"Love is Not Over."

By : Amanda Lactis

Summary : Pria itu selalu ada di sana. Di sebuah café modern memesan secangkir kopi, duduk berjam-jam tanpa memperhatikan sekitar. Naruto tidak tahu sejak kapan ia begitu peduli dan memperhatikan pria asing tersebut, menatapnya tanpa sempat mengobrol. "Jangan menyukaiku, anak kecil harusnya belajar di rumah." "Aku sudah SMA tahu!" SasuFem!Naru. Two-shoot. Mind to Mampir?

Inspired by : BTOB – Missing You

.

.

.

Setibanya di Jepang, Naruto bergegas menuju rumah barunya bersama Tsunade selaku walinya. Orang tuanya masih menutup hati dan merasa tidak perlu peduli terhadap keadaan Naruto yang butuh dukungan dan life-support. Gadis yang terlihat ceria itu mengidap suatu kelainan mental yang bisa dikatakan sedang dialami remaja beremosi labil lainnya. Naruto hidup bersama neneknya setelah melarikan diri dari kungkungan orang tua serta perlakuan berbeda dari kedua kakaknya. Ketidakmampuannya dalam berontak membuat senyumnya meluntur hingga memendam semuanya seorang diri.

"Naru, aku keluar sebentar ya, jika kau ingin melihat lingkungan sekitar, jangan lupa kunci pintunya." Tsunade mengusap pelan surai blonde cucunya, ia hendak mendaftarkan Naruto di sekolah dekat rumah mereka. Kebetulan letak rumah sederhana yang mereka huni terbilang strategis. Ada swalayan di seberang jalan, beberapa pertokoan dan café bernuansa modern jika kau berjalan sekitar lima ratus meter dari sini. Naruto mengiyakan ucapan Tsunade, keinginannya berkeliling meluap seketika. Kaki mungilnya berjalan menuju pintu keluar dekat ruang tamu, mengenakan jaket lengan panjang yang menutupi bekas luka pada pergelangan tangannya dan tak lupa mengenakan topi baseball kesayangannya.

"Tersenyum, Naruto! Jangan lemah begini! Ganbatte~!" Ia mengunci pintu rumah, berjalan dan sesekali menyapa orang yang tersenyum padanya. Naruto cukup pintar beradaptasi di lingkungan baru. Dia orang yang mudah bergaul, murah senyum serta berpikiran positif.

"Halo, kau pasti orang baru ya? Namaku Kiba! Rumahku yang nomor lima belas, jangan sungkan untuk mampir ya! Namamu siapa?"

Naruto tersenyum lebar. Tangannya terulur menerima jabat tangan dari Kiba. "Uzumaki Naruto. Salam kenal, Kiba." Ujarnya riang. Kiba balas tersenyum. Ia kembali mengurusi anjing nya beberapa saat setelah berkenalan dengan Naruto. Gadis pirang itu melanjutkan langkahnya dan melihat betapa indah lingkungan barunya. Tidak ada orang berciuman dengan bebas, tidak ada kekerasan dan yang penting, dia tidak perlu takut untuk pulang ke rumah.

'Rumah ya?' ia membatin sedih. Sejak dulu, rasanya Naruto belum mendapat apresiasi atas apa yang dia lakukan. Semua pujian ditujukan untuk kedua kakak nya yang jenius. Kalau boleh mengatakan yang sejujurnya, Naruto ingin lahir menjadi anak yang membanggakan dan membuat orang tuanya tak bosan memuji dirinya. Dia tidak pintar, otaknya pas-pasan, nilai tujuh puluh lima untuk mata pelajaran Kimia dia dapatkan susah payah, dan mendengar omelan panjang dari sang ibu mengenai masa depannya yang suram benar-benar terlewati dalam siklus hidupnya.

Mata birunya yang indah menangkap sosok pria yang duduk di sebuah café. Kalau tidak salah, neneknya pernah bilang ada café di dekat sini. Mungkin ini yang dimaksud. Suasananya sedang ramai, mungkin karena jam makan siang mengingat sudah pukul satu lewat tujuh menit. Namun pria itu sama sekali tidak terlihat terganggu akan hiruk pikuk manusia yang memenuhi café. Dia tetap duduk, menyesap segelas kopinya dan memandang fokus pada laptop di depannya. Naruto heran, apa matanya tidak sakit ya?

"Masuk tidak ya? Hm, aku bawa uang pemberian nenek sih, tapi ah ya sudahlah masuk saja!" berbumbu sedikit nekat dan rasa penasaran, Naruto mendorong pintu kaca café dan disambut teriakan selamat datang dari arah kasir yang kebetulan kewalahan melayani pesanan yang membludak. Naruto menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia menatap suasana café. Nuansa yang diberikan memang membuat nyaman, ada meja yang didesain menghadap jalanan, seperti yang diduduki oleh pria asing berwajah tampan penarik atensinya tadi.

"Ada yang bisa saya bantu? Adik manis, apa kau ingin duduk di sana?" pelayan wanita yang kisaran berumur dua puluh tahun itu menunjuk kearah kursi dekat pria asing tadi. Memang tidak banyak yang mau duduk di sana, karena banyak orang berspekulasi memandang jalanan yang ramai bukan ide yang baik untuk menenangkan pikiran yang dipenuhi beban. Naruto mengangguk, ia mengabaikan panggilan dari sang pelayan seakan dia masih duduk di bangku SMP, tapi ya sudahlah yang penting dia bisa melihat dari dekat pria itu.

Hening.

"Anu, aku mau pesan Cappuchino saja, dan Strawberry cake nya satu."

"Baik, ditunggu ya, adik manis."

Naruto tidak membalas ucapan pelayan. Dia tetap menatap gerak-gerik pria di sampingnya, sesekali tersenyum ketika pria itu salah mengetik dan mengerang frustasi. Wajahnya yang terlihat dingin dan kaku, ternyata bisa menjadi lucu. Naruto tertawa kecil.

"Apa yang kau tertawakan, bocah?"

Uh oh.

Naruto tersentak dan mengalihkan pandangannya ke samping. Pria itu menatanya tajam. Tangannya yang tadi sibuk mengetik sesuatu terhenti, dan terlipat di depan dada.

"Errr…hehe. Aku tidak menertawakan apapun. Cuman, bahagia?"

Si pria mendengus. "Untuk apa bocah SMP sepertimu ke sini? Mau pamer pada teman-temanmu kalau kau orang kaya?" suaranya terkesan merendahkan, persis seperti ibunya yang selalu mengeluhkan dirinya yang berotak bodoh. Naruto tersenyum, namun senyumnya didominasi kepalsuan.

"Aku sudah memasuki bangku SMA, kalau kau mau tahu, Sir." Naruto menyahuti kalem. Sasuke, mengernyit dalam. Dia setengah tidak percaya mendengar ucapan Naruto, namun saat melihat senyumnya yang sangat memuakkan itu, membuat sesuatu dalam hatinya tergugah.

"Pengidap Self-harm, eh? Sedepresi itu terhadap hidupmu?" tanyanya datar, menyesap kopi terakhirnya sebelum jam makan siang habis. Segelas Cappuchino dan Strawberry Cake sudah tersaji di depan Naruto, tapi nampaknya gadis itu enggan menyantapnya.

"Aku…baik-baik saja." Naruto mengulas senyum paling lebar. Tangannya sedikit gemetar, sebisa mungkin menutupi pergelangan tangan kirinya yang dipenuhi bekas luka yang takkan pernah hilang. Ketidaknormalan yang memalukan, batinnya miris.

Sasuke menghela nafasnya. "Aku selalu datang ke sini, tiap hari. Kebetulan, aku lulusan Psikologi dua tahun yang lalu, kau tahu maksudku, kan?" Ia membereskan laptop dan meninggalkan tip di atas meja. Sebelah tangannya menepuk pundak Naruto, sosoknya hilang ketika Naruto hendak berterima kasih.

'Aku, tidak gila.'

.

.

.

"Naru, nenek ada kabar gembira untukmu. Jadi, mulai besok, kau bisa bersekolah di Konoha Gakuen, kau hanya perlu naik bis selama 10 menit dari sini. Bagaimana?"

Naruto tersenyum, kepalanya mengangguk. "Terima kasih, Baa-chan. Terima kasih karena mau merawat ku, dan-"

"-ssstt. Aku tidak suka jika kau sudah mulai mengasihani dirimu, Naru. Kau punya kelebihan tersendiri, oke? Sekarang tidurlah, besok kau harus sekolah." Tsunade mengusap pelan pipi Naruto. Diusianya yang sudah mencapai lima puluh tahun, ia sudah menyaksikan banyak sekali penderitaan orang-orang di sekitarnya. Terutama Naruto. Gadis belia itu benar-benar diuji ketegarannya. Bagaimana perlakuan orang tuanya, sikap teman-temannya bahkan Tsunade yakin Naruto tidak sekuat itu. Tampilannya boleh menipu, namun suara tangis dari dalam hatinya tidak semua orang mendengarnya.

"Kami-sama, bisa tidak kau berikan secuil kebahagiaan untuk cucuku ini?" lirih Tsunade tak sanggup menatap tangan kiri Naruto yang sudah penuh akan goresan. Ada beberapa yang masih baru, terlihat memerah dan masih banyak lagi yang dilakukan Naruto untuk melampiaskan emosinya. Mungkin terdengar berlebihan, apalagi usianya baru enam belas tahun untuk merasakan apa itu yang dinamakan depresi. Lalu kenapa? Tsunade pernah mendengar kabar gadis kecil yang tewas bunuh diri lantaran tidak kuat menerima siksaan orang tuanya selama lima tahun.

Sebenarnya Naruto belum tertidur, dia memilih mendengar keluhan Tsunade. Tapi yang didengar justru berkebalikan. Neneknya benar-benar tulus menyayanginya. Neneknya yang tegas itu bisa menjadi pribadi yang lembut. Kadang Naruto berpikir, apakah orang tuanya akan sadar bila semua perbuatan mereka berdampak besar terhadap mentalnya? Apa ayahnya akan berhenti menamparnya di depan kedua kakaknya hanya karena Naruto tak sengaja merusak lukisan Kyuubi? Apa ibunya mau membuatkannya kue saat ulang tahunnya seperti yang dia lakukan pada Sasori? Kenapa? Kenapa perlakuan mereka berbeda? Apa yang kurang dari Naruto? Apa ini bersangkutan dengan otaknya yang tidak pintar? Lalu apa?

.

.

.

Tidak ada masalah dengan teman sekelasnya. Semua ramah. Semua memperlakukannya dengan baik. Ada Kiba yang ternyata satu kelas, juga mengenal beberapa orang sebagai teman tambahan. Intinya, Naruto cukup senang akan kondisinya. Sepanjang pelajaran berlangsung, Naruto merasa jika inilah yang menjadi tujuan hidupnya. Mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Dia dramatis? Entahlah, Kyuubi pernah mengejeknya sebagai Drama Queen yang haus perhatian. Sasori juga sering merendahkan mimpinya menjadi penulis terkenal. Hei, mimpi ada untuk digapai, bukan diremehkan apalagi dikubur. Naruto masih muda, menyerah secepat ini bukan ajaran Tsunade.

"Naru-chan, di London dingin tidak? Katanya kalau sedang salju orang-orang tidak mau keluar rumah ya?"

"Naru, kenapa kau pindah ke sini? Sesuatu terjadi di London?"

"Eiii, kalian ini pertanyaannya sensitive sekali. Naruto sampai tidak bisa menjawab." Kiba menyelamatkan nyawanya dari pertanyaan yang paling dijauhi Naruto. Lelaki itu seakan paham gesture tubuhnya yang tidak ingin menjawab satupun pertanyaan yang dilontarkan padanya. Naruto sedikit tersenyum. Menyisakan secercah harapan bagi beberapa siswi yang penasaran dengan kehidupannya. Tidak ada yang spesial di London. Ketika musim salju, Naruto sering menyendiri di kamarnya, atau ketika Natal tiba, saat rumahnya dipenuhi teman-teman Kyuubi dan Sasori, ibu dan ayahnya melarang keras dirinya untuk menunjukkan diri. Karena apa? Karena mereka malu tentu saja. Memiliki anak yang tidak punya kelebihan menonjol memang memalukan, bukan?

"Naruto, jangan sungkan pada kami ya! Oh, namaku Suigetsu, dan ini Shikamaru, lalu yang senyum itu Sai. Kau bisa menceritakan apapun padaku, aku pandai jaga rahasia kok." Meskipun Suigetsu terdengar menyebalkan karena sikap sok dekat nya itu, Naruto justru nyaman. Dia merasa sikap Suigetsu tak semata ingin dekat dengannya, namun senyuma yang diberikan lelaki bergigi tajam tersebut, bermakna bila ia memang orang yang baik.

"Dasar merepotkan, jangan pamer kebaikan, Sui. Dasar Hiu."

"Ya! Aku ini memang baik, Shika!"

"Mereka itu selalu saja begini, lucu ya Naru?" Kiba menyengir, membuat hati Naruto tergerak dan ikut tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia bisa mengekspresikan isi hatinya.

'Aku akan buktikan jika aku bisa menjadi manusia yang lebih baik.'

.

.

.

Jam istirahat datang begitu saja. Membuat beberapa siswa bersorak bahagia. Para guru yang berkumpul di kantor, juga aroma makanan dari arah kantin adalah hal yang dirindukan Naruto. Ia rindu karena kehidupannya di London tak pernah berjalan dengan baik.

"Sebentar, biar aku dan Suigetsu saja yang pesan, kalian mau apa?" Kiba mengeluarkan ponselnya untuk mencatat pesanan teman-temannya. Naruto tidak terlalu lapar jadi dia hanya meminta dibelikan sebuah roti dan susu kotak rasa pisang. Suigetsu mengeluh dan berkata jika Naruto termasuk kurus dan harus makan lebih banyak, ocehannya dihentikan Shikamaru karena dinilai mengganggu.

"Jadi-"

Suara Shikamaru terhenti sebelum kedua mata Naruto terpusat pada nya.

"-kenapa aku merasa kau menyembunyikan sesuatu perihal kepindahanmu ke Jepang?"

Naruto tak bisa untuk tidak tersenyum. "Sejauh apa yang kau tahu?" suaranya terdengar ganjil, benar-benar tak bisa menahan diri untuk mual dan jijik pada dirinya sendiri.

Shikamaru menguap. "Kau sengaja menutup pergelangan tanganmu, pura-pura tak bisa menjawab pertanyaan siswi lain, dan yang penting…."

"…..kau mencoba untuk terlihat tulus."

'Tapi aku memang sudah lupa caranya tersenyum.'

.

.

.

Menunggu di Halte sendirian bukan pilihan yang tepat bagi Naruto yang suka sekali melamun. Walaupun Naruto benci sendirian di tengah keramaian, tapi melamun adalah solusi terbaik. Untungnya bis datang lebih cepat, dia tak perlu menunggu lebih lama. Entah bagaimana caranya, tempat perhentian bis ada di dekat daerah café yang kemarin dia datangi. Kira-kira berjarak lima puluh meter jika kau berjalan.

"Sudah jam empat sore. Pasti dia tidak ada di café sekarang." Gumam Naruto membayangkan sosok pria yang kemarin berbincang dengannya.

Tapi nyatanya tidak. Lelaki itu ada di sana. Sekali lagi memesan secangkir kopi. Duduk tenang. Naruto dengan antusias mendekati café dan melambaikan tangannya. Dia begitu bersemangat, sampai Sasuke mendongak dan mendengus. Lelaki berusia dua puluh lima tahu itu terlihat begitu tampan dengan balutan jas formal dan kemeja berwarna navy blue.

"Baru pulang sekolah, Hn?"

Naruto tertawa. "Begitulah. Oh ya, aku belum tahu namamu, Sir. Kemarin kau terburu-buru sekali." Ujarnya singkat.

Sasuke mengulurkan kartu namanya di atas meja.

Direktur Utama Uchiha Corp.

Uchiha Sasuke.

Naruto mengerjap beberapa kali, berharap rentetan kata di kartu nama itu bisa berubah.

"Ka-kau seorang Direktur Utama, di Uchiha Corp?! Yang terkenal di bidang Teknologi itu?! Kau Dirut nya?! Woah!" Naruto tak berhenti kagum. Dia kaget bukan kepalang karena bisa mengobrol dengan bebas bersama seorang Direktur Utama dari perusahaan terbesar di Jepang!

"Tunggu, berarti umurmu berapa, Sasuke-san? Dua puluh? Tiga puluh?"

"Umurku baru dua puluh lima, Dobe. Aku masih muda."

Naruto mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menyimpan kartu nama itu di tasnya, sebisa mungkin tidak membuat kartu nama berharga itu terlipat. Sasuke yang melihat itu terkekeh kecil.

"Mau bercerita sesuatu?"

Naruto menatap manik obsidian Sasuke. "Bercerita? Tentang apa?" tanya nya lugu.

"Tentang pelampiasan emosimu yang salah, Dobe. Kau masih kecil, untuk apa membahayakan nyawamu sendiri."

Gadis itu termenung. Senyumnya seketika luntur. "Kau tidak tahu apa-apa tentangku."

Sasuke menopangkan dagunya. "Untuk itulah aku memintamu untuk bercerita. Memendam semuanya sendirian bukan tindakan yang tepat." Sahutnya tenang.

Naruto terlihat ragu, ia menghembuskan nafasnya. Matanya terpejam dan terbuka selama beberapa saat. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, tangannya secara tidak sadar meremat bagian bawah kemeja putihnya. Sasuke masih menanti dengan sabar. Membuka rahasiamu sendiri pasti sulit, terlebih kau memiliki sesuatu yang dianggap tidak normal.

'Aku percaya padamu, Sasuke-san.'

.

.


Note : Makasih ya buat temen yang ngracunin saya dengan lagu BTOB dan ngasi saya ide berkat lagunya. Judul lagu saya ambil dari lagu BTS, untuk jalan cerita emang tiba-tiba dapet inspirasi ketika dengerin lagi Missing You - BTOB. Jadi, saya gak bisa njelasin ide nya gimana atau sketsa kasarnya. Saya lagi banyak masalah, dan karena banyak masalah ngebuat mood saya nulis naik dan pelampiasan emosi jadi terkontrol. Kabar baiknya saya di ijinin beli album BTS, udah itu aja *plak* ini ada satu chapter lagi ya. Happy reading, readers-tachi!

Regards,

Amanda Lactis