadi tinggal jalan kaki-? Begitu saya masuk SMA, bisa tidak saya beradaptasi di lingkungan baru yang agak jauh dari rumah? Dan ketika saya masuk kuliah, bisa tidak saya melewatinya dan hidup mandiri? Saya terpana, tidak menyangka kalau ternyata orang tua saya mempunyai pikiran-pikiran seperti itu. Semakin hari saya semakin berpikir, saya tidak akan bisa melampaui orang tua, baik Bapak maupun Ibu saya. Bapak sendiri sepertinya juga berpikiran seperti itu. Suatu hari beliau berujar,"Kok tidak ada ya anakku yang bisa sepertiku?" Saya hanya diam, tapi dengan kalemnya Ibu membalas,"Banyu miline mudhun (Karena air mengalir ke bawah)." Filsafat sederhana tapi maknanya dalam sekali.
Kalau teman-teman memperhatikan, saya tidak menyebutkan siapa sang 'Ibu' di sini. Saya menyerahkan sepenuhnya pada kalian, siapa yang kira-kira bisa mendampingi Aizen. Saya percaya dengan Law of Attractions: Opposites attract. Bagi pria kalem seperti Aizen, saya tidak bisa membayangkan kalau istrinya juga mempunyai karakter mirip dengannya.
